Aku Bukan Makmum Suamiku

Kata emak saat aku lahir hujan deras dibarengi sama kilatan petir. Untung rumah kami berada di daerah yang berbukit, tidak seperti rumah uwak dan warga kampung lainnya yang terendam oleh sungai yang meluap. Beberapa kerabat dan tetangga mengungsi ke rumah, makanya ketika aku berojol banyak orang yang menjadi saksi. "Wah doamu terkabul, akhirnya kau punya anak perempuan," kata uwak pada emak.

Dari lima saudara, akulah satu-satunya yang berkelamin wanita. Aku anak keempat. Setelah menamatkan sekolah dasar, aku melanjutkan di kota kabupaten. Tinggal dengan tempat paman menumpang waktu sekolah dulu.

Memang tidak perlu membayar sewa, sebagai gantinya membantunya mengurusi rumah. Nyuci, masak dan juga menjaga anaknya yang masih balita. Pekerjaan itu kulakukan pagi hari, sebab sekolahku dimulai lepas lohor.

Aku tinggal di sana cukup lama. Saat kenaikkan kelas tiga SMA barulah pindah ke rumah bibi yang juga pindah ke kota. Ikut suaminya yang berprofesi sebagai tentara. Tidak perlulah aku mennceritakan bagaimana pahitnya tinggal di rumah orang. Yang diperkejakan persis babu, padahal usia yang terbilang masih dini. Bagaimana pun juga, aku wajib bersyukur dan berterima kasih pada beliau yang mau menampungku.

"Mak, aku pengin kuliah," pintaku pada emak sewaktu pulang ke kampung dengan membawa ijazah SMA.

"Abangmu saja belum selesai kuliahnya," jawab bapak dari serambi.

Jarakku dengan abang-abang dan Si bungsu memang sangat rapat. Maklum zaman itu belum ada KB. Adikku saja saat itu kelas dua SMA. Dan abang tertuakulah yang dikuliahkan bapak, sedangkan dua abangku yang lainnya ikut bekerja di kampung, membantu bapak membiayai abang tertua yang masih kuliah. Kedua abangku itu hanya sekolah sampai menangah pertama saja.

"Mudahan-mudahan nanti kalau ada rezeki, setelah abangmu tamat baru kau kuliah," ujar emak.

Bagiku itu hanya kata sekadar menghibur, abang saja masih memerlukan waktu sekitar dua tahun lagi baru tamat. Nah usiaku? Belum lagi otak yang pasti sudah melupakan angka logaritma atau majas-majas yang bertaburan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Kalian juga setuju, bukan? Untuk menunggu waktu yang lama begitu pasti sudah hilang niat melanjutkan, belum lagi nantinya keseharian yang sudah mengubah pola pikir. Ah, sudahlah, lupakan niat itu. Padahal cita-cita sedari kecil adalah menjadi seorang guru.

Waktuku kemudian banyak dihabiskan di kampung, mengerjakan apa yang bisa dikerjakan. Ke ladang, menoreh karet dan berbagai pekerjaan rumah lainnya. Alhasil tak ada lagi niat yang lain, kecuali cara dapat bertahan hidup.

"Aku bekerja di sebuah perusahan mie instan. Kamu kalau mau ikut bisa bekerja di sana," kata sepupuku yang waktu itu pulang liburan lebaran.

Aku iri dengannya, dapat bekerja di kota. Sekarang dia terlihat berduit, banyak membawa buah tangan. Maka menyalalah niat bekerja di kota dengan ambisi yang begitu besar, lebih lagi tubuhku yang mungil rasanya tidak kuat terus-terusan dengan pekerjaan kasar.

Maka kusampaikanlah niat itu pada emak.

"Demi Tuhan, Emak tidak rela kau bekerja di kota. Kamu itu perempuan, di kota itu berbahaya." Jawab emak dengan cucuran air mata.

Ya tuhan, pilu yang aku rasakan saat mendengarkan larangan yang menyebut kata tidak rela. Apanya yang berbahaya? Dulu sekolah di kota juga tidak apa-apa. Alasan emak, kotanya beda. Memang tempat yang aku tuju adalah kota provinsi. Kota yang padat, luas dan mungkin keras. Entahlah.

