Asal Mula Suara Lantang
Langit masih gelap, pintu-pintu rumah pun masih tertutup rapat, jalan beraspal juga belum begitu banyak yang melewati.
Jam masih menunjukan pukul tiga dini hari. Seperti biasa, aku mempersiapkan segala keperluan untuk pergi bertausiah diacara show Indosiar yang didampingi oleh Abdel. Seorang pria yang memiliki perawakan gendut dan buncit. Sebenarnya tubuh kami tidak terbilang jauh beda, sama-sama gendut tapi ada yang bikin beda, aku tidak buncit. Umurnya pun terlampau jauh denganku, tapi bertemu dengannya disetiap pagi maupun petang, tidak pernah membuatku bosan.
Sebenarnya bertausiah itu tidak gampang, harus rela bangun lebih cepat, berangkat ketempat lebih cepat dan lagi bertanggung jawab atas apa yang dilontarkan nantinya. Jika semua memang menurut kebenaran, dan bersumber kenapa harus takut. Menebar kebaikan itu baik. InsyaAllah yang saya lakukan ini memang benar dan baik.
"Pagi, Mah," sapa seorang ibu berpakaian gamis berwarna merah, tubuhnya lebih kurus dariku. Aku menampilkan senyum sembari mengangguk untuk menyapanya.
Di belakang podium sudah banyak para tim Indosiar bersiap-siap, banyak yang kukenal dari mereka. Tim di depan layar dan tim di belakang layar menyapaku ketika masuk, di sana juga sudah ada Abdel, sedang makan di kursi lipat dibagian pojok sekali.
Di dalam podium sudah ramai pula, ibu-ibu yang berpakaian senada dengan kelompok daerahnya atau kelompok mengajinya sudah mengisi bangku-bangku yang tersedia, sedang mengobrol dan menunggu tausiah dimulai.
"Tawanya Mamah memang lantang dan khas sekali." Salah satu orang dari tim depan layar menghentikan obrolanku dengan seseorang yang sejak tadi bertanya. aku menyunggingkan senyum.
"Alhamdullialah," sahutku.
Suara lantang dan tawa khas menurut dia dan orang selain dia yang pernah melontarkan pertanyaan serupa, menurutku itu bukanlah suara yang memang bawaan dari lahir. Suara itu memang ada karena terbiasa. Sejak kecil aku memang memiliki kebiasaan berteriak-teriak.
Masih sangat membekas, ingatan tentang hidup di kampung dulu. Kalau diingat rindu juga akan kehidupan di sana.
Ayah memiliki persawahan cukup luas, maka dari itu saya dan ketiga saudara harus rela mengeluarkan suara sekeras mungkin saat musim menanam atau memanen. Menyuruh para buruh untuk makan siang, tidak mungkin jika harus mendatangi satu persatu dari sekitar lima puluh lebih orang. Dari atas empang saya berteriak dan terus seperti itu. Jadi suatu kebiasaan dan lambat laun semakin dewasa suara keras saya melekat.
Ingatan akan masa kecil itu membuat saya mampu bernostalgia. Mendengar acara yang akan dimulai, aku beranjak dan masuk ke podium menemui para ibu-ibu yang telah menunggu. Seperti biasanya Abdel sudah ada di kursi sebelah dimana aku juga sedang duduk. Tugas Abdel adalah memandu para ibu yang akan bertanya. Sedangkan aku akan memberikan siraman rohani dan menjawab pertanyaan seputar agama.
"Curhat dong, Mah." Serempak mereka semua memulai acara.
Tidak ada lagi suara ribut atau obrolan, semua diam mendengarkan tausiah. Abdel siap dan sigap mendengarkan pertanyaan dan mengulanginya ke aku. Aku menyimak pertanyaan itu. Tidak jauh-jauh prihal rumah tangga.
Karena aku nikah muda dan lagi dari jaman SMP sudah sering menerima siraman rohani, membuat aku benar-benar paham akan hukum menikah dan berumah tangga.
"Ehek ... ehek ... hek ...." Abdel selalu saja terkadang membuat aku yang tadinya menahan tawa bisa tertawa. Tapi aku selalu memiliki porsi untuk tertawa, tidak ingin jika terlihat terlalu lepas. Tapi tawa itu ternyata membuat khas tersendiri pada diriku, kata orang-orang di sekitar.
Pulang dari tausiah aku tidak bisa langsung pulang, ada jam tausiah lagi di tempat lain. Kali ini tidak bersama Abdel. Aku menghadiri acara tausiah pengajian diantar oleh supir.
