Lady Bluebeard
Indiana, 28 April 1908
Salah seorang Sheriff menatapi reruntuhan bekas kebakaran yang diinjaknya teliti. Hanya sebuah rumah yang sudah hangus oleh api, di tengah-tengah peternakan babi. Meninggalkan puing-puing kecil, menantang siapa pun untuk mencari bukti di setumpuk reruntuhan.
Lantai berderit sedikit nyaring saat sang Sheriff menggerakkan kakinya. Menyibak diri di antara debu-debu bekas kebakaran. Memasuki kamar demi kamar, meneliti tiap ruangan yang ditemukan.
Sudah beberapa kali dia mengecek ruangan yang sama, namun tidak banyak yang bisa ditemukan. Sampai sebuah seruan dari kandang babi menarik perhatiannya.
"Benar-benar kisah cinta yang membara, eh?" komentar seorang relawan yang masih memegang sekop begitu sang Sheriff sampai di kandang babi.
Kira-kira, ada berapa banyak lagi yang bisa ditemukan di balik ladang kotoran seluas ini? Tempat para babi menikmati makanannya.
****
Chicago, 1887
"Kita pakai uang ini untuk membeli rumah baru." Mads menatapi Belle yang tengah mematut diri di depan cermin. Merapikan rambut-rambut panjang dengan sanggulan sederhana. Memperlihatkan leher putih yang cukup berisi. "Dan memulai usaha baru di sana."
Tak banyak berkomentar, Belle hanya mengangguk patuh. Baginya, tak masalah tinggal di mana pun selama sang suami tetap di sisinya. Keputusan untuk bermigrasi dari Norwegia saja membutuhkan andil besar bagi Belle. Dan bertemu dengan Mads memberi sedikit angin segar untuk lika-liku tajamnya.
Rasanya, tidak cukup guncangan yang diterima Belle. Bisnis permen yang setahun belakangan dia dan Mads geluti tidak berjalan lancar. Dan semakin naas saat beberapa waktu lalu menemukan toko tersebut habis terbakar. Benar-benar tidak menyisakan apa pun untuk diselamatkan. Beruntung, dia dan Mads sempat mendaftakan asuransi untuk usaha tersebut.
Dan di sinilah uang itu sekarang. Digunakan untuk membeli rumah baru. Memulai semuanya dari awal.
Tak banyak yang berubah dari kehidupan mereka. Semua berjalan tanpa kendala berarti. Belle, walaupun tak banyak berbicara, tetap melakukan tugas-tugasnya sebagai istri sebagaimana mestinya.
****
Satu tahun telah berlalu. Sepertinya, keluarga kecil Mads tidak pernah mendapati kebahagiaan sedemikian rupa sampai suara malaikat mungil ikut meramaikan suasana rumah sederhana mereka.
"Lucy," tandas Mads, final.
Mereka—Mads dan Belle—hampir satu jam penuh memperdebatkan nama yang dirasa pantas diberikan untuk anak pertama mereka. Keduanya memiliki pendapat yang berbeda dan saling memaksa untuk memakai nama dari masing-masing.
Akhirnya, Belle memberi anggukan kecil. Menyerah pada kekeraskepalaan suaminya. "Baiklah. Lucy," jawabnya, dengan suara halus, khas milik seorang ibu.
Mads tersenyum puas. "Selamat datang, Lucy," seru Mads, merasa tidak perlu menyembunyikan kebahagiaannya. "Berjanjilah untuk menjadi malaikat kecil yang manis."
Berkali-kali pria itu mengecupi tubuh merah anak pertamanya yang masih digendongan Belle. Juga mendaratkan kecupan lama di dahi untuk sang istri. Terharu, sekaligus bangga pada wanita itu. "Terima kasih," lugas Mads, tulus.
Belle mengangguk, mengusap rambut suaminya dalam diam. Tidak bisa berkata-kata melihat reaksi suka cita dari Mads.
"Omong-omong, kau mau anak berapa, Belle?" tanya Mads tiba-tiba. Menatapi istrinya yang biasanya selalu menata rambut dalam sanggulan, namun kali ini dibiarkan tergerai. Menyebalkan sekali, pikir Mads. Istrinya itu tidak pernah terlihat jelek sekali pun. Selalu anggun dengan tatapan tajamnya.
"Hmmm," Belle tampak berpikir cukup lama, "kau?"
Mads terkekeh. Sepertinya, suasana hati pria itu benar-benar baik hari ini. "Terus saja jawab pertanyaanku dengan pertanyaan."
"Aku hanya ingin tahu." Belle membela diri.
