40 - Drinking Buddies

Ini menjadi kali kedua Melissa datang ke bar tempat DJ bekerja. Tidak ada yang berbeda dari terakhir dia datang. Pria itu masih berada di balik konter minuman, menyajikan minuman yang dipesan pelanggan. Ketika DJ mendaoati kehadiran Melissa di sana, dia memintanya untuk duduk di seberang meja konter agar mereka bisa sambil mengobrol. Namun, Melissa menolak dan memilih salah satu bilik sofa yang kosong. Dia juga tidak ingin mengganggu pekerjaan DJ meski diminta.

Satu bilik dengan pembatas rendah yang mejanya sedang dibersihkan menjadi pilihan Melissa untuk ditempati. Tiap bilik memiliki dua baris sofa berseberangan dengan sebuah meja sebagai pembatas. Bagian itu merupakan posisi yang privasi pengunjungnya cukup terjaga. Posisi itu tidak banyak tersorot lampu yang berputar hingga tidak begitu banyak menyita perhatian pengunjung lain. Suara musik juga terdengar lebih pelan di sana, hingga tidak perlu berteriak untuk bicara. Bagian itu menjadi favorit para pengunjung hingga Melissa cepat-cepat mengklaim salah satu bilik sebelum orang lain menempatinya.

Sambil menunggu Kate yang berjanji akan datang bersama teman Korea-nya, Melissa menikmati musik yang berputar. Kepalanya ikut bergerak seiring ketukan musik dan tangannya berjentik beberapa kali. Itu adalah momen yang langka terjadi, entah karena selama ini musiknya tidak pernah cocok dengan telinganya, atau mungkin karena dia selalu pergi ke bar ketika suasana hatinya sedang buruk. Tidak peduli jika tujuannya adalah menenangkan diri, Melissa tetap tidak bisa menikmati ketika perasaan tidak menyenangkan itu ikut mengiringi.

Melissa mengeluarkan ponsel ketika disc jockey mengganti musiknya menjadi lebih berisik. Telinganya tidak seperti Ashley yang memang menggemari jenis musik seperti itu. Melalui layar ponsel, dia berkaca sebentar. Rambutnya diikat satu, agak berantakan karena tidak disisir sebelumnya. Meski ini menjadi pertemuan dengan partner kencannya, tetapi Melissa tidak repot-repot merias diri. DJ juga tidak keberatan dengan penampilan santainya. Menurut DJ, Melissa merasa nyaman dengan dirinya hingga tidak perlu menutupi penampilan aslinya.

Ada beberapa pesan masuk di ponsel Melissa, dari Ashley yang tidak bisa datang, dari Kate yang masih menunggu dijemput temannya, sampai Jeremy yang tampaknya ingin berbagi tentang hasil kencan pertamanya dengan Ashley. Di antara semua itu, pesan dari tetangga Ashley-lah yang diperiksanya. Yah, sebetulnya tadi siang Melissa juga yang lebih dulu bertanya bagaimana kencan mereka.

Tetangga Ashley
Kencannya menyenangkan 🥹

"Sungguh menggelikan ketika dia meletakkan emotikon itu di sana." Melissa berucap pelan sambil tertawa kecil. Dia bisa menebak walau hanya melalui teks kalau pria itu memang terlewat bahagia. Berapa lama pria itu menantikan momen tersebut?

Melissa
Kupikir dia mengatakan hal yang sama juga.

Tetangga Ashley
Oh, ya?
Seperti apa katanya?

Melissa mulai mempertimbangkan apakah dia harus menghibur pria itu dengan menyampaikan sepotong pesan Ashley semalam. Akan tetapi, dia tidak benar-benar tahu apakah itu merujuk pada momen yang dihabiskan dengan Jeremy, atau karena itu adalah pengalaman pertama Ashley dan dia ingin berbagi sedikit perasaannya. Wanita itu bahkan tidak punya pengalaman lain untuk dibandingkan. Seandainya Melissa memberi tahu isi pesan Ashley, itu tidak berarti apa-apa.

Melissa
Dia belum banyak bercerita.
Tapi aku tahu dia cukup puas dengan pengalaman kencan pertamanya.
Dia juga belum memberi tahu kami kalau berkencan denganmu.
Kupikir dia malu 😌

Tetangga Ashley
Itu cukup melegakan.
Aku ingin mentraktirmu karena membuatku senang.
☺️☺️

Pengakuan Jeremy spontan membuat Melissa tertawa. Dia tidak tahu di tengah lautan pria yang tidak begitu pandai mengungkapkan perasaannya pada orang lain, ada satu yang seperti Jeremy. Dinilai dari sisi mana pun, dia adalah kandidat terbaik untuk mendampingi sahabatnya. Yah, Melissa memang belum mengenal pria itu selama Ashley, tetapi dia jarang sekali seyakin ini. Hanya tinggal bagaimana cara meyakinkan Ashley untuk lebih serius dengan Jeremy.

Tetangga Ashley
Tapi apa yang membuatnya malu?
Aku bisa mengorek beberapa informasi darimu.

Melissa
😮‍💨😮‍💨
Itu curang namanya.
Kasihan pria lain yang ingin mendekatinya tanpa ada bantuan orang dalam.

Tetangga Ashley
Justru bagus.
Mereka tidak akan berhasil.

Sial. Melissa tidak tahu bahwa pria yang baru saja dia bayangkan sedang tersenyum penuh haru bisa berpikiran selicik itu. Namun, dia cukup tertarik dengan langkah yang akan pria itu ambil untuk mendapatkan Ashley.

Melissa
Semoga berhasil kalau begitu.
😌

"Temanmu mengatakan sesuatu tentang datang terlambat?"

