42 - Lingering Feelings

My Lovely Neighbor
Tetangga ...
Aku benar-benar minta maaf.
Sepertinya aku akan pulang terlambat.
Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan 🤕🤕

Jeremy sudah membaca ulang pesan itu empat kali, yang juga berarti tiga pesan balasannya belum kunjung dibalas. Dia sudah menunggu selama tiga jam sejak rentetan pesan itu dia terima pada pukul lima sore tadi dan sekarang sudah masuk waktu makan malam. Kalau ponsel saja tidak tersentuh saking repotnya wanita itu, bagaimana dengan makan malam?

Kencan hari ini tidak masalah jika batal, tetapi sebagai gantinya dia bisa menemani Ashley bekerja lembur di kantor. Sayangnya, Vacade bukan perusahaan yang bisa dikunjungi secara bebas, meski pada dasarnya itu juga berlaku bagi perusahaan lain. Ketika beberapa kali dirinya ke sana menjemput Ashley pun hanya sampai lobi lantai satu. Ada sekat pembatas yang hanya bisa dilewati dengan memindai kartu pegawai. Untuk tamu, bagian resepsionis akan membantu membukakan sekat tersebut.

Untuk kunjungan bertemu Ashley, hanya bisa dilakukan di luar waktu kerja normal, mengingat dia sering lembur. Meski Vacade mempunyai pekerja dengan sistem shift untuk kasus tertentu, tetapi posisinya di gedung berbeda dari Ashley. Di waktu kunjungan itu tentu saja resepsionis yang berjaga sudah pulang. Jeremy bisa saja mengunjungi di jam kerja, atau sekadar untuk menjemput Ashley pergi makan siang, tetapi dia harus menghadapi risiko bertemu Dominick. Makin ke sini rasa bencinya terhadap pria itu makin menjadi-jadi.

Bos yang posesif pada asisten pribadinya sendiri terdengar absurd bagi Jeremy. Tidak heran jika tetangganya akan mendapat rumor tidak mengenakkan dari seisi kantor. Bahkan, orang luar seperti Jeremy pun ikut merasa resah. Dia berjanji tidak akan diam saja jika pria itu berani menyentuh Ashley sembarangan.

Jeremy melirik arlojinya sekali lagi, lima belas menit berlalu lagi tanpa tanda apa pun. Tidak ada tempat khusus untuk didatangi memang, tetapi dia juga tidak tega jika terus melanjutkan kencannya ketika Ashley sedang merasa lelah. Kalau wanita itu berkenan, dia akan menemaninya makan malam dengan televisi yang menyala untuk menyaksikan mereka berdua seperti yang sudah-sudah.

Dia sudah berpakaian sangat rapi hari ini, bahkan untuk kencan kedua dengan Ashley, dia membeli jaket sebagai hadiah. Jaket rajut tebal sangat mewakili gaya berpakaian wanita itu. Jeremy memilih yang memiliki aksen bunga di sepanjang garis kancing. Saat kencan pertama mereka kemarin, Ashley memakai kamisol bermotif bunga dan itu sangat cocok untuknya. Keindahannya tidak kalah dengan taman yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang cantik.

Jeremy Nielsen sungguh memuja seorang Ashley Harper.

•••

Dominick memutar pensil dengan jarinya, sudah beberapa saat berlalu seperti itu dalam keheningan. Tatapannya tertuju pada gejolak yang tertuang dalam sekumpulan garis-garis tipis yang pada akhirnya membentuk sebuah objek di bukunya. Dominick tidak mengerti perasaan macam apa yang dengan berani mengusik ketenangannya.

Hal itu terus mengganggu Dominick selama beberapa hari terakhir, tetapi siapa yang patut disalahkan atas tragedi ini? Dia menghabiskan hampir seperempat jumlah halaman buku hanya untuk menggambar satu objek yang sama. Ibarat buku itu memiliki seratus halaman, dua puluh lima halamannya sudah habis untuk gambar yang sama. Seakan-akan tidak pernah merasa puas, Dominick terus menggambarnya lagi dan lagi.

