Bidadari Berlampu

Kindness is the languange that the deaf can hear and the blind can see.

****

Pendeknya pemikiran orang-orang tentang suatu profesi, membuat Florence Nightingale merasa begitu kesal. Semua beranggapan bahwa profesinya adalah profesi hina. Padahal tentu saja, menjadi perawat adalah profesi yang sangat membanggakan. Bayangkan saja, kau bisa menyelamatkan banyak nyawa yang bisa saja, napas mereka berhenti saat itu juga.

Florence dengan tangan terbuka dan gagah berani melangkah maju menjadi perawat yang mampu menyembuhkan korban-korban yang berjatuhan pada perang Krimea, di Semenanjung Krimea, Rusia. Tak peduli bahwa dirinya seorang wanita, tak peduli seberapa rendah pandangan orang tentang dirinya, ia tetap menyembuhkan tentara perang yang berjatuhan akibat baku tembak dalam peperangan.

"Aku yakin, perawat bukanlah profesi hina! Aku akan membuktikannya lewat baktiku pada korban-korban perang!" ucap Florence dengan semangat yang membara sembari melirik sekelilingnya yang sudah penuh dengan tentara perang yang berdarah-darah. Posko kesehatan yang memang disediakan untuk bala bantuan prajurit perang, saat ini ramai dengan korban yang berlumuran darah di sekujur tubuhnya. Namun, Florence tak mengenal takut. Ia dengan berani, maju dan mengumpulkan korban yang berjatuhan di medan perang Krimea. Semua korban yang terluka, ia kumpulkan di posko kesehatan.

Meski begitu, masih tetap banyak orang yang menganggapnya gila. Katanya, profesi perawat yang berhadapan langsung dengan tubuh pasien dalam keadaan terbuka, dianggap sebagai profesi yang tidak sopan untuk wanita baik-baik. Bahkan tugas perawat dialihfungsikan sebagai juru masak untuk menghindari ketidaksopanan.

****

"Bu, izinkan aku menjadi perawat di rumah sakit di tempat peperangan terjadi. Rumah sakit membutuhkanku. Di sana masih kekurangan perawat wanita. Aku harus ke sana demi kemanusiaan."

Ibu dan kakak Florence menentang profesinya. Ibu dan kakaknya juga beranggapan perawat pekerjaan hina dan rumah sakit adalah tempat yang menjijikkan. Orang-orang lebih memilih memanggil dokter ke rumah daripada harus ke rumah sakit.

Sedikit berbeda dari Ibu dan Kakaknya, Ayah Florence mendukung profesinya karena menganggap anaknya itu hebat. Berani membaktikan diri atas nama kemanusiaan. Hanya saja, ia juga tidak setuju jika Florence menjadi perawat di rumah sakit. Ia tidak dapat membayangkan, anaknya bekerja di tempat yang menjijikkan karena penuh dengan pasien-pasien yang bertelanjang dada atau bahkan lebih dari itu. "Lebih baik kau pergi ke luar negeri. Tenangkan pikiranmu dan berhenti berpikir untuk menjadi perawat di rumah sakit. Sampai kapanpun, ayah tidak akan mengizinkannya."

"Tenangkan pikiran? Ayah menganggap aku gila atau apa?"

"Bukan begitu, Florence. Hanya saja, kau terlalu sibuk memikirkan profesimu."

"Bukankah ayah setuju kalau aku membaktikan diri demi kemanusiaan?"

"Ya. Tapi---"

Florence tak mau lagi mendengar ucapan ayahnya. Ia lebih memilih pergi dan masuk ke kamarnya. Apanya yang setuju? Toh, ayahnya tetap berpikiran sama seperti yang lainnya.

****

"Florence! Tolong bantu rumah sakit. Kami kekurangan tenaga perawat wanita!"

Florence dan ayahnya mendengar suara teriakan di depan rumah. Langsung saja, keduanya yang tengah menyeruput secangkir teh, berjalan cepat ke pintu rumah. Betapa terkejutnya ia dan ayahnya saat melihat, seorang dokter dari rumah sakit yang meminta langsung bantuan Florence.

"Ada apa?"

"Kau menyelamatkan banyak nyawa saat pertempuran Krimea. Tolong bantu kami di rumah sakit."

"Tidak!" Ayah Florence langsung menyanggah. Tentu ia tidak akan mengizinkan anaknya pergi ke tempat menjijikkan. "Florence tidak ke manapun! Jika kalian butuh bantuannya, silakan bawa semua pasien kemari."

"Tapi, Tuan, pasien tidak dapat bergerak. Tubuh mereka lemas, mereka tidak bertenaga."

"Kau siapa? Kau dokter dari mana?"

"Aku dokter dari Institute for The Care of Sick Gentlewomen. Sebuah rumah sakit kecil yang terletak di Upper Harley Street, London. Tolong jadi tenaga perawat di sana dan tolong jadilah pengawas bagian keperawatan. Kau digaji, bukan cuma-cuma."

