45 - The One that Missing

Ketika Dominick berusia dua belas tahun, dia bertemu seorang pelukis pria di pinggir jalan. Waktu itu dia sedang menemani sang nenek berjalan-jalan, tetapi berpisah sebentar karena wanita itu sedang mengantre di sebuah kedai. Ayahnya seorang pekerja keras, sementara ibunya adalah wanita sosialita yang pandai memakai uang. Meski tidak banyak menghabiskan waktu bersama putra tunggalnya, tetapi merek selalu memastikan seluruh kebutuhan Dominick terpenuhi.

Ada salah satu lukisan yang menarik perhatian Dominick, yaitu sebuah gambar siluet seseorang yang sedang berdiri di antara dua tebing yang tinggi. Gambar itu bahkan hanya menggunakan warna hitam dengan ketebalan yang tidak rata di atas kanvas yang putih. Bukan gambar yang indah, tetapi kesepian yang ditunjukkan gambar itu turut dirasakan Dominick. Dia bahkan memandang lukisan itu sangat lama sampai si pelukis menyadarinya.

"Hai, Anak Muda, apa kau menginginkan lukisan ini?"

Meski sudah berlalu lebih dari dua puluh tahun, tetapi Dominick masih ingat betul bagaimana penampilannya. Setelan kemeja kotak-kotak biru kumal dengan celana jeans yang berlubang besar di salah satu lututnya. Rambutnya yang panjang diikat asal-asalan. Anehnya, meski itu pemandangan yang menyakitkan mata bagi seorang penggila kerapian seperti Dominick, dia tidak merasa terganggu.

"Mengapa Anda menggambar sesuatu seperti ini?"

Meski pertanyaan Dominick bisa berarti banyak hal, tetapi pria pelukis itu memilih untuk berpikir sesuatu yang baik. Anak kecil seperti Dominick mungkin tidak begitu mengerti esensi dari sebuah seni.

"Lukisan-lukisan ini menggambarkan perasaanku yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kadang-kadang seseorang tidak sepenuhnya mengerti apa yang kita rasakan. Seperti ... sesuatu yang rumit dan tidak bisa dibahasakan. Aku menggambar sebagai pelampiasan dari perasaan-perasaan itu. Ini mungkin sulit dimengerti oleh anak seusiamu, tapi—"

"Saya mengerti." Saat itu, Dominick langsung merespons. "Anda menjadi lebih tenang setelah menggambarnya?"

"Ya, itu berhasil. Orang bilang menggambar juga salah satu media terapi."

Dominick memandang lukisan yang menarik perhatiannya tadi sekali lagi sambil meraba kantong celana. Dia ingin membeli lukisan yang dijual seharga lima dolar itu, tetapi tidak memegang uang satu sen pun. Akhirnya Dominick meminta pria itu tidak menjual lukisan tersebut pada siapa pun sampai dia kembali dengan membawa uang untuk membayar.

Hari itu, Dominick tidak hanya membeli sebuah lukisan dari seorang pelukis jalanan, tetapi juga meminta sang nenek mengantarnya membeli buku sketsa dan peralatan untuk menggambar. Dia mulai terpancing untuk mencoba yang dilakukan oleh pelukis tersebut. Dominick yang mengaku kesepian pada seseorang hanya akan diperolok setelahnya. Mereka pikir Dominick hidup dengan banyak keberuntungan hingga tidak layak untuk mengeluh.

Melihat cucunya tiba-tiba suka menggambar lantas membuat Nyonya McCade kebingungan. Dia mulai mengamati perubahan Dominick dan menemukan beberapa hal menarik dari kebiasaan barunya tersebut. Pada awalnya, Dominick hanya akan menggambar ketika suasana hatinya sedang buruk. Setelah menuangkannya di buku sketsa, dia bisa tersenyum lagi. Nyonya McCade berusaha melakukan pendekatan agar Dominick bisa terbuka pada semua hal dan mau berbagi, tetapi hasilnya nihil. Anak laki-laki itu lebih suka menanggung masalahnya seorang diri dulu baru diceritakan setelah solusi ditemukan.

