48 - Confession

Pergi ke Toronto. Tidak peduli berapa kali Ashley memikirkan tentang itu, dia tetap tidak menemukan apa alasan dirinya ikut pergi. Dominick tidak mengatakan apa-apa tentang detail aktivitasnya di sana. Sejak awal, Ashley hanya tahu kalau agenda Dominick di sana adalah untuk bertemu beberapa kolega dan membicarakan anak perusahaan yang akan dibangun di sana. Ada satu undangan tentang reuni bersama teman-teman sekolah menengah Dominick dulu, yang kebetulan dilaksanakan di salah satu kelab di sana.

Dari semua agenda yang akan dilakukan Dominick di sana, tidak satu pun melibatkan Ashley. Terlebih lagi, mereka akan berada di sana selama dua minggu. Seharusnya Ashley lebih bisa memikirkan hal baiknya, jika dia tidak diperlukan di sana, dia bisa pergi jalan-jalan. Namun, Ashley lebih mempertimbangkan setumpuk pekerjaan yang akan menyambutnya begitu kembali bekerja. Kepergian tiga hari saja sudah membuatnya kewalahan, apalagi sampai sepuluh hari.

Namun, kenapa? Kenapa dia harus mencoba berkencan dengan bosnya sendiri? Ashley khawatir standarnya akan melambung tinggi jika pria itu berhasil memberinya pengalaman kencan terbaik dan tidak terlupakan. Walau pada kenyataannya Ashley merasa tidak pantas memasang standar, satu pria yang biasa saja belum pernah dia dapatkan, apalagi jika standarnya dinaikkan setara dengan Dominick?

Ashley tidak pernah membayangkan hal seperti itu terjadi. Melihat foto ketika mereka berdiri bersebelahan pun sama sekali tidak ada kecocokan, tidak peduli jika pakaian mereka serasi. Ashley tentu sangat tahu diri tentang itu, dan tidak mungkin dia akan mendapatkan satu dari kalangan rekan pebisnis Dominick untuk dijadikan kekasih karena kesenjangan status sosial yang terlalu nyata.

Lagi pula, Ashley sudah mengibarkan bendera putih sejak taruhan dikumandangkan oleh Melissa.

Jangankan memikirkan untuk berkencan dengan Dominick, ketika pria itu menyentuhnya saja sudah membuat jantungnya serasa hendak meledak. Kaget itu sudah pasti, tetapi debar jantungnya bertahan agak lama. Sudah pasti ada alasan lain dari itu. Bagaimana nasibnya dua minggu selama di Toronto nanti? Sepertinya Ashley akan gila.

"Hei, Ashley."

Satu cubitan di pipi membuat Ashley tersentak kaget dan mengalihkan pandangan dari sungai ke wajah di atasnya. "Kenapa?"

Jeremy, pelakunya, menatap keheranan wajah yang berada di pangkuannya. Pria itu sedang duduk bersila, kemudian menawarkan pada Ashley untuk berbaring di atas pahanya dengan beralaskan jaket yang dilipat. Ashley tidak menolak tawaran itu dan berbaring dengan nyaman di sana.

"Apa yang mengganggu pikiranmu? Kau terus melamun, ini yang ketiga kali."

Ashley meringis karena merasa bersalah. Seharusnya di kencan kedua ini akan sama menyenangkannya dengan kali pertama, tetapi Ashley tidak bisa fokus. Kencan kali ini mereka hanya mengelilingi Central Park sambil menikmati jajanan ringan yang dijual di titik tertentu. Karena lelah, mereka istirahat sebentar di tepi sungai.

"Maaf. Aku hanya berpikir tentang setumpuk pekerjaan yang akan kudapat setelah kembali dari Toronto." Yah, alasan yang itu juga sedikit mengganggu pikirannya.

Berhubung Jeremy sempat membicarakan tentang rencana jadwal kencan lanjutan mereka, Ashley tentu memberi tahu agenda keberangkatannya ke Toronto.

"Kau seharusnya mendapat predikat karyawan teladan dari kantor dan dihadiahi libur sebulan penuh. Kita sedang berkencan, tapi kau justru memikirkan tentang pekerjaan." Ucapan yang terdengar seperti sindiran itu membuat Ashley tertawa.

