49 - Tipsy
DJ
Hey, Babe.
Aku ingat kita akan pergi besok malam, tapi sedang ada perayaan ulang tahun di bar dan Bos memintaku tetap bekerja.
Aku tidak bisa menolaknya karena hanya aku yang bisa diandalkan.
Mari kita jadwalkan ulang di hari lain.
I love you.
"Hah ... DJ membatalkan kencannya lagi, sudah tiga kali minggu ini." Kefrustrasian itu Melissa lampiaskan pada ponsel yang baru saja dia lempar ke sofa di belakangnya. Sementara dua sosok di hadapannya tampak mengasihani benda tidak berdosa itu. "Besok kalian ada acara tidak? Ayo kita bertemu lagi seperti ini."
Kate meletakkan gelasnya ke atas meja dan menjawab lebih dulu. "Aku bisa. Bagus kalau kita sering berkumpul seperti ini, aku suka."
Ashley meremas kaleng soda kosong di tangannya. Dia adalah satu-satunya yang tidak minum alkohol karena harus pulang, sedangkan Melissa akan menginap berhubung besok dia tidak ada shift kerja. Sebetulnya, dia juga nyaris tidak datang hari ini, apalagi sudah ada janji dengan Jeremy. Pria itu terlalu pengertian sampai bersedia mengantar Ashley ke tempat Kate dulu sebelum pulang.
"Aku tidak bisa. Besok malam Dominick akan menghadiri pembukaan department store baru di samping bandara. Perjalanannya cukup jauh, jadi aku juga tidak akan menyusul." Saat mengatakan itu, Ashley berusaha mengingat apakah gaunnya sudah dibawa pulang atau masih tertinggal di kantor. Sampai kemudian dia ingat sendiri kalau Taylor-lah yang mengantarkan gaun itu ke tempatnya.
Sebetulnya, itu hanya selingan pemikiran konyol karena tidak ada topik obrolan sejak Kate selesai memasak. Mereka sudah duduk melingkari meja berkaki rendah, tetapi Kate dan Melissa masih sibuk dengan ponsel, belum ada topik khusus untuk dibicarakan. Kepala Ashley biasanya terisi penuh, selalu ada aktivitas meski sekelilingnya sedang diam.
"Baiklah, kami tidak memaksa. Waktu istirahatmu sudah sangat sedikit."
Ashley tersenyum karena Melissa terdengar begitu pengertian.
"Jadi, Kate, coba ceritakan lagi apa maksud bos Ashley memintamu agar tidak berharap? Tadi kau tidak menyelesaikannya karena menunggu Ashley datang dulu."
Ashley memandang Melissa dan Kate bergantian. Dia pikir cerita tentang itu sudah cukup, tidak ada kelanjutannya lagi. Yang dia dengar di dekat pintu masuk tadi, kedengarannya sudah cukup menyesakkan. Bagaimana Ashley bisa mendengar lebih banyak ketika di lain sisi seorang Dominick McCade justru mengajaknya berkencan?
Dia setuju untuk mencoba karena itu adalah harga yang harus dibayar agar Dominick masih bertemu Kate. Bahkan, mungkin sebaliknya, Kate adalah harga yang dibayar untuk kesenangan seorang Dominick. Sebab ketulusan pria itu lebih terasa ketika melontarkan ajakan berkencan ketimhang hasil lukisan yang dilihatnya tadi. Namun, apakah harga itu sudah cukup sepadan? Pantaskah mereka dijadikan barang transaksi untuk kepuasan seorang Dominick?
Sejak menerima ajakan itu, Ashley masih tidak berhenti memikirkannya. Pria yang menarik garis batas kesetaraan di antara mereka sekarang mulai mengaburkannya. Dilihat dari sisi mana pun, Ashley rasa tidak ada yang menarik dari dirinya untuk bisa disukai seorang Dominick. Lantas, ajakan kencan itu pasti sekadar permainan untuk mengisi waktu luang. Orang-orang kalangan atas biasanya memiliki hobi yang eksentrik hingga membuat kalangan di bawahnya menggeleng keheranan.
Sekarang, Ashley pun menggeleng karena tidak habis pikir.
"Tidak banyak yang dia katakan, sebetulnya."
Ketika Kate mulai bicara lagi, Ashley secara impulsif menajamkan pendengaran.
