Darah dan Salju
"Menjadi seorang pelayan istana, berarti kau harus selalu siap memenuhi kebutuhan Tuanmu," jelas Anna. Pada beberapa gadis yang berdiri kikuk di depannya sekarang. Gadis-gadis itu nampak antusias, namun juga gugup di saat bersamaan.
Sempat Anna berpaling pada satu keluguan di gadis kelima. Ia cantik, tetapi sangat pemalu dan benar-benar paling pendiam di antara gadis lain. Andai saja ia tahu kemana akhir hidupnya setelah melewati gerbang kastil Sárvár, mungkin ia tidak akan merona merah dan menyembunyikan senyum dalam-dalam.
Rona merah yang menyelubungi putih pucat pipinya.
Seperti darah yang tumpah di atas salju.
****
Awal karir Anna sebagai pelayan dimulai ketika seorang perwakilan keluarga Báthory mengumumkan sedang mencari gadis-gadis muda. Sebagai anak terakhir dari lima bersaudara, Anna tidak punya lahan, kedai dan peternakan untuk diurus. Keempat kakak laki-lakinya semua sudah mengambilnya. Terlebih setelah kedua orang tua mereka meninggal, hidup Anna jadi terombang-ambing dan hanya bisa makan dari uluran tangan kakak-kakak mereka—kadang ia harus ikut meladang demi tidak malu menjadi parasit lajang.
Karenanya, tidak Anna sia-siakan kesempatan tersebut.
Tepat di awal musim dingin, Anna resmi menjadi salah satu pelayan di kastil Ecsed. Sungguh, kastil itu sangat indah. Menjulang tinggi di tepi sebuah danau yang luas. Yang kini beku dan nampak kuat untuk dipijaki dalam musim dingin mengerikan yang datang setiap tahun.
Hari-hari awal di kastil, Anna diminta membuat sulaman di atas tirai tebal yang menutupi jendela. Hari lainnya, Anna menyikat dan membersihkan lantai batu sebagian. Lembab dan dingin, itulah kesan awalnya ketika memasuki gerbang istana yang suram dan tajam.
Keluarga Báthory terkenal karena kekayaan mereka, belum lagi garis keturunannya yang menelurkan pejabat-pejabat tinggi dan raja. Jelas, menjadi bagian dalam keluarga ini berarti satu kemakmuran untuk masa depan. Meski nyatanya, hidup Anna masih begitu-begitu saja dalam istana. Tidur, makan, berkerja.
Segera, setelah sulaman di atas tirai jendela jadi. Anna ditugaskan untuk menyikat batu kembali sebelum dilapisi karpet tebal. Membantu memenuhi kebutuhan keluarga bangsawan. Kadang ia penasaran, dalam bangunan besar ini, kemana gerangan keluarga inti Báthory? Karena jujur saja, hanya Countess yang dilihatnya mondar-mandir dari dalam kamar ke kereta kuda—pergi menjelajah entah kemana, lalu pulang membawa barang-barang mewah.
Count sendiri yang semua orang tahu sibuk membantu adik iparnya—seorang raja di ibu kota. Dan putri mereka, tak pernah nampak meski berlusin-lusin gaun selalu datang tiap minggu dari luar.
"Putri Countess sangat cantik. Ia hanya sedikit lebih tua darimu." Seorang pelayan membisiki Anna saat keduanya tengah sibuk menyikat seprai dan merendam cucian.
"Siapa namanya?"
"Erzsebét."
****
Hari itu, masih dalam musim dingin yang putih, Anna diminta membawakan ember ke tempat penjagalan di halaman belakang istana. Tepat di balik kebun sayur dan anggur yang tengah kering dan tertutup salju. Setelah menerjang beberapa lapisan dingin yang beku, Anna menyeret kaki dan gaunnya susah payah ke tempat seekor rusa digantung terbalik di dahan sebuah pohon. Di sana, ada dua orang pria dan seorang gadis muda bermantel abu-abu.
Keberadaan seorang gadis berkepang rapi dan berkulit putih halus itu sontak menjadi keganjilan dalam pandangan Anna. Ia memang sering melihat gadis berkepang dengan sehelai sapu tangan di atas kepala. Tetapi, rupa mereka kucel dan penuh daki. Tidak seperti perempuan di depannya, yang indah dan serupa boneka porselen.
"Permisi." Anna menyela dengan ember besinya. Kedua pria itu segera berpaling dan terkejut mendapati gadis bermantel abu-abu di belakang mereka.