Lukisan seharga lima dolar yang dibeli Dominick sampai sekarang masih ada. Bahkan, bingkainya diganti dan dilapisi kaca agar lukisan tersebut tetap terjaga. Ketika lukisan tersebut dipajang di ruang kerjanya, tidak ada yang percaya bahwa itu hanya curahan hati seorang pelukis jalanan yang dibeli dengan harga murah.

Sekarang di rumahnya harus ada sebuah buku sketsa kosong untuk Dominick menuangkan seluruh perasaannya yang mengganggu. Agak disayangkan gambar-gambar tersebut tidak semuanya ditunjukkan kepada orang lain, padahal hasilnya menakjubkan. Mereka akan tahu bahwa di balik perangai seorang pemimpin perusahaan yang saat ini menjadi pusat perhatian orang lain adalah seseorang yang memiliki nilai estetika. Beberapa hasil coretannya dijadikan motif untuk kain bajunya. Berkat itu pula Dominick bisa mengenali kapan Ashley memakai baju yang dibelinya atau tidak.

Lagi-lagi wanita itu yang muncul di pikirannya.

Sore ini Dominick jadi pergi ke galeri sesuai rencana. Tempat itu tidak dibuka dalam skala besar dan hanya orang-orang tertentu yang menerima undangannya. Dominick adalah salah satunya. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, apalagi di galeri itu akan terdapat sesi self drawing bagi pengunjung yang hendak mencobanya. Seharusnya yang berada di sampingnya saat ini adalah Ashley, bukan Katherine. Namun, jika ini adalah harga yang harus dibayar untuk membawa wanita itu pergi nanti, Dominick bersedia melakukannya. Tidak peduli jika cara ini bertentangan dengan caranya.

"Saya tidak mengira Anda menikmati seni." Katherine membuka pembicaraan mengingat sejak tadi mereka banyak diam ketika mengelilingi galeri.

"Hanya suka melihat," balas Dominick sekenanya. Dia memang tidak banyak bicara, tetapi kali ini benar-benar tidak berminat sama sekali.

"Saya tidak melihatnya seperti itu. Beberapa karya seni Anda pandang dengan saksama, seakan-akan sedang menerjemahkan maksud dan tujuan karya seni itu dibuat."

"Anda pengamat yang baik."

Kate tersenyum dengan cantik, tetapi tidak mampu mengalihkan perhatian Dominick dari lukisan kontemporer di hadapannya. Pria itu merasa dirinya datang bersama orang yang salah.

"Hanya hal-hal menarik yang saya amati."

Ucapan seperti itu memiliki kesan yang tidak asing. Dominick sering mendengarnya dulu ketika di masa-masa sekolah menengah dan saat kuliah. Para gadis yang tertarik padanya melontarkan kalimat serupa, seakan-akan mereka mengerti bahwa Dominick memang butuh diperhatikan. Awalnya itu berhasil membuat Dominick terlena, tetapi begitu menjalani hubungan, dia sadar bahwa gadis itu tidak benar-benar peduli padanya. Status sosialnya menjadi magnet pemikat, tetapi bukan untuk menarik hati mereka.

Sekarang, ucapan Kate bukan lagi sesuatu yang menyenangkan. Bahasa modus seperti itu membuat Dominick mulai mempertanyakan kenapa dirinya justru tertarik pada Kate di pertemuan pertama mereka. Bisa dipastikan itu hanya ketertarikan sesaat. Sekarang bagaimana dia bisa melukis jika objeknya adalah sesuatu yang tidak menarik lagi?

"Apa ada yang menarik di sini?"

"Ini adalah kali pertama saya mengunjungi galeri dan semuanya menakjubkan. Saya menyukai sesuatu yang indah, tapi tidak begitu mengerti maknanya. Setiap garisnya bisa memiliki arti yang rumit."