Harper memiliki bibir yang sangat halus. Rasa dari permukaannya tertinggal di jari Dominick. Dia yakin saat mandi tidak pernah meninggalkan satu titik dari tubuhnya tanpa digosok dengan sabun, tetapi kenapa rasa itu masih membekas di sana? Dominick menutup matanya, berusaha menyingkirkan itu dari pikirannya. Namun, keningnya kemudian berkerut lantaran usaha itu berujung sia-sia.

Situasinya makin diperparah oleh mimpi yang tidak bermoral. Seandainya saat itu Ashley yang asli tidak datang untuk membangunkannya, sejauh apa yang akan dia lakukan dengan wanita itu di mimpinya? Dominick tidak tahu apakah penyebab semua ini adalah ketika dia menyentuh bibir itu untuk kali pertama, atau hasrat seksual yang tidak terlampiaskan selama dua tahun terakhir. Dominick pasti sudah gila jika berpikir akan melakukannya pada Ashley. Dia bukan pria mesum, dan tentu saja ini merupakan kali pertama Dominick memikirkan sesuatu tentang asistennya.

Dominick mungkin membayar Ashley sangat mahal, tetapi untuk pekerjaannya yang bagus, bukan karena yang lainnya.

Gambar yang baru diselesaikannya beberapa saat lalu kembali dipandang Dominick. Itu merupakan gambar Ashley saat tersenyum. Garis-garis halus di sana diukir dengan sangat hati-hati seperti dia sedang menggambarnya di atas bibir sungguhan. Ini gila. Benar-benar gila. Dominick tidak bisa berhenti meski dia sudah menuangkan seluruh rasa frustrasinya di buku sketsa tersebut. Seharusnya itu akurat, tetapi kali ini tidak berhasil.

Dominick meletakkan pensilnya ke atas meja dan berjalan menuju jendela tanpa tirai di ruang kerjanya. Tidak lupa dia mengambil botol minumannya dari meja kecil khusus meletakkan minuman di dekat jendela. Sembari ditemani kesibukan New York pada malam hari, Dominick menenggak minumannya. Sudah pukul sembilan malam dan jalanan di bawah sana masih sangat ramai kendaraan.

Namun, kapan Ashley akan mengirimkan hasil pekerjaannya? Dominick sudah menunggu sejak tadi sore, berharap kesibukan dari memeriksa pekerjaan Ashley akan menyingkirkan pemikiran absurd-nya tentang wanita itu. Dominick mengeluarkan ponsel dari saku piama dan tidak menemukan satu pun pemberitahuan darinya. Itu aneh, kalau memang ingin memenuhi janji, seharusnya Ashley sudah mengirimnya tadi sore. Grafiknya memang tidak sedikit, tetapi Dominick percaya wanita itu mampu menyelesaikannya dengan cepat.

Sayangnya, kepercayaan itu tidak mampu membuat Dominick tenang dan mulai menelepon Ashley. Dering yang panjang dan lama terdengar sampai berakhir dengan suara operator. Kedua, ketiga, juga seperti itu. Dominick tahu betul bagaimana Ashley, dia tidak akan pergi sebelum pekerjaan yang diminta belum diselesaikan. Kalaupun pekerjaan tersebut hendak dibawa pulang, wanita itu juga pasti akan mengabarinya lebih dulu.

Dominick mencoba menghubungi dua kali lagi ke nomor telepon ruangan Ashley, lalu bertambah satu kali lagi, hanya untuk mendengar respons operator yang menyatakan agar meninggalkan pesan. Alasan itu cukup untuk Dominick meraih mantel dan kunci mobilnya. Dia kembali ke kantor untuk memastikan apakah Ashley masih di sana atau sudah pulang.

Menelepon seseorang sambil mengemudi adalah kebiasaan buruk, tetapi Dominick tetap melakukannya meski tanpa hasil. Kalau di kantor juga tidak ada Ashley, dia akan melanjutkan perjalanan ke apartemennya.

Dominick parkir sembarangan di dekat teras gedung, sempat dilewatinya area parkir dan menemukan mobil Ashley masih berada di sana. Sekarang apakah kekhawatirannya sia-sia? Kalau memang masih bekerja, seharusnya wanita itu bisa menjawab teleponnya. Sesibuk-sibuknya, telepon dari Dominick tetap menjadi prioritas utama ketimbang pekerjaan lainnya.