"Ya Tuhan, kupikir anda hantu Nona. Maaf tidak mengindahkan keberadaanmu."
Nona? Pikiran Anna semakin berputar-putar.
"Tidak apa-apa, lanjutkan saja pekerjaan kalian." Suara gadis itu begitu lembut, namun dingin dan kering. Seolah tak ada perasaan apa-apa. Seperti mengutip langsung dari buku tata krama dalam pelajaran hariannya.
Kedua pria itu lanjut berkerja. Menyembelih rusa yang sudah pasrah. Hewan itu meronta saat golok mengiris tenggorokannya cepat. Seketika, hujan darah membanjiri padang salju dan semak-semak di dekatnya. Memberikan warna merah yang kontras, pada putih dan dingin di sekellilingnya.
Merah yang entah kenapa begitu menyita perhatian sang Nona sedemikian rupa.
"Indah bukan?"
Anna melongo. Ia merasa tidak punya status untuk membalas pertanyaan tanpa arah sang putri. Ditekuknya leher dalam-dalam, ia harus selalu merunduk di depan keluarga bangsawan.
Genangan darah itu terus mengucur. Merembesi salju dan mekar di atas tanah seperti bunga di musim semi. Mau tidak mau Anna pun ikut menyakini bahwa pemandangan tersebut indah dan mengerikan di saat bersamaan.
****
Sampai setahun kemudian, gadis yang ditemuinya di belakang halaman kastil menikah. Ia sudah tahu bahwa gadis itu bukan sembarang gadis, tetapi mengenai kenyataan bahwa ia putri sang Count itu sendiri? Anna tidak mengerti kenapa seorang putri bangsawan besar begitu perhatian pada satu penjegalan harian.
"Ia masih muda." Bisik-bisik pelayan membanjiri dapur.
"Calon suaminya sepuluh tahun lebih tua."
"Tetapi ia tidak akan menyandang marga Nádasdy."
Lantas, upacara pemberkatan keduanya dilakukan di dalam kapel kastil. Dibanjiri puluhan bangsawan dan ribuan tamu dengan gaun beraneka rupa dan warna. Di sanalah Erzsebét berdiri di atas altar. Memakai gaun putih cantik yang mengembang sempurna. Rambutnya terurai, dan rona merah pipinya menyempurnakan keindahan pada wajah yang mulus dan terpahat rapi tersebut.
Kemudian, keduanya pindah ke Sárvár. Mengikuti suami dan hijrah ke kastil keluarga barunya tersebut. Beberapa pelayan dibawa, termasuk Anna, hal yang tak pernah ia sangka-sangka. Karena ia termasuk pelayan baru, dan ia merasa tidak memiliki kedekatan khusus dengan sang putri Count.
****
Erszebét, kini nama itu terus terngiang dalam diri Anna. Tahun-tahun berlalu, dan kastil yang ia tempati tak pernah lepas dari suasana suram dan muram. Ia kira hal tersebut wajar, mengingat sepanjangan hari keluarga bangsawan hanya melakukan aktivitas-aktivitas biasa—minum teh, berburu, membaca buku, berdoa di gereja, dan melakukan jamuan khusus juga pesta di waktu tertentu. Kastil jarang ramai, sedangkan para pelayan selalu nampak sibuk dan baru bicara ketika pengawas tidak memperhatikan punggung mereka.
Namun semakin lama, ia tahu kemuraman tersebut berasal dari kamar sang Nona sendiri. Hal itu dirasakannya ketika suatu hari, pelayan khusus Erszebét sakit, dan ia merekomendasikan Anna untuk ganti memandikan sang putri. Awalnya Anna bergidik, ia hari-hari mengurusi dapur dan pekerjaan kasar lainnya. Dan memandikan seorang gadis bukan agenda yang pernah dibayangkannya sebelumnya.
Selagi menelan ketakutan, Anna masuk ke dalam pintu berdaun ganda dan menjejakkan diri pada lantai batu berlapis karpet. Menuangkan air hangat di atas satu ember besi khusus. Lalu menunggu sang putri datang dari bilik ganti baju dengan jubah mandinya.
"Padahal aku lebih suka berendam," ucap Erzsebét setengah mengeluh. Sudah lama memang, gereja melarang praktik mandi basah. Bahkan kalau perlu, tidak usah mandi sama sekali. Ini karena mereka percaya, mandi bisa membuka pori-pori kulit dan membuat tubuh rentan terserang penyakit.