Jadi, Ashley membohonginya. Wanita itu berkata Kate akan menyukainya, tetapi pada kenyataannya, Dominick bahkan tidak bisa mengajak Kate berdiskusi tentang seni. Berbeda saat bersama Ashley, asisten pribadinya itu akan berusaha untuk terlibat di dalamnya. Bahkan, jika perlu, Ashley akan mempelajarinya terlebih dahulu agar mereka bisa berdiskusi. Dominick tidak peduli jika itu hanya bentuk loyalitas sebagai pegawainya, yang jelas kebersamaan mereka adalah sesuatu yang bisa dinikmati.

"Tidak semuanya." Dominick kemudian melanjutkan langkah dan menghampiri bingkai terakhir. "Para seniman tidak selalu membayangkan sesuatu yang rumit. Ada karya yang dibuat dengan alasan yang sederhana, sesederhana menuangkan sebuah emosi ke atas kanvas."

"Saya belum pernah mendalaminya." Bersikap apa adanya adalah poin tambahan untuk Kate.

"Warna biru kelabu yang mendominasi menunjukkan kesedihan yang mendalam. Sebetulnya ini hanya permainan warna dengan arti psikologisnya. Saya yakin Anda sedikit mengerti tentang itu." Dominick menatap arlojinya di waktu yang tepat. Sesi self drawing yang dinantikannya tiba. "Ada sesuatu yang ingin saya lakukan, saya harap Anda tidak keberatan."

"Saya baik-baik saja."

Dominick kemudian mengajak Kate berjalan di sebelahnya menuju sebuah ruangan di ujung lorong. Pintunya berbahan kaca yang buram. Ketika pintunya dibuka, terdapat sebuah kanvas besar yang diletakkan membelakangi jendela. Jendela itu menampilkan pemandangan kota di malam hari.

Seharusnya Ashley adalah objek yang akan digambar, mengingat Dominick belum berhasil menyingkirkan wanita itu dari kepalanya. Dia ingin menjiplak garis wajahnya dengan melihat secara langsung, bukan sekadar mencoret apa yang terbayang di kepalanya. Namun, Dominick sudah memesan sesi itu, tidak mungkin disia-siakan. Kalau dia berhasil menggambar Kate, dia akan memberikannya pada wanita itu. Tidak mungkin Dominick akan menyimpannya.

"Apakah Anda keberatan kalau berdiri di sana untuk digambar?"

Mata Kate membola. Dominick tahu hobi sampingan ini akan mengejutkan banyak orang, tetapi tidak dia sangka kalau Ashley belum menceritakan apa pun tentang dirinya pada Kate. Rupanya Ashley bukan wanita yang banyak berbicara tentang orang lain, tetapi itu membuat Dominick jadi bertanya-tanya bagaimana wanita itu menilai dirinya.

"Tidak, saya bisa berdiri di sana selama yang Anda perlukan."

"Ini tidak akan lama. Saya akan melewatkan bagian mewarna." Dominick duduk di kursi yang berada tepat di hadapan kanvas, lalu meraih sebuah pensil dari rak di sebelahnya. "Anda bisa duduk saja di kursi itu. Berdiri akan membuat Anda lelah."

Kate menurut, dia menduduki sebuah kursi yang di dekat bingkai jendela dan berpose sebaik yang dirinya bisa. Dominick tidak mengatakan apa-apa lagi dan mulai menggambar. Tangannya bergerak begitu cepat seakan-akan ingin sesi itu segera berakhir. Karena menggambar adalah cara untuk menuangkan perasaannya, Dominick kesulitan menciptakan rasa dari menggambar. Ini menjadi sebuah pemaksaan terhadap dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.

"Bolehkah saya bertanya?"

"Ya, silakan." Dominick membalas tanpa menghentikan aktivitasnya.

"Apakah Anda memang menginginkan pertemuan ini?" Ada kesan kekhawatiran di suara Kate.

Gerakan tangan Dominick berhenti sebentar. "Kenapa bertanya?"

"Entahlah. Saya rasa suasana hati Anda tidak sebagus pertemuan kita sebelumnya. Jadi, saya mulai berpikir bagaimana ke depannya."

