Benarkah Aku Merasa Kesepian?
Andin, tetanggaku itu. Rumahnya tak jauh -hanya dipisahkan dua buah rumah- kalau aku duduk di teras bagian sudut dekat dinding dan menghadap ke utara maka rumahnya pasti tampak. Dari sinilah biasanya aku melihat tempat kediamannya yang jarang sekali sepi. Kalau malam Minggu dia memang keluar, tapi kalau malam lain biasanya dia duduk di teras tentu saja tidak sendirian, pacarnya sering datang. Hebatnya tiap bulan selalu berubah tuh lelaki yang datang. Ah, wajar sih. Andin memang cantik, memiliki postur tubuh yang semampai begitu pula dengan bodynya yang mampu memikat mata lelaki.
Dengan kecantikan yang dimiliki dia mempunyai banyak teman. Sering hangout, dan jalan-jalan ke luar kota. Kehidupan ekonominya sederhana saja sih menurutku. Bukan meremehkan ya, dengan pekerjaan bapaknya sebagai tukang dan kuli di pelabuhan, mana mampu dia beli handphone kelas atas bermerek -high end- pastilah kekasih-kekasihnya itu yang membelikan. Sepertinya dia nggak pernah tuh merasakan kehabisan uang. Aku saja yang memiliki bapak dan emak yang bekerja sebagai PNS tidak memiliki handphone canggih, bapak bilang gak perlu gaya-gayaan. Lebih baik ditabung buat masa depan. Aku bisa apa kalau bapak sudah ngomong gitu, terpaksa menggunakan seadanya.
Begitu pula dengan Mery, teman sekelas sewaktu SMA. Wajahnya kayak boneka, seperti dicetak gitu. Andai wajah bisa dipesan ya sama Tuhan, enak tuh bebas memilih sesuai pesanan. Yang pasti putih, mulus, mancung, tinggi dan sebagainya yang mana seluruh perempuan di dunia ini mengidamkan. Termasuk aku.
Mery itu anak orang kaya sih, bapaknya itu anggota wakil rakyat di kotaku. Sedangkan ibunya adalah pejabat di salah satu kantor pemerintahan kotaku ini. Ia orangnya ramah, supel dan mudah bergaul. Tentu saja dengan begitu dia menjadi idola di sekolah. Aku yakin banyak cowok yang antri. Dengan kehidupan sempurna yang ia miliki, aku rasa tak pernah merasa kekurangan. Juga tak akan tahu bagaimana rasanya bete dan kesepian.
Aku iri? Tentu saja sebagai manusia normal aku menginginkan kehidupan seperti mereka. Siapa yang tidak mau mempunyai banyak teman, dikenali orang banyak, selalu dicari dan menjadi pusat perhatian. Kehidupan yang tak akan pernah mengenal apa itu membosankan. Belum lagi kehidupanku yang seperti dikekang. Bapak dan emak membatasi pergaulanku, diberlakukan jam malam. Rasanya hidupku berakhir begitu saja, sepanjang usia merasakan kesepian yang paling sunyi.
Selama sekolah, dari seragam biru putih sampai abu-abu aku belum pernah merasakan dicium lelaki. Jangankan itu, aku rasa belum ada lelaki yang tertarik padaku. Andai pun ada yang mendekat paling hanya meminta contekan.
"Julaiha, kamu itu fokuskan sekolah jangan ikut-ikutan punya pacar!" kata bapak saat aku menerima sebuah panggilan telepon. Beliau mengira itu pacarku, padahal dari teman lelaki yang menanyakan bahan untuk ujian tengah semester.
Ah, andai nggak dilarang sekali pun tak akan ada cowok yang mau mendekati. Aku bukan gadis berperawakan cantik yang perlu untuk disimpati, pastilah mereka malu bila memamerkan aku sebagai kekasih. Bukankah dengan memiliki pacar yang cantik dapat menaikkan rasa percaya diri. Jadi pantas kalau mereka memilih gadis berwajah anggun.
