46 - Broken Family

Ashley tidak pernah segila ini, menempuh perjalanan tiga jam menjadi satu jam tiga puluh menit pada waktu di mana jalanan cukup padat. Biasanya dia suka berlambat-lambat ketika mengemudi menuju rumah orang tuanya, seakan-akan tidak ingin lekas tiba di sana.

Rumah itu sudah tidak terasa seperti rumah, Ashley tidak lagi merasakan makna pulang yang sesungguhnya. Kepergiannya semata-mata hanya sebagai bentuk kunjungan dan tidak pernah lebih dari satu hari. Jika perlu menginap, dia akan mencari penginapan dan mengajak adik-adiknya. Kalau bukan karena ibunya ada di rumah itu, Ashley berpikir bahwa mengirim uang untuk memenuhi kebutuhan mereka saja sudah cukup, tidak perlu membuang-buang waktu untuk bertamu.

Hari ini berbeda, Ashley ingin lekas tiba. Saking tidak percayanya pada keputusannya sendiri hari ini, Ashley jadi merasa kesal sampai beberapa kali memukul kemudi. Di atas rasa benci, masih ada kekhawatiran yang mengganggu. Itu sebabnya dia kehilangan akal sehat untuk sementara waktu. Setelah mendengar kabar itu, dia tidak memikirkan hal lain selain segera pergi ke sana. Bahkan, tidak lagi peduli dengan penampilannya. Satu setel piama dan sandal jepit membuatnya terlihat lucu.

Ashley mengabaikan orang-orang yang melayangkan rasa penasaran ke arahnya. Dia terus berlari di lorong rumah sakit, dengan langkah terlebar yang bisa dia ambil. Elevator yang nyaris tertutup dia tahan dengan tangan, seperti orang gila yang tidak mengerti apa fungsi tombol di sampingnya.

Leo, anak pertama dari pernikahan ibunya yang kedua,  menelepon Ashley bahwa orang tua mereka mengalami kecelakaan. Ashley berusaha mengabaikan karena awalnya Leo hanya menyebutkan ayahnya, tetapi ternyata itu terjadi bersama ibunya. Terakhir yang Ashley tahu tentang kabar mereka adalah Henry, ayah Leo, sudah tidak tinggal di rumah selama beberapa hari. Beberapa waktu ke belakang Henry juga malas jika harus mengantar ibunya bepergian, hingga Ashley membelikan ibunya sebuah mobil dengan biaya cicilan dan baru lunas tahun lalu.

Lantas, bagaimana bisa?

Ashley terus mempertanyakan itu seakan-akan kebersamaan sang ibu dengan suaminya adalah kemustahilan. Sebanyak apa pun Ashley menyuarakan perceraian mereka, itu tidak pernah terjadi. Sekarang dia jadi mempertanyakan apakah ibunya adalah seorang wanita kuat karena mampu bertahan, atau wanita yang lemah karena tidak mampu melepaskan diri dari genggaman pria itu. Menurutnya, kebersamaan yang dipaksakan dengan alasan demi anak adalah sebuah penyiksaan terhadap diri sendiri. Namun, sebagai seseorang yang belum mencapai tahap itu, memangnya dia tahu apa?

Langkah Ashley memelan ketika di lorong sudah tampak sosok Leo sedang duduk di sebuah bangku panjang.

"Leo, bagaimana kondisi Ibu?" Ashley kemudian menilik pintu di samping kursi yang diduduki Leo.

"Ibu baru sadar. Dokter sedang memeriksanya di dalam." Jawaban Leo berhasil memberi sedikit kelegaan di dada Ashley. Dia kemudian duduk di samping lelaki itu dan bersandar dengan nyaman di bahunya.

Mengkhawatirkan sesuatu ini ternyata benar-benar melelahkan. Ashley baru merasakannya setelah beristirahat. Terlebih lagi, dia terus berjalan dengan tempo yang cepat dari parkiran sampai ruang rawat inap sang ibu di lantai enam rumah sakit.

"Apa yang terjadi? Kenapa mereka pergi bersama?" Sungguh, rasa penasaran tentang itu sama sekali tidak bisa Ashley tahan.

"Mereka terkadang pergi belanja bersama. Kau tidak akan percaya, tapi Ayah sendiri yang menawarkan diri. Tadi sore juga begitu. Saat akan pulang, motor Ayah diserempet mobil, untungnya Ibu hanya terdorong sedikit karena belum naik ke motor. Tapi, dia terbentur dan itu membuatnya pingsan. Aku langsung ke sini ketika orang sekitar kejadian menggunakan ponsel Ibu untuk menghubungiku."