"Dia menyebut namamu beberapa kali."
Jelas-jelas tatapan Kate tertuju pada Ashley saat mengatakan itu, tetapi Ashley sendiri justru kebingungan dan menatap kedua sahabatnya bergantian. Dia berusaha mencari jawaban, tetapi hasilnya nihil.
"Aku kenapa?" Ashley rasa Dominick melupakan poin-poin penting ketika pergi menemui seseorang, atau dia akan menyebutnya pergi berkencan, sebab seharusnya tidak perlu ada pembicaraan tentang wanita lain. Setidaknya begitu yang Ashley pelajari setelah dua kali berkencan dengan Jeremy.
"Dia seorang pengusaha dan aku mencoba bertransaksi. Aku mengatakan sesuatu tentang ... apa saja yang bisa dilakukan jika kami bersama, tapi dia justru berkata bahwa semua itu bisa dilakukan bersama Ashley."
Minuman soda seharusnya tidak memberi dampak instan ketika diminum, tetapi ketika Ashley menenggak isi kaleng keduanya yang baru dibuka, dia langsung tersedak. Siapa pun akan terkejut jika namanya disebut seperti itu. Dan lagi, apa maksudnya dengan melakukan semua itu? Kedengarannya seperti mereka sudah berbuat sangat jauh.
Bola mata Ashley bergulir ke sisi kanan, penasaran dengan reaksi Melissa. Wanita itu mengernyit, sampai Ashley mengira mungkin dia merasa seperti baru saja mendengarkan sesuatu yang seharusnya tidak didengar-mungkin lebih seperti habis mendengar sesuatu yang tidak pantas.
"Kau bicara tentang melakukan apa sampai dia membawa-bawa namaku?" Pertama-tama, Ashley harus ingin tahu dulu detail dari obrolan mereka dan meluruskan bahwa tidak semua hal bisa dia lakukan dengan sang atasan. Meski Melissa mungkin akan mengerti dan tidak menganggap itu sebagai keanehan, Ashley tetap tidak nyaman akan reaksi wanita itu tadi.
"Lima tahun lebih itu tidak sebentar. Dominick mungkin menaruh kepercayaan besar padamu. Itu wajar kalau dia tidak bisa langsung menerima orang baru. Apalagi, di masa perceraiannya, Ashley-lah yang banyak membantu."
Ah, Ashley terlalu overthinking sampai berpikir Melissa yang terdiam tadi sedang mengumpatnya.
"Aku berkata kalau aku bisa menjadi teman ketika dia ingin pergi ke suatu tempat. Aku membayangkannya seperti ketika kau mendampinginya ke pesta-pesta."
Ashley sadar Kate belum menyelesaikannya ucapannya, tetapi dia ingin buru-buru menyela. Karena dari poin pertama saja, Kate sudah salah memahami. "Aku mendampinginya bukan karena hal pribadi, tapi sebagai buku tamu agar dia bisa menyapa semua orang."
Namun, reaksi yang Ashley terima dari Kate sungguh tidak terduga dan agak menyebalkan. Untuk apa Kate memutar bola matanya?
"Itu hanya contoh. Suasana hatinya sedang tidak bagus kemarin, kupikir dia perlu pergi ke tempat yang santai untuk relaksasi, itu sebabnya aku menawarkan diri menemaninya pergi ke tempat bagus."
"Satu hal yang perlu kau tahu, Kate, Dominick bukan pria yang suka menghabiskan waktu untuk hal-hal tidak berguna." Kemudian, Ashley menenggak sodanya lagi, kerongkongannya jadi terasa kering.
"Ah. Sepertinya lain kali aku harus berkonsultasi padamu dulu tentang apa saja yang harus dilakukan." Kate mengangkat gelas berisi bir miliknya dan dibenturkan ke kaleng soda Ashley dulu sebelum meminumnya.
"... aku lebih suka bertanya langsung pada orangnya."
Ashley ingat kata-kata Dominick, tentang mengorek informasi seseorang dari orang lain. Dia akan membenci itu kalau Kate terkesan sangat mengerti dirinya di pertemuan berikutnya. Bukankah tujuan pertemuan itu seharusnya menjadi sesi saling mengenal satu sama lain? Alih-alih makin dekat, Dominick mungkin akan berbalik menjauhi Kate.