Begitu sampai, tidak sempat lagi beristirahat. Aku harus menyapa para ibu-ibu pengajian dan pelaksana acara ini. Tidak ada lelah untuk mencari pahala.
Sebelum memulai saya digiring oleh pelaksana acara ini untuk makan dulu. Saya menerimanya dan berjalan mengikuti arah tujuan. Di mana makanan sudah dihidangkan di atas meja panjang di balik tenda utama.
Tempat ini hanya ditutupi oleh tenda besar dengan besi-besi penyanggah di setiap sisi. Panggung pendek dan beberapa kursi di atasnya. Para ibu-ibu sudah duduk rapi di tikar yang di gelar di atas rumput.
Saya masuk langsung memberi salam kepada semuanya. Semua serempak membalas salam itu. Saya duduk di kursi yang sudah disedikan, di sebelah saya ada MC yang siap memulai acara.
Ternyata, menonton siaran Mamah dan Aa beraksi di indosiar membuat mereka ingat mengucapkan "Curhat dong, Mah." Salah satu ciri khas lagi yang saya dapatkan selama ada di indosiar yang membekas diingatan mereka.
Pertanyaan-pertanyaan mulai mereka ajukan. Tentu aku berusaha semaksimal mungkin menjawab dengan pengetahuan yang sudah sangat aku pahami luar kepala.
SMP, SMA hidup di pesantren, kuliah di ilmu agama Fakultas Tarbiyah di IAIN yang kini bernama UIN Syarief Hidayah di Ciputat, Jakarta. Membuat aku sangat mendalami ilmu agama. Pada awalnya tidak ada niat untuk menjadi pendakwah, dari SD aku ingin menjadi seniman tapi dilarang ayah, ayah selalu meletakkan aku di sekolah-sekolah agama. Maka itulah ilmu agama begitu melekat hingga kini.
Menikah dengan Syarifudin (Alm) di usia saya yang juga terbilang muda. Dia merupakan suami yang juga kental dengan agama. Membuat saya makin kesini makin suka dengan ilmu-ilmu yang saya dapatkan. Dan mensyukuri akan takdir menjadi pendakwah.
Suara mig berdecit, MC memulai sesi bertanyanya setelah aku usai menjelaskan tentang hukum haram dan halal.
Ada beberapa ibu-ibu menunjuk jari ke atas.
"Silahkan ibu," ucap MC menunjuk ibu-ibu berpakaian warna merah. Ibu yang ditunjuk pun berdiri.
"Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaikum wr.wb. Curhat dong, Mah. Perkenalkan nama saya Haji Aipma dari ...," ucap salah satu audiens.
Dengan semangat aku langsung berdiri dari tempat duduk. "Hey ... hey! Dengerin ya. Jangan sombong udah haji. Siapa yang ingin haji ngacung! Semua umat islam pengen haji. Tidak ada dalam islam pulang haji dipanggil Bu Haji, sombong. Apakah kita shalat dipanggil Ibu Shalat, apakah kalau kita habis jakat dipanggil Ibu Jakat, apakah kalau kiita habis puasa dipanggil Ibu Puasa. Pernahkah dalam Al-Qur'an, dalam hadist Nabi Muhammad Rasul kita gak pernah dipanggil Haji Muhammad, itu kesombongan, biasa aja kali," ucap saya memotong ucapan Ibu Aipma. Aku menghela nafas sejenak lalu kembali duduk. Terlihat wajah pasi ibu Aipma.
Sudah sering saya dengar di luar sana Haji menjadi gelar dalam nama mereka, apalagi kalau bukan karena untuk menyombongkan diri bahwa ia sudah mampu haji.
Ibu Aipma menjadi pembelajaran untuk diri saya sendiri dan orang lain, jika ibadah haji tidak menjadi gelar untuk yang melaksanakan. Itu bisa menjadi kesombongan diri. Walau caraku memang salah, menegurnya di depan umum. Tapi dengan begitu bukan hanya dia yang tau jika haji bukan menjadi gelar, orang lain pun akan mengetahuinya. Sebab mereka semua yang ada di acara itu akan mendengar. Tidak akan mungkin jika menegur satu persatu para haji atau ustadjah. Saya hanya bisa meminta ampunan pada Allah SWT telah bersikap paling benar, padahal saya juga masih banyak kekurangan. Tapi, menegur sesama umat, bukankah tak salah? Selagi kita bisa menegur. Jika aku ada kesalahan pun tidak masalah jika orang menegur. Aku akan mengoreksi kesalahan itu.
Ternyata sikapku itu membuat netizen kaget luar biasa. Esoknya vidio itu viral di media sosial.