Dengan terpaksa kulupakan angan-angan untuk bekerja di kota. Kembali menjalani rutinitas yang benar-benar menguras, rata-rata anak gadis di desa kami tidak ada yang meninggalkan kampung, sekolahnya pun paling banter tamat SMA, malahan kebanyakan tidak sekolah. Takut melepaskan anak perempuannya ke kota, berbahaya untuk anak gadis kata mereka.

Pada tahun keempat setelah tamat SMA, aku dinikahkan dengan pria dari kampung sebelah. Apa itu cinta aku bahkan tidak paham, yang paling penting bagiku adalah dapat suami yang mampu memberi makan. Juga mau menyokong kehidupan ekonomi bapak dan emak. Kedua abangku sudah pergi meninggalkan kampung, mereka merantau ke kota. Andai saja aku terlahir sebagai lelaki, tentu emak tidak akan melarangku bekerja di kota.

Sedangkan abang tertua sudah tamat kuliahnya, dia tinggal di kota dengan pekerjaan sebagai guru negeri. Harapan bapak dan emak musnah, sebab abangku itu disibukan dengan istri dan anaknya. Padahal dulu niat bapak menyekolahkannya tingi-tinggi agar mampu menaikan derajat dan ekonomi keluarga. Jangankan mengirimkan emak duit, untuk keluarganya saja kepayahan, saat itu gaji pegawai negeri sangat kecil.

Bahkan saat menikah, abang-abangku tidak datang. Membantu biaya resepsi pun tak mampu. Untunglah Si bungsu masih mau tinggal di kampung, dialah yang kemudian membantu bapak menyiapkan acara resepsi yang digelar di rumah.

"Tanamlah karet di tanah bapak itu, Bang!" saranku pada suami, "kan banyak pohonnya yang sudah pada tua."

Ujian apa lagi ini mendapat suami yang tak pandai hidup! Ya aku sebut saja begitu. Coba kalian bayangkan, dia itu kalau tidak disuruh tidak akan bertindak, tak kreatif. Gagang parang yang rusak kalau tidak disuruh perbaiki dibiarkan begitu saja. Suami-suami orang lain banyak punya lahan baru dengan membuka hutan-hutan yang masih perawan. Berladang, menanam lada dan sebagainya. Sedangkan dia hanya menoreh dikebun karet bapak. Buta kali matanya tidak melihat bapakku yang sudah beruban masih mau membuka lahan baru meski itu dibantu oleh Si bungsu. Lengkaplah sudah penderitaanku.

"Suamimu itu suruhlah buat rumah, tidakkah dia malu tinggal di rumah bapak yang sudah reot ini. Kalau tidak, cobalah bantu Si bungsu mencari bahan-bahan untuk memperbaiki rumah ini," keluh bapak padaku.

Lelaki itu adalah pilihan mereka, nah sekarang kenapa mesti aku yang bertanggung jawab? Rasanya habis sudah kesabaran. Namun melihat wajah emak yang memelas, tak tega rasanya untuk berkata kasar atau mengungkit hal itu. Yang dapat kulakukan hanyalah terus menerus mengoceh pada suami. Mungkin besar dosaku yang mengambil alih posisinya, sebab akulah yang banyak memberi perintah, tapi mau bagaimana lagi. Tidak begitu dia tak bergerak, belum lagi mendengar sindiran, panas rasanya telinga.

Andai kalian berada di posisiku, mungkin merasakan hal yang sama. Waktunya banyak dihabiskan memancing daripada bekerja, belum lagi sebagian penghasilannya dibelikan untuk rokoknya, aku tidak masalah asal urusan rumah beres. Lihat suami orang lain, pulang dari menoreh tidak langsung tidur, paling melepas penat sebentar, setelah itu kembali bekerja. Aku tidak meminta lebih, apalagi menginginkan banyak perhiasan. Hanya ingin dia bekerja sebagaimana orang kampung. Sedangkan ini apa coba, untuk keperluan dapur saja aku yang memenuhi. Luar biasa bukan?

Adikku saja yang baru menikah dua tahun sudah mampu membuat rumah sendiri, sedangkan kami masih menumpang di rumah bapak dan emak. Malu, dan rasanya mau kusimpan saja muka ini ke bilik. Enggan untuk keluar.

