44 - Ghost of Mind
Sudah lima hari berlalu sejak Dominick mengajak Ashley berkencan dengan bumbu ancaman. Namun, pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi tentang rencana kencan tersebut. Hari-hari berlalu seperti Dominick tidak pernah membahasnya. Tidak ada pembicaraan lain selain hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Seharusnya Ashley tidak perlu terlalu memikirkannya, karena ketulusan seperti itu tidak pernah ada untuknya.
Lantas, kenapa dia harus merasa kecewa? Rasa kecewa ini, tidak tahu ditujukan karena Dominick tidak benar-benar menganggap kencan itu sebagai sesuatu yang serius, atau karena Ashley merasa lelah dengan permainan pria-pria di sekitarnya. Satu kencan untuk mengganti pertemuan Dominick dengan Kate, tidak ada bedanya dengan laki-laki yang dulu mengakrabkan diri padanya hanya untuk dekat dengan Kate. Kalau seperti ini terus, dia pasti akan menjadi biarawati pada akhirnya.
Ke mana perginya pria yang mengurusnya malam itu? Ketika Ashley memberi tahu kalau obatnya terlalu besar untuk ditelan, pria itu bahkan memotongnya menjadi dua bagian tanpa diminta. Ashley selalu percaya kalau Dominick adalah pria yang baik, tetapi rasanya tidak sampai melakukan hal sesepele itu. Malam itu Ashley merasa seperti sedang bertemu dengan pria asing, yang kemudian menghilang saat matahari terbit.
Ashley memasuki ruangan Dominick untuk memberitahukan bahwa sesi interviu dengan seorang penulis akan berakhir dua menit lagi. Untuk pemberitahuan yang hanya beberapa detik itu, Ashley dan Dominick bertemu tatap. Itu tidak disengaja, sungguh, Ashley hanya kebetulan berada di posisi yang lurus dengan posisi Dominick duduk. Tidak ada tatapan selembut malam itu, hanya sorot yang lurus dan dingin seperti biasa. Di momen yang singkat itu Ashley sadar, mereka tidak akan pernah sepadan.
Lantas, untuk apa membuang-buang waktu dengan berkencan?
Belum sampai Ashley kembali ke ruangannya—karena tadi dia tidak lewat pintu yang menjadi penyambung ruangannya dengan Dominick—penulis pria yang melakukan interviu keluar dari ruangan Dominick. Ashley mengurungkan memasuki ruangan untuk memberi salam perpisahan pada penulis tersebut. Dia kemudian kembali ke ruangan Dominick untuk memberitahukan bahwa mereka siap pergi untuk agenda pria itu berikutnya.
Sebelumnya, Ashley sudah menitipkan tas jinjing pada Daphne untuk dibawa pergi nanti. Sementara itu, dia pergi ke ruangan Dominick dengan hanya membawa iPad di tangan. Setelah ini mereka akan pergi ke sebuah perusahaan game untuk mendiskusikan rencana kerja sama.
"Bos, kita berangkat sekarang atau tepat di pukul 10.25 saja sesuai jadwal?" Ashley bertanya sembari menatap arloji. Karena kejadian tadi, dia tidak bisa menatap mata pria tersebut.
"Kau suka seni?"
Selain tidak menjawab pertanyaan Ashley, Dominick juga menunda persiapan keberangkatan mereka saat menyandarkan pinggul di balik sandaran sofa.
"Aku tidak begitu mengerti tentang seni. Jadi, aku tidak tahu apakah akan menyukainya atau tidak. Kenapa, Bos?"
"Ada galeri yang mau kudatangi."
Seperti biasa, Ashley akan membuka iPad-nya dan membuka jadwal Dominick. Kalau sudah seperti itu, biasanya Dominick meminta beberapa jadwalnya digeser. "Kapan? Minggu depan jadwalmu agak longgar."
"Kapan kau bisa?"
