50 - Dangerous Woman
⚠️
Dominick masih ingat betul alasan sederhana yang mendasari keputusannya memilih Ashley sebagai asisten pribadinya. Sampai hari ini, dia tidak menyesali keputusan itu meski kandidat lain dinilai lebih mumpuni. Vacade tidak hanya dikenal sebagai perusahaan yang sukses di bidang telekomunikasi dan teknologi informasi, tetapi juga dikenal sulit ditembus oleh pejuang karier. Hanya orang-orang dengan kecerdasan di atas rata-rata yang berani mengajukan lamaran pekerjaan.
Ashley bukan salah satu yang memiliki kepercayaan diri untuk mengirimkannya. Dia hanya salah satu mahasiswa yang beruntung saat itu karena mendapat beasiswa dari perusahaan—program itu dulunya dikelola oleh sang nenek. Dan, Ashley menjadi salah satu yang mendapat rekomendasi kampus untuk melamar di Vacade. Saat itu Dominick yakin, Ashley tidak banyak tahu tentang dirinya. Rasa kagumnya hanya ditujukan pada keberhasilan perusahaan, bukan untuk Dominick. Benar-benar tidak ada niat untuk merayu.
Namun, wanita yang tidak bisa merayu itu berhasil mengejutkan Dominick hari ini. Tidak Dominick sangka jika versi mabuknya Ashley akan sangat berbahaya. Matanya yang sayu terlihat seksi, ditambah wajahnya yang merah karena panas yang muncul dari alkohol. Dominick juga tidak tahu Ashley yang mabuk akan sangat keras kepala. Dia enggan beranjak dari kursi bar sampai Dominick menggendongnya di punggung. Karena tidak ingin menarik perhatian pengunjung gedung, Dominick turun lewat tangga darurat dan meminta Taylor menunggu di pintu belakang menuju area parkir.
Di perjalanan pulang, Ashley tidak berhenti menatapnya. Dominick merasa risi, dan berusaha mengabaikannya sambil bolak-balik membaca email di ponselnya. Tidak pernah dia merasa setidaknyaman itu saat bersama Ashley.
Ada banyak pertanyaan yang ingin Dominick tanyakan pada wanita itu. Bagaimana dia bisa berpikiran pergi ke bar? Kenapa memilih Sunset Rum padahal tahu kalau toleransinya terhadap alkohol sangat rendah? Kalau dia tidak tahu, lantas siapa yang merekomendasikan minuman itu? Lalu, dengan kebiasaan mabuknya yang seperti ini, apa benar-benar aman jika minum bersama tetangganya yang merupakan seorang pria?
Daripada itu, Dominick penasaran apakah wanita mabuk di sebelahnya ini akan mengingat kejadian-kejadian ini besok harinya.
"Harper, kau tampaknya ingin mengatakan sesuatu padaku."
Asisten pribadinya, tidak akan menatapnya jika bukan ingin mengatakan atau menanyakan sesuatu. Itu adalah salah satu alasan kenapa Dominick menilai bahwa Ashley tidak akan merayunya.
"Kau ... tampan sekali, Bos."
Dominick mengembuskan napas melalui mulut sembari menyimpan ponsel kembali ke saku celananya. Pujian itu sudah dia dengar puluhan kali seperti mantra yang dirapalkan saat wanita itu berada di atas punggungnya. Dominick merasa Ashley yang sedang mabuk akan melakukan hal-hal yang berkebalikan dari seperti ketika dirinya dalam kondisi waras. Melontarkan pujian seperti itu secara tiba-tiba sungguh tidak wajar.
"Ada lagi?"
Ashley menggumam cukup panjang, sampai akhirnya tertawa geli seorang diri. Dominick yang hanya memperhatikan lantas dibuat kebingungan. Apa yang wanita itu pikirkan tentangnya sekarang?
"Karena kau tampan, aku tidak ingin berkencan denganmu, Bos." Sekarang wajahnya menjadi cemberut. "Meski hanya mencoba, atau untuk memberiku pengalaman, tetap saja aku tidak bisa melakukannya. Kenapa kau tega sekali memaksaku?"
Wanita ini ... benar-benar luar biasa.
"Taylor, aku tidak ingin kau melihat atau mendengar apa pun."
"Baik, Tuan."