Dominick benar-benar tidak ingin berlama-lama. Sketsa Kate dengan pemandangan malam hari di belakangnya berhasil diselesaikan dalam lima belas menit, tanpa diwarna. Padahal, sesi self drawing ini menggunakan pewarna yang berkualitas. Dia mengangkat papan kanvas dari kerangka penopangnya dan dibawa menghampiri Kate. Hasilnya cukup bagus meski itu bukan usaha terbaiknya. Kalau saja Kate mengerti tentang seni, dia akan tahu kalau gambar itu terasa begitu hampa, sehampa yang Dominick rasakan terhadapnya.

Namun, Kate adalah orang biasa yang mengaku menyukai keindahan. Dan, tampaknya dia sudah menganggap itu adalah sesuatu yang luar biasa dan merasa takjub ketika melihatnya.

"Sebaiknya tidak terlalu berharap, Nona Willow." Sayangnya, yang Dominick ucapkan berhasil melunturkan senyum Kate.

Dan, Dominick benar-benar adalah pria yang kejam ketika mengatakan itu dengan seulas senyum tipis di wajahnya. Dia berpaling menghadap jendela besar di ruangan itu. Ada wajah yang terbentuk secara tidak sengaja ketika dirinya menatap kumpulan bintang di langit. Akan tetapi, wajah itu lenyap seketika saat dia berkedip.

"Kalau Nona Willow sedang terburu-buru, tidak ada batasan untuk bertemu orang lain."

"Ah ... begitu. Saya cukup terbuka dengan orang baru, Tuan McCade. Itu sebabnya ketika Ashley berkata Anda ingin bertemu saya, saya langsung menerimanya." Kate memangku kanvas yang Dominick berikan padanya. "Saya orangnya sangat hati-hati. Tidak sulit mencari informasi tentang Anda karena popularitas Anda yang setara dengan selebriti."

Dominick tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tidak ada yang menarik dari seseorang mencoba mengenali dirinya, termasuk yang Kate ucapkan tadi. Namun, caranya salah. Hanya karena dia membaca banyak media yang memublikasikan tentang dirinya bukan berarti semua hal akan diketahui. Dominick bukan selebritas, yang berarti dia tidak perlu mengungkapkan semua tentang dirinya ke media sebagai asupan hiburan masyarakat.

Apa yang terpublikasi oleh media, semata-mata hanya hasil interviu dan realitas di dalamnya tidak lebih dari pencapaian bisnis. Jika ada informasi di luar itu yang tersebar, patut dipertanyakan kebenarannya, termasuk alasan perceraiannya. Dominick memiliki kepribadian yang misterius, orang terdekatnya sekalipun tidak akan tahu apa yang ada di pikirannya. Karena terlalu memercayai informasi yang beredar tentang Dominick, mereka tidak lagi berusaha untuk mengenali. Bahkan, untuk seukuran wanita yang mengaku berhati-hati pun tidak berusaha menggalinya.

"Kalau begitu pertemuan ini hanya membuang-buang waktu saja." Dominick melirik jam pintarnya sekaligus memeriksa barangkali ada pemberitahuan di sana.

"Tidak. Saya menikmatinya." Kate berusaha meyakinkan dengan memberikan senyum terbaiknya. "Saya bisa menjadi teman ketika Anda butuh pergi ke suatu tempat."

Sekali lagi Dominick menyunggingkan senyum yang tipis. Dia tidak yakin jika benar-benar membutuhkan sesuatu seperti itu. "Ada Harper yang bisa melakukan itu." Pada saat itu juga Dominick berpikir kalau dia tidak memerlukan orang lain lagi. Apa pun akan dia lakukan untuk menjaga Ashley tetap di sisinya, menjadi asisten pribadinya.

Tawa hambar Kate keluarkan, dan itu memunculkan kesan yang mengganggu. Apa yang sedang wanita itu tertawakan?

"Bukankah ada batasan ketika Anda mengajak pegawai Anda pergi? Dengan orang lain, ada banyak hal yang bisa dicoba." Tidak seperti biasanya, Kate sedikit lebih provokatif hari ini.

"Harper saja sudah cukup. Terima kasih atas tawarannya, Nona Willow. Dan, maaf, saya memang tertarik pada Anda, tapi saya belum bisa memberikan yang Anda harapkan dalam waktu dekat."