Elevator berhenti di lantai di mana ruangannya dan Ashley berada. Penerangan di sana masih menyala. Petugas keamanan tidak akan mematikan lampu jika masih ada pegawai yang bekerja lembur. Kali ini mungkin Ashley pun ingin menyelesaikan pekerjaan lebih dulu di ruangannya.

Dominick membuka pintu ruangan asisten pribadinya dan disambut oleh pemandangan yang horor. Di antara kertas dan beberapa alat tulis yang berserakan di lantai, Ashley juga terbaring di sana tidak sadarkan diri.

"Harper!" Dominick langsung berlutut di lantai untuk memeriksa kondisi sang asisten pribadi.

"Bangun, Harper," ujar Dominick sembari menggoyangkan bahu wanita di bawahnya, tetapi wanita itu tidak kunjung bangun. Panik menyergap sampai mencekat kerongkongannya. Digendongnya wanita itu untuk dibawa ke klinik ke gedung kantor belakang--satu-satunya yang buka dua puluh empat jam.

Perjalanan menuju klinik menjadi lebih cepat dan terasa lebih dekat karena Dominick berlari.

"Astaga, Direktur. Anda tidak perlu repot-repot seperti ini, tim kami bisa menjemput," tegur salah seorang dokter perusahaan yang sedang berjaga saat itu. Dominick tidak merespons, tetapi meletakkan tubuh tidak berdaya Ashley ke atas ranjang salah satu bilik klinik.

Dominick diminta keluar agar tim mereka melakukan pemeriksaan. Tubuhnya terempas ke atas sofa yang disediakan di sana untuk menunggu.

Dokter muda itu benar, kenapa dia repot-repot membawa Ashley ke sini ketika mereka punya tim yang selalu siaga jika dibutuhkan pada kondisi darurat. Dominick terlalu panik sampai tidak bisa berpikir jernih. Ashley bahkan bukan seseorang yang begitu berarti selain pada sisi profesionalitas. Mungkinkah ini rasa pedulinya sebagai seorang atasan?

Wajah Ashley sangat pucat, sekujur tubuhnya terasa panas meski tangannya sangat dingin. Dominick tidak tahu sudah berapa lama wanita itu tidak sadarkan diri. Saat dia pulang, Ashley memang sempat mengantarnya ke lantai dasar. Saat itu bibirnya yang tampak pucat tadi pagi sudah dipoles dengan lipstik, tetapi tidak mampu menutupi matanya yang sayu.

Dominick ingin sekali marah. Dia marah karena wanita itu tidak mampu mengurus diri sendiri dan membuat orang lain harus merasakan akibatnya. Dominick tidak akan menghalangi wanita itu beristirahat jika memang tidak enak badan. Ketika Dominick memberinya tugas tambahan, itu semata-mata untuk menguji. Dia menantikan wanita itu menyerah dan berkata padanya kalau hendak istirahat. Namun, wanita itu justru menerimanya dan lebih mementingkan janjinya yang tidak begitu penting pada seseorang.

Apa dia akan pergi berkencan lagi?

Pemikiran itu tiba-tiba muncul dan Dominick mulai bertanya-tanya siapa yang menjadi pasangan Ashley. Seandainya dia adalah si pria tetangga, dia akan benar-benar membawa Ashley pergi.

Rasa tidak suka yang ditunjukkan si tetangga kepada Dominick, sama besarnya dengan yang dia tunjukkan pada pria tersebut. Kalau mereka memang pergi berkencan dan semuanya berjalan lancar, bukan tidak mungkin dia akan memaksa Ashley berhenti menjadi asisten pribadi Dominick. Tidak mudah mencari asisten pribadi yang kompeten seperti Ashley.

Dominick tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Haruskah Ashley dipindahkan ke apartemen lain agar mereka tidak bisa sering-sering bertemu?