"Kevin dan Ciara bagaimana?"

"Mereka kutitipkan pada Bibi Mia."

Satu hal yang bisa Ashley syukuri lagi adalah, meski Henry seorang bajingan, tetapi saudara-saudaranya sangat penyayang. Dua adiknya yang berusia 14 dan 10 tahun memang cukup sering dititipkan pada wanita bernama Mia itu.

"Tidak ada cedera serius, kan?"

Leo hanya menggeleng. "Tapi, Ayah ... ."

Ah, Ashley sampai lupa bicara tentang pria itu. Saking khawatirnya dengan kondisi sang ibu, dia lupa bertanya tentang pria yang perannya sangat berarti bagi Leo. Kenapa hari ini dirinya begitu egois sampai tidak memikirkan bagaimana perasaan Leo.

"Ya? Dia kenapa?" Meski aslinya tidak benar-benar ingin tahu, setidaknya dengan cara ini Leo bisa membagikan perasaannya sekaligus. Sebagai seorang kakak, sudah sepantasnya dia mendengarkan.

"Ayah ikut terseret bersama motornya beberapa meter. Kaki kanannya patah karena berusaha menjaga motor dan sisi kanan tubuhnya penuh luka. Sekarang dia masih belum sadarkan diri. Bagaimana kalau hal terburuk terjadi padanya?"

Ashley memandang sisi kiri wajah Leo lamat-lamat. Dia berharap dari air mata yang menumpuk di sudut mata adiknya itu, muncul juga sedikit rasa simpati di dadanya. Namun, Ashley tidak bisa merasakannya sedikit pun. Ketimbang merasa kasihan, yang dia rasakan justru kesenangan. Ashley pikir, Henry pantas mendapatkan luka-luka itu atas perbuatan buruknya selama ini. Lantas, bagaimana dia bisa menjadi tempat berbagi jika dia tidak bisa turut merasakan yang dirasakan Leo?

"Dia akan baik-baik saja." Ashley menatap langit-langit saat mengatakan itu. Dia merasa kesulitan menerima kenyataan bahwa pria seperti itu diberikan hidup lebih panjang dan tidak ingin Leo melihat.

"Kuharap begitu. Aku menghargainya meski sikapnya seburuk itu."

Ya ... tentu saja dia adalah ayahmu. Ashley mengulum bibir agar kata-kata itu tidak terucap. Dia harus mampu menahan semua gejolak kebencian itu untuk Leo, meski adiknya itu sudah cukup mengerti perasaannya. Situasinya hanya sedikit tidak tepat.

Ashley mengulurkan tangan untuk mengusap pundak Leo. Terkadang Ashley merasa kasihan padanya, karena harus mempelajari figur seorang ayah dari pria yang tidak bertanggung jawab. Namun, Ashley percaya Leo tidak akan menuruni perangai buruk Henry. Dia sangat menghargai ibu mereka, bahkan jika sedang senggang Leo memilih menemani ibunya ke suatu tempat ketimbang pergi menemui teman-temannya dengan tujuan tidak jelas.

"Dia akan—"

Ucapan Ashley terhenti ketika ada seorang wanita asing berambut merah dengan pakaian ketat yang dilapisi mantel berdiri tepat di depannya. Penampilan itu terlihat norak untuk usianya yang bisa dipastikan lebih tua, dan Ashley akan menelan pendapat itu demi sopan santun. Dengan secara sengaja memilih posisi itu, sudah bisa dipastikan jika dia memang ada keperluan dengannya. Reaksi kebingungan Ashley saat menatap wanita itu cukup wajar.

"Kau Ashley Harper?"

"Ya, Anda siapa?" Ashley menelengkan kepala. Biasanya dia akan tersenyum sopan pada orang yang lebih tua, tetapi kali ini tidak bisa dilakukan pada wanita itu. Keangkuhan terpancar di matanya.

Alih-alih memperkenalkan diri, wanita itu justru mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya yang kelap-kelip. "Itu tidak penting. Aku hanya akan menyerahkan tagihan ini. Henry bilang aku bisa menagihnya padamu. Dan, aku perlu uangnya segera."

