47 - Forgotten Things

Ada banyak pesan masuk di ponsel Ashley saat tidak aktif. Semua orang mencarinya, termasuk dua sahabat yang seharusnya tidak mengetahui kepergiannya. Salah satu dari Jeremy atau Dominick pasti bertanya pada mereka.

Jeremy menyimpan kontak Melissa, Dominick menyimpan kontak Katherine.

Tujuan Ashley menyalakan kembali ponselnya bukan untuk membalas pesan tersebut satu per satu. Keterlambatannya tentu mengacaukan jadwal Dominick hari ini, apalagi seharusnya sekarang Dominick menghadiri rapat internal perusahaan. Meski jadwal pagi ini sudah di-backup Daphne, tetapi tentu saja Ashley perlu memberi tahu kalau dia akan melakukan sisanya hari ini. Dia tidak ingin membuat repot wanita itu terlalu banyak.

Namun, sebelum dia sempat mencari kontak pesan Daphne, isi pesan teratas yang memang Ashley sematkan, menarik perhatian. Isinya sesuatu yang tidak dia mengerti, bahkan Ashley lupa pernah membuat kesepakatan khusus dengan orang itu. Si pengirim ada di sebelahnya, mudah saja bertanya kalau tidak mengerti maksudnya, tetapi sekarang waktunya kurang tepat. Tidak etis mempertanyakan hal lain ketika ada hal lebih penting untuk dibicarakan; saat ini Ashley perlu memohon pengampunan padanya.

Sudah bermenit-menit berlalu Ashley berada di mobil Dominick. Mereka sedang dalam perjalanan menuju kantor dengan Taylor yang mengemudi. Selama itu juga Dominick tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Keheningan yang sudah sering terjadi di dalam mobil terasa berbeda kali ini. Tidak bisa dipungkiri jika suasana hati pria itu sedang tidak bagus, apalagi dirinya sudah melalaikan pekerjaan.

Baiklah, Ashley rasa itu akan menjadi urusan nanti, pertama-tama dia harus segera menghubungi Daphne kalau dia sudah bisa melakukan pekerjaannya

Ashley
Terima kasih banyak atas bantuanmu hari ini.
Aku akan menangani agenda sisanya.

Daphne - General Secretary
🤔?
Direktur memberimu libur hari ini.
Dia bilang kau sedang dalam situasi yang tidak baik dan perlu istirahat.
Aku sudah mengurus semuanya, seluruh agenda Direktur hari ini dibatalkan. Aku akan mengabari jawaban dari pihak-pihak terkait yang kuhubungi terkait penundaan jadwal.
😇😇

Pria yang selalu mencarinya, menggantungkan segala urusan pribadi di kantor padanya, hari ini dengan murah hati memberinya izin? Dia bahkan baik-baik saja, tidak ada masalah jika harus melanjutkan pekerjaan hari ini.

Ashley
😧
Apa baik-baik saja kalau kau mengurus pekerjaanku hari ini?

Daphne - General Secretary
Iya. Tenang saja.
Selamat beristirahat. 😇

Ashley menatap kebingungan Dominick yang berada di sampingnya, sementara yang ditatap tetap tenang tanpa menyadari itu. Matanya tertuju pada iPad di pangkuan, membaca dokumen yang baru beberapa saat lalu Ashley kirimkan. Dominick terlalu fokus untuk diganggu, tetapi Ashley juga tidak merasa tenang kalau tidak bertanya.

Diberi libur seharusnya membuat Ashley senang, tetapi tidak jika bosnya adalah Dominick McCade.

Lantas, apa yang Ashley tunggu? Mengganggu atau tidak pun dia tetap akan dimarahi. Pria itu hanya tetap terlihat tenang karena saat ini Taylor bersama mereka dan sedang mengemudikan mobil.

"Bos, apa aku benar-benar diliburkan hari ini?" Ashley menelan ludah karena pria itu hanya merespons dengan gumaman. "Kalau Daphne bisa menggantikanku, seharusnya agenda hari ini tidak perlu dijadwalkan ulang semuanya, 'kan? Maksudku, aku sudah bisa mengerjakan sisanya hari ini."

Dominick menatap Ashley lamat-lamat. Matanya menyapu seluruh wajah wanita itu, seakan-akan sedang mencari sesuatu yang salah. Dari mata, hidung, bibir, rahang, dan terakhir pada bagian bawah rambut Ashley yang masih lembap.