Mengira bahwa sang putri akan mandi sendiri, Anna tercengang ketika ia diberi perintah untuk mengusap seluruh tubuh gadis yang sedikit lebih tua darinya itu. Maka, ingin tidak ingin ia harus melihat tubuh polos tersebut dan membersihkannya dari wajah ke ujung kaki. Selama proses tersebut, Anna terdiam dan lebih banyak menunduk.
Berhari-hari kemudian, sang putri terus menerus meminta bantuannya. Mulai dari memasangkan korset, gaun, menyisiri rambut, dan menyikat kuku kakinya.
"Kau berbeda," ucapnya, "Pelayan yang mengurusku selalu lebih tua dan merasa tahu segalanya. Cerewet."
Anna mengangguk. Bukannya tidak ingin berbicara, ia tidak tahu harus mengatakan apa apabila berada di depan sang putri. Kulitnya yang seputih susu, dengan rambut merah anggur dan mata cokelat gelap menenggelamkan, Anna seringkali tergenang pikirannya sendiri.
Merasa dekat, putri bangsawan yang baru ditinggal suaminya untuk belajar di Vienna tersebut berceloteh panjang lebar. Ia mengaku kesepian. Hidup dalam kungkungan dan peraturan ketat. Bagaimana Bapa di gereja selalu mengatur tindakannya, dan pemerintah membatasi tingkah-lakunya. Secara jasmani dan rohani, ia terpenjara dalam kastil selama bertahun-tahun.
"Aku bosan."
Dan begitulah, gelap di kedua bola matanya semakin hitam saat diam-diam, sang putri mengikuti sekte aneh yang dibawa bibinya ke dalam istana. Anna tahu, tetapi ia memilih bungkam dan malah membantu sang putri dalam pelariannya di jam-jam yang ganjil.
Paganisme menjalari sang putri dan memakan hatinya yang sudah bertahun-tahun berkarat. Anna hanya bisa pasrah dan mengikuti sang putri kemana pun ia pergi. Baginya, pengabdian adalah segalanya.
"Kau cantik Anna. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengangkat kepala."
"Saya tidak berani."
"Ayolah tidak ada siapa-siapa di sini."
"Tapi ..."
"Sini, kulihat wajahmu."
Baru kali itu, Anna menatap kedua mata sang Putri secara langsung. Berhadap-hadapan. Apa yang dulu hanya dikaguminya dari kejauhan, kini mewujud nyata dan sangat dekat dalam jangkauan tangannya. Kulit putih, rona merah, mata gelap. Salju, darah, dan langit malam.
Keduanya pun tenggelam dalam keterpanaan masing-masing.
****
Anna tahu ia sudah amat sangat lancang malam itu. Dirundung dosa, malam-malam dilaluinya tanpa bisa tidur dengan nyenyak. Dan ia semakin merasa berdosa saat mendapati Nonanya semakin aneh dari hari ke hari. Menyembelih seekor ayam di balkon, mengoleskan darah hewan ke beberapa jubah penjabat, dan selalu mematut diri di depan cermin. Bibinya bagai ibu kedua yang selalu mengerti dirinya. Bersama, mereka kuasai malam dengan lilin dan pentagram di atas lantai batu.
"Darah adalah sumber segala kekuatan." Kudengar hal tersebut dari luar pintu. Keesokan harinya, satu per satu pelayan gadis muda menghilang dengan sendirinya. Dan Anna menemukan bangkai-bangkai pucat mereka di bawah tanah ketika mengambil tong anggur.
Bahkan secara terang-terangan Anna diminta mencarikan gadis muda di desa. Dengan atau tanpa kehadirannya, sang Countess muda menjadi semakin gila. Anna sesungguhnya ingin kabur, tetapi ia takut dibunuh dan terpaksa menjadi abdi setia yang selalu patuh. Demi berlindung di balik bayang-bayang kekejamannya.
"Warna darah adalah warna yang paling cantik." Sang putri memakai gaun senada ucapannya dengan bangga. Merah pekat, di atas kulit putih semulus salju. Di depan Anna, di bawah lilin-lilin malam yang bergoyang ditiup angin dari sela-sela jendela.
Persis seperti genangan darah pada peristiwa penjagalan rusa dahulu.
Kelak Anna tahu, bahwaperasaannya terhadap sang Countess muda bukan satu pengabdian semata. Tetapiperasaan lain, yang nanti akan membawanya pada tiang gantungan di akhir pengadilan.
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top