Hal itu berlanjut hingga anak kedua kami lahir. Lantaran habis rasanya liurku menyuruhnya, akulah yang kemudian bekerja pontang panting. Sambil mengurusi anak-anak yang juga kadang kutitipkan dengan emak dan bapak yang semakin hari semakin menua. Tak mampu lagi bekerja. Otomatis akulah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Apapun pekerjaan orang kampung kuikuti. Masuk persatuan kampung yang saat itu bernama IDT. Mengurusi sapi pembagian. Turut menambang intan, emas dan juga membuka lahan baru dengan dibantu persatuan kampung tersebut. Dengan sisa waktu yang ada, aku sempatkan mengolah lahan kosong kami dengan menanam kopi, koko, lada dan sayur mayur. Setelah bertahun tahun, mungkin karena rasa malu, barulah suamiku itu ikut bekerja keras. Namun tetap saja dia memerlukan pengarahan dariku.

Dari pekerjaan itu uangnya aku tabung, memperbaiki rumah. Menyekolahkan kedua anakku. Dan yang paling kutekadkan adalah menyekolahkan Si Sulung yang kebetulan perempuan, hinga ke perguruan tinggi. Meski dia wanita, tidak boleh kalah dengan anak lelaki. Maka kutanamkan cara berpikir yang mandiri padanya.

"Mak, tiga bulan lagi aku wisuda," kata anak pertamaku itu.

Bangga rasanya mendengar kabar tersebut. Bahagia itu bertambah sewaktu menghadiri wisudanya, dia lulus dengan cum loude dan mendapat beasiswa melanjutkan ke pulau Jawa. Lebih lagi, dialah satu-satunya gadis di kampungku yang menyandang gelar sarjana. Silakan bila kalian menganggap aku sombong, aku hanya bangga dengan anak gadisku.

Sekarang di hari tuaku ini, semejak lima tahun lalu aku menjadi guru bantu di sekolah dasar di kampung kami yang kekurangan guru. Untuk ilmu mengajar, anak gadsiku itulah yang mengirimkan buku. Memang benar adanya buku itu adalah jendela dunia, sumbernya ilmu. Aku banyak belajar dari buku-buku itu. Meski honor dengan gaji minim, aku senang karena inilah dulu cita-citaku. Aku tidak perlu khawatir dengan biaya sekolah anak keduaku. Sebab kakaknya yang kini sudah bekerja mengambil alih dan menyatakan siap bertanggung jawab terhadap adiknya.

"Bu, aku mau menjadi Insinyur seperti anak Ibu," kata seorang anak perempuan yang juga anak didikku ketika kutanyakan cita-citanya.

Memang semenjak anak gadisku berhasil menjadi sarjana, banyak orang kampung yang menyekolahkan anak perempuannya di kota, membiarkan anak gadisnya bekerja di sana.

Waktu terus bergerak, banyak memang yang berubah di kampungku. Tidak seperti dulu kalau mau ke kota harus menggunakan perahu atau berjalan kaki dengan memakan waktu berhari-berhari. Meski jalannya belum berlapiskan aspal, tapi kini mobil pengangkut dapat masuk. Bahkan untuk membeli terasi di warung, orang kampung lebih menggunakan sepeda motor daripada jalan kaki, padahal jaraknya hanya beberapa meter.

Hanya satu yang tidak berubah, seperti sekarang. Saat hujan turun deras disertai guntur dan kilat. Di sini, di atas bukit ini, orang berduyun-duyun mengungsi ke rumah kami. Dan aku tersenyum mengawasi air sungai yang meluap. Aku tidak perlu khawatir, air itu tidak akan sampai di sini.

*Tulisan ini saya dedikasikan untuk perempuan-perempuan yang berada di tempat terpencil. Mereka yang memperjuangkan cita-citanya, berusaha membuka setinggi-tinggi peluang untuk terus maju. Dan paling spesial, teruntuk emak dan kakak perempuan saya. Kalian adalah wanita-wanita hebat.

Selamat Hari Perempuan Internasional.
Bandung, 8 Maret 2016.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top