Ketimbang dikhianati oleh mantan istrinya dulu, Dominick lebih khawatir Ashley benar-benar berhenti menjadi asisten pribadinya. Dia yakin tidak ada yang mengurusnya sebaik Ashley.

Dominick mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Taylor.

"Temui aku di klinik kantor belakang dengan taksi. Aku ingin kau mengemudikan mobilku nanti."

"Baik, Direktur."

"Tolong mampir dulu ke ruangan Harper untuk mengambil barang-barangnya. Dia akan pulang dengan kita."

Dominick pikir akan lebih baik kalau dia yang mengurus Ashley daripada si tetangga.

•••

Ashley merasakan nyeri di kepala karena langsung duduk begitu terbangun. Kamar ini, meski hanya dilihat sepintas, sudah jelas bukan kamarnya. Anehnya tempat yang asing itu justru terasa familier. Tata ruang, furnitur, sampai aroma ruangan pun, dia mengenalinya. Pemilihan warna abu-abu untuk kamar itu tidak menjadikan suasananya menjadi kelabu, justru memberikan kesan misterius seperti orang yang sangat dikenalnya.

Dominick McCade. Sebanyak apa pun informasi tentang pria itu yang tersimpan di kepalanya, tetap saja tidak menjadikan Ashley sebagai 'si paling tahu' soal Dominick. Dia tidak pernah bisa menebak apa yang ada di pikiran itu, termasuk kenapa dia dibawa ke sini. Ashley seratus persen yakin bahwa ini adalah tempat tinggal Dominick, meski dia tidak tahu kamar bagian mana yang ditempatinya sekarang.

Namun, bagaimana bisa? Kenapa pria itu repot-repot kembali ke kantor dan membawanya ke sini?

Ashley tidak mengira kalau dirinya akan pingsan dan tidak tahu persis kapan itu terjadi. Apakah ketika kepalanya tiba-tiba terasa makin sakit, atau karena tubuhnya makin lemas, atau ketika dia tersandung kaki meja karena tidak fokus? Satu hal yang pasti, dia ingat Dominick sudah pulang, bahkan melihat sendiri pria itu sudah memasuki mobil yang dikemudikan Taylor. Ashley juga sudah mengirim pesan pada Jeremy kalau tidak bisa pulang tepat waktu.

"Jeremy ... ." Ketika nama itu keluar dari bibirnya dengan pelan, saat itu juga Ashley sepenuhnya sadar dan bangkit dari kasur untuk mencari ponsel.

Sekarang sudah pukul sebelas malam--Ashley melihatnya dari jam dinding di seberang kasur. Pria itu mungkin masih menunggu karena Ashley tidak menuliskan sesuatu tentang membatalkan kencan atau mengatur ulang jadwal mereka. Sayangnya, ponsel itu tidak ada di mana-mana, termasuk di dalam tasnya yang tergeletak di atas meja. Di mana Dominick menyimpan ponselnya?

Ashley masih lemas, tubuhnya merosot hingga duduk bersandar pada laci meja. Ketika kepalanya mulai berdenyut, perutnya juga mengirim sinyal bahwa Ashley sudah melewatkan dua waktu makan. Dia harus segera pergi dari sana dan makan di suatu tempat sebelum pulang.

Akan tetapi, dia juga tidak melihat keberadaan Dominick.

"Kau sudah bangun."

Baru dipikirkan, pria itu muncul di balik pintu bersama nampan yang dibawa dengan satu tangannya. Dari posisi Ashley saat ini, dia tidak bisa melihat apa yang pria itu bawa.

"Apa yang kau lakukan di sana?" tanyanya setelah meletakkan nampan tadi ke atas meja dekat sofa di sisi lain ruangan.

Ashley cukup sadar seharusnya dia yang menghampiri pria itu, bukan sebaliknya. Akan tetapi, dia terlalu lemas sekadar untuk berdiri. Lantas ketika pria itu mengulurkan tangan, Ashley menerimanya tanpa pikir panjang. Situasi itu sungguh membuatnya malu setengah mati.

Dominick menuntunnya berjalan sampai ke sofa dan membantunya duduk. Setelah itu, Dominick duduk di sebelahnya.

"Badanmu masih panas, makanlah lalu minum obat."