"Daripada itu, aku lebih senang menerima hadiah uang dengan nominal yang besar, lalu aku berhenti bekerja." Saat mengatakan itu, Ashley tidak sengaja melihat bintang jatuh. Mungkin saat itu Tuhan sedang berbaik hati hendak mengabulkan permintaannya meski tidak tahu kapan.

"Lalu bekerja denganku. Itu pemikiran yang bagus." Senyum Jeremy jelas bertujuan untuk menggoda.

"Aku tidak akan menambah keuntungan toko kalau bekerja denganmu."

"Memang tidak, tapi dengan kau di sekitarku akan mengurangi risiko stres."

"Stres? Aku bukan kucing peliharaan untuk mengobati stres."

Tawa renyah Jeremy terdengar begitu merdu, apalagi diiringi dengan suara serangga malam hari. Central Park tidak pernah sepi, tetapi posisi mereka yang jauh dari keramaian membuat suasananya menjadi lebih syahdu. Ketika mencari titik untuk menggelar tikar tadi, Jeremy terus bertanya apakah posisi itu membuat Ashley nyaman. Sebagai seorang pria, Jeremy sangat berhati-hati memperlakukan wanita.

Namun, Ashley masih terus bertanya-tanya kenapa dia tidak bisa memilih bersama Jeremy untuk menyelesaikan tantangan. Pria seperti Jeremy bukan untuk dipermainkan, apalagi tantangan itu hanya bagaimana agar hubungannya bertahan selama tiga bulan. Yang berarti, Ashley tidak bisa hanya memanfaatkan Jeremy untuk kepentingan pribadinya, walau tidak tertutup kemungkinan hubungan yang bertujuan coba-coba bisa bertahan lebih lama.

Lagi pula, Ashley tidak berniat untuk tinggal berlama-lama di New York. Segera setelah beban tanggungannya lebih ringan karena adik laki-lakinya memiliki pekerjaan, Ashley akan berhenti dan menjalani hidup yang lebih sederhana. Tidak hanya meninggalkan Vacade dan pimpinannya yang luar biasa itu, Ashley juga akan meninggalkan kenangan baik bersama Jeremy di apartemen itu. Menjalani hubungan lalu mengakhirinya hanya menyisakan kenangan yang penuh dengan penyesalan.

Selain itu, Ashley juga khawatir jika keluarga Jeremy tidak akan menerima wanita sepertinya. Tidak sedikit keluarga kalangan atas hanya memilih sesamanya untuk dijadikan besan.

"Sebetulnya aku penasaran." Ashley lalu bangun, menyadari kalau lama-lama menunduk akan membuat leher Jeremy sakit. "Aku sudah sering bercerita tentang keluargaku, tapi aku belum mendengar tentang ... keluargamu."

"Ah, soal itu ... ." Jeremy menggaruk kepalanya. Meski hanya sebuah gestur kecil yang tidak begitu berarti, tetapi Ashley sudah lebih dulu merasa tidak enak. Pasti ada alasan kenapa pria itu tidak ingin membicarakannya.

"Yah, kau tidak perlu mengatakannya, tidak ada paksaan." Ashley meraih minumannya yang sudah tidak dingin lagi dan meminumnya sambil berpura-pura tertarik memperhatikan tiga anak kecil yang sedang bermain di dekat sebuah pohon.

Namun, Jeremy segera meraih wajah Ashley dengan sebelah tangannya dan ditolehkan agar kembali menatap pria itu. Tangan itu tetap berada di sana sampai membuat Ashley mengernyit kebingungan.

"Bagaimana aku menceritakannya? Aku merasa malu."

"Apa yang membuatmu malu? Keluargaku bahkan jauh lebih berantakan untuk diceritakan." Bahkan, Ashley merasa lebih-lebih malu lagi setelah membuat Jeremy menghubungi Melissa untuk menanyakan keberadaannya. Setelah menceritakannya pada Dominick beberapa hari lalu, Ashley juga berbagi pada Jeremy. Tetangganya itu bisa lebih cerewet dari wanita kalau sudah mengkhawatirkannya.