Atas perintah Dominick, Taylor membalik kaca spion di atas dasbor dan menyematkan earphone ke telinganya. Meski sudah sangat dipercaya, terkadang ada hal-hal tertentu yang Dominick tidak ingin Taylor mengetahuinya. Terlebih lagi, ini tentang asisten pribadinya. Taylor sudah mendengarnya sedikit, dia memang tidak akan memberi penilaian apa-apa, tetapi Dominick merasa cara Ashley mengatakannya tadi sedikit mencoreng harga dirinya.
"Bukankah kau aneh? Semua wanita mengincar pria tampan." Biasanya orang mabuk bicara jujur, jadi Dominick ingin tahu bagaimana pendapat Ashley tentang dirinya.
"Aku sangat kurang, sedangkan kau punya banyak kelebihan. Seperti katamu, itu tidak akan sepadan." Ucapan Ashley terdengar agak menyedihkan.
"Kita tidak berkencan sungguhan, Harper."
Namun, itu membuat Ashley tertawa dengan mata berkaca-kaca. Emosi wanita itu berubah cepat sekali sampai Dominick kewalahan menghadapinya.
"Kenapa tidak ada yang tertarik padaku? Bos, apa aku kurang menarik? Apa aku harus menurunkan kerah pakaian agar dadaku lebih terlihat? Kudengar pria lebih cepat tertarik pada wanita seksi."
Ashley tidak hanya berbicara tentang menjadi seksi di mulut, tetapi tangannya juga bergerak menurunkan ritsleting bagian depan gaun. Dominick yang memang sedang menatap wanita itu jadi tidak sengaja menatap belahan dadanya. Beruntungnya ritsleting depan gaun itu pendek, tidak sampai perut. Bagian dada gaun itu juga keras karena berfungsi sekaligus sebagai bra dan tidak langsung jatuh hingga memperlihatkan dada itu sepenuhnya.
Sorot mata Ashley yang masih sayu menyiratkan sebuah penantian akan jawaban dari pertanyaannya. Sementara itu, Dominick yang sedang bersusah payah mengalihkan pandangan dari dadanya tidak tahu harus merespons apa. Biar bagaimanapun, dia juga seorang pria, apalagi pemandangan itu dari seorang wanita yang jarang berpakaian terbuka.
"Siapa bilang kau tidak menarik?" Suara Dominick menjadi serak karena menahan gejolak yang mulai dia rasakan. Mimpi panas waktu itu bahkan turut terbayang di dalam kepalanya.
"Kau hanya ingin membuang-buang waktu dengan alibi memberi pengalaman kencan untukku. Jeremy juga begitu, dia mengajakku pergi berkencan sebagai ganti dari liburan kami yang gagal. Tahu siapa penyebabnya? Kau, Bos. Kau merusak semuanya. Kau tidak memberiku cuti setelah aku bekerja keras selama lima tahun."
Ini adalah kali pertama Dominick ditodong dengan telunjuk tepat di depan wajahnya. Seandainya kuku Ashley panjang, itu pasti sudah menancap di matanya.
"Jadi, partner berkencanmu waktu itu adalah tetanggamu sendiri?"
Dominick menangkap tangan Ashley dan menggenggamnya agar tetap berada di pangkuan. Kalau dengan telunjuk saja wanita itu sudah menodongnya, entah apa yang akan dia lakukan dengan tangannya ketika pembicaraan tadi terus dilanjutkan. Mungkin sebuah tamparan akan mendarat di wajahnya.
"Kenapa? Kau tidak boleh meremehkan tetanggaku. Dia pria baik." Ashley berusaha menarik tangannya lagi, tetapi Dominick enggan melepaskannya.
Perasaan apa yang mengusik Dominick sekarang? Sesuatu seperti tidak rela Ashley dekat dengan pria lain. Tidak peduli jika pria itu adalah tetangganya, seseorang yang secara otomatis akan memiliki relasi yang cukup dekat dengannya. Wajar jika mereka dekat, mengingat seberapa sering mereka menghabiskan waktu bersama dengan membicarakan sesuatu yang santai. Meski Dominick jauh lebih dulu bertemu Ashley, tetapi interaksi mereka tidak lebih dari hubungan profesional. Kedekatan mereka jelas berbeda.
"Apa kau juga sering begitu saat minum dengannya?"
"Begitu bagaimana?"
"Membuka pakaian seperti itu."