Ashley yang tidak mengerti maksud tatapan Dominick lantas menunduk untuk melihat penampilannya sendiri. Mungkin ada yang aneh hingga membuat pria itu merasa terganggu. Kemejanya lupa dikancing mungkin? Namun, tidak. Pakaian yang Ashley kenakan cukup rapi meski sangat terlambat. Yah, meski kardigan hijau tuanya tidak cocok untuk celana cokelat yang dikenakannya. Tidak ada waktu lagi untuk memilih pakaian.

"Aku menyisihkan waktu untuk mendengarkanmu." Satu tangan Dominick terulur untuk meraih bagian bawah rambut Ashley yang basah masih lembap di depan dadanya. "Kau tidak membalas pesanku sejak tadi malam."

Karena merasa tidak nyaman, Ashley menarik rambutnya untuk diselipkan ke belakang. "Aku tidak tahu harus merespons apa, itu tidak seperti pesan yang penting?"

"Harper sudah menjadi asisten pribadiku selama lebih dari lima tahun, tapi untuk hal sesederhana itu harus diingatkan?"

"Apa aku melupakan sesuatu?"

Bahkan, jika membuka kembali catatannya, baik itu yang ditulis dengan tangan atau ditulis dalam bentuk digital, tidak ada satu pun tulisan yang menyatakan bahwa dia tidak boleh melanggar sesuatu. Kadang-kadang Dominick berhasil membuat Ashley merasa tidak berguna karena pria itu memiliki ingatan yang lebih tajam. Seharusnya tidak perlu ada asisten pun dia pasti mampu melakukan semua hal sendirian.

"Direktur, kita sudah sampai." Suara Taylor menyadarkan Ashley bahwa perjalanan yang mereka tempuh bukanlah ke kantor, melainkan sebuah hotel yang memang berafiliasi dengan Vacade.

"Kita akan bicara di dalam," ujar Dominick sembari menyodorkan iPad di pangkuannya tadi kepada Ashley. Tanpa instruksi tambahan, Ashley sudah tahu bahwa dia harus membawakan benda tersebut.

"Kita tidak ke kantor?"

"Kau bilang aku akan memberimu makan, aku sudah memesan sesuatu untuk kita di resto hotel."

Ashley melotot sekaligus merasa malu. Rupanya apa yang dia bisikkan pada Jeremy tadi pagi masih bisa didengar pria itu. Sekarang, alih-alih menganggap itu adalah sebuah kebaikan, Ashley berpikir Dominick merasa terpaksa melakukannya karena ketidaktahudiriannya.

"Maafkan aku, Bos. Yang tadi itu tidak serius, aku hanya ingin Jeremy berhenti cerewet." Ashley mengatakan itu setelah mereka keluar dari mobil dan sambil berjalan memasuki hotel.

"Kau membuatku terdengar seperti pria yang kejam lagi. Tetanggamu itu berlebihan."

Dominick mulai lagi. Ashley tidak ingat ada kejadian khusus di pertemuan Dominick dengan Jeremy hingga membuatnya tidak begitu menyukai tetangganya itu. Jeremy memang tidak bisa menyembunyikan rasa tidak sukanya terhadap Dominick, tetapi Ashley tahu kalau Dominick bukanlah pria yang akan peduli pada hal remeh-temeh seperti itu. Sudah pasti ada hal lain yang membuat Dominick tidak menyukainya.

"Ini juga berlebihan. Aku bisa makan di kantin kantor, tapi kau membawaku ke resto mewah ini." Ashley baru berani mengatakan itu setelah mereka tiba di resto yang menjadi destinasi Dominick.

Pagi ini tidak begitu banyak orang yang makan di sana. Paling-paling hanya tiga atau empat meja yang terisi, tetapi Dominick tetap meminta ruangan khusus untuk mereka makan. Sungguh cara yang menakjubkan untuk membuang-buang uang, mengingat mereka hanya akan sarapan sebentar di sana.

"Ini bukan untukmu, aku juga perlu sarapan."

Kata-kata itu terdengar begitu tajam hingga menembus hati kecil Ashley yang sudah berharap berlebihan. Tadinya dia sudah mempersiapkan ucapan terima kasih paling tulus meski sudah mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan untuk mengimbangi sikap Dominick, tetapi itu tertelan kembali bulat-bulat. Hanya karena pria itu memberi sedikit perhatian, Ashley jadi merasa lebih haus. Sungguh tidak pantas Ashley mengharapkan sesuatu seperti itu.