"Bukan begitu." Jeremy diam dan tangannya turun dari wajah Ashley, untuk beberapa saat hanya membalas tatapan penuh harap yang wanita itu perlihatkan padanya. "Orang tuaku punya gedung serba guna di Manhattan, dulu kami tinggal di lantai teratas, tapi sekarang tinggal mereka berdua karena anak-anaknya sudah ditendang keluar rumah—bukan dalam arti yang buruk. Mereka ingin menikmati kebersamaan tanpa ada kami yang mengganggu. Aku punya satu saudara laki-laki yang usianya tujuh tahun di atasku. Dia sudah menikah dan tinggal di dekat sini, tapi aku minta dia untuk tidak perlu berkunjung karena aku juga malas menemuinya."

Ashley mengangguk-angguk. Sesuai dugaannya, Jeremy bukan orang yang susah. Memiliki sebuah gedung, apalagi di daerah Manhattan, sudah dipastikan adalah orang dari kalangan elite. Lagi, kesenjangan sosial itu terus membuat Ashley ragu.

"Lihat, tidak ada yang memalukan dari keluargamu."

Sebetulnya Ashley hanya berusaha menghibur, tetapi itu justru membuat Jeremy cemberut. Karena merasa tidak enak, Ashley menunduk, menyibukkan diri dengan memeriksa ponsel yang tidak sedang menerima pesan apa pun.

"Hidupku terlalu mudah, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuanganmu. Kau wanita yang hebat, itu sebabnya aku merasa malu." 

"Ah ... ." Ashley tidak tahu merespons apa selain mengeluarkan desahan. Tidak pernah sekali pun dia berpikir seseorang akan memandangnya seperti itu. Pada dasarnya, Ashley merasa kesulitan melihat sisi baik dari situasinya yang sejak awal sudah dianggap sebagai ketidakadilan. "Tapi, seharusnya itu membuatmu bersyukur." 

Jeremy menatap Ashley dengan kepala yang ditelengkan. Entah apa yang pria itu pikirkan, Ashley jadi kebingungan dibuatnya. Tetangganya itu memang suka memperhatikan, tetapi tidak sampai menciptakan situasi yang sunyi berlama-lama, kecuali ketika dia sedang menemani Ashley bekerja.

Ashley tidak membenci keheningan ketika mereka sedang menghabiskan waktu bersama. Namun, dia jadi punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Salah satu yang terlintas di kepalanya adalah kenapa mereka melakukan ini. Ketika tantangan yang dibuat bersama dua sahabatnya terus mengganggu pikirannya beberapa waktu terakhir, Ashley mulai mempertanyakan apakah dirinya memiliki nilai yang mampu menarik perhatian orang lain dalam hal romantisme.

Saat ini ada dua pria yang mengajaknya berkencan, tetapi tidak jelas apa tujuannya. Bersama Jeremy, ada hal berbeda dari ketika mereka pergi jalan-jalan biasa, tetapi tidak begitu signifikan. Biasanya tidak ada bergandengan tangan dan kali ini mereka melakukannya. Sayangnya, Ashley sendiri tidak merasakan ada arti yang lebih dalam dari mereka melakukan itu. Bergandengan tangan sama saja seperti berjabat tangan, tidak ada yang spesial dari itu.

Berhubung Jeremy pernah berkata kalau saat berkencan mereka boleh bertanya tentang satu sama lain, Ashley lantas berpikir untuk bertanya. Meski hanya pertanyaan yang sederhana, sudah cukup untuk membuat Ashley berdebar. Dia sendiri merasa ini sungguh konyol. Sebagai orang yang tidak terbiasa mengorek informasi seseorang, Ashley jadi merasa khawatir Jeremy akan merasa tidak nyaman. Namun, dia juga tidak bisa memendamnya berlama-lama.

Ashley mulai frustrasi.

"Um, sebetulnya aku penasaran." Pada akhirnya itu terucap juga.

"Tentang apa?"

"Kenapa kau memilih melakukan ini?" Wajah Ashley mengerucut sebentar begitu sadar pertanyaan itu terdengar ambigu. "Kenapa memilih berkencan sebagai gantinya?"