Ibu Aipma meminta maaf atas kesalahannya saat itu juga. Seharusnya pula tujuan meminta maaf bukanlah ke aku tapi ke yang di atas yaitu Allah. Aku pun juga meminta maaf telah berprilaku ceplos padanya.
Kehidupan terus berjalan, pulang ke rumah, berdakwah. Anak juga sudah pada besar, jadi tidak perlu banyak memperhatikan mereka layaknya anak kecil. Suami juga sudah pergi lebih dulu, jadi tidak banyak yang kuurus. Berdakwah, pulang, berdakwah, pulang. Begitulah seterusnya yang kulakukan.
****
Beberapa tahun yang lalu ....
K.H Sujai-ayahku adalah seorang petani, sekaligus guru ngaji dimalam harinya.
"Mang! Bukde! Ayo makan siang dulu." teriakku memanggil para buruh yang sedang menyemai padi.
Jika waktu menjelang siang aku dan lima saudaraku mulai bahu membahu membantu orang tua di sawah, ayah memiliki sawah cukup luas, dari itu kami juga ikut andil.
Diwaktu petang ayah memberi aku tugas lagi untuk memeriksa pemetikan kelapa, suara lemahku mulai terlatih untuk berteriak. Setiap para pemetik sudah di atas, aku akan berteriak, berapa jumlah yang sudah mereka hasilkan. Setelahnya juga pekerjaan tidak hanya sampai di sini, ayah juga memiliki 70 permada becak. Tugas untukku dan kelima saudaraku lagi. Sebelum datang menemui pada tukang becak, ayah selalu berpesan untuk berprilaku tegas. Tukang becak itu ada yang nakal, misalnya mengaku onderdil becaknya rusak padahal sebenarnya tidak, ayah yang memang sudah menerapkan sistem ketegasan akhirnya mulai menyatu dengan diri. Suara lantang, ketegasan akhirnya benar-benar menjadi jiwa baru.
Waktu melesat dengan cepat, tubuhku semakin dewasa, pendidikanku juga semakin meningkat. SMP, ayah mengirimku ke Jakarta untuk mengejar ilmu agama. Cita-cita jadi seniman kandas. Ayah tidak suka anaknya menjadi seorang seniman. Jadilah aku menuruti permintaan ayah untuk sekolah yang menuntut anak didiknya mempelajari ilmu agama lebih dalam lagi.
SMP bukanlah waktu yang paling lama mengejar pendidikan, tiga tahun berlalu begitu saja. SMA. Tidak jauh beda, ayah kembali memintaku untuk melanjutkan SMA di sekolah agama kembali. Aku tinggal di asrama dan jarang pulang ke kampung, hanya disaat hari libur panjang saja.
Lagi-lagi SMA itu terasa tidak terlalu lama, tiba-tiba saja sudah mau ujian, lulus dan lanjut kuliah.
Di Fakultas Tarbiah IAIN, Ciputat, Jakarta Barat, aku kembali mencari ilmu. Tujuanku untuk kedepannya mulai terlihat. Ilmu yang sudah cukup banyak ini tidak mungkin jika hanya aku simpan seorang diri. Suatu hari nanti pasti akan kusebarluaskan.
Usia kuliahku yang sudah mengijak tahun ketiga, jodoh datang tiba-tiba. Syarifudin melamarku, ayah menerima lamarannya. Pernikahan pun berlangsung. Usai dari pernikahan aku tidak berhenti kuliah, aku tetap lanjut dan menginap di asrama. Setiap akhir pekan Syarifudin akan menjemputku pulang ke kediaman orang tuanya di Bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
****
Aku duduk seorang diri di sova dengan TV menyala, menampilkan diriku sendiri di layar kaca. Aku yang sedang duduk di kursi putar dan mengenakan pakaian syar'i. Suara ceplos, tawa mengisi siaran itu. Tidak terasa tubuh ini sudah mulai tua, anak sudah mulai pada bekerja, suami pergi lebih dulu. Yang bisa aku lakukan adalah menerima takdir.
Aku tidak menyangka jika takdir mendorongku untuk menjadi seorang pendakwah. Banyak yang mengenalku, banyak yang menyukaiku dan banyak yang mengagumiku. Tapi tujuanku bukanlah untuk mengejar tenar. Tapi untuk menebar kebaikan dan bisa membuat aku sendiri dan orang lain lebih dekat pada Sang Pencipta.
****
Ada banyak cerita tentang kehidupan
Tentang asal, tentang perjalanan
Tentang memilih dan dipilih
Yang hanya dapat dilakukan adalah
Menerima takdir,
Takdir Allah yang tidak akan dapat dielak
Karena roda terus berjalan
Semua akan tercipta
Dengan ketetapan-Nya.
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top