Pasca Gerilya


Masa Perang Dunia II di Eropa telah pecah. Diperkirikan pun Nippon telah mendekati daratan Cina yang akan menuju Hindia Belanda. Belanda sebagai penguasa daratan di wilayah nusantara ini pun menggerakan beberapa pasukan militer pribumi. Hal ini membuat kolonial belanda mulai mengajari militer pribumi untuk menghadapi serangan udara. Belanda pun mengajari pribumi untuk hal ini. Aku, orang yang disegani masyarakat saat ini pun dipilih menjadi ketua untuk hal ini dan diperintahkan untuk memimpin pasukan ini di kawasan Cilacap. Disini aku di perintahkan untuk menangani hal apapun tentang serangan udara yang di takutkan dijatuhkan oleh Nippon ke daratan Hindia Belanda.

Dengan latar belakangku sejak usia remaja, ketika masa menengah di bangku pendidikan aku pun sering mengikuti beberapa ke organisasian di sekolah Wirotoma, sekolah pada tahun ke delapanku. Sejak dini aku pun di besarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan. Kebanyakan pada waktu itu guruku di sekolah Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang bertentangan dengan pihak kolonial yang berkuasa diatas bangsa ini. Aku membantu sekolah Wirotoma pada saat itu mendirikan suatu organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah, yaitu Hizbul Wathan. Setelah lulus pun masih ikut berantisipasi dengan menjadi ketuanya di cabang Cilacap. Disini juga di perlukan penekanan agama. Sebagai ketua Hizbul Wathan di kawasan Cilacap aku pun mengajari tarikh islam dan bagi anggota yang sudah tua adalah disiplin militer

****

9 Maret 1942.. Pihak kolonial Belanda yang telah berkali-kali bersama tentara KNIL (Koninklijk Nederlands-Indische Leger) memenangkan pertempuran melawan Nippon. Pada akhirnya Nippon berhasil menduduki daratan Hindia Belanda. Perpindahan tangan kekuasaan dari Belanda ke tangan Jepang pun sudah terdengar di beberapa penjuru Nusantara. Semula, Jepang memberikan janji-janji manis kepada tanah air ini. Indonesia pun menerimanya karena tanah ini akan di merdeka kan.

Waktu berlalu pun ternyata Jepang memiliki tujuan yang sama seperti Belanda ke tanah ini. Di masa Jepang memenduduki Nusantara, masyarakat pribumi lebih merasakan sakit yang lebih. Jepang disini ingin mengambil rempah-rempah yang melimpah di Nusantara.

Awal tahun 1944, ku diperintah untuk bergabung di PETA. Jepang sendiri mendirikan PETA pada Oktober 1943 untuk membantu menghalau invasi Sekutu dan berfokus dalam merekrut para pemuda yang belum "terkontaminasi" oleh pemerintah Belanda. Sempat ragu-ragu untuk ikut bergabung di PETA, karena luka di lutut yang aku alami semasa remaja. Akhirnya aku pun setuju bergabung di organisasi itu. Dengan hubunganku dengan masyarakat aku ditunjuk langsung untuk menjadi Daidanco dan dilatih bersama rekan-rekan yang sama pangkatnya seperti aku. Jabatan diriku sebagai komandan PETA berlalu tanpa banyak peristiwa hingga tanggal 21 April 1945, ketika tentara PETA di bawah komando Kusaeri mulai melancarkan pemberontakan terhadap Jepang. Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan tersebut, aku setuju untuk melakukannya dengan syarat agar pemberontak PETA tidak dibunuh, dan lokasi persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh komandan Jepang, dan aku beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak. Meskipun anak buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui pengeras suara mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak pun mundur.Kusaeri menyerah pada tanggal 25 April. Peristiwa ini meningkatkan dukungan terhadap diriku di kalangan tentara Jepang, meskipun beberapa perwira tinggi Jepang menyatakan keprihatinannya atas dukungan Soedirman bagi kemerdekaan Indonesia. aku dan anak buahku kemudian dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan akan dilatih. Sesampainya disana sebenarnya aku dan anak buahku dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira PETA akan dibunuh.

17 Agustus 1945, bendera sang saka merah putih di kibarkan di iringi oleh proklamasi kemerdekaan Bung Karno. Dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini Indonesia telah merdeka bebas dari para penjajah. Proklamasi pun telah terdengar ke penjuru tanah Indonesia, banyak penduduk yang berseru karena telah terbebas dari penjajahan.

Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit, dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada sejak zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara PETA dan Heihō. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk menampung mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP. Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. BKR ini berfungsi sebagai organisasi kepolisian, terutama karena pemimpin politik saat itu yang berniat memanfaatkan diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan internasional terhadap negara baru, dan juga untuk memungkinan tentara Jepang melihatnya sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih ada di nusantara.

Aku dan beberapa rekanku sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa batalion di sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura, dan Residen Banyumas, Iwashige, aku dan Iskak Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini kemudian digunakan oleh unit BKR pasukan ku, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion lain.

Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, aky terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip mengumpulkan 21 suara, sedangkan diriku unggul dengan 22 suara; para komandan divisi Sumatera semuanya memilih aku. Aku, yang saat itu berusia 29 tahun, terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas TKR. Walaupun begitu aku tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staff. Sesuai dengan jabatan barunya, aku dipromosikan menjadi Jenderal. Setelah pertemuan, aku kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan pemerintah dan mulai mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara Sekutu.

****

Minggu pagi, pukul 06.00 WIB, 19 Desember 1948, kota Yogyakarta begitu lengang. Jalanan Sepi dari lalu-lalang kendaraan. Para pejabat pemerintahan dan polisi tentara banyak yang sedang libur.

Aku hanya terbaring lemah di kamar rumah dinas di Jalan Bintaran Timur 8. Istriku yang setia di samping diriku, ditemani sejumlah pengawal dan seorang dokter pribadi, Mayor Suwondo. Terdengar di tengah kota sangat berisik dentuman ledakan dari udara. Itu semua dianggap biasa karena saat ini sedang ada latihan berperang TKR di lapangan Maguwo.

Terdengar langkah kaki datang menghampiriku, Komandan Kompi I Kapten Cokropranolo alias Nolly. Membawa sepucuk surat kabar yang tak mengenakan, aku masih lemah terbaring di kasur atas penyakitku. Surat kabar itu akan adanya Agresi Militer Belanda ke Indonesia. Pasukan Belanda sedang bergerak dari lapangan udara Maguwo menuju pusat kota Yogyakarta. Pasukan itu dibelah menjadi dua. Pasukan pertama ditugasi menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M Hatta. Pasukan kedua bertugas menangkap Jenderal Soedirman hidup atau mati.

Langit kota saat ini memerah, pesawat milik Belanda mondar-mandir di langit Yogyakarta. Sebuah pabrik peniti di Lempuyangan yang dikira markas tentara hancur karena bom.Masyarakat sekitar dataran ini sibuk melarikan diri menyelamatkan diri sendiri, sanak keluarga mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Dengan keadaan genting seperti ini aku tak bisa terus berbaring diatas kasur seperti ini.

Amarahku tak tertahan, meledak. Belanda telah mengkhianati perjanjian genjatan senjata. Tubuhku yang tak berdaya seperti mendapat kiriman energi. Aku seketika bangkit dan memaksa berdiri. istriku menahan tubuh yang berjalan sempoyongan kini. Belanda jadi sasaran sumpah serapah dalam perbincangan disaat ini.

Aku bangkit berdiri dengan dipegengi istriku, dokter Suwondo telah memberitahuku tenang. Namun aku tak mempedulikan itu semua karena diri ini telah bersumpah akan membela negara sampai titik darah penghabisan.

Urusan bela negara adalah hal yang sangat penting bagi diriku. Aku telah mengambil jabatan ini dan hak diriku adalah menjaga kedamaian negara ini. Aku telah bersumpah kepada negri ini saat pelantikan sebagai panglima besar. Sumpah itu ku tulis sendiri dan ku baca sendiri. Bung Karno dan beberapa deret rekan-rekanku mengkhidmati pembacaan sumpah yang sangat sakral bagiku.

Selama nyawa masih ada, walaupun sakit tidak tertahankan urusan bela negara ini sangat penting. Mencakup semua rakyat NKRI dalam bahaya dalam kehidupannya. Walaupun demikian aku enggan untuk gegabah. Menunggu perintah dari atasan terlebih dahulu sebagai ketaatan pada atasan.

Aku memerintahkan bawahanku, Ajudan 1 Soepardjo Rustam alias Pardjo untuk menghadap Pak Karno, untuk melaporkan kegentingan di kawasan negri ini. Jarak antara rumahku dengan istana presiden hanya 1 km, namun dengan keadaan genting seperti ini jarak sedekat ini menjadi taruhan dengan nyawa jika salah melangkah sedikit saja. Kesabaranku hampir habis, dengan keadaan seperti ini Pardjo sangat lama kembali ke rumahku ini. Ku menyuruh Noly, pengawalku untuk segera menyalakan mobil hitam buatan negri kolonial. Ku harus segera ke istana presiden untuk mengambil keputusan bahwa ini adalah perang.

Kedatanganku di istana presiden membuat kaget bagi para penjaga istana. Ku tahu Noly sedari tadi berhubungan dengan Profesor Asikin dan amarahku meluap sedari tadi, karena ku anggap salah memilihnya yang telah mengantarkanku kemari.

Diluar pesawat tempur Belanda semakin membabi buta, ku yang sedari tadi masih di luar keistanaan presiden yang masih belum bisa masuk ke dalamnya, memutuskan bahwa Noly segera pulang.

"Bawalah keluargaku ke tempat pengungsiandan bakar habis berkas-berkas. Jangan tinggalkan jejak bagi Belanda," kataku.

-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top