Dominick tidak tahu, apakah Ashley hanya sedang melampiaskan rasa frustrasinya atau itulah yang dimaksud Katherine dengan meningkatnya rasa percaya diri Ashley saat mabuk. Pengaruh alkohol memang sehebat itu hingga membuat seseorang yang sangat dikenalnya menjadi asing. Dengan kebiasaan seburuk itu bukankah berbahaya jika minum dengan pria terus-menerus.
"Aku bebas melakukan apa saja pada tubuhku, Bos. Termasuk mengangkat kakiku seperti ini." Seringai nakal Ashley tunjukkan sembari mengangkat satu kakinya. Beruntung posisi duduk Ashley bukan di belakang Taylor. Jika tidak, pasti sudah menghantam pria paruh baya itu.
Iman Dominick rasanya benar-benar sedang diuji karena rok gaun Ashley tersingkap hingga pahanya terekspos sempurna. Tidak hanya punggung wanita itu yang bersih, kakinya juga. Kulit itu tidak ternoda sedikit pun. Rasanya Dominick bisa membayangkan seberapa halus kulitnya jika disentuh. Karena menahan diri, Dominick sampai tidak sengaja meremas tangan Ashley yang masih digenggamnya sejak tadi.
"Itu sakit, Bos!"
Ashley segera menggosok tangan kirinya setelah dilepaskan Dominick.
"Turunkan kakimu." Dominick bersedekap dan membuang muka. Tidak ada yang menarik dari jalanan yang mereka lewati, tetapi itu lebih baik daripada dia kehilangan akal karena penampilan Ashley. "Kebiasaan mabukmu benar-benar buruk."
"Ini tidak buruk."
Satu kaki saja membuat Dominick kewalahan, sekarang wanita itu justru melipat kaki dan memeluknya. Rok gaunnya tersingkap sepenuhnya. Dominick sungguh tidak habis pikir dengan kelakuan mabuk Ashley.
"Akan buruk kalau seseorang menyerangmu dalam kondisi seperti itu."
"Menyerang?" Ashley tampak berpikir keras sampai akhirnya mengerti sendiri apa maksud ucapan Dominick. "Jeremy juga mengatakan sesuatu seperti itu. Katanya, aku harus memanggilnya dulu kalau mau minum."
Seandainya wanita itu mau mengatakan satu alasan saja kenapa dia sampai tersenyum begitu. Bahkan, untuk mengatakan sesuatu yang menyebalkan, senyum itu terlewat manis. Entah tujuannya memang untuk menggoda atau wanita itu memang tersenyum seperti itu selama ini, Dominick merasa kewarasannya ikut menguap bersama aroma alkohol yang menguar dari tubuh Ashley.
"Kau yakin dia cukup aman?" Aman dalam artian pria tetangga itu cukup tangguh menahan diri dari godaan semacam tadi. Ritsleting depan gaun Ashley belum ditarik kembali dan kerap membuat Dominick nyaris menurunkan pandangan setiap kali menatap ke arahnya.
Satu hal yang pasti, asisten pribadinya sangatlah seksi. Mungkin kedengarannya gila, tetapi sejak tahu Ashley suka membuka pakaian saat mabuk membuat Dominick ingin menghentikannya minum bersama pria lain. Entah sudah seberapa sering pria tetangga melihat Ashley membuka pakaiannya sendiri.
Sekarang Dominick setuju pada apa yang Katherine katakan, bahwa kebiasaan mabuk Ashley jauh lebih berbahaya.
Pertanyaan Dominick yang tadi, baru saja mendapat anggukan yang kuat dari Ashley. Kemudian wanita itu melanjutkan, "Sangat aman. Kami sudah sering minum, Bos, dan dia baru satu kali menciumku. Satu. Kali." Tidak ketinggalan Ashley mengangkat satu jari telunjuk untuk menekankan jumlah yang disebutkannya.
Apa itu informasi yang cukup berguna dan melegakan? Tidak. Kedua tangan Dominick terkepal di pangkuan. Dia merasa sangat marah sekarang. Ketika dirinya harus menahan diri untuk tidak menyesap bibir yang saat ini seakan-akan sedang tersenyum untuk mengejek dirinya, ada pria lain yang sudah merasakan kelembutannya.
Dominick tidak peduli pada persaingan, apa pun bentuknya. Bahkan, ketika banyak perusahaan pesaing bermunculan, strategi yang dia tingkatkan adalah bagaimana agar perusahaan miliknya tetap bertahan dengan menciptakan inovasi-inovasi baru. Berkat pertahanan yang kuat tersebut, perusahaan pesaing mundur dengan sendirinya. Namun, kali ini dia tidak bisa mengabaikan bagaimana pria lain sudah lebih dulu merenggut hasrat terbesarnya.
