Bahri, Lelaki di Sudut Ingatan

Perlahan ingatan memudar, hingga semua kenangan ditelan oleh zaman. Ya, kita sudah mulai lupa.

Dulu sekali, duduk bersama bercerita tentang pelangi sesudah hujan. Kemudian di suatu senja, pernah bergandeng tangan menikmati matahari yang disembunyikan langit barat.

Jejak hujan dikaki kita sudah kering, terpanggang matahari. Pun dengan mimpi yang ditaburi harapan sudah dibangunkan oleh kokok ayam jantan.

Kita berdiri di sebuah persimpangan, dan membuat pemahaman tak lagi sama. Ketika niat tak lagi satu, maka benang-benang yang dulu tersimpul terpaksa diuraikan. Tak baik memang apabila memaksa temali yang rentan putus, malahan membuatnya menjadi berdosa, hanya menjadi alasan untuk menyalahkan ikatan-ikatan yang sebenarnya sudah tercerai.

***
Tidak kurang dari 30 menit yang lalu aku berteman dengannya di salah satu media sosial. Dan tulisan itu muncul di beranda, orang yang menulisnya adalah dia, lelaki yang bernama Bahri.

Kira dia sudah lupa, puluhan tahun bukanlah waktu yang singkat, bila tak sengaja membuka akun kemudian membaca statusnya mungkin ingatanku tak pernah kembali.

Bergelombang, cerita itu menyusuri ruang ingatan. Sekarang, jelas cerita kami kembali dapat kuiingat dengan baik. Bahkan senyum dan marahnya seperti terlukis di dinding.

"Pernahkah kau berpikir, kenapa pelangi itu terlihat melengkung, kenapa tidak lurus atau kotak-kotak?" Bahri menatapku, sepertinya dia paham ketika aku terpana dengan salah satu keindahan dari Tuhan itu. Saat itu hari yang spesial, hari di mana kami disatukan oleh payung-payung asmara.

Aku hanya menggeleng, menatapnya dengan manja. Meminta dia memberikan penjelasan. Dan seperti biasa, Bahri selalu saja memberikan sesuatu tanpa harus kumulai dengan kata-kata.

Menurutnya, untuk dapat melihat pelangi memerlukan syarat. Pertama aku harus duduk seperti kala itu, membelakangi sumber cahayanya. Dan kedua, agar terlihat lebih luas haruslah berada di posisi 40 derajat, inilah membuat penlangi terlihat melengkung.

Pada waktu yang berbeda. Kala sore, mengitari pasir putih yang terletak di daerah yang diberi gelar kota Amoi. Aku dan Bahri terpisah dari rombongan, harusnya saat itu aku sudah pulang. Lagi-lagi Bahri mampu memenangkanku dari kepanikan. Tangannya erat menggenggam jemari. Membimbing, pada sebongkah batu.

"Julaiha," dia memanggilku lembut, "lihatlah matahari itu, kamu pun setuju bukan, bahwa dia tidak menghilang. Dia hanya memberikan kesempatan pada kita untuk beristirahat. Kemudian muncul di belahan bumi yang lain, bisa jadi mengabarkan banyak nasehat, agar manusia di sana tak lagi melakukan kesalahan seperti di tempat ini."

Itulah terakhir kami saling bertatap. Saat kami memutuskan untuk berpisah, satu-satunya jalan untuk dapat bertemu adalah di tempat itu, ketika kegiatan tour di kampusku, dia menyempatkan waktu untuk ikut, harusnya sibuk dengan pekerjaannya sebagai mekanik.

Kata Bahri benar. Sekarang aku paham. Dan setuju dengan kata-katanya. Pelangi melengkung bukan semata-mata karena tercipta melengkung, melainkan sudut pandang dan kemampuan bola mata kitalah yang membuatnya terlihat melengkung.

Seperti ayahku yang memandang kehidupan Bahri tanpa masa depan dan penuh kegagalan dalam usaha, anggapannya atas penilaian belum tentu itu adalah kebenaran. Hakekatnya, terbatasnya pengetahuan dan sudut emosilah yang mengaburkan kesalahan dari penafsiran.

Lelaki yang kini menjadi suamiku, yang juga pilihan ayah adalah lintah penghisap. Menggerogoti, dan membuang semuanya di meja judi. Dia memang orang berada, tapi hanya di awal. Dan Bahri, dari cerita yang kudengar, mampu mendirikan banyak cabang bengkel, tersebar hingga beberapa di bumi borneo barat ini.

Bahri memang menjadi matahari di kala senja. Memberi petuah, bahwa masa depan bukanlah sesuatu yang dapat ditebak. Kegagalan masa lalu bukan pula menjadi patokan untuk tidak berhasil di masa yang akan datang.

Terima kasih Bahri, kau pernah menjadi pelangi juga matahari di kala senja dalam hidupku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top