"Dia tidak akan suka itu. Aku juga tidak tahu banyak hal di luar kehidupan perusahaannya. Orang seperti apa Dominick, adalah tugasmu untuk mencari tahu sendiri, Kate."
"Dominick berbeda dari pria-pria yang pernah kukencani, jadi aku merasa kesulitan. Terkadang aku merasa bisa mengerti dirinya, tetapi itu terus meleset. Sepertinya memang harus lebih sering bertemu dengannya."
Ashley meringis, tetapi ditutupi dengan berpura-pura menenggak kembali sodanya. Kate benar-benar tahu cara membuat Ashley minder. Sebagai wanita yang punya banyak pengalaman berkencan saja merasa kesulitan, apalagi dirinya yang tidak punya pengalaman sekali. Perlukah dia mendengar keluhan semacam itu?
"Abaikan saja pria yang membuatmu kesulitan, bagaimana kalau selesaikan tantangannya dulu? Kau bisa bertemu pria lain sambil menunggu kepastian dari Dominick, bukan?"
"Sebentar, aku belum selesai." Kate menyela sebelum Melissa kembali melanjutkan. "Ash, apa kau tidak pernah berpikir kalau Dominick akan tertarik denganmu?"
"Ha? Jangan mengada-ngada, Kate. Aku jauh dari kriterianya."
Ashley akan menganggap itu adalah lelucon paling tidak lucu tahun ini.
"Bahkan, kalau dugaan Kate benar, aku tetap akan mendukung Ashley dengan tetangganya. Dilihat dari status dan kekayaan, oke Dominick yang menang, tapi Jeremy adalah kandidat terbaik."
Ketika Melissa menatap Ashley dengan sorot penuh penilaian, Ashley tidak bisa menahan diri untuk tidak merotasikan bola matanya. Dia tahu pembicaraan tentang dirinya dan Jeremy akan muncul, tetapi tidak secepat ini rasanya.
"Aku setuju. Kalau dilihat-lihat, Ashley dan Jeremy cukup seimbang." Kate menimpali.
"Seimbang? Apa itu termasuk pujian?" Timbangan jenis apa yang dipakai untuk mengukur keseimbangan tersebut, dan apa yang diukur? Perkataan konyol itu membuat Ashley berpikir bahwa Kate mulai mabuk.
"Abaikan Kate. Sudah sampai mana progres kalian?" Melissa menunjukkan ketertarikannya untuk mendengar cerita Ashley. Namun, Ashley tidak punya sesuatu untuk diceritakan meski pengakuan Jeremy hari ini adalah sesuatu yang mengejutkan.
"Entahlah. Yang pasti, aku tidak ingin menjadikannya pasangan hanya karena tantangan kita. Aku masih butuh waktu untuk membuka diri."
Melissa memicingkan mata sebentar, tetapi Ashley bisa menerjemahkan apa yang sedang wanita itu pikirkan di kepalanya. Itu adalah sesuatu seperti menyayangkan Ashley yang terus mengulur waktu. Namun, Ashley akan mengabaikan tentang itu hari ini dan memeriksa waktu. Meski besok dia pergi pada siang menjelang sore, tetapi Ashley perlu istirahat cukup malam ini dan besok harus mempersiapkan diri dengan memeriksa daftar tamu sebelum pergi.
"Sudah cukup larut, aku akan memesan taksi dan pulang. Kalian harus mengunci pintu dulu sebelum benar-benar mabuk."
•••
Dominick merasa sudah melakukan kesalahan ketika memilih warna perak pada gaun selutut yang dikenakan Ashley untuk mendampinginya hari ini. Warna itu membuatnya terlihat bersinar dibandingkan tamu yang lain. Dominick tidak sadar seberapa sering dirinya merasa terpukau oleh penampilan Ashley. Entah itu ketika mendampinginya atau hanya sekadar berpenampilan sederhana. Rasanya seperti dia baru memakai kacamata yang tepat untuk melihat, semuanya jadi terlihat lebih baik.