Ingat bagaimana dirinya menggambar bibir Ashley sampai hampir menghabiskan seluruh halaman bukunya?—dia terus menggambarnya sampai kemarin. Itu menjadi bukti bahwa kepalanya masih dipenuhi oleh keinginan untuk merasakannya secara nyata; keinginan terbesarnya.
"Kau menyukainya?"
"Jeremy? Tidak."
"Bukan. Ciumannya."
Ashley menelengkan kepala ke kanan, matanya mengerjap beberapa kali seperti seorang anak yang menunggu diberi permen. Itu terlihat menggemaskan sampai Dominick harus menahan diri untuk tidak menarik wanita itu ke atas pangkuannya sekarang.
"Mungkin? Aku tidak tahu kalau berciuman rasanya seenak itu." Dan, Ashley cengar-cengir setelahnya.
Dominick merasa benar-benar diuji saat ini.
"Bagaimana dia melakukannya? Apa dia menempelkan bibirnya saja, menyesap bibirmu, atau turut melesakkan lidah ke dalam mulutmu? Bagaimana dengan tangannya?"
Ini gila. Sungguh bukan pertanyaan yang pantas dilontarkan seorang pimpinan kepada pegawainya. Lebih buruk lagi ketika saat menyebutkannya satu per satu, dia juga membayangkan kembali yang dia lakukan di dalam mimpinya. Seharusnya mimpi adalah bunga tidur yang segera terlupakan begitu bangun. Namun, mimpi yang satu itu terus membekas di kepalanya seakan-akan mereka benar-benar melakukannya.
Kalau kondisi mabuknya sampai seperti itu, Dominick sepertinya akan mulai mempertimbangkan batasan alkohol yang masuk ke tubuhnya.
"Dia melakukan semuanya, Bos. Tangannya hampir naik ke sini, tapi aku menghentikannya."
Haruskah Dominick percaya? Jika mereka melakukan itu saat Ashley mabuk, Dominick tidak yakin jika Ashley benar-benar mengingatnya. Ada kemungkinan jika cerita Ashley hanya imajinasi liar yang muncul begitu saja.
"Kau mengingat semua itu?"
"Otakku ...." Ashley menunjuk kepalanya sendiri. "... merekam semua hal lebih baik saat mabuk. Aku bisa membuktikannya kalau kau tidak percaya, Bos."
Dominick memicing. "Apa yang mau kau lakukan?"
Ashley menyeringai sembari melepaskan sabuk pengamannya. "Tentang bagaimana aku dan Jeremy berciuman? Kukira kau cukup penasaran, Bos."
Sial. Untuk pertama kalinya Dominick menelan gumpalan hasratnya dengan susah payah.
"Malam itu, kami menonton film. Ada adegan di mana pemeran utama wanita merangkak ke atas meja atasannya." Sambil menceritakannya, Ashley juga merangkak mendekati Dominick di atas bangku penumpang. "Aku ingat rumor tentangku dan mencobanya pada Jeremy. Aku hanya ingin tahu apa aku benar-benar cukup menarik untuk menggoda bosku sendiri." Sekarang Ashley melilitkan dasi Dominick di tangannya dan perlahan-lahan menariknya.
Namun, Dominick tetap mempertahankan posisinya meski sesekali gestur Ashley membuat napasnya tercekat. Batinnya menjerit bahwa situasi ini berbahaya dan dia harus segera menghentikan wanita itu. Sayangnya, akal sehat berhasil dikalahkan hasrat. Dominick ingin tahu sampai mana wanita ini akan bermain peran. Akan sepadan jika dia juga merasakan bibir milik wanita itu.
"Aku duduk di pangkuannya seperti ini." Tanpa melepaskan dasi Dominick, Ashley mendarat di pangkuannya. "Itu berhasil menggoda Jeremy dan akhirnya kami berciuman. Tapi, Bos, rumor itu sungguh tidak masuk akal. Standarmu tentu berbeda dari Jeremy, bukan? Kau tidak akan tergoda semudah itu. Apa gunanya berteriak untuk membela diri? Mereka masih berpikir aku merayumu."