Ashley masih bisa memaklumi percobaan berkencan dengan Dominick mengingat pria kaya itu memiliki selera yang tidak biasa. Jeremy bukan pria eksentrik seperti Dominick, jadi Ashley mulai mengharapkan alasan yang wajar dan bisa diterima oleh akal sehatnya.

Sekali lagi, satu tangan Jeremy menangkup wajah Ashley. Tangan yang sebelumnya terasa hangat, kali ini menjadi lebih dingin. Perubahan suhu itu mungkin dipengaruhi oleh udara malam yang makin dingin.

"Bisa berjanji tidak akan menjauhiku kalau mengetahuinya?"

"Ya? Seburuk itukah alasannya?" Kening Ashley berkerut dan bola matanya bergulir ke arah lain demi menghindari tatapan penuh damba yang ditujukan Jeremy padanya.

"Tidak, tapi kau tidak akan senang mendengarnya."

Tangan Ashley yang berada di pangkuan terkepal begitu saja. Sebisa mungkin dia berusaha untuk percaya kalau alasan Jeremy tidak sama konyolnya dengan Dominick. Sekarang dia mulai menyesal dan takut mendengar jawabannya.

"Tidak perlu dijawab, itu hanya ... aku penasa—"

"Aku menyukaimu."

"—ran. Apa?"

Meski Jeremy mengatakannya secepat kilat, Ashley tetap bisa mendengarnya dengan jelas. Tidak ada alasan untuk menganggap dirinya hanya salah mendengar. Suara Jeremy terngiang-ngiang di kepalanya, memaksanya untuk memberikan respons yang pantas. Namun, ini adalah kali pertama Ashley mendengar sesuatu seperti itu dari seorang pria.

Jadi, respons macam apa yang tepat untuk menanggapinya? Ashley jadi gelagapan dan itu membuatnya ingin melarikan diri dari sana.

"Aku sangat menyukaimu, Tetanggaku. Seharusnya tidak kukatakan secepat ini. Saat kencan kelima, aku berencana mengakui perasaan ini. Aku sengaja mengulur waktu untuk meyakinkan diriku apakah ini masih sekadar rasa suka atau memang sudah masuk dalam tahap mencintai. Tapi, aku tidak bisa menahannya lagi ketika kau menatapku seperti tadi. Aku ... juga tidak ingin terlambat dan menyesal pada akhirnya."

Terlambat dari apa?

Ashley meraih tangan Jeremy yang masih berada di wajahnya. Untuk beberapa saat hanya menahannya tetap di sana sembari memejamkan mata. Apa yang dia lakukan sekarang seakan-akan sedang berusaha meresapi perasaan yang sedang pria itu sampaikan melalui sentuhannya. Di satu sisi dia merasa terharu, tidak menyangka seseorang akan memiliki perasaan yang tulus itu terhadap dirinya. Namun, di sisi lain Ashley juga merasa khawatir kebaikan pria itu selama ini adalah sebuah upaya agar perasaannya berbalas.

Satu hal yang pasti, Ashley belum bisa melibatkan orang lain untuk ikut merasakan kekacauan dalam hidupnya. Terlebih lagi, orang itu adalah Jeremy. Setelah tahu Jeremy memiliki hidup yang mudah, Ashley tidak ingin merusaknya.

Ashley membuka matanya lagi bersamaan dengan menyingkirkan tangan Jeremy dari wajahnya. Saat Jeremy memberinya tatapan penuh kekhawatiran, dia jadi takut salah bicara dan berujung melukai perasaannya.

"Kumohon, jangan merasa terbebani karena pengakuanku."

Yah, kenapa Ashley harus repot-repot memikirkan sesuatu yang tidak perlu? Seperti biasa, Jeremy selalu peka dan mengerti dirinya dengan baik.

"Tidak. Itu, aku hanya terkejut. Dan aku minta maaf karena—"

Ashley terdiam karena telunjuk Jeremy berada di bibirnya.

"Jangan katakan sekarang." Jeremy menarik kembali telunjuknya dan beralih menyelipkan beberapa helai rambut Ashley ke belakang telinganya. Udara yang berembus makin kencang meniup rambut Ashley hingga menghalangi matanya. "Nanti saja, saat kencan yang kelima. Aku akan menyatakan perasaanku lagi dengan benar, dan pada saat itu baru kau boleh memberikan jawaban. Ayo, kuantar ke tempat temanmu."