"Baiklah-baiklah." Pria itu ikut mendudukkan diri di ranjang, tepat di sebelah istrinya. Telunjuknya memainkan jari-jari mungil putri kecilnya. "Kita bisa mencoba sebanyak mungkin, sampai salah satu dari kita tidak sanggup."
Belle mendengus, setengah geli. "Terserah kau saja, Mads."
****
Belum ada setengah tahun putri kedua Mads dan Belle lahir. Namun, sepertinya Tuhan ingin bermain-main dengan kehidupan mereka.
Terhitung sudah hampir tujuh kali Belle mengganti pakaian Caroline—anak keduanya—sejak dua jam terakhir, karena putri kecilnya itu terus menerus buang air besar. Badan Caroline juga mulai demam semenjak dua hari lalu. Dan hari ini, entah kenapa gejala sakit Caroline kian parah. Tubuh mungilnya sudah memucat. Setiap terjaga, hanya dihabiskan untuk menangis.
Belle dengan telaten menimang putrinya. Sedikit beruntung karena Lucy tidak rewel di saat bersamaan.
Tepat saat Mads datang, Caroline terbangun dan kembali menangis histeris. Berbagai cara sudah dilakukan Belle untuk menenangkan putrinya, namun tangis bayi mungil itu tak kunjung reda.
"Mads, tolong pegangi Caroline," pinta Belle, mendekati suaminya yang duduk di ruang tamu, "biar kupanggilkan dokter."
Begitu Caroline berpindah tangan, Belle buru-buru mengirim telegram untuk dokter keluarganya. Perasaannya makin kalut menunggu balasan dari dokter tersebut.
Sembari menunggu sang dokter datang, Belle menyiapkan susu untuk Caroline. Semenjak sakit, anak perempuannya itu enggan meminum susunya. Jadilah, Belle sengaja memberikan obat bubuk di susu Caroline dengan harapan dapat membantu kondisi putrinya itu.
Hampir satu jam lamanya Belle dan Mads menunggu, akhirnya dokter keluarga mereka datang. Namun, kegusaran orang tua Caroline semakin menjadi saat menatapi Caroline yang semakin lemas. Tangis yang sebelumnya terdengar nyaring kian melemah, diiringi napas yang kian sesak.
Dan semua terjadi begitu saja. Belle dan Mads terlambat memberi kabar pada dokter mereka.
"Saya sudah mengusahakan yang terbaik." Sang dokter mendesah sedih, sebelum akhirnya pamit undur diri.
Guncangan hebat menghantam keluarga kecil itu. Melihat Caroline terbujur kaku, tidak lagi mendengar suara tangisan. Lebih-lebih untuk Mads. Pukulan telak yang dalam sekejap meruntuhkan pijakannya.
"Kolitis?" Mads mendesah, mengulang kembali perkataan dokternya saat memeriksa tubuh lemah Caroline. Bagaimana mungkin anak sekecil itu bisa menderita radang usus? Namun, pria itu tak bisa melakukan banyak. Hanya, segera memakamkan bayi mungilnya.
Setelah segala prosesi pemakaman selesai beberapa hari kemudian, Belle duduk di sebelah suaminya di beranda rumah.
"Aku akan pergi," ucapnya, memulai percakapan. "Mencairkan asuransi, untuk membiayai Lucy. Aku tidak mau kita kehilangan Lucy, seperti Caroline."
Mads hanya mengangguk, sudah kehabisan tenaga untuk menjawab. Emosinya sudah terkuras habis semenjak kepergian anak bungsunya.
****
"Gunness ... Gunness!" Belle yang tengah menjemur pakaian di pekarangan belakang segera berlari ke depan rumah. Tempat seorang tetangga menyerukan namanya.
Alangkah terkejutnya Belle saat menyadari suaminya tergeletak di depan pintu rumah dengan napas tersengal-sengal.
"Ya Tuhan, Mads!" serunya, membawa kepala Mads ke pangkuannya.
Dibantu beberapa tetangga lainnya, Belle membaringkan tubuh lemah suaminya di kasur kamar. Setelah tetangga-tetangganya undur diri, Belle segera memberikan obat untuk Mads.
Suaminya memang mempunyai riwayat gagal jantung. Begitulah yang dikatakan dokter keluarganya beberapa tahun lalu. Dan saat kondisi Mads memburuk, dokter berpesan untuk segera meminumkan obat yang sudah diresepkan.
Bersama beberapa roti dan sup jagung, Belle memasukkan satu dosis obat bubuk untuk Mads. Menyuapinya dengan telaten. Berharap kondisi suaminya lekas membaik.
"Oh, Mads. Kenapa kau harus kambuh di saat seperti ini?"
Keluarga kecil mereka sudah sering mengalami kehilangan. Setelah Caroline, Belle dan Mads memiliki dua anak lagi. Myrtle dan Axel. Namun malang, Axel harus pergi, dengan cara yang sama seperti Caroline.