Telunjuk Ashley berhenti menggulirkan layar. Tanpa ditanya lagi pun sudah jelas itu berarti dia harus ikut pergi dengannya. "Seseorang selalu membuatku sibuk, jadi aku tidak punya waktu, Bos."
Waktu tidak bekerja yang sangat sedikit tentu akan Ashley manfaatkan untuk beristirahat. Bahkan, jika tidak beristirahat pun akan dia gunakan untuk membayar utang pergi kencan pada Jeremy. Betapa ironis, ketika orang-orang berkencan dengan tujuan romantisme, Ashley harus melakukannya karena hal lain.
Tidak adakah satu orang pun yang mengajakku berkencan dengan tujuan yang benar?
"Benar. Aku hanya perlu memberi perintah."
Baiklah, itu berarti Ashley harus menuruti.
"Jadi, aku harus ikut denganmu. Ke mana dan apa yang harus kupersiapkan? Apa perlu kucari data pengunjung yang akan kau temui di sana, atau data yang akan dipresentasikan di sana? Atau apakah ini undangan dari pelukis yang dulu datang ke ulang tahun nenekmu, Bos? Dia pernah berjanji akan mengundangmu kalau punya cukup lukisan untuk dipamerkan."
Ashley sengaja melempar banyak pertanyaan untuk menghindari berpikiran yang tidak-tidak. Undangan untuk Dominick selalu diterimanya lebih dulu. Jadi, semuanya sudah dipersiapkan sebelum Dominick memberi perintah bahwa dirinya harus ikut datang. Sementara galeri yang ingin dikunjungi Dominick agaknya bersifat pribadi, hingga Ashley khawatir dirinya diajak untuk tujuan yang sifatnya bukan pekerjaan. Dia tidak bisa melakukannya, apalagi kalau sampai Kate tahu.
"Harper. Tidak ada yang perlu kau lakukan, hanya temani aku pergi ke sana." Dominick kembali menegakkan badan dan mengencangkan jas yang dikenakannya. "Pakai saja sesuatu yang membuatmu nyaman. Kosongkan jadwal sore sampai malam di Rabu depan. Kita akan pergi."
Mata Ashley memicing pada kata 'kita' dan 'sesuatu yang nyaman'.
"Bos, soal pergi ke galeri ini ... Kate mungkin akan lebih menyukainya. Kenapa kau tidak ajak dia pergi ke sana?"
Kalau pria itu memang ingin mengakhiri pertemuannya dengan Kate, setidaknya lakukan dengan cara yang lebih jantan, bukannya malah menggantungkan harapan wanita itu. Kate menunggu kapan pria itu akan menghubunginya lagi dan sesekali bertanya pada Ashley apakah pria itu memang memiliki jadwal yang sangat padat. Tentunya Ashley akan memberi jawaban yang aman.
Sejauh ini banyak pria yang terjerat pesona Kate, bahkan Dominick juga salah satunya. Dengan banyak melihat wajah wanita itu, Dominick pasti akan lebih terjerat lagi dan mereka akan bersama. Dominick juga tidak akan menjadikan 'hubungan yang belum jelas dengan Katherine' sebagai alasan untuk memberi pengalaman kencan terbaik untuk Ashley.
Ashley menginginkan pengalaman berkencan, tetapi tidak seperti itu caranya.
"Begitukah?" Jari-jari Dominick mengetuk meja beberapa kali, seakan-akan sedang mempertimbangkan usulan Ashley. "Tidak buruk. Setelahnya kita akan pergi berkencan, begitu kesepakatannya, Harper."
Kesepakatan yang diputuskan sebelah pihak saja, lebih tepatnya. Ashley tidak mengerti kenapa harus merasa terganggu dengan ajakan pria itu. Dia lebih suka ketika hubungannya dengan Dominick berjalan seperti dulu, seperti ada tembok yang menghalangi.