Sebetulnya, Ashley ingin sekali menanyakan banyak hal pada pria itu. Namun, Jeremy sudah meminta agar mereka tidak membicarakannya lagi—meski secara tidak langsung. Lantas, ketika pria itu berdiri dan mengulurkan tangan untuk membantu, Ashley segera meraihnya.

"Yang tadi itu, mengejutkan. Boleh aku pura-pura tidak mendengarnya dulu?"

Jeremy sukses dibuat tertawa karena lelucon tidak lucu yang Ashley lontarkan. "Coba saja. Justru kau akan lebih banyak memikirkanku setelah ini."

•••

Ashley memeriksa waktu di arlojinya ketika mobil Jeremy berhenti di depan gedung apartemen Kate. Dia dan kedua sahabatnya memang sudah membuat janji akan bertemu dan menginap di sana. Ashley sudah lebih dulu memberi tahu mereka kalau akan datang terlambat mengingat hari ini dia sudah lebih dulu membuat janji berkencan dengan Jeremy.

Setelah memberi salam terakhir dan berpesan agar Jeremy mengemudikan mobil dengan berhati-hati, Ashley baru memasuki gedung apartemen. Namun, itu pun masih harus melewati perdebatan panjang karena Jeremy tidak akan pergi sampai melihat Ashley memasuki gedung. Akhirnya, Ashley menyerah dan begitu sudah berada di dalam gedung, dia menyempatkan berbalik badan lagi sekadar untuk memastikan Jeremy melajukan mobilnya.

Hari ini, masih sulit untuk Ashley percaya. Pria yang tidak pernah dia duga akan memiliki rasa terhadapnya justru menyatakan perasaannya. Keberhasilan tantangan itu ada di depan mata, tetapi dia memilih untuk tidak gegabah. Jeremy tidak akan senang kalau tahu mereka berpacaran hanya karena Ashley ingin menyelesaikan tantangan. Yah, itu tidak begitu penting untuk saat ini. Yang perlu Ashley pikirkan adalah alasan apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan tentang progres tantangannya. Terkadang mereka terlalu berisik sampai membuat Ashley risi.

Ashley tersentak ketika pintu flat milik Kate terbuka. Dia bahkan belum sempat menekan bel.

"Mau ke mana?" Pertanyaan itu spontan terlontar karena si penghuni yang baru membuka pintu sedang mengenakan jaket tebal dan di tangannya ada tas belanja.

"Aku mau ke minimarket bawah untuk belanja, beberapa bumbu dapurku habis. Kau masuk saja, Melissa ada di dalam."

"Ah, oke."

Sepeninggal Kate, Ashley pun masuk ke flat Kate. Ashley selalu mengakui kalau di antara mereka, Kate adalah yang paling pandai menata rumah. Barang-barang disimpan berdasarkan kategorinya kategori fungsinya. Tidak ada yang berantakan, barang-barang yang kecil disimpan di dalam laci. Berkat penataan yang sempurna, tempat tinggal Kate selalu terlihat bersih dan rapi.

Satu-satunya kesamaan mereka bertiga adalah tidak suka mengoleksi barang-barang dekorasi. Selain itu, mereka menyayangkan uang yang habis untuk barang tanpa kegunaan khusus.

Dinding di hadapan Ashley pun seharusnya kosong, hanya ada satu kail untuk menggantung kunci. Namun, hari ini seluruh perhatiannya tertuju pada sebuah kanvas berpigura yang digantung di tengah-tengah dinding ruang tamu, tepat di atas sofa. Tanpa Ashley bertanya pun, dia sudah tahu siapa yang menggambar di kanvas tersebut.

Tanda tangan Dominick yang tidak banyak diketahui orang lain dibubuhkan di ujung garis sketsanya. Pria itu memang sengaja membedakan tanda tangannya untuk bisnis dan hasil coretannya.

"Ash, kau masih di sini?"

Rupanya Ashley terlalu lama berdiri di sana sampai tidak sadar Kate sudah kembali.