Minimnya orang yang mau menjadi sukarelawan atau bekerja menjadi perawat akibat perdebatan kolot tentang profesi perawat, membuat rumah sakit kekurangan tenaga kesehatan.

"Ayah, biarkan aku pergi."

"Tapi, Florence ...."

"Ayah, kumohon!" Florence memohon dengan sangat pada ayahnya. Ia benar-benar ingin mengabdi.

Merasa iba melihat anaknya, Ayah Florence mengizinkan anaknya pergi bekerja di rumah sakit. "Baiklah. Pergilah, Florence. Baktikan dirimu atas nama kemanusiaan."

Florence tersenyum semringah. Ia merasa tenang juga senang saat diberi izin oleh ayahnya untuk menolong juga meniti karir di London.

****

Sesampainya di Institute for The Care of Sick Gentlewomen, Florence langsung melihat seorang pasien yang terlihat sedang ditolak untuk diobati di rumah sakit itu. Florence bergegas masuk dan mencoba memahami, apa yang sedang terjadi.

"Ada apa?" tanya Florence pada pasien yang ditolak itu.

"Mereka menolak kami berobat di sini." Ibu pasien yang menemani anaknya itu, menjawab dengan nada penuh amarah. Ia tidak terima ditolak hanya karena alasan yang konyol.

Florence menatap sinis ke arah penjaga yang berurusan dengan kasus penolakan ini. "Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah tidak waras?"

"Dia seorang Katolik! Rumah sakit ini tidak menerima pasien beragama Katolik."

"Apa?" Florence semakin menatap sinis. Tak habis pikir dengan aturan rumah sakit yang akan ia tempati untuk membaktikan diri.

"Lalu mengapa jika dia seorang Katolik?"

"Kami menolaknya."

"Untuk alasan apa? Bukankah menolong tidak boleh memandang apapun kecuali keselamatan?"

Penjaga itu terdiam.

"Dokter, apakah begini cara kalian menolong?" tanya Florence pada dokter yang mengajaknya bekerja di rumah sakit kecil ini. "Aku akan mengundurkan diri, kalau masih ada kesenjangan status juga agama di rumah sakit ini. Kalau kalian inginkan aku, silakan terima semua pasien dari agama apapun atau kalangan apapun! Termasuk Katolik, Yahudi, Islam, atau ulama dan pendeta!"

Dokter yang mengajak Florence tadi terkejut dengan ancaman itu. Tanpa memikirkan apapun lagi, ia langsung menyetujui permintaan Florence. Tentu saja atas persetujuan Komite Rumah Sakit juga.

****

"Florence, maukah kau menikah denganku?" tanya Richard Monckton Milnes, seorang penyair dan ningrat. Ia berlutut memohon untuk diterima pernyataan cintanya.

Seiring berjalannya waktu, Florence tumbuh menjadi sosok yang cantik. Kebaikan hatinya membuat siapa saja menyukainya. Sebagai putri dari tuan tanah yang kaya, Florence mendapat banyak lamaran untuk menikah. Namun, semua lamaran ia tolak. Florence merasa terpanggil untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, bukan urusan percintaan.

Dengan tegas, Florence pun menolak lamaran ini. Ia sudah membulatkan tekad untuk mengabdikan dirinya pada dunia keperawatan.

"Kau benar-benar tak mau menikah?"

"Iya. Aku tak mau. Hidupku hanya untuk berbakti pada kemanusiaan. Aku terlalu mencintai dunia keperawatan. Maafkan aku."

"Tapi aku seorang ningrat, kau bisa hidup bahagia bersamaku."

Florence pun sudah sempat memikirkan hal yang sama. Tentu saja hidupnya akan bahagia bersama Richard. Tetapi kebahagiaannya, tetap dimenangkan oleh keperawatan.

"Tidak, Richard. Aku sudah berjanji akan menjadi perawat selamanya. Itu sumpahku."

Meski kecewa, Richard berusaha memahami maksud dari Florence. Ia pun sudah tahu, ia bukan orang pertama yang ditolak oleh Florence. Jadi ia tidak begitu heran, bahkan sudah menyiapkan hati untuk ditolak.

****

"Ada rumah sakit di pinggir pantai Scutari yang tidak memiliki perawat padahal banyak tentara terluka di sana. Kita harus bergegas ke sana, menjadi sukarelawan. Florence, kuharap kau ikut." Dokter menjelaskan juga meminta Florence ikut bersamanya. Menjadi sukarelawan menyembuhkan tentara yang berjatuhan di medan perang.

Tentu saja, tidak perlu diperintah pun Florence dengan sukarela berangkat. Bersama dengan perawat dan sukarelawan lainnya, semua berangkat ke Scutari.

****

Namun kenyataan di lapangan lebih mengerikan dari bayangan mereka. Ada ratusan prajurit yang terluka. Jiwa para sukarelawan pun terguncang dan tidak bisa langsung bekerja karena cemas. Ratusan prajurit bergelimpangan di halaman luar tanpa tempat berteduh, tentu saja semuanya terluka.