"Bukankah itu aneh? Berkencan dengan seseorang tanpa ada rasa ketertarikan sedikit pun." Ashley menghela napas sembari memeluk iPad-nya. "Aku punya hak untuk menolak ajakan yang tidak berdasar, dan aku bebas mencari pengalaman kencan dari pria lain. Kalau alasannya hanya karena aku tidak boleh berhenti bekerja, kau bisa melakukan sesuatu dengan kontrak kerjaku, Bos. Bahkan, jika aku menikah suatu saat nanti, kau juga bisa menuntutku tetap bekerja karena kontrak tersebut. Aku juga tidak akan berani macam-macam karena kontrak di sini memiliki nilai hukum yang kuat."
"Benar. Aku bisa melakukan apa saja untuk membuatmu tetap menjadi asisten pribadiku." Dominick berjalan mendekat hingga embusan napasnya dapat Ashley rasakan di wajahnya. "Tapi yang kuinginkan lebih dari itu."
"Apa?"
Dominick diam cukup lama dan hanya menyelisik setiap sudut wajah Ashley. Karena ditatap seperti itu, wajah Ashley terasa panas. Udara yang dihirupnya penuh akan aroma maskulin yang menguar dari tubuh Dominick hingga terasa menyesakkan di dada. Akan tetapi, sesuatu yang mendebarkan seperti ini terasa menyenangkan. Perbedaan tinggi badan mereka yang mencolok selalu berhasil membuat Ashley merasa kecil dan terintimidasi.
"Aku sedang mencari tahu, Harper."
Ashley benar-benar kehabisan akal, sampai-sampai berjalan mundur untuk bersandar pada rak buku. Jika tidak begitu, dia bisa saja merosot dan duduk di lantai. "Astaga, Bos. Kenapa kau seperti ini? Pantaskah membuat seorang wanita hampir terkena serangan jantung?"
Parahnya, Dominick justru tersenyum setelah membuat Ashley tidak berdaya. Apa yang sebenarnya ada di pikiran duda itu?
"Kabari Nona Willow kalau dia akan pergi ke galeri bersamaku hari Rabu." Setelah memberi perintah itu, Dominick berjalan menuju pintu. Sudah hampir waktunya mereka harus pergi.
"Tunggu, Bos." Ashley melesat ke depan Dominick, menghalangi pria itu meraih gagang pintu. "Masih ada dua menit. Aku akan mengemudi lebih cepat nanti agar kita tidak terlambat."
Pria itu tidak mengatakan apa-apa, hanya diam menunggu Ashley bicara lagi. Berada di bawah tatapan Dominick justru membuat Ashley merasa terlalu lancang hingga kesulitan menelan ludahnya sendiri. Namun, dia harus menanyakan tentang hal ini agar tahu bagaimana harus bersikap ke depannya. Menjaga batasan seperti dulu sangatlah penting.
"Apa kau serius soal Kate, Bos?"
Apa yang membuat pria itu merasa ragu hingga membutuhkan waktu yang lama untuk menjawab? Ashley ingin tahu, jika memang tidak serius lagi, dia bisa memberi jawaban pasti meski itu akan menyakiti perasaan Kate. Ashley lelah terus-terusan mengarang untuk membuat wanita itu tenang.
"Itu tergantung Harper, apa masih mau aku menemuinya atau tidak."
Ashley merinding ketika Dominick membisikkan jawaban itu tepat di belakang telinganya. Namun, pria itu tidak segera menjauhkan wajahnya hingga mau tidak mau Ashley menoleh ke arah lain. Dia baru menyadari kalau kenekatannya menghadang jalan Dominick hanya mempersempit ruang gerak.
"Kau yang memulainya, Bos. Sekarang kenapa menjatuhkan beban tanggung jawab di pundakku?" Tentunya Ashley menjadi dongkol diperlakukan seperti itu.
"Seperti yang kubilang, rasa ketertarikan itu ada batasnya. Aku tidak punya alasan bagus untuk menemuinya akhir-akhir ini. Kalau kau masih ingin aku menemuinya, ada harga yang harus dibayar, Harper."