Sendiri dan sunyi, begitulah perjalanan kehidupanku. Jalan-jalan hanya sesekali, keluar kota pun demikian. Paling kalau lagi musim lebaran, berkunjung ke tempat sodara. Itu pun perginya dengan bapak dan emak. Bahkan sampai menjadi mahasiswi di sebuah universitas negeri.
Waktuku kemudian banyak kuhabiskan di perpustakaan. Membeli buku di toko-toko dan kunikmati di dalam kamar. Lewat buku itulah aku mengenal apa itu cinta, apa itu persahabatan termasuk mengenali banyak karakter orang lain. Sykurlah dengan adanya buku memberikan pengetahuan banyak padaku, mengetahui tempat yang jauh meski tak pernah kujejaki sebelumnya. Aku juga mengikuti beberapa organisasi di kampus termasuk pengajian yang rutin dilaksanakan sepekan sekali.
Temanku hanya beberapa saja, dapat dihitung dengan jari. Oleh sebab itu maka kujalani hubungan dengan mereka secara hati-hati, tak mau mereka meninggalkanku. Aku takut melukai perasaan mereka. Bila terjadi salah paham, maka akulah yang memulai untuk meminta maaf. Bagiku meminta maaf bukan masalah kita benar atau salah, dengan meminta maaf maka menempatkan kita untuk paham bahwa sedikit banyaknya dari sebuah masalah yang muncul ada peran kesalahan yang kita perbuat meski itu tanpa disadari. Hasilnya, hubungan persahabatan dengan segelintir orang itu berjalan amat baik, hampir tak pernah kami cekcok. Apalagi sampai ada istilah sikut menyikut, tusuk menusuk. Bila terjadi perbedaan pendapat akan kami selesaikan dengan kepala dingin, mengedepankan hubungan yang sudah susah payah kami jalan. Satu sama lain tak ada rasa merendahkan atau pun juga merasa paling hebat.
Cara pandang hidup inilah yang kemudian mengajarkan banyak hal padaku. Bahwasannya kita hidup bukan hanya dalam satu waktu. Ada perjalanan yang kita lewati, dan semuanya memerlukan proses. Terlebih lagi yang namanya sebuah kesiapan.
Andin, tetanggaku yang cantik jelita kini kudengar hidup di kampung dengan pria yang mengaku sebagai anak orang kaya. Menurut uwakku yang berada di kampung, Andin mempunyai tiga orang anak dengan hidup pas-pasan kalau tidak disebut miskin.
Lalu Mery si wajah boneka, di saat orang mulai mengecap keberhasilan di masa muda. Ia malah baru merintis, membuka warung makan sederhana. Ibunya terkena kasus korupsi, sedangkan bapaknya setelah keluar dari gedung wakil rakyat waktunya banyak dihabiskan ke meja judi. Mery yang selama ini hanya tahu kekayaan orang tuanya tidak mempunyai keterampilan apa pun saat mendapati kehidupan yang tak lagi memihak. Teman-temannya pun menjauhi. Semoga kabar miring yang kudengar bahwa kini dia sebagai pemuas nafsu lelaki belang adalah sebuah kekeliruan.
Aku bersyukur pada emak dan bapak yang melarangku untuk membuang waktu di masa muda yang lebih mengedepankan kesenangan lalu lupa untuk mempersiapkan diri. Dengan pendidikan dan pengetahuan yang kumiliki, aku diterima bekerja di sebuah kantor pemerintahan. Dan dari pengajian yang sering kuikuti, seorang lelaki berakhlak dan memiliki ketaatan pada Tuhan datang menyuntingku. Alhamdulillah kini kami memiliki dua orang putra.
Begitulah, benar adanya; sejatinya kita tak pernah merasa sendiri apalagi hati yang sunyi. Itu hanyalah kecemasan dari sebuah keinginan yang belum tersalurkan. Masa depan adalah tanda tanya, dan kita memerlukan pengetahuan untuk menerka. Bagi mereka yang memiliki kesiapan, pertanyaan tersebut bukanlah sebuah masalah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top