Dokter-dokter bekerja dengan sangat cepat. Mereka memotong tangan, kaki, dan mengamputasi apa saja yang membahayakan hidup pemiliknya. Potongan-potongan tubuh tersebut ditumpuk begitu saja di luar jendela dan tidak ada tenaga yang sempat untuk membuangnya jauh-jauh ke tempat lain. Bekas potongan tangan dan kaki yang berlumuran darah ditumpuk menjadi satu dan mengeluarkan bau tak sedap. Anyir sekali.

Florence diajak mengelilingi neraka tersebut oleh Mayor Prince, dokter kepala rumah sakit dan menyanggupi untuk membantu. Florence mulai membantu dengan mengatur tempat tidur para pasien, menyusun dan menyediakan tempat untuk pasien yang bergelimpangan di luar rumah sakit. Ia mengusahakan agar paling tidak, pasien di luar bernaung di bawah pohon dengan mendirikan tenda.

Semakin banyak pasien yang berjatuhan karena semua menumpuk jadi satu. Prajurit tidur dengan mayat prajurit lain hingga menyebabkan banyak penyakit. Florence juga membersihkan gunungan potongan tubuh manusia dengan membuang atau menanamnya di dalam tanah.

****

Hanya dalam waktu satu bulan, kondisi rumah sakit yang tadinya kacau balau, perlahan membaik karena Florence. Meski baunya belum hilang seluruhnya, tetapi jerit pasien kesakitan sudah berkurang drastis. Para sukarelawan lainnya bekerja tanpa kenal lelah di bawah pengawasan Florence.

Namun, kerja keras Florence membersihkan rumah sakit, tidak berpengaruh banyak pada jumlah kematian prajurit, malah sebaliknya, angka kematian semakin meningkat. Sebanyak 4077 prajurit meninggal karena penyakit tipes, kolera, tipoid, dan disentri ketimbang meninggal karena luka-luka. Kondisi ini menjadi fatal karena pasien lebih melimpah dibanding yang biasanya ditampung hingga limbah pembuangan dan ventilasi udara memburuk.

Lalu enam bulan setelah Florence bertugas di sini, komisi kebersihan Inggris datang dan memperbaiki limbah serta sirkulasi udara. Sejak saat itu, angka kematian menurun drastis.

Pengalaman Florence di rumah sakit ini, berpengaruh pada karirnya di kemudian hari. Di mana ia dikenal gigih dalam menjaga kebersihan lingkungan.

****

Florence semakin yakin, profesi perawat sangatlah penting dan ia juga yakin, bahwa ia bisa mematahkan opini sampah orang-orang tentang perawat.

"Perlahan tapi pasti, aku bisa mematahkan omongan masyarakat. Perawat bukan pekerjaan hina! Aku bangga menjadi seorang perawat." Florence tersenyum semringah sembari menatap bangga pantulan dirinya di cermin cembung itu. Kegigihannya dalam mempertahankan profesinya, sebentar lagi akan membuahkan hasil.

Florence diundang oleh tokoh masyarakat. Mereka mendirikan sebuah badan bernama "Dana Nightingale". Badan tersebut berhasil mengumpulkan dana sejumlah £ 45.000 sebagai rasa terima kasih atas jasa Florence dalam menyelamatkan banyak jiwa dari kematian.

Florence memiliki impian untuk membangun sebuah sekolah keperawatan. Menurutnya, dengan adanya sekolah keperawatan, maka profesi perawat akan lebih dihargai, ibu-ibu dari keluarga baik-baik akan mengizinkan anaknya menjadi perawat dengan bersekolah di sana, masyarakat pun akan mengubah pemikiran sempitnya tentang profesi perawat.

"Dana ini akan aku gunakan untuk membangun sekolah perawat. Aku ingin, pandangan masyarakat berubah tentang perawat. Perawat bukanlah profesi hina dan rumah sakit bukanlah tempat menjijikkan. Jadi, izinkan aku memakai uang ini untuk membangun sekolah keperawatan."

Pada akhirnya, semua setuju. Permintaan Florence disetujui karena jasanya dalam menyelamatkan banyak jiwa. Rasanya, Florence ingin menangis saja. Usahanya selama ini, dalam membuktikan bahwa perawat itu merupakan profesi penting dan tidak hina, akhirnya membuahkan hasil. Penentangan demi penentangan ia abaikan, sekalipun itu datang dari ibu dan kakaknya. Ia juga sangat berterima kasih atas kebaikan ayahnya, yang meski melarangnya bekerja di rumah sakit, tapi tetap mengizinkannya pergi.

Hingga pada akhirnya, sekolah perawat milik Florence sudah berdiri dengan kokoh. Sekolah tersebut dinamakan Florence Nightingle School of Nursing and Midwifery.

Florence juga mendapat julukan sebagai Bidadari Berlampu. Atas jasanya mengumpulkan korban yang berjatuhan di Perang Krimea, karena Florence tak kenal takut dan lelah dalam mengumpulkan dan mengobati korban pada Perang tersebut.

-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top