"Tidak adakah alasan yang lebih masuk akal, Bos?" Terdengar seperti tuntutan, tetapi Ashley tidak peduli. Dia tidak ingin menjadi orang yang seakan-akan mudah dikendalikan.
Dominick kembali menegakkan badan dan saat itu juga Ashley merasa mampu bernapas dengan benar.
"Seperti apa jawaban yang masuk akal itu?"
Apa? Ashley justru ikut mempertanyakannya. Jawaban seperti apa yang sebenarnya ingin dia dengar? Apakah dia berharap mendengar jawaban bahwa Dominick masih ingin mendapatkan Katherine, atau tentang kencan yang ditawarkan Dominick padanya lebih dari sekadar sebuah kebaikan?
Ashley tidak tahu, semua pertanyaan itu berputar di kepalanya hingga membuat pusing. Dominick benar-benar ahli memutarbalikkan serangan hingga lawannya sekakmat.
"Jadi, kau masih ingin bicara? Kita akan terlambat, Harper."
Ashley menyingkir dari pintu agar Dominick bisa keluar lebih dulu. "Tidak ada, Bos. Aku minta maaf karena sudah mengacau."
"Pertemuanku dengan Nona Willow akan kau bayar saat kita di Toronto nanti. Aku sudah berjanji kalau kita akan pergi ke tempat di mana orang lain tidak bisa melihat. Siapkan dirimu, Harper."
•••
Sudah lewat dua hari Ashley masih terus memikirkan ucapan Dominick. Setelah gagal mengajukan cuti saat Dominick pergi ke Toronto, dia justru harus mengikutinya ke sana. Kalau dihitung mundur dari jadwal, mereka akan pergi dua minggu lagi. Urusan Dominick di sana akan menghabiskan waktu lebih dari seminggu. Kemungkinan besar Ashley juga akan berada di sana selama itu. Akan tetapi, untuk apa membawanya juga? Selama ini pria itu tidak pernah mengikutsertakan dirinya dalam perjalanan selama itu.
Lalu, apa maksudnya dengan mempersiapkan diri dan pergi ke tempat di mana orang lain tidak melihat? Dipandang dari sudut mana pun, kata-kata itu menjurus seperti hendak melakukan sesuatu yang tidak-tidak. Pemikiran itu sangat mengganggu karena terus menghantui pikiran Ashley. Apa yang akan pria itu lakukan padanya saat mereka hanya berdua? Sinyal tanda bahaya berkumandang di kepalanya.
Tidak peduli jika akal sehat berusaha meyakinkan bahwa kekhawatiran itu tidak akan terjadi, Ashley terus merasa gelisah. Bahkan, dia menjadi satu-satunya yang tidak menikmati acara kumpul-kumpul dadakan bersama kedua sahabatnya. Bahkan, mereka yang datang ke tempatnya. Ashley terus menuang anggur ke gelas yang sudah kosong lalu menenggaknya lagi dan lagi. Hanya tinggal menunggu waktu sampai kesadaran hilang sepenuhnya.
"Kami berciuman malam itu satu kali. Kupikir DJ bisa menerimaku." Senyum Melissa sangat lebar setelah menceritakan tentang progresnya.
"Kenapa tidak cerita dari kemarin-kemarin? Aku penasaran kau pergi ke mana begitu kita berpisah." Kate yang baru saja menghabiskan sebungkus camilan melampiaskan kekesalannya pada bungkus dalam genggamannya.
"Tidak bisakah orang ini menikmati momennya berdua saja? Pria Korea itu tidak buruk. Kalau dengan bos Ashley tidak berjalan baik, kau dengannya saja."
Kebetulan Ashley sedang menenggak anggur, matanya bergulir menatap Kate di atas lingkaran bibir gelas ketika atasannya mulai dibicarakan. Biasanya kalau sudah begini dia akan terbawa-bawa untuk membicarakannya juga.
"Sepertinya aku setuju denganmu, Mels."