Dominick tidak bertanya dulu apa yang Ashley ingin makan, sebab pelayan resto langsung menyajikannya begitu mereka menempati meja di sana. Mereka menyantap hidangan itu dalam diam, dan Ashley menghabiskannya lebih cepat dari Dominick karena memang sangat lapar.

Tadi malam, dia hanya minum sekaleng kopi saat di perjalanan pulang. Namun, kopi itu pun tidak mampu membantu dirinya tetap terjaga. Ashley tetap mengantuk dan menepi untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya sejenak. Selain itu, tidak ada hal lain yang masuk ke perutnya.

"Jadi, Harper, aku ingin mendengar apa yang terjadi padamu semalam."

Dominick meraih gelasnya hanya untuk dijepit di antara jari-jari. Gestur seperti itu seakan-akan memperlihatkan bahwa dia sudah menantikan saat ini sejak tadi. Berarti, itu alasannya memesan ruangan khusus di resto ini, agar privasi tetap terjaga. Ashley bukan wanita yang suka menggembar-gemborkan masalah pribadinya, dan Dominick sepertinya mengerti tentang hal itu. Dengan hanya mereka berdua di sana, Ashley bisa bercerita dengan leluasa.

"Maaf, Bos. Itu bukan sesuatu yang bisa kuceritakan."

Lagi pula, apa gunanya? Banyak orang tahu juga tidak akan mengubah apa pun. Menerima banyak simpati dari orang lain juga untuk apa? Ashley terus memikirkannya dan tekadnya sudah bulat untuk tidak menceritakan detail sekecil apa pun pada Dominick.

"Apa aku harus menjadi tetanggamu dulu agar kau mau bercerita?"

Ashley tidak mengira kalau Dominick akan mendengar semua pembicaraannya dengan Jeremy tadi, termasuk rencana dirinya hendak menceritakan apa yang terjadi. Padahal, Ashley tidak benar-benar melakukannya. Meski sering menghabiskan waktu bersama, Ashley selalu menahan diri untuk tidak membagikannya, tidak peduli jika masalah keluarganya terus menghantui pikiran.

"Bos, aku tidak mengatakan itu dengan serius padanya tadi. Itu hanya untuk membuatnya diam." Ashley menatap lurus mata pria itu, untuk menunjukkan bahwa dia memang serius dengan ucapannya.

"Kita tidak bisa pulang sampai aku mendengarnya."

Jadi, ini alasan Dominick membatalkan seluruh agendanya hari ini.

"Tapi, itu bukan sesuatu yang menyenangkan untuk diketahui." Kening Ashley berkerut begitu menyadari dirinya tidak akan terlepas dari situasi ini dengan mudah. Dominick yang keinginannya selalu terwujud, akan selalu menemukan cara untuk mendapatkannya.

"Kalau kau hilang lagi, aku harus mencari ke mana?"

Keseriusan di mata Dominick membuat Ashley khawatir akan salah menanggapinya. Itu bukanlah sikap yang akan ditunjukkan seorang pimpinan terhadap karyawannya, tidak peduli jika posisi Ashley mengharuskan adanya interaksi yang intens di antara mereka. Kalau dia benar-benar hilang, Dominick seharusnya berpikir untuk mencari penggantinya, seperti yang dulu sering pria itu lontarkan ketika Ashley membuat kesalahan.

"Itu tidak akan terjadi lagi, Bos."

"Kau juga mengatakan hal yang sama dulu."

Astaga. Bagaimana mungkin Dominick bisa mengingat hal itu?

Ashley sudah lupa tentang kejadian ketika dirinya pergi meninggalkan pekerjaannya dari pukul sepuluh pagi sampai malam. Besoknya, Dominick menunjukkan surat pemberhentian yang belum ditandatangani sebagai bentuk peringatan. Ashley juga tidak menjelaskan apa-apa selain mengatakan kalau ada "situasi darurat di keluarganya". Sulit membujuk kembali pria itu agar memberinya kesempatan kedua. Sejak saat itulah Dominick kerap memakai ancaman akan memberhentikan Ashley kalau pekerjaannya tidak beres.