Berhubung acara pembukaan dilaksanakan di luar ruangan, tepatnya lantai teratas gedung department store, wanita itu berinisiatif melapisi bahunya yang terbuka dengan kardigan berwarna putih. Angin berembus cukup kencang meski saat ini memasuki musim panas. Alih-alih merusak penampilannya, pilihan kardigan itu membuat asisten pribadinya terlihat lebih elegan, bahkan beberapa kali membuatnya tidak bisa berpaling. Dominick baru bisa mengalihkan pandangan ketika seorang tamu menghampiri untuk menyapanya.
"Senyum itu palsu, Bos. Tuan Cooper suka melontarkan pujian untuk mendapat pujian kembali, jadi bicara seperlunya saja."
Dominick mengangguk tepat setelah Ashley membisikkan itu padanya. Setelah itu dia ingat bahwa pria itu dulunya adalah orang pertama yang membuat heboh pertemuan bisnis dengan topik perceraian Dominick. Setelah dicari tahu, rupanya dia merupakan sepupu jauh mantan istrinya dan pada pertemuan itu secara sengaja mempermalukannya.
Atas saran Ashley, dia harus tetap bersikap ramah, atau Cooper sialan itu akan menciptakan drama tidak bermutu.
"Selamat malam, Tuan McCade. Anda selalu menakjubkan seperti biasa." Tepat seperti yang Ashley katakan, pria itu menjabat tangannya dengan kuat dan tersenyum begitu lebar. "Anda juga tampak menawan, Nona Harper."
Dominick bergeser demi menghalangi pria itu memandangi Ashley lebih lama. "Selamat malam, Tuan Cooper. Saya dengar aplikasi terbaru Anda sudah menembus seratus ribu kali unduhan dalam waktu seminggu."
Tawa Tuan Cooper sungguh membuat Dominick merasa mual. Dia tidak ingin memuji, tetapi hanya itu cara untuk mengalihkan tatapan menggelikan yang ditujukan pada asistennya.
"Pengaruh Alisson sangat membantu. Kebetulan aplikasi itu cocok diiklankannya."
"Tidak, Bos. Aplikasinya berhasil karena Anda menunda perilisan aplikasi serupa. Dia mencuri ide kita dan mempercepat tanggal perilisan, tapi kita membiarkannya waktu itu."
Dominick tersenyum tipis, dia tahu betul kalau kejadian itu membuat Ashley lebih murka darinya. Dari bisikannya saja Dominick sudah tahu kalau dia masih merasa sangat kesal. Setelah acara ini berakhir, rasanya Dominick ingin sekali menghiburnya.
"Selamat atas keberhasilan Anda, Tuan Cooper. Saya menantikan persaingan sehat antara perusahaan kita."
Ada sedikit keterkejutan di wajah Tuan Cooper, tetapi berhasil segera ditutupinya dengan senyum palsu seperti yang Ashley katakan tadi. Itu sindiran halus yang tampaknya menampar Tuan Cooper begitu keras.
"Saya pun menantikannya, Tuan McCade. Sekali lagi, senang bertemu Anda malam ini." Setelah mengatakan itu, Tuan Cooper meninggalkan Dominick.
"Kau sengaja, Bos?"
"Itu adalah pembicaraan yang seperlunya."
"Yah ... itu terdengar bagus, aku yakin dia merasa malu."
Angin malam itu berembus cukup kencang lagi hingga Ashley kerepotan menyingkirkan rambut yang menghalangi wajahnya. Biasanya Dominick tidak peduli, tetapi kali ini dia pun ikut merasakan betapa mengganggu rambut itu ketika menghalanginya menatap tepat ke mata Ashley.
Namun, dia juga tidak bisa menyalahkan wanita itu karena tidak menata rambutnya dengan rapi. Terakhir kali Ashley mengikat rambutnya, ada banyak pria menatap leher dan bahunya. Sejak saat itu, Dominick mulai berpikir sebaiknya rambut Ashley tetap diurai saja.
Dominick mengeluarkan kartu kredit dari dompetnya, lalu memberikannya pada Ashley sambil berkata, "Aku akan mengobrol dengan beberapa tamu sebelum pulang. Bagaimana kalau kau masuk dan belilah sesuatu untuk dirimu."
"Aku tidak bisa, Bos." Tidak hanya mendorong kartu yang disodorkan Dominick, Ashley juga menyembunyikan tangannya di balik punggung.