Kate berdiri, sebentar meletakkan kanvas tadi ke atas kursi dan dia menghampiri Dominick. Mereka berdiri bersisian menghadap ke luar jendela.

"Saya paham dengan situasi Anda. Perceraian Anda ... maaf, itu pasti masih menyisakan rasa yang tidak mengenakkan. Tapi, setiap orang pantas mendapatkan kesempatan kedua."

Tahu apa wanita ini tentang perceraiannya? Dominick terus membiarkan bagaimana kabar beredar tentang perceraiannya. Dia tidak pernah menyesali keputusan yang mengorbankan nama baiknya itu. Apa pun yang Alisson ceritakan tentang dirinya tidak pernah digubris. Itu adalah sesuatu yang tidak membuang-buang waktu.

Kesempatan kedua sepantasnya diberikan untuk orang-orang yang merasakan penyesalan di kesempatan pertama dan berharap bisa memperbaikinya. Dominick sama sekali tidak menyesalinya, bahkan ucapan itu sungguh berlebihan untuknya. Pernikahan bukan lagi sebuah pencapaian yang perlu diraih Dominick. Sekali lagi dia mempertanyakan apa yang membuatnya meminta Ashley mengatur pertemuan untuknya dengan Katherine.

"Waktunya habis, Nona. Ayo kita pergi." Dominick mempersilakan Kate untuk keluar dari ruangan itu sementara dirinya menyempatkan untuk mengirim pesan sebentar.

Dominick McCade
Aku sudah melakukannya.
Kuharap kau tidak melanggar apa yang sudah kita disepakati.

Pesan terkirim. Namun, tidak ada tanda bahwa pesan itu telah masuk ke ponsel orang tersebut sampai beberapa jam kemudian.

•••

Jeremy bangun tidur karena alarm di ponselnya. Di saat bersamaan dia juga memeriksa pesan masuk. Tidak ada masalah selain pesannya yang tidak kunjung mendapat balasan. Yah, itu wajar. Dia mengirimnya agak larut malam, isinya hanya pesan berisi pengingat untuk beristirahat. Namun, ada catatan tambahan di bawahnya kalau mereka perlu menyisihkan waktu untuk kencan kedua.

Pagi ini, Jeremy juga tidak mengharapkan untuk segera mendapat balasan. Ashley, si penerima pesan, biasanya akan repot mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja dan baru memeriksa ponsel ketika sudah tiba di kantor.

Sekali lagi, itu bukan masalah besar. Untuk Ashley, Jeremy bisa menunggu sampai kapan pun.

Setelah menyantap sarapan seadanya sambil menonton berita, Jeremy bersiap pergi ke toko. Semuanya dilakukan dengan cepat, apalagi waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Sempat terpikir untuk terlihat baik barangkali dia akan berpapasan dengan Ashley, tetapi di jam sekarang wanita itu jelas sudah pergi untuk menjemput bos besarnya.

Dominick McCade, setiap kali nama itu terpikirkan olehnya, makin bertumbuh pula rasa tidak sukanya. Memangnya karena siapa lagi rencananya dengan Ashley selalu gagal? Ini bahkan bukan sebuah persaingan, tetapi keberadaan pria itu terasa seperti sebuah ancaman.

Pagi itu justru menjadi buruk ketika Jeremy keluar dari apartemennya, dia harus berpapasan dengan wajah familier yang menyebalkan. Dominick McCade ada di seberangnya, baru saja keluar dari tempat Ashley. Tidak, secara kepemilikan tempat itu memang milik Dominick, tetapi apa yang pria itu lakukan sepagi ini di dalam sana.

Jeremy ingin mengabaikannya, tetapi tidak bisa menahan diri untuk mempertanyakan keberadaan pria itu di sana. Terlebih lagi, Ashley tidak kunjung menyusul keluar.

"Apa yang kau lakukan di dalam sana?"

"Di tempatku sendiri?"

"Aku bertanya baik-baik." Pria menyebalkan ini, entah bagaimana Ashley bertahan menghadapinya.