Kali ini, mungkin Ashley tidak akan dimaafkan lagi kalau tidak menceritakan apa yang terjadi. Sulit sekali melarikan diri dari situasi ini.

"Sebelum itu, Bos, boleh aku minta penjelasan atas pesan yang kau kirimkan semalam?"

Sebelah alis Dominick terangkat, nyaris membuat Ashley berpikir bahwa pesan itu mungkin hanya sebuah kesalahan. Akan tetapi, pria itu menyeringai setelahnya. Ashley menganggap itu menyebalkan karena sudah membuat khawatir sesuatu yang tidak jelas.

"Kemampuan bertransaksimu terus berkembang. Aku akan memberi tahu setelah mendengar bagianmu."

Ashley pasrah. Mungkin tidak akan menyakitkan jika berbagi tentang masalahnya pada satu orang lagi.

•••

Katherine Willow
Kau sudah mendapat kabar dari Ashley?

Melissa Rose
Belum.
Kau ingat ini pernah terjadi juga dulu?
Dia hanya menenangkan diri dan akan kembali, tapi sekarang jadi mengkhawatirkan karena tetangganya menghubungiku.

Katherine Willow
Sepertinya dia belum benar-benar mengerti kebiasaan Ashley.
Sekarang jadi aneh karena dia tidak kunjung membalas pesan padahal sudah masuk ke ponselnya.

Melissa Rose
Mungkin dia akan memeriksanya sebentar lagi.
Kau bekerjalah, aku yang akan mencoba menghubunginya lagi nanti.

Katherine Willow
Baiklah.

Kate meletakkan ponsel dalam posisi terbalik ke atas meja, berharap dengan cara itu dia bisa fokus menulis setelah ini. Namun, keinginan itu tidak terwujud karena Mariah, sang pimpinan redaksi, membuka lebar pintu ruangannya hingga menimbulkan suara keras. Tidak hanya Kate yang dikejutkan oleh aksi tersebut, seluruh penghuni lantai tersebut pun teralihkan perhatiannya dari pekerjaan yang mereka lakukan.

Mata Mariah berpendar cepat memindai seisi ruangan, sampai kemudian berhenti di meja Kate. Sekali lagi, Mariah membuat semua orang mengikuti arah tatapannya. Kate secara tiba-tiba menjadi pusat perhatian, padahal posisi mejanya berada jauh di sudut ruangan.

Kate mulai berpikiran buruk tentang kinerjanya, mengingat seorang Mariah tidak akan menghampiri meja pegawai di bawahnya jika bukan karena ada masalah. Dan, sebelum ini Kate juga tidak melakukan kesalahan yang berujung menjadi perhatian khusus.

"Katherine Willow."

Kate segera berdiri ketika wanita itu tiba di sebelahnya dan memanggil dengan nama lengkapnya. Saat itu satu-satunya yang menarik perhatian Kate adalah bagaimana Hailey melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Posisi meja Hailey bahkan jauh darinya, berdekatan dengan pintu ruangan Mariah. Kate terlalu peka untuk menyadari bahwa seseorang tidak begitu menyukainya.

Namun, lupakan bagian itu dan Kate berusaha untuk fokus dengan maksud keberadaan Mariah di sampingnya sekarang. Wanita dengan yang tubuhnya dibalut pakaian ketat itu menjatuhkan beberapa lembar kertas di atas mejanya. Di bagian atas halaman pertamanya terdapat kata 'Daftar Pertanyaan' yang ditulis dengan pena. Mariah sepertinya hendak memberi Kate tugas lapangan lagi. Kalau benar, itu akan menjadi tugas lapangan kedua Kate.

"Karena aku menyukai hasil kerjamu pada Dominick McCade, kali ini aku ingin kau menggantikanku menginterviu pimpinan perusahaan game, Alby Mateo. Kau akan didampingi salah seorang dari bagian fotografer untuk mendokumentasi. Ini tidak akan kukoreksi lagi, jadi bisa langsung diterbitkan di situs kita jam tujuh malam nanti."

Kate menangkap dengan jelas instruksi Mariah meski dikatakan dengan cepat, tetapi tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran yang muncul atas apa alasan Mariah meminta untuk digantikan. Dan, Mariah cukup peka untuk membaca kebingungan akan hal itu di wajah Kate.