Dominick lupa, Ashley tidak biasa menerima pemberian dengan cara seperti itu. Wanita itu akan menolak, kecuali dengan sedikit paksaan dan perintah. Sedangkan saat ini Dominick tidak dalam suasana hati yang pas untuk memberi perintah. Ashley akan kedinginan jika berlama-lama di atap gedung, yang Dominick pikirkan hanya bagaimana cara agar wanita itu masuk ke gedung.
"Pilihkan beberapa dasi untukku, aku akan menyusul." Sekali lagi Dominick menyerahkan kartunya, dan kali ini Ashley menerimanya.
Dominick menatap punggung Ashley sampai menghilang di balik pintu menuju elevator, setelah itu memeriksa arloji di pergelangan tangannya. Masih terlalu cepat untuk pulang sekarang. Acara peresmian sudah dilakukan ketika matahari hendak terbenam tadi, sisanya hanya untuk saling menyapa tamu-tamu yang lain.
Sebetulnya, pemilik department store ini tidak begitu dikenal Dominick dengan baik, tetapi mereka pernah mengerjakan proyek besar bersama saat masa kuliah. Sehingga ketika Dominick menerima undangannya, dia tidak bisa menolak untuk datang. Namun, ada untungnya juga dia datang. Begitu mereka bertemu dua jam lalu, Dominick menerima tawaran untuk merancang program khusus untuk penjualan secara daring. Pertemuan untuk diskusi kontrak kerja sama akan dilakukan minggu depan.
Tiga gelas sampanye Dominick habiskan sembari mengobrol dengan para tamu yang menyusul menemuinya setelah menyapa seorang tamu. Jika ditotal, hanya tiga tamu yang benar-benar Dominick sapa, tetapi tamu yang lain ikut berkerumun hingga obrolan menjadi lebih panjang. Rasanya dia terlalu lama membiarkan Ashley berkeliling seorang diri. Dominick hendak pergi menyusul Ashley dan mengajaknya pulang, tetapi tepat di depan pintu menuju bagian aksesoris pria, jalannya dihadang oleh wajah yang membuatnya muak dari hari ke hari.
"Selamat malam, Tuan McCade." Cara wanita itu menyapa seakan-akan tidak pernah menyandang nama belakang Dominick di namanya.
"Kau butuh sesuatu?"
Meski lebih mudah mengabaikannya, tetapi Dominick tidak melakukan itu. Ada terlalu banyak orang yang memperhatikan, Dominick tidak ingin memberi bahan untuk wanita di depannya menciptakan drama baru.
"Aku hanya ingin menyapa, tapi apa waktunya tidak tepat? Kau tampak gelisah."
"Aku tidak punya waktu untuk berbasa-basi."
Alisson, si wanita yang sedang menahannya, menepuk tangannya satu kali. "Ah!" serunya, seperti baru saja menemukan sendiri jawaban atas pertanyaannya. "Kau mencari wanitamu? Sepertinya dia bersenang-senang sampai teler."
"Apa maksudmu?" Dominick tidak ingin memercayai ucapan seorang Alisson Cantrell, apalagi caranya menyebut Ashley terdengar menyebalkan. Namun, dia juga tidak bisa menghentikan rasa panik yang mulai menjalar di dadanya.
"Ashley Harper sungguhan menjadi wanitamu sekarang?"
"Katakan padaku, di mana kau melihat Harper?"
Alisson tersenyum sinis. "Kau mengkhawatirkan asisten pribadimu melebihi kau mengkhawatirkan istrimu dulu, Tuan McCade. Dia di bar lantai tiga, aku tidak tahu bersama siapa, tapi dia terus menelungkupkan wajah di atas meja."
"Terima kasih." Begitu kalimat singkat itu terucap, Dominick pergi.
Namun, Dominick tidak percaya begitu saja apa yang Alisson katakan. Wanita yang sudah menciptakan drama dengan cerita karangannya tidak bisa dipercaya. Terlebih lagi, sejak awal dia tidak pernah menyukai Ashley, kedengarannya aneh ketika Alisson bersikap peduli. Ashley cukup penurut, ketika diminta hanya pergi untuk mencari dasi, seharusnya dia tidak pergi ke tempat lain kecuali sesuatu terjadi.