Rasa menyerah yang begitu mudah terlontar dari bibir Kate membuat Ashley tersedak. Ada apa ini? Kenapa semua orang mudah sekali berubah? Ashley merasa pusing karena ada terlalu banyak perubahan di sekitarnya dalam waktu singkat. Yah, mungkin anggur ini juga turut berperan untuk meningkatkan risiko sakit kepala.
"Ada apa denganmu? Dari tadi hanya minum dan melamun." Kate menarik beberapa lembar tisu untuk diberikan pada Ashley meski tidak ada yang tumpah.
"Aku bukannya tidak sadar, tapi sengaja menahan diri untuk tidak bertanya. Kupikir kau akan merasa senang setelah mendapatkan pengalaman kencan pertama." Melissa menimpali.
Sayang sekali, pengalaman kencan pertama yang menyenangkan itu tidak termasuk bagian dari progres taruhan mereka. Seandainya diceritakan, menurut Ashley terlalu senang akan terasa berlebihan. Namun, sebaiknya tidak usah dulu mereka diberi tahu kalau itu hanya kencan yang sifatnya adalah utang yang harus dibayar.
"Aku hanya agak mengantuk. Maaf." Ashley menyeka sekitar bibirnya dengan tisu yang diberikan Kate tadi. "Pria bernama Jimmy itu sepertinya cukup menyenangkan sampai Kate rela melepas Dominick begitu saja."
Satu napas yang panjang Kate embuskan. "Mau bagaimana lagi? Dua hari lalu aku mencoba mengirim pesan pada bosmu, sekadar menanyakan kabar karena dia juga pernah melakukannya. Tapi, tidak mendapat jawaban sampai sekarang. Apa saking sibuknya sampai tidak bisa membuka ponsel?"
Ini yang sebenarnya Ashley hindari. Bagaimana mungkin dia akan memberi tahu kalau Dominick tidak pernah jauh-jauh dari ponsel, yang ada Kate akan makin kecewa. Kalaupun ada seseorang yang akan melukai perasaan Kate, sebaiknya orang lain saja, jangan Ashley.
"Aku juga sibuk dengan pekerjaanku, tidak begitu memperhatikan." Ashley akhirnya menjawab dengan sesuatu yang terdengar normal. Yah, itu tidak sepenuhnya bohong, Ashley akan mengabaikan sekitar ketika sudah berkutat dengan pekerjaan. Bahkan, jika Dominick akan jungkir balik di sebelahnya pun dia tidak akan peduli.
Yah, andai saja mengabaikan tawaran kencan Dominick juga semudah itu.
"Begitu, ya? Tidak masalah, Jimmy juga pria yang baik. Saat membawaku pulang setelah kita minum-minum malam itu, dia tidak melakukan apa-apa padaku. Yang dia lakukan hanya melepas sepatuku, itu pun didampingi neneknya."
Melissa dan Ashley kompak memicing curiga pada perubahan sikap Kate saat menceritakannya.
"Kau tersipu, Kate. Kau kagum padanya, aku mengerti. Karena kau tidak mudah percaya orang lain, berarti itu benar. Bagus membuka pilihan sebanyak mungkin." Berbanding terbalik dengan cara bicara Melissa yang sudah seperti seorang konsultan, wajahnya justru tampak masam.
"Oh, iya, Dominick ingin mengajakmu pergi ke galeri Rabu depan. Berpakaianlah yang santai." Ashley yang ingat titipan Dominick itu kembali menuangkan anggur ke gelasnya. Biasanya dia bisa mengatakan itu dengan tenang, tetapi kali ini ada rasa gelisah yang menyertai. Ashley takut kalau setelah Dominick dan Kate bertemu, dia benar-benar harus mengikuti kencan yang dibuat-buat pria itu.
"Benarkah? Kukira dia sudah melupakanku." Saat wajah Kate menjadi berseri-seri, Ashley yakin wanita itu masih lebih menginginkan Dominick. "Ngomong-ngomong kau belum memberi tahu siapa pasangan kencanmu kemarin, Ash."