"Direktur mendadak hendak rapat pukul tiga nanti, itu berbarengan dengan jadwal interviu sebetulnya. Alby Mateo bukan orang sembarangan, jadi aku memilih yang berhati-hati. Oh, dan kau bisa pergi setelah istirahat makan siang. Pertanyaan yang kutulis itu kau ketik ulang saja agar lebih rapi."

Kertas-kertas tadi diraih Kate untuk dibaca. Matanya kerap menyipit karena tulisan Mariah di beberapa bagian sama cantiknya dengan tulisan tangan dokter.

"Baiklah, tapi aku akan pergi dengan siapa?" Kate harap dia boleh memilih, karena hanya ada satu orang yang dia pikirkan dari tim fotografi. Dia tidak tahu apakah akan mudah menjalin hubungan kerja dengan orang yang baru ditemui beberapa jam sebelum pekerjaan dimulai. Terlebih lagi, orang yang akan dia interviu adalah pebisnis yang levelnya setara dengan Dominick McCade.

"Kau akan pergi dengan Jimmy Jung, dia baru saja meraih peringkat pertama di timnya sebagai karyawan dengan kinerja terbaik bulan lalu."

Senyum Kate mengembang begitu saja. Rasa gugupnya menguap begitu saja setelah tahu dirinya ditugaskan untuk pergi dengan Jimmy. Dia bahkan tidak harus memohon sampai merengek agar bisa dipasangkan dengannya.

"Baiklah. Terima kasih, Mariah."

"Aku mengandalkanmu kali ini, jadi jangan kecewakan aku."

Mariah kembali ke ruangannya setelah mengetuk dua kali permukaan meja Kate. Ketegangan di ruangan itu sirna seketika. Mariah bukan atasan yang pemarah, tetapi dia hanya akan menghampiri anggota tim langsung ke mejanya seperti tadi jika terdapat kesalahan yang fatal. Kate belum pernah melihat langsung, tetapi Penelope sudah memperingatkannya terlebih dahulu. Tentu saja situasi tadi membuat semua orang merasa tegang.

Sayangnya, ketenangan itu hanya berlangsung sebentar. Kate dan rekan kerjanya yang lain dikejutkan oleh suara kursi yang dihantamkan ke lemari di belakangnya. Pelakunya adalah Hailey, yang kemudian beranjak pergi dari ruangan tanpa lupa membanting pintu.

"Wow. Itu sangat intens," ujar salah seorang pegawai pria.

"Kita sudah terlalu sering membiarkan dia melakukan semuanya. Sesekali dia harus istirahat." Pegawai lainnya menimpali.

"Kau lihat wajahnya? Kurasa itu lebih masam dari lemon."

Kate berharap dia tidak mendengar keributan kecil itu, karena jujur saja dia jadi tidak enak karena melakukan sesuatu yang diharapkan oleh orang lain. Namun, dia juga berusaha meyakinkan bahwa dirinya tidak sepenuhnya bersalah, Mariah menunjuk langsung dirinya. Kate selalu melakukan semua hal dengan baik tanpa ada maksud atau tujuan untuk mendapat perhatian khusus.

Yah, kejadian pegawai iri terhadap kinerja orang lain memang kerap terjadi, dan Kate sudah tahu Hailey tidak menyukainya. Mereka tidak pernah bertegur sapa sebelumnya. Saat pengerjaan kolom pun, wanita itu melakukan tugasnya dengan baik tanpa harus mendiskusikan hal-hal tertentu pada Kate.

"Hei. Kau melamun."

Kate meringis ketika tangan Penelope mendarat di bahunya. Meski itu pukulan ringan, tetapi tetap terasa sakit karena tangan itu tebal dan berat.

"Aku sedang berpikir." Kate merespons asal-asalan.

"Hailey memang begitu, abaikan saja. Kau bukan orang pertama yang dibencinya."

"Apa kau juga termasuk?"

Penelope memundurkan kursi agar Kate bisa menyaksikan keseluruhan tubuhnya. "Maksudmu membenciku karena tidak memiliki tubuh seberat ini? Kuharap begitu, aku akan dengan senang hati berpose di depannya."

Kate tertawa. Penelope adalah rekan kerja yang sangat menghibur. Dia sangat Kate butuhkan di saat-saat menegangkan tadi.

Ponsel Kate bergetar. Belum sempat lagi dia merespons Penelope, perhatiannya sudah teralihkan. Dua pesan masuk dari seseorang membuatnya tersenyum.