Jadi, kecurigaan tentang Henry menemui wanita lain di belakang itu benar adanya. Pengeluaran tidak masuk akal yang selama ini dibebankan Henry pada Ashley adalah untuk wanita ini. Tagihan yang berlebihan pernah membuat Ashley penasaran. Kalau ibunya saja masih memerlukan bantuannya, berarti Henry hanya menjadikannya sebagai alasan. Padahal, semua itu bertujuan untuk membelanjakan wanita asing ini.

Kepala Ashley terasa panas, ingin rasanya diledakkan. Akan tetapi, mereka sedang di rumah sakit. Di saat seperti ini, Ashley masih mampu berpikir jernih agar tidak membuat keributan yang akan mengganggu penghuni bangsal di lantai tersebut. Lama-lama melihat wanita itu membuat Ashley merasa jijik.

"Henry sedang tidak sadarkan diri dan kau seperti ini?" Bola mata Ashley bergulir dari atas ke bawah, menilai penampilan norak wanita itu. Sungguh bukan penampilan yang tepat untuk mengunjungi orang sakit, bahkan tidak ada kecemasan sedikit pun di wajahnya.

"Sebaiknya kita abaikan dia." Leo berbisik, jelas sekali dia khawatir Ashley akan meledak di sana. Namun, Ashley tidak menghiraukannya.

"Dia akan bangun, tapi tagihan itu tidak bisa menunggu."

Sial. Ashley diperas.

Jelas sekali wanita itu tidak peduli pada kondisi Henry. Entah bagaimana pria itu bisa tergoda dengan wanita sepertinya sampai rela membiayai kebutuhannya. Yah, seandainya Henry bekerja dengan benar untuk itu, tidak masalah. Nyatanya, Ashley yang diperas untuk membiayai banyak hal tidak jelas. Kalau tahu begitu, dia bawa tinggal di New York saja orang tua dan adik-adiknya.

Ashley menerima kertas-kertas tagihan dari wanita itu, tetapi bukan untuk dibaca isinya. Dalam sekejap kertas tersebut sudah menyerupai bola dalam genggamannya untuk dilemparkan ke tempat sampah terdekat. Itu adalah bentuk kekecewaan Ashley yang sangat besar. Namun,apa yang bisa Ashley lakukan selain melampiaskannya?

"Aku tidak bertanggung jawab atas pengeluaranmu." Ashley berusaha tenang, tetapi tentu saja ada batasnya.

"Aku akan mengadukan ini begitu Henry bangun."

"Ya, silakan. Berdoalah agar dia segera bangun."

Ashley memikirkan tentang ancaman dirinya tidak akan diberi kesempatan bertemu ibunya lagi jika tidak memberikan apa yang Henry butuhkan. Kemarin dia sangat ketakutan tentang itu, tetapi hari ini perasaan itu lenyap. Daripada terus ketakutan, lebih baik Ashley membawa mereka bersamanya sebelum pria itu melakukan sesuatu. Terlebih lagi, momennya sangat pas. Pria itu sedang tidak sadarkan diri.

Seandainya Leo tidak mengusap lengannya, pemikiran nekat itu mungkin akan benar-benar dia lakukan setelah ini.

"Aku akan mengingatkanmu untuk membayar nanti. Kertasnya sudah kau buang, kau harus bertanggung jawab."

Benci sekali Ashley dengan wanita itu tidak tahu diri itu. Tidak ada kecanggungan sedikit pun padahal mereka dua orang asing yang tidak pernah bertemu. Dia meminta seperti orang yang sudah sering melakukannya.

Ashley makin kepanasan dan mulai berkeringat, padahal suhu di lorong saat itu lumayan dingin. Rambut merah wanita itu ingin sekali Ashley jambak, akan bagus kalau sampai tercabut dari kepalanya. Keinginan itu tertahankan oleh tangan yang mengepal. Kalau memang memiliki hubungan, setidaknya wanita itu memiliki sedikit rasa simpati pada Henry. Yah, minimal menunggu di kamar rawat inapnya.

"Aku membuangnya karena aku tidak ingin membayar." Ashley berdiri, lalu merangsek untuk menyudutkan wanita itu hingga punggungnya menabrak tiang di belakang. Wanita itu terlihat tinggi tadi, tetapi tidak lebih tinggi dari Ashley. "Kau sebaiknya tidak menunjukkan wajah di depanku lagi. Jangan pernah berharap aku akan—"

"Ashley, hentikan."