"Di mana Harper?" Pertanyaan itu dilontarkan dengan wajah yang datar dan tanpa intonasi sedikit pun.

"Dia tidak ada?" Jeremy memicing, dengan cara bertanya yang seperti itu, sulit untuk percaya kalau Ashley memang tidak ada. Dia kemudian berjalan maju, ingin masuk untuk memeriksanya sendiri. Namun, tentu saja tubuh besar Dominick segera menghalanginya.

Dominick mendengkus keras. "Sepertinya kau sering bolak-balik masuk ke tempat ini."

"Ashley mungkin sudah pergi untuk menjemputmu." Jeremy tidak memedulikan rasa keberatan yang ditunjukkan Dominick, mendebatnya akan sangat merepotkan.

Tanpa mengatakan apa-apa, Dominick mengangkat sebuah iPad. Jeremy pun hafal kalau benda itu tidak pernah ditinggal Ashley saat pergi bekerja. Bahkan, pernah satu kali wanita itu kembali ke apartemen hanya karena iPad itu tertinggal. Lagi pula, kalau Dominick sampai datang ke sini, mungkin ketiadaan Ashley adalah sesuatu yang serius. Kepanikan mulai dirasakannya, Jeremy lantas memeriksa pesan yang dia kirimkan pada Ashley semalam tidak menunjukkan tanda-tanda kalau sudah dibaca.

"Jadi, kau juga tidak mengetahuinya. Kau mau meneleponnya? Tidak perlu. Ponselnya aktif terakhir kali di sini kemarin sore, tetapi aku tidak menemukan benda itu di mana pun. Aku sudah melacaknya. Pesanku juga tidak dibacanya sejak tadi malam."

Jeremy memicing curiga ketika pria itu berbicara lebih banyak dari biasanya. Jelas sekali ada sengatan rasa tidak suka yang saling mereka lemparkan satu sama lain. Namun, kecekatan pria itu dalam mengambil tindakan patut diacungi jempol. Jeremy merasa takjub sekaligus lebih-lebih terancam lagi dengan kepedulian tidak biasa yang ditunjukkan pria itu.

"Aku akan menghubungi temannya." Jeremy kemudian mencoba menghubungi kontak Melissa.

Jeremy berjalan menjauhi Dominick, seakan-akan tidak memberi kesempatan pria itu untuk ikut mendengarkan. Rasanya lucu ketika mereka bekerja sama untuk mengetahui keberadaan Ashley. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Mereka sedang berada di tujuan yang sama, bekerja sama sedikit mungkin akan baik-baik saja.

"Apa kau bersama Ashley semalam?" Pertanyaan itu langsung Jeremy lontarkan begitu telepon tersambung.

"Tidak. Aku masuk kerja semalam, dan sekarang kau mengganggu tidurku."

"Bagaimana dengan temanmu yang satu lagi?"

"Tidak juga. Kate pergi menemui Dominick semalam. Jadi, kami tidak bertemu Ashley. Ada apa?"

Ketika nama Dominick disebutkan, Jeremy langsung melirik pria itu. Yah, seharusnya itu kabar baik, Dominick lebih tertarik pada sahabat Ashley ketimbang Ashley sendiri. Namun, tetap saja situasi sekarany ini membuatnya merasa gelisah.

"Hei, ada apa dengan Ashley kami?"

"Tidak apa-apa. Terima kasih, maaf sudah mengganggumu."

Jeremy mematikan ponselnya lagi dan kembali memperhatikan Dominick yang sedang menelepon seseorang. Saat itu dia bukan sedang menghadapi seorang bos yang kehilangan pegawai kepercayaannya, tetapi seorang pria yang kehilangan wanitanya. Jeremy tidak melihatnya dengan jelas tadi, seakan-akan matanya tertutupi oleh kabut ketidaksukaan terhadap Dominick. Namun, sekarang dia dengan jelas melihat betapa pria itu mengkhawatirkan tetangganya.

Daripada itu, sebenarnya Ashley pergi ke mana?

•••

See you in the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
22 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top