"Hei, pesan dari siapa yang membuatmu begitu kesenangan?" Penelope kembali menarik maju kursinya dan berusaha melirik layar ponsel Kate. "Oh, ternyata JJ, ya."

"JJ?"

"Iya. Dia punya inisial sendiri untuk hasil jepretannya, kau bisa mencarinya di media sosial."

Itu informasi baru. Jimmy Jung, yang sudah dia anggap teman baik, tidak pernah sekali pun menceritakan tentang karya-karyanya yang itu. Mereka hanya terus berbicara tentang kepenulisan, karena hanya topik itu yang bisa Kate respons dengan baik. Bocoran itu akan memberi Kate topik tambahan untuk dibicarakan jika sudah bosan dengan kepenulisan.

"Aku akan melihat-lihat nanti, untuk sekarang mari kita bekerja dulu."

Penelope lantas memicing ketika Kate mengatakan itu sembari meraih ponsel. Mulut dan pikirannya seakan-akan tidak sejalan.

"Apa itu?" Penelope memandang curiga pada layar ponsel Kate karena wanita itu menjadi tampak semringah sekali.

"Oh, bukan apa-apa." Namun, senyum Kate makin lebar saat menjawab.

Katherine Willow
Kudengar kau ditugaskan untuk mendokumentasi interviu hari ini.
Aku menggantikan Mariah dan akan pergi denganmu.
Ayo makan siang bersama dan langsung pergi setelahnya.
😊😊

Jimmy Jung
😳
Baiklah, dengan senang hati.

•••

Dominick terus bertanya-tanya seberapa banyak luka-luka yang dialaminya hingga membuat hati wanita itu seakan-akan sudah kebas. Membagikan cerita yang menyedihkan setidaknya akan membuat wanita itu menitikkan air mata, tetapi itu tidak terjadi. Ashley tampak sudah terbiasa dengan semua itu hingga tidak ada air mata lagi yang perlu dibuang. Namun, matanya tentu tidak bisa berbohong untuk berkata bahwa dia baik-baik saja, seperti yang mulutnya lakukan.

Dominick tidak pernah tahu bagaimana kesulitan yang dialami orang-orang yang tidak punya cukup uang. Dia memiliki segalanya, bahkan dengan mengembuskan napas saja uang mengalir di dompetnya. Keuntungan yang didapatkan dari peninggalan orang tua membuatnya hidup dengan mudah. Mereka membesarkannya seperti itu, memastikan tidak ada satu kekurangan pun. Dominick sempat berpikir bahwa setiap orang tua mungkin akan mengurus anaknya seperti itu; membelikan apa saja untuk membuat mereka bahagia, meski Dominick pun merasa metode itu tidak berhasil.

Dia adalah anak yang tumbuh dengan rasa kesepian.

Sekarang Dominick mengerti kenapa Ashley terus datang ke kantor dan bekerja dengan tekun satu hari setelah dia mengancamnya. Pernah satu kali Dominick mengabaikannya selama beberapa hari sebagai penegasan bahwa Ashley perlu diganti dengan orang lain, tetapi pada akhirnya wanita itu berhasil menunjukkan bahwa Dominick tidak bisa melakukan pekerjaan tanpa dirinya. Itu adalah kemampuan yang menakjubkan. Tidak ada maksud lain selain bekerja dengan sungguh-sungguh. Bahkan, dia rela menambah jam kerja demi bonus yang bagi Dominick tidak seberapa. Dominick bukannya tidak peka ketika mendapati Ashley kerap bekerja dengan wajah pucat karena kelelahan, tetapi dia berusaha tidak peduli karena itulah yang ingin Ashley lakukan.

Harper-nya sudah terlalu sering mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri. Sekarang bagaimana membuat wanita itu lebih memikirkan dirinya sendiri? Tidak, karena dia terlalu sibuk memikirkan orang lain, harus ada seseorang yang memikirkannya. Sekarang situasi yang Ashley alami mulai mengganggu Dominick. Menurutnya, keluarga Ashley sekarang tidak pantas menerima kebaikannya lebih banyak lagi. Dan, tentu saja Ashley tidak akan mendengarkan saran orang lain agar berhenti.

"Sekarang kau pasti menyesal sudah mendengar semuanya, Bos. Aku sudah memperingatkanmu dari awal. Kuharap setelah tahu tentang hal ini, kau tidak akan bersimpati padaku. Perlakukan aku dengan sikap kerasmu seperti biasanya."