Ashley menatap semangkuk sup yang masih mengepulkan uap dan buah-buahan potong pada piring kecil. Pria itu tidak bercanda tentang minum obat, obatnya ada di atas nampan itu juga.

"Maafkan aku, Bos."

"Makan."

Ashley menatap sup itu dan wajah Dominick bergantian. Kepulan uap itu menandakan kalau sup itu mungkin baru saja dimasak. Pria itu mungkin memanggil Susan selarut ini. Berapa orang yang sudah Ashley buat repot karena kondisinya?

"Kau mau disuapi, Harper?"

Ashley lantas mengangkat mangkuk sup itu dan memangkunya. Berkat lapisan silikon di bagian luar mangkuk, tangan dan pahanya tidak kepanasan.

Ashley berusaha mengabaikan tatapan Dominick ketika menyuap sup. Pria itu seharusnya tidak perlu merasa khawatir Ashley tidak menghabiskannya. Sup itu rasanya enak dan karena kelaparan, Ashley berniat menghabiskannya. Dominick tidak perlu khawatir supnya akan bersisa sebab Ashley perlu energi agar bisa pulang.

"Enak?"

"Iya. Ini enak."

Keheningan yang tercipta setelahnya dipenuhi oleh kecanggungan. Ashley punya banyak pertanyaan di kepala, tetapi tidak bisa menyuarakannya. Dengan dia berada di sana saja sudah terasa salah. Keheningan itu terus berlanjut sampai supnya habis dimakan.

Mangkuk yang kosong itu diletakkan Ashley kembali ke nampan di atas meja, kemudian menenggak air hangat yang juga dibawakan Dominick untuknya. Obat yang ada di nampan itu sempat ditatap Ashley, tetapi dia tidak ingin meminumnya.

"Terima kasih, Bos."

"Kenapa kau duduk di lantai tadi?" Dominick menunjuk posisi meja ketika Ashley mencari ponselnya.

"Kupikir ponselku ada di sana, tapi ternyata tidak ada. Sepertinya masih tertinggal di ruanganku."

Sudah lima tahun Ashley menghadapi pria ini, mendampinginya melakukan banyak hal, dan sudah banyak bicara juga. Namun, kenapa pembicaraan kecil ini justru menciptakan situasi yang aneh?

"Aku akan mengambilnya sekalian pulang, Bos. Sekali lagi, terima kasih." Ashley berdiri dan nyaris terhuyung seandainya tidak buru-buru menyeimbangkan diri. Dia harap Dominick tidak menyadari itu. Tas yang tergeletak di atas meja, Ashley ingin mengambilnya dan segera pergi dari sana.

"Mobilmu masih di kantor, Harper."

Ucapan Dominick terdengar tepat ketika Ashley menyentuh kunci mobil. Untuk sesaat dia merasa bodoh, tentu saja orang pingsan tidak bisa mengemudikan mobilnya. Ada alternatif lain, yaitu memesan Uber, tetapi bagaimana cara Ashley memesan jika ponselnya tidak ada? Taksi juga tidak banyak yang lewat di jam itu. Terjebak di tempat Dominick semalaman juga bukan ide yang bagus.

"Kau masih perlu istirahat." Suara Dominick terdengar lagi ketika Ashley disibukkan dengan pikirannya. "Obatnya juga belum diminum."

Ashley berbalik menatap Dominick yang posisi duduknya berseberangan dengannya. Dari posisi itu saja Ashley bisa melihat dengan jelas sebutir obat yang Dominick letakkan pada sebuah mangkuk kecil. Ashley tidak takut minum obat, tetapi jika dilihat dari ukurannya, obat itu mungkin akan tersangkut di kerongkongannya.

"Aku akan minum obatku sendiri nanti begitu pulang."

"Caramu pulang?" Dominick menyilangkan kaki, seakan-akan menegaskan bahwa dia akan berada dalam posisi itu lebih lama lagi.

Tentu saja, seorang atasan tidak bisa dimintai tolong mengantar bawahannya pulang. Ashley tidak ingin meminta pada pria itu, tetapi tidak bisa menampik rasa kecewa. Dominick yang membawanya ke sini, sepantasnya dia juga yang akan mengantar Ashley pulang.