Tidakkah cukup kehilangan yang menimpa mereka selama ini? Nasib baik karena Belle mendaftarkan asuransi untuk tiap anaknya. Dari uang asurasi tersebut, mereka gunakan untuk menyokong kehidupan anak-anak mereka.
Belle menyelimuti Mads yang sudah terlelap. Tiap kali kambuh, Mads selalu enggan menelan makanannya. Membuat Belle harus memikirkan seribu satu cara untuk membujuk Mads makan, agar obat yang sudah disiapkan bisa terminum.
"Jaga kondisimu, Mads. Setidaknya kau bisa membantuku."
Belle membiarkan makanan bekas Mads berserakan di meja. Biar nanti saja dia bereskan.
Akan tetapi, kondisi Mads tak kunjung membaik. Wajah serta leher Mads mendadak menegang. Otot-otot tubuh Mads juga perlahan menegang, membuntuk garis-garis memanjang di sekujur tubuh. Tampak begitu kesakitan.
Belle rela menunggui Mads seharian. Tidak ingin melangkahkan kaki dari kamar mereka.
Namun, sekali lagi, Tuhan sudah menentukan skenario-Nya. Mads mengembuskan napas terakhir tak lama setelah ditemukan tergeletak di depan pintu. Dan perasaan familier itu kembali melingkupi keluarga Belle.
Segera dilangsungkan acara pemakaman untuk suaminya. Belle tidak ingin terlalu lama berlarut dalam duka. Masih ada dua anak yang harus dia urus.
Sehari setelah pemakaman, Belle segera mencairkan asuransi milik suaminya.
Bagi Belle, rumah yang dia tinggali bersama Mads sebelumnya terlalu banyak meninggalkan duka. Dia ingin mengajak Lucy dan Myrtle mencari suasana baru. Dan dengan uang asuransi suaminya, Belle membeli sebuah peternakan dan rumah yang cukup besar di pinggiran La Porte, Indiana.
Kembali memulai kehidupan baru di sana.
****
Belle hanya menginginkan seorang pendamping, untuk membantunya merawat Lucy dan Myrtle. Karena itulah, beberapa waktu lalu, wanita itu memasang iklan di surat kabar harian Chicago. Karena ingin mencari pendamping yang benar-benar cocok untuk keluarganya, Belle hanya menerima pelamar yang langsung datang ke rumahnya.
Dengan embel-embel janda cantik pemilik peternakan babi yang luas, tentu saja berhasil menarik minat pria-pria lajang di luaran sana. Dan terbukti, cukup banyak pria yang serius ingin memperistri Belle.
Namun, lagi-lagi kemalangan tak mengizinkan sedikit kebahagiaan untuk janda dua anak tersebut. Tiap kali ada pria yang datang melamarnya, pria-pria itu akan menghilang tanpa kabar, tak lama setelah itu. Seperti mengolok kesendirian Belle.
Sampai akhirnya, tiba pada puncak kesedihannya. Bukannya mendapat suami, layaknya yang Belle harapkan, rumah wanita itu malah terbakar habis, tak bersisa.
Dan tragis. Tak lama setelah api padam, Belle ditemukan dengan tubuh kaku tanpa kepala di kamarnya.
Sheriff dan beberapa relawan lainnya sudah berusaha mencari di mana kepala Belle berada, namun tak kunjung ditemukan. Justru ....
"Membara," ulang sang Sheriff, menatapi susunan kerangka yang beberapa waktu lalu ditemukan di balik tumpukan kotoran. "Cari secara menyeluruh di tempat ini. Pastikan tidak meninggalkan satu titik pun."
Pencarian di lanjutkan, di khususkan di kandang tersebut.
****
Norwegia, 1877
Belle memegangi perutnya, merintih tertahan. Darah mulai merembes dari balik gaunnya, kontras dengan kain kuning pucat tersebut. Menutupi jejak bekas sepatu yang menempel di gaunnya dengan merah pekat. Otot-otot wajah perempuan 18 tahun tersebut menegang, tidak kuasa menahan perih melilit di dalam perutnya.
Sementara di sisi lain, seorang pria dengan setelan jas hitam hanya menatapinya dengan senyum miring. Menunjukkan wajah puas melihat kulit Belle yang kian pias.
Rasanya, Belle ingin mencabut nyawanya sendiri saat ini, tidak tahan lagi dengan sakit yang seperti menyebar ke seluruh tubuhnya. Tepat di detik pria itu meninggalkan tempatnya tanpa rasa bersalah, Belle kehilangan kesadaran.
Dia bersumpah akan menuntut pria itu, bagaimana pun caranya.
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top