Lihat, Dominick bahkan belum menawarkan apa-apa, tetapi sudah ada sikap penolakan darinya.

"Aku tidak berniat melakukan apa-apa untuk saat ini, Harper. Tapi, aku jelas akan melakukan sesuatu jika mereka membuatmu melalaikan pekerjaan seperti hari ini." Rahang Dominick mengatup dengan keras, karena kesal pada dirinya sendiri yang masih melontarkan ucapan tidak mengenakkan hati pada wanita di depannya. Padahal, bukan itu yang ingin dia lakukan.

Ashley menunduk, menatap jari-jari kurus yang sudah sering membuat simpul dasi Dominick. Tangan sekurus itu, tidak pernah membuat Dominick merasa ingin menyentuhnya sampai beberapa saat lalu. Akan tetapi, sekarang dia ingin menggenggamnya untuk berkata dia adalah wanita yang kuat.

"Jadi, Bos, aku sudah menceritakan semuanya. Lalu, isi pesan yang kau kirimkan padaku, maksudnya apa?"

Dominick pura-pura berdeham sambil menutup mulut, padahal dia hanya ingin menutupi bahwa dirinya tidak bisa menahan senyum. Setelah menceritakan masalah keluarganya yang mengenaskan, dia masih bisa penasaran pada hal lain. Tidakkah memikirkan kisah-kisah itu membuatnya merasa sedikit sedih?

"Tiket ke Toronto, apa kau sudah membelinya?"

Ashley mengernyit sebentar, tampak bingung, tetapi kembali tenang sedetik kemudian. "Aku sudah mengirimkan e-ticket keberangkatan padamu bulan lalu, Bos. Hotel juga sudah dikonfirmasi-"

"Maksudku, tiketmu."

"Ah ... jadi, aku tetap harus ikut pergi walau batal mengajukan cuti?"

Dominick menyesap sisa anggur di gelasnya tanpa peduli jika Ashley tampaknya merasa kecewa. Mereka sudah pernah membicarakannya, bahwa Ashley harus ikut dengannya. Namun, sepertinya wanita itu menganggapnya hanya sebagai angin lalu. Dominick mulai memikirkan konsekuensi apa yang harus diterima wanita itu karena sudah mengabaikannya.

"Tentu." Dominick berkata sembari meletakkan gelasnya yang sudah kosong kembali ke atas meja. "Kita sudah sepakat, jika aku bertemu Katherine Willow berarti kau harus setuju dengan percobaan kencan denganku. Kita akan melakukannya di sana, itulah maksud dari isi pesanku."

Ashley menganga, kehabisan kata-kata.

"Pastikan kau memesan tiket pesawat di jam keberangkatan yang sama denganku."

"Tapi, Bos, percobaan kencan itu ... bukankah terdengar jahat? Maksudku, bagi Katherine. Dia tidak bisa dijadikan sebagai objek bayaran atas permintaan konyolmu terhadapku. Dan, berkencan ... aku tidak berpikir kita perlu melakukannya jauh-jauh ke sana."

Dominick menelengkan kepala. Jakunnya bergerak ketika segumpal ludah dia telan secara paksa. Itu hanya cara untuk menahan diri agar tidak memikirkan hal-hal aneh untuk membuat bibir yang dipandanginya berhenti menentang ucapannya. Alasan macam apa yang pantas untuk membenarkan caranya membungkam bibir itu dengan bibirnya sendiri. Dia pasti sudah gila karena berpikiran seburuk itu terhadap asisten pribadinya sendiri.

Pria itu mencondongkan badan terlebih dahulu sebelum berkata, "Harper, aku tidak ingin mendengar apa pun lagi selain laporan kalau kau sudah membeli tiketnya." Dan, jempolnya turut menyapukan sisa minyak di sudut bibir Ashley-yang sejak tadi terus mengalihkan perhatian Dominick.

Wanita ini perlu diberi pelajaran agar berhenti melawan.

•••

Aaaaa maafkan aku yang lama sekali gak update.
Dari awal Desember tu bener-bener yang, duh, susah kali aku fokus nii. 😭
Maafkan kalau pada akhirnya bab ini jadi super duper absurd gak ketolong.

See you in the next chapter (very soon, I wish)
Lots of love, Tuteyoo
18 Desember 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top