Ashley berdecak keras, tetapi kemudian berbalik untuk menemukan ibunya sudah berdiri di ambang pintu. Seharusnya dia bertanya bagaimana kondisinya, bukan malah menunjukkan rasa terganggu karena lagi-lagi diinterupsi sebelum dia selesai meluapkan kekesalannya.

Wanita tadi lantas diabaikan Ashley dan dia menghampiri ibunya. "Ibu, ayo masuk." Setelah itu memberi kode kerlingan mata pada Leo untuk mengikuti.

Selama menuntun ibunya kembali ke ranjang, Ashley berusaha menekan emosinya. Kendati demikian, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkata, "Aku tidak akan mengurus biaya perawatan Henry."

Keheningan menyelimuti. Ashley tidak berani menatap wajah ibunya karena tahu dia pasti merasa terluka. Seharusnya mereka bercerai saja, begitu yang selalu Ashley sarankan, tetapi hari ini dia akan menahannya dulu.

"Ibu tahu, kan, aku sudah sangat lelah dengan permintaannya yang tidak wajar sampai tidak punya waktu untuk diriku sendiri. Aku terlalu sibuk bekerja, tapi tidak bisa menikmati hasilnya seorang diri. Lalu, Ibu lihat wanita tadi, bukan? Dia menagih pengeluarannya padaku juga. Memangnya dia siapa?"

Ashley tidak bisa menahannya kali ini, sampai nada bicaranya pun meninggi. Dia tidak lagi menunduk menatap permainan jari-jarinya di pangkuan. Namun, tidak ada keterkejutan sedikit pun di wajah ibunya. Wajahnya yang cantik itu tampak pucat sekaligus tenang.

"Ibu sudah tahu?" Ashley tidak hanya mencari jawaban pada ibunya, tetapi pada Leo juga. Dan, satu-satunya lelaki di ruangan itu hanya memalingkan wajah. "Kalian sudah tahu, tapi kalian diam saja? Jadi ... selama ini aku membiayai wanita itu juga lewat Henry?"

Kepala Ashley jadi sangat pusing. Dia mengasihani dirinya sendiri yang sudah menjadi sapi perah untuk orang lain, tetapi juga ingin tertawa karena dia tidak mengungkapkan perasaan itu sejak dulu. Apa yang memberatkannya sampai harus dipendam selama bertahun-tahun? Padahal mengungkapkannya semudah itu. Melegakan untuknya, tetapi tidak untuk wanita di depannya.

Daripada itu, untuk apa ibunya masih bergantung pada seseorang yang sudah tidak bisa dijadikan sandaran?

"Ashley, apa kau tidak memikirkan tentang kami?"

Selalu saja pertanyaan itu yang membuatnya tidak mampu melakukan apa-apa. Ashley mengeluarkan erangan, seakan-akan mengakui kekalahan. Namun, dia tidak bisa

"Bagaimana kalau bercerai saja dan kalian ikut denganku?"

Diamnya sang ibu sudah cukup menggambarkan seluruh keraguan untuk menjawab. Kalau sudah seperti itu, Ashley tentu tidak bisa mendebat apa-apa lagi. Lagi pula, dengan dia mengungkapkan keluhannya saat ini saja sudah tidak tepat. Ibunya sedang dalam kondisi yang tidak baik.

"Ashley, kau terlihat kacau. Lihat, kau ke sini hanya dengan pakaian itu."

Ashley menunduk, menatap piama cokelatnya yang jadi sangat kumal. Rambut pun kusut ketika dia mencoba menyisirnya dengan jari, sudah pasti karena dia berlari tadi.

"Yang kupikirkan hanya Ibu. Karena Ibu tampaknya sudah baik-baik saja, aku akan pulang sekarang."

Bahkan, Ashley tidak yakin yang mana rumahnya yang sebenarnya. Apartemen yang dia tempati adalah rumah yang nyaman, tetapi rasanya tetap hampa karena itu bukan sesuatu yang dia miliki. Ibunya tidak tahu soal itu karena Ashley berkata kalau dia membayar biaya sewa tahunan atas tempat tinggalnya.

"Tidak bermalam saja? Kau pasti lelah, Leo akan membawakan baju dari rumah."

"Iya, benar. Aku akan pulang setelah ini." Leo menimpali, membenarkan ucapan sang ibu.

"Tidak. Aku akan mengurus administrasi perawatan Ibu dulu lalu pulang." Ashley menegakkan badan, lalu mencari-cari keberadaan kunci yang rupanya tersimpan di saku celana. Dia baru menyadari kalau ponselnya tidak terbawa bersamanya, tertinggal di mobil.