Memangnya apa yang bisa diharapkan dari pria ini?

"Aku akan menunggu taksi di depan." Tas selempang di tangannya kini disampirkan ke bahu. Namun, Ashley menunda kepergiannya dari ruangan itu ketika mendapati kasur bekas dia berbaring masih berantakan. Mungkin itu juga alasan kenapa Dominick seakan-akan menghalangi kepulangannya. Kasur itu harus dirapikan terlebih dahulu.

"Awalnya aku berpikir akan memberimu waktu istirahat, tapi karena kau sudah punya energi untuk pulang, aku memintamu menyelesaikan data yang kuminta di sini."

Tangan Ashley berhenti menarik seprai ke sudut kasur. Bisa-bisanya dia lupa kalau Dominick menunggu datanya sampai tengah malam hari ini. Namun, apa dia tetap tega menagih seorang wanita yang baru diselamatkannya karena pingsan di kantor?

Lagi-lagi Ashley mengharapkan sesuatu yang sia-sia.

"Aku akan segera menyelesaikannya dan mengirimnya setelah tiba di rumah, Bos. Mungkin akan terlambat beberapa jam. Aku harus mengambil laptop dan ponselku di kantor."

Sekarang alasan apa lagi yang akan digunakan pria itu untuk menahannya pulang? Ashley mulai memikirkannya.

"Tidak, Harper. Laptopmu ada di sana." Dominick menunjuk benda yang dimaksud di atas meja kerja ruangan tersebut.

Kemudian Ashley menyadari sesuatu. "Ponselku?"

Kalau pria itu sempat mengemasi barang-barang di ruangannya, tentu benda kecil yang punya peran sangat penting seharusnya juga dibawa.

Senyum yang pelan-pelan muncul di wajah Dominick cukup untuk menjawab pertanyaan Ashley. "Ponselmu aman."

Itu artinya Ashley tidak akan mendapatkan ponselnya kembali dengan mudah. Kenapa seorang Dominick harus semenyebalkan ini? Ashley tidak habis pikir, tetapi dia mampu menjalani lima tahun yang menyiksa itu.

Tidak, mungkin dulu Dominick lebih tidak acuh dengan apa pun yang dilakukan Ashley. Akhir-akhir ini, pria itu bahkan menjadi penghalang untuk beberapa agendanya.

"Apa yang harus kulakukan, Bos?" Itu adalah pertanyaan yang tepat agar dia bisa mendapatkan ponselnya lagi. Ashley bisa saja pulang tanpa ponselnya, tetapi sendirian malam-malam tanpa alat komunikasi juga berbahaya. Selain itu, dia belum menghubungi Jeremy lagi sejak tadi sore. Tetangganya itu bisa saja masih menunggu.

Dominick tidak merespons, tetapi bola matanya bergulir ke arah obat tadi berada. Ashley mengakui kalau dia pernah menjadi anak bandel yang tidak suka minum obat saat sakit, mungkin itu juga terbawa sampai dirinya sekarang sudah dewasa. Namun, dia lebih suka jika obat itu bentuknya cair, lebih mudah melewati kerongkongannya.

"Obat yang sudah dikeluarkan dari bungkusnya begitu, bagaimana aku bisa tahu kalau itu aman dan jenis obat apa yang akan kuminum? Aku punya persediaan obat sendiri di rumah." Ashley tidak menyesal sudah bersikap seolah-olah tidak tahu terima kasih pada pria itu mengingat sikapnya juga sangat menyebalkan. Lagi pula, ini bukan waktu kerja, yang apabila dia bersikap kurang ajar akan langsung dipecat.

"Harper, sikapmu itu bagus untuk pertahanan diri, kau tidak mudah menerima kebaikan orang lain. Tapi apa aku terlihat seperti seseorang yang akan membahayakanmu?"

Cara Dominick menatapnya dengan tajam saja sudah terasa berbahaya. Ashley sampai menelan ludah dibuatnya. Akan tetapi, dia merasa tidak perlu menceritakan tentang dirinya yang kesulitan menelan obat keras pada pria itu. Hubungan mereka terlalu dangkal untuk saling berbagi informasi tentang diri sendiri.