Dominick menangkap sebelah tangan Ashley yang lain, yang berusaha menyentuh wajahnya dengan sangat hati-hati. Berkebalikan dengan tingkah lakunya, ekspresi wanita itu menunjukkan perasaan sedih dan khawatir. Rumor itu memang sempat mengganggu, tetapi Dominick sudah berusaha meyakinkannya untuk tidak memedulikan itu. Namun, tetap saja seorang wanita tidak bisa bersikap selayaknya pria untuk mengabaikan perasaannya.
Tangan Ashley dikecupnya sekali dan dilepaskannya. Kedua tangan dingin Dominick menangkup wajah Ashley yang hangat. Jempolnya bergerak menyingkirkan rambut yang menempel di pipinya. "Harper, kalau kubilang kau berhasil menggodaku, apa kau juga mengizinkanku menciummu?"
Terakhir, jempol Dominick menyentuh bibir Ashley yang permukaannya begitu lembut. Rahang Dominick mengeras, ketika akal sehatnya sekali lagi bertarung melawan hasrat yang membara. Apa lagi yang ditunggu? Kesempatan itu ada di depan mata. Hanya tinggal memajukan wajahnya sedikit, dia akan tahu seperti apa rasanya.
"Mungkin, Bos? Kupikir kau adalah pencium yang andal."
"Bagaimana kau bisa berpikir demikian?" Dominick menyeringai, salah satu jempolnya berusaha masuk ke mulut Ashley. Wanita itu secara sukarela membuka mulutnya, membiarkan Dominick merasakan lebih panas di dalam sana.
"Kau ... pria yang mendominasi."
Sial. Sial. Sial.
Kalau mau, Dominick pasti sudah meraup bibir itu, memasukkan lidahnya, dan menyapukan sisa-sisa Sunset Rum dalam mulut Ashley. Betapa Dominick hampir gila karena menahan dirinya agar tidak melakukan itu. Wajah mereka sudah sangat dekat, sudah saling menghirup napas satu sama lain. Namun, apa bedanya Dominick dengan pria lain yang tergoda oleh wanita yang sedang tidak benar-benar sadar?
Dominick ingin meyakinkan Ashley agar dia tidak minum bersama tetangganya lagi karena itu berbahaya, tetapi apa masih pantas jika dia juga melakukan hal yang sama seperti pria itu?
Tidak mungkin. Dominick adalah pria yang waras. Wanita di depannya ini adalah asisten pribadinya. Kalau memang ingin menciumnya, setidaknya ada persetujuan dalam kesadaran penuh dari pihak lain. Tidak bisa begini.
Tangan Dominick perlahan-lahan merambat turun, menyusuri rahang, leher, bahu, sampai berhenti di lengannya. Kulit itu terasa halus sampai Dominick merasa ingin menghisapnya juga. Mungkin meninggalkan beberapa jejak kemerahan di atas kulitnya yang bersih akan menjadi pemandangan yang sempurna.
"Perjalanan pulang kita masih jauh, Harper. Sebaiknya kau kembali ke tempatmu dan tidur." Sembari mengatakan itu, Dominick menarik ritsleting depan gaun Ashley.
Ashley mengerjap beberapa kali. Dia menatap Dominick seperti anak kecil yang tidak jadi diberi permen. Akan tetapi, tangannya justru bermain di dada Dominick, menekan-nekannya seperti sedang memukul bantal sebelum dipakai.
"Ini terasa nyaman. Aku akan bersandar di sini saja."
Bahkan, belum diberi izin saja Ashley sudah menyamankan posisi, meletakkan kepalanya di dada Dominick dan memejamkan mata. Mau tidak mau, Dominick membenarkan posisi duduknya sedikit dan melingkarkan tangannya di pinggang Ashley. Dengan begitu, ketika mobil melalui lonjakan atau berhenti mendadak, wanita itu tidak terjatuh dari pangkuannya.
Tidak butuh waktu lama sampai Ashley akhirnya benar-benar tertidur. Dalam keheningan yang menegangkan itu, Dominick mulai memikirkan apa yang akan dia lakukan pada wanita itu setelah terbangun besok harinya.
Satu hal yang pasti, Dominick merasa Ashley benar-benar wanita yang berbahaya.
•••
Oh my ... scene macam apa ini?
Tapi zuzurly, aku jatuh cinta sama sikap Dominick di sini, dia tergoda tapi berhasil menahan dirinya loh. Idaman kali lah Bapak Bos wkwk
See you in the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
31 Januari 2025
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top