"Ashley bagaimana dengan aya—"

"Tidak, Ibu. Dia bukan ayahku." Ashley berucap cepat, dia tidak ingin mendengar apa pun yang berarti Henry adalah ayahnya. Ayahnya juga meninggalkan mereka, tetapi Ashley pikir posisinya tidak tergantikan oleh siapa pun, apalagi seseorang seperti Henry. "Aku tidak ingin mengurus biaya perawatannya, terserah kalau Ibu mau mengurusnya. Aku mau pulang."

Leo mungkin akan sedih mendengar itu, tetapi sudah waktunya dia berhenti. Lima tahun memang waktu yang tidak seberapa, tetapi tekanan yang pria itu berikan selama Ashley masih tinggal bersama mereka sungguh menyebalkan. Belum lagi insiden menakutkan yang Ashley alami ketika dirinya masih di sekolah menengah.

Pada suatu malam, Henry mengundang teman-temannya yang mabuk ke rumah, dengan alasan untuk beristirahat sementara karena rumah mereka yang terdekat. Ashley adalah satu-satunya yang masih terjaga dan menyambut kedatangan mereka. Ashley nyaris menjadi korban pelecehan oleh pria-pria yang terbakar oleh efek alkohol dan hilang kewarasannya. Ashley berhasil melarikan diri setelah memukul salah satunya dengan sebuah botol minuman plastik yang terisi penuh. Namun, apakah sebagai ayah sambung Ashley, Henry akan menolong? Tidak. Dia hanya menyaksikan itu dan tertawa sambil berkata agar memaklumi sikap mereka. Sosok ayah yang akan melindunginya tidak dia dapatkan dari Henry. Sejak saat itu, Ashley terlalu kecewa sampai menghindari berpapasan dengan Henry di rumah.

Seharusnya Ashley tidak mengingat tentang itu, tetapi dia terlalu kesal hingga hal-hal buruk tentang pria itu mulai memenuhi kepalanya.

•••

Ashley memarkirkan mobil di parkiran gedung apartemennya dan buru-buru keluar dari sana. Dia terlambat karena tertidur terlalu lama di mobil karena mengantuk. Sekarang sudah pukul 08.15, yang mana seharusnya dia sudah berada di tempat Dominick satu jam yang lalu. Dominick pasti akan mengamuk, apalagi ponselnya mati sejak semalam. Tidak tahu apakah karena dia membantingnya ke bangku belakang, atau daya baterainya memang sudah habis.

Pintu elevator yang dinaikinya terbuka. Ashley sudah akan keluar meski pintunya baru terbuka sebagian, gara-gara tidak melihat di depan, dia justru menabrak seseorang.

"Astaga, kau dari mana saja? Aku hampir menghubungi polisi. Kau kacau sekali, apa yang terjadi?"

Wajah panik Jeremy memenuhi pandangan ketika Ashley mendongak. Bahkan, lengannya juga segera ditangkap pria itu. Ashley tidak pernah tahu kalau perhatian seperti itu adalah sesuatu yang dia butuhkan saat ini. Muncul keinginan untuk memeluk pria itu seandainya pria lain yang ada di lantai itu tidak berdeham.

Ashley melihat melalui sisi kiri tubuh Jeremy dan tidak bisa lebih panik lagi ketika yang dia temukan adalah bosnya. Dominick berdiri di ambang pintu apartemennya yang terbuka. Ashley buru-buru menjauh dari Jeremy dengan jantung yang berdebar kencang oleh rasa panik. Keterlambatan lima menit saja tidak ditoleransi, apalagi kalau sampai membuat pria itu datang ke sini?

"Bos, aku sungguh minta maaf. Sesuatu sedang terjadi dan aku harus memeriksanya langsung tadi malam. Ponselku mati, jadi aku tidak bisa memberi kabar. Aku ... aku akan menyelesaikan tugas hari ini."

Dominick hanya  "Bersihkan dirimu, aku akan menunggu di parkiran."

"Baik, Bos."

Ashley sudah akan pergi, tetapi tangannya ditahan Jeremy. "Kau serius memintanya bekerja, padahal kondisinya sedang tidak baik? Berilah dia waktu untuk istirahat."