"Itu cantik, bukan? Dominick menggambarnya saat di galeri kemarin. Kenapa tidak bilang kalau dia jago menggambar?"

Bagaimana mengatakannya? Sketsa itu memang terlihat cantik, tetapi itu bukanlah karya terbaik Dominick. Ashley rasa jika pria itu menuangkan perasaannya pada gambar tersebut, hasilnya akan jauh lebih sempurna. Ashley tidak berbohong soal tidak begitu mengerti tentang seni, tetapi dia pernah bergabung dalam sebuah klub seni kampus. Hanya sebentar, sebab setelah itu dia harus mulai mencari pekerjaan dan tidak ada waktu untuk mengembangkan diri.

Dari apa yang Ashley analisis dengan pengetahuan seadanya, garis yang dibuat Dominick cukup kasar. Alih-alih menikmati keindahan hasil akhirnya, Ashley justru merasa gambar itu terasa hampa. Garis senyum Kate dari samping memang terlihat, tetapi tidak mampu mengatasi kekosongan yang Ashley rasakan. Kanvas itu bahkan masih memiliki banyak ruang untuk diisi. Lantas, mengapa Dominick tidak mengisinya seperti dia memenuhi halaman bukunya dengan gambar bibir?

Kenapa dia menggambar Kate dengan terburu-buru, sedangkan menggambar bibir dengan sangat detail? Garis-garis yang dia coretkan jauh lebih halus dari garis yang dia buat saat menggambar sketsa Kate. Siapa yang Dominick pikirkan ketika menggambar bibir-bibir itu?

"Dia memang tidak menonjolkan hobinya, aku juga terkejut dia bisa menggambar sebagus ini." Tidak peduli jika Kate mungkin saja kandidat kuat untuk menjadi pasangan Dominick, Ashley pikir dirinya tidak perlu bersusah payah membagikan kebiasaan bosnya yang satu itu secara berlebihan.

"Sepertinya aku makin menyukai bosmu itu meski dia berkata agar aku tidak terlalu berharap." Kate menyusul berdiri di samping Ashley, turut memandangi mahakarya Dominick.

"Tidak berharap bagaimana?"

"Kupikir pria seusianya sedang diburu-buru oleh pernikahan, jadi aku mencoba sedikit lebih aktif. Tapi, secara tidak terduga dia membangun tembok. Kupikir aku sudah berada di pintu masuk, tapi rupanya ada tangga yang harus kupanjat." Kate menoleh, dan Ashley segera menyadari itu hingga sekarang wajah mereka saling berhadapan. "Seperti apa yang pria rasakan padaku sebetulnya?"

Ashley menggeleng. "Aku tidak bisa sepenuhnya memahami pria itu, Kate."

Sulit untuk Ashley percaya, pria yang selalu melakukan semuanya cepat dan cermat, sekarang seakan-akan sedang mengulur waktu. Kalau memang sudah tidak ada keinginan untuk bertemu, kenapa tetap mengiakan ketika Ashley menyarankan pergi dengan Kate? Ashley merasa kepalanya mulai berdenyut. Sungguh keterlaluan kalau Dominick benar-benar menjadikan Kate sebagai bayaran agar dia mau menuruti percobaan kencan yang Dominick gaungkan akhir-akhir ini.

"Hei, apa yang kalian lakukan di sana? Bantu aku dengan penggorengannya, sepertinya sudah hampir gosong."

Ashley bernapas lega, Melissa menyelamatkannya dari situasi menyesakkan tadi.

"Ah, benar. Aku lupa masakanku!"

Kate langsung berlari menuju dapurnya sampai menabrak bahu Melissa.

"Bagaimana?" Ashley mengernyit kebingungan karena Melissa tiba-tiba menanyakan sesuatu yang menurutnya terdengar aneh.

"Apa?"

"Kencan dengan tetanggamu. Aku menunggu kapan dia menyatakan perasaannya."

Hah? Sebaiknya Melissa tidak perlu tahu dulu kalau Ashley sudah mendengarnya.

•••

Semoga di tahun 2025, Tuteyoo bisa lebih aktif lagi menulisnya. Aamiin.

See you in the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
27 Desember 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top