"Aku hanya tidak ingin membuatmu repot lebih-lebih lagi, Bos."

"Tapi kau sudah melakukannya."

Dominick bangkit dari sofa dan berjalan menghampiri Ashley. Jarak mereka masih ada dua langkah, tetapi Ashley juga beringsut hingga kakinya bertemu dengan tepi kasur di belakangnya. Ashley merasa sangat kecil ketika pria itu menunduk menatap tepat di matanya.

"Mau sampai kapan mengabaikan kondisimu sendiri, Harper? Aku sudah bilang agar tidak membuatku terlihat kejam. Kau bisa beri tahu aku kalau sedang tidak enak badan. Aku tidak sekejam itu sampai tidak memberimu waktu istirahat. Aku berharap tugas tambahan itu akan membuatmu menyerah, tapi kau justru memaksakan diri untuk menyelesaikannya sampai melewatkan makan siang dan makan malam. Sepenting apa janji dengan seseorang itu, hm? Apa kau akan pergi berkencan lagi?"

Dominick tidak pernah mengomel untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan tugasnya. Ini adalah kali pertama pria itu mengomel karena kondisi Ashley. Dulu dia tidak pernah peduli meski Ashley harus menembus hujan yang sangat lebat hanya untuk membuatkan kopi kesukaan Dominick. Pria itu hanya ingin Ashley datang tepat waktu, tidak peduli apa pun kondisinya.

Keanehan dari sikap Dominick ini, Ashley tidak tahu sampai kapan dia akan bertahan. Dia tidak pernah sekali pun secara sengaja mengabaikan tugas. Dominick adalah pimpinan yang sangat bertanggung jawab atas hak yang harus didapatkan oleh seseorang yang bekerja padanya. Dengan alasan itu dia bertahan. Namun, perhatian-perhatian yang tidak perlu seperti itu agaknya terlalu berlebihan untuk Ashley terima. Memiliki bos yang baik itu bagus, tetapi kalau caranya seperti Dominick, Ashley menyerah.

"Kenapa?"

"Ya?" Ashley tidak tahu apa jawaban yang tepat untuk omelan Dominick sebelumnya, tetapi langsung merespons ketika pria itu menanyakan sesuatu yang ambigu.

"Kenapa kau pergi berkencan?"

Kenapa kau ingin tahu tentang itu, Bos?

Kalau diberi tahu bahwa tujuannya adalah untuk menyelesaikan taruhan bersama teman-temannya, apakah Dominick akan memberinya kelonggaran? Pria itu akan menganggap bahwa itu tidak masuk akal. Walau pada kenyataannya, tantangan itu sendiri terasa mustahil untuk Ashley berhasil melakukannya.

"Aku ... ." Bagaimana memberitahunya? Satu napas panjang sarat akan rasa frustrasi Ashley embuskan kemudian. "Aku juga ingin menikmati apa yang wanita lain lakukan di luar sana. Sejak lulus kuliah, aku terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, Bos. Aku juga ingin tahu seperti apa rasanya berkencan. Ada banyak hal yang sudah kulewatkan."

Saat mengatakan semua itu, Ashley membuang muka, menghindari tatapan Dominick. Dia tidak ingin pria itu menyadari kalau itu hanya jawaban yang dibuat-buat. Meski kenyataannya, itu juga sesuatu yang baru dia sadari.

"Cobalah denganku."

"Apa?"

"Berkencan. Seperti yang Harper inginkan, aku akan memberimu pengalaman kencan terbaik."

•••

Haloo, intermezzo kecil-kecilan ni, teman-teman pada suka cerita historical-romance gak?
Yang kalo baca Webtoon itu kisah duke-duke gitulah wkk.
Tuteyoo cuma mau bilang, kalau beberapa waktu terakhir buat rencana nulis tema itu bareng beberapa teman, nanti kami publish barengan di Wattpad (selaluu) wkk.
Mana tau ada yang suka baca, boleh samperin nanti yak 😁

See you in the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
25 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top