Jeremy yang sejak lama sudah tidak menyukai Dominick tampak murka dengan bagaimana pria itu memperlakukan Ashley. Ini juga sama buruknya dengan apa yang Ashley lalui semalam, meski dengan situasi yang berbeda. Cara Jeremy menunjukkan rasa tidak sukanya sama seperti mengajak seseorang berkelahi. Beruntungnya, Dominick seseorang dengan pembawaan yang tenang, yang mungkin tidak akan mudah terpancing begitu saja.

"Harper sendiri yang bilang akan mengerjakan tugasnya hari ini."

Sepertinya Ashley terlalu cepat menyimpulkan. Dominick membalas tatapan permusuhan yang Jeremy sorotkan padanya. Yah, memangnya siapa yang tidak kesal kalau tahu ada seseorang yang sangat membencinya. Ashley perlu segera menyelesaikan ini, atau keduanya akan benar-benar menjadi musuh.

"Minimal beri dia waktu untuk sarapan." Jeremy masih berusaha memperjuangkan hak Ashley sebagai pegawai yang jam kerjanya tidak manusiawi.

"Tidak ada waktu lagi." Dominick membalas dengan tenang sembari menatap arlojinya.

"Hei, tenang saja. Dia pasti akan memberiku makan nanti." Ashley berbisik pada Jeremy. Pria itu harus diberi tahu, atau mereka akan membuang waktu lebih banyak di sana.

"Kenapa kau sangat yakin?" Jeremy balas berbisik dengan wajah penuh keraguan.

"Karena dia pria yang baik?" Ashley menghela napas karena Jeremy masih tidak ingin melepaskannya. "Ayolah, jangan buat aku mendapat masalah karena ini."

"Tapi aku khawatir padamu." Jeremy beralih menangkup wajah Ashley dan menggoyangkannya seperti melampiaskan rasa gemas pada anak kecil.

"Aku akan bercerita nanti." Ashley mengatakannya sembari menurunkan tangan Jeremy dari wajahnya. Sebetulnya dia lemas sekali sekarang, tetapi Ashley lebih mengkhawatirkan pekerjaannya hilang daripada kondisinya sendiri. Makan bisa disusulkan nanti, untuk saat ini dia harus segera bersiap untuk pergi bekerja sebelum Dominick makin murka.

Ashley berjalan menuju apartemen yang dia tempati sambil menunduk. Dominick masih berdiri dengan kokoh di tempat yang sama, dan sejujurnya itu sedikit menghalangi Ashley untuk bisa masuk. Mau tidak mau dia harus berhenti dulu sampai Dominick menyingkir dari sana.

iPad yang sejak tadi dibawa-bawa Dominick kemudian dikembalikan pada Ashley. Itu membuat Ashley sadar kalau Dominick mungkin sudah mencarinya ke sekeliling apartemen. Kode kunci pintunya memang tidak pernah diganti Ashley sejak dia diizinkan untuk menempatinya. Seperti yang Ashley perkirakan, Dominick mungkin akan mengambil tempat itu lagi jika dirinya berhenti.

"Sebaiknya mulai sekarang kau batasi orang-orang yang bisa masuk ke tempat ini, Harper. Seseorang ingin menerobos masuk seakan-akan dia sudah terbiasa melakukannya."

Ashley yakin, orang yang dimaksud Dominick adalah tetangganya.

•••

Annyeong~
Oke, disclaimer bentar, buat yang pernah baca tulisan Tuteyoo yang lain pasti akan sadar kalau konflik keluarga tokoh utama yang ditulis tu pasti gak jauh² dari ketidakharmonisan hubungan orang tua. Memang, Tuteyoo secara sadar memunculkan konflik itu karena itulah yang lebih Tuteyoo mengerti. Mulai Zara, Ava, sampai Ashley.
Gak semuanya benar-benar terjadi ya, karena sudah pasti ada bumbu improvisasi fiktif di dalamnya.
Yang pasti, Tuteyoo bakal kagok kalo disuruh nulis hubungan yang baik antar tokoh dengan sesosok 'ayah'. Ya ... karena gak tau gimana rasanya punya 'ayah' yang sebenar-benarnya. Punya dua, tapi gaada yang beres. Ehe.

Ini bukan mau cari simpati ya, cuma berbagi aja. Hehe.

Maaf updatenya lama, Tuteyoo lumayan padat semingguan ini, dan pulang ke rumah malamnya langsung tepar pas baru buka Wattpad buat nulis.

See you in the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
30 November 2024

*Doh besok udah Desember aja*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top