"Oh? Itu ... dengan Jeremy. Ada pembicaraan kecil tentang itu dan kami memutuskan untuk mencobanya."
Ketika Ashley memutuskan untuk menyembunyikan alasan sebenarnya kencan mereka, itu bukan tentang ketidakpercayaan terhadap kedua sahabatnya, tetapi Ashley pikir itu yang terbaik untuk saat ini. Dia tahu mereka akan mendukung, tetapi itu justru yang tidak Ashley inginkan.
"Kemarin kau terus menolak, tapi akhirnya mencoba juga!"
Terkadang Ashley tidak suka duduk berdekatan dengan Melissa, sebab wanita itu suka menepuk pundak atau punggung orang lain ketika sedang bersemangat. Kali ini Ashley adalah korbannya.
"Tidak ada yang istimewa dari itu." Ashley yang malas membalas pukulan itu hanya memutar matanya.
"Aku tidak percaya akhirnya kau akan mencoba dengannya. Lalu, lalu, bagaimana selanjutnya? Bagaimana hubungan kalian sekarang?"
Pertanyaan Kate membuat Ashley meringis. "Tidak ada yang berubah. Seperti yang kubilang, itu hanya percobaan kencan biasa."
"Dia tidak menunjukkan ketertarikannya padamu?" Dahi Melissa penuh kerutan ketika melontarkan pertanyaan tersebut. Dan, Ashley hanya menggeleng. "Itu aneh," sambung Melissa.
Ashley memutuskan tidak ikut mereka untuk memikirkan keanehannya. Kencan tanpa ada rasa yang menyertai memang tidak berbeda dari pergi jalan seperti biasa. Namun, Ashley pikir lebih baik seperti itu. Jeremy sudah seperti seorang kakak yang baik untuknya, dan sepantasnya tidak ada perasaan yang lebih dari itu di antara mereka.
"'Aneh' karena kalian tidak mengalaminya. Lagi pula, saat kalian pergi kencan buta juga rasa ketertarikan itu belum ada, bukan?"
Hanya gaya bicara Ashley yang seperti orang berpengalaman, aslinya tidak. Kandungan alkohol dari anggur yang ditenggak Ashley sedari tadi mulai mengambil alih kendali dirinya.
"Aku tidak mau tahu, Ash, kau dan Jeremy harus berhasil, minimal untuk taruhan kita saja. Setidaknya sekali saja kita berhasil sama-sama."
Ashley pun berharap bisa segera menyelesaikan empat kencan lagi dengan Jeremy. Namun, ini tidak akan mudah karena Dominick pasti akan berusaha menghalanginya.
"Untuk menghalangimu bertemu pria lain."
Ucapan Dominick waktu itu kembali berputar di telinga Ashley. Kalau itu sungguhan, bagaimana cara Ashley menghadapinya? Gelasnya diisi penuh dengan anggur dan Ashley langsung menenggaknya sampai habis. Wajahnya sudah memerah, dan dia menjadi yang pertama mabuk dibandingkan dua lainnya.
"Itu tidak akan mudah." Ashley kemudian bertelungkup di atas meja kaca rendah di ruang tamu tempat mereka berkumpul saat ini. "Kalau situasi keluargaku masih seperti ini, aku tidak akan melibatkan orang lain lagi dalam hidupku. Jeremy pria yang baik, tetapi orang baik pun jalannya tidak selalu mulus. Itu tidak akan berhasil. Percayalah padaku."
"Apa maksudmu, Ash?"
Sekali lagi, Ashley tidak akan menceritakannya.
•••
Aloo
Karena pernah ada yang bahas soal visual mereka, ini aku coba bawakan visual paling cocok dengan yang kuspill² di cerita. Dan semoga ini gak merusak imajinasi kalian ya~
Ashley Harper
•
Katherine Willow
•
Melissa Rose
•
Visual cowok menyusul yak.
See you in the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
14 November 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top