Dominick mengeluarkan ponsel dan segera menekan salah satu nomor speed dial di mana dia menambahkan kontak Ashley agar bisa lebih cepat menghubunginya. Panggilan pertama tidak mendapat jawaban, dan itu berhasil membuat Dominick mulai khawatir. Bagaimana kalau kali ini Alisson tidak berbohong?
Dominick baru mendapat jawaban pada panggilan ketiga.
"Harper, kau di mana?" Mata Dominick memicing ketika samar-samar dia mendengar suara musik dan tawa orang-orang dari seberang telepon.
"Entahlah. Kupikir ini sebuah bar?"
"Jangan ke mana-mana, aku akan menyusul."
Dominick mengakhiri sambungan telepon dan berlari menuju elevator yang pintunya nyaris tertutup. Dia berhasil menyelinap masuk dan segera menekan tombol lantai tiga.
Dari cara Ashley bicara, meski hanya sepotong kalimat, sudah menunjukkan kalau kesadarannya sudah dikuasai oleh alkohol. Dominick masih hanya menebak-nebak berhubung selama ini Ashley tidak pernah minum sampai mabuk saat bersamanya. Namun, itu jelas terdengar tidak biasa. Malam ini rasa penasarannya akan terjawab, tentang apa yang Ashley lakukan saat mabuk. Dia ingat ketika Kate mengatakan sesuatu tentang kebiasaan mabuk Ashley yang berbahaya dan tidak bisa berhenti memikirkannya sejak hari itu.
Elevator berhenti di lantai tiga. Dominick hanya perlu belok kanan sedikit dan tiba di bar. Tidak perlu waktu lama untuk menemukan keberadaan sang asisten pribadi. Dibanding pengunjung yang lain, gaun yang dikenakan Ashley cukup mencolok. Dan, wanita itu duduk tepat di hadapan bartender yang membuat minuman. Kardigan yang seharusnya menutupi bagian atas tubuh wanita itu dilepas, memberi akses bagi pengunjung pria untuk menonton bagian punggungnya yang terbuka.
Hal pertama yang Dominick lakukan setibanya di samping Ashley adalah melempar kardigan putih tadi untuk menutupi punggungnya.
"Bukankah kuminta kau memilih dasi. Kenapa di sini?"
Ashley menatap Dominick dengan mata sayunya dan tersenyum. "Ini," sahutnya sembari mengangkat tas belanja berukuran agak besar. "Aku memilihnya sebentar dan pergi ke sini. Kau saaaaangat lama, Bos."
Hidung Dominick berkerut ketika aroma alkohol menguar dari napas wanita di depannya. Entah seberapa banyak yang diminumnya sampai seperti ini.
"Pakai kardiganmu dengan benar, kita pulang." Dominick mengatakan itu sembari mengambil alih tas belanja dari tangan Ashley dan memanggil bartender terdekat untuk membayar.
"Tidak bisa, Bos. Panas. Ini sangat panas." Ashley membalas sembari mengipasi lehernya dengan tangan.
Dominick mengabaikannya sebentar untuk membaca minuman yang sudah ditenggak Ashley dari tagihan yang diberikan bartender. Keningnya spontan berkerut ketika membaca salah satunya adalah Sunset Rum. Itu adalah minuman dengan kadar alkohol yang sangat tinggi. Bisa-bisanya wanita itu menenggak minuman itu di tempat umum seperti ini, tetapi menolak minum dengannya.
Dominick memberikan beberapa lembar uang kepada bartender tadi dan membiarkan kembaliannya sebagai uang tip, hitung-hitung sebagai upah karena sudah menjaga Ashley di sana. Sekarang Dominick harus menghadapi Ashley yang mabuk dan berharap itu tidak akan membuatnya repot.
Kardigan yang tadi diletakkan ke punggung Ashley jatuh ke lantai. Dominick menghela napas dan mengambil kembali kardigan itu sebelum memaksa si pemilik memakainya lagi.
"Turun dari kursi, Harper, kita pulang."
"Huh? Kepalaku pusing, bisakah kau menggendongku?"
Setelah ini, Dominick merasa akan ikut pusing menghadapinya.
•••
Halo, teman-teman ...
Maafkan karena menghilang cukup lama ya.
Semoga cerita ini ke depannya masih bisa dinikmati.
See you in the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
28 Januari 2025
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top