DJ duduk di samping Melissa dan mendaratkan satu kecupan singkat di pipinya. Itu bentuk kedekatan mereka. Meski jarang bertemu, mereka cukup intens berkirim pesan hingga sekarang bisa dibilang dekat. Namun, Melissa belum yakin DJ bisa menjadi pasangan yang tepat, sedangkan pria itu juga tidak belum memperlihatkan ketertarikan yang sifatnya romantis. Untuk saat ini, Melissa akan menikmati prosesnya pelan-pelan. Dia bukan lagi seorang gadis remaja yang diselimuti oleh rasa penasaran dan ingin mencoba banyak hal.

"Kate sudah di jalan menuju ke sini," sahut Melissa setelah membaca pesan dari Kate. "Shift-mu sudah selesai?"

DJ membuka tangannya, membuat gestur seperti ingin memeluk. "Aku milikmu malam ini," sahutnya dengan nada jenaka. Melissa cukup terhibur dengan itu dan memukul lengan DJ dengan pelan.

"Aku mungkin akan minta minuman lebih banyak."

"Tenang saja, aku sudah menyiapkannya untuk kita. Aku masih mendinginkannya untuk memberi rasa lebih segar."

Melissa yang tidak begitu mengerti tentang minuman lantas mengangguk. Jika rasanya enak, Melissa tidak akan repot-repot untuk mengorek bahannya. Sejauh ini Melissa hanya tahu DJ membuat minuman yang enak, lantas apa pun yang dibuat pria itu, dia percaya rasanya akan enak. Sama seperti dirinya yang percaya pada masakan Kate.

Baru dipikirkan, wanita itu sudah berada dalam jangkauan tatapan Melissa. Melissa berdiri untuk memudahkan Kate menemukan keberadaannya. Dia tidak bisa pergi menghampiri karena hanya ada satu jalan keluar dari bilik meja dan itu terhalang oleh DJ. Tidak lama kemudian, wanita itu berhasil menemukannya dan berjalan menghampiri mereka. Di belakangnya ada pria jangkung berwajah khas yang mengikuti.

"Maaf, apa kami membuat kalian menunggu terlalu lama?"

Melissa menggeleng dan dengan isyarat tangan mempersilakan Kate dan temannya untuk duduk di seberang meja.

"Kupikir dua temanmu itu perempuan?" DJ melempar tatapan kebingungan ke arah pria yang baru saja duduk tepat di seberangnya. Melissa memaklumi gelagat DJ karena dia memang bercerita tentang memiliki dua teman dekat wanita dan lupa memberi tahu kalau dia juga mengundang

"Ashley tidak bisa datang karena masih ada pekerjaan. Ini Kate, yang kubilang punya hobi memasak juga."

Karena sudah mendapat isyarat untuk memperkenalkan diri, Kate lantas mengulurkan tangan dan langsung dijabat DJ tanpa pikir panjang. "Halo, aku Kate. Melissa bercerita banyak tentangmu." Setelah jabat tangan berakhir, dia mempersilakan Jimmy untuk berkenalan dengan pria kekar tersebut. "Ini temanku dari kantor."

"Jimmy Jung."

Melissa merasa takjub dengan cara Jimmy tersenyum. Seperti yang Kate pernah ceritakan, senyum pria itu cukup lebar dan tidak terlihat mengerikan. Senyum itu justru menulari orang lain yang melihatnya. Benar-benar pria yang memiliki aura positif.

"Dante Jarvis, tapi kalian bisa memanggilku DJ saja."

"DJ, itu menarik, apa kau juga bagian dari mereka?" Jimmy menunjuk lelaki disc jockey sungguhan yang sedang dikerumuni oleh pengunjung wanita. Tidak ada yang tahu apakah mereka memang ingin mendengar musiknya lebih jelas atau hanya sekadar memanjakan mata karena pria itu cukup tampan.

DJ mengikuti arah pandang Jimmy dan tertawa ringan. "Agak mirip. Dia jago mencampuradukkan musik, aku jago mencampur berbagai sayuran di atas wajan."

Gurauan DJ membuat tiga orang di depannya terhibur, tetapi Melissa merasa lebih-lebih lagi. Dia selalu berkata kalau DJ adalah pria yang menyenangkan, hari ini dia merasa cukup puas karena berhasil membuktikannya di depan Kate.

"Ya, ya, panggilan itu cocok untukmu," ucap Jimmy di sela-sela tawanya.

Melissa menaikkan kedua alis ketika DJ tiba-tiba menatapnya dan perlahan-lahan tersenyum. "Aku akan mengambil minuman dulu." Setelah itu dia pergi meninggalkan bilik.

"Fuhh ... ." Melissa menghela napas lega seakan-akan DJ membuat napasnya tercekat tadi. DJ cukup tampan, meski ada yang lebih-lebih lagi, tetapi Melissa selalu dibuat kaget ketika mereka saling bertemu tatap seperti tadi.

"Mels, kau terlihat salah tingkah tadi. Aku bisa salah paham dan mengira kau sangat menyukainya." Kate menunjukkan rasa ketertarikannya untuk membicarakan tentang DJ. Di TV, dia sering melihatnya; pria tampan yang jago memasak, tetapi bertemu secara langsung memberi kesan yang berbeda dan dia tidak sabar ingin bertukar resep dengan pria tersebut. Kate bahkan sudah membawa buku resep pribadi di dalam tasnya.

"Kau boleh mengira begitu dan aku tidak akan mengelak. Dia kandidat terbaik yang diberikan padaku. Mungkin aku akan mengalahkanmu kali ini, Katherine Willow." Melissa bicara dengan nada angkuh yang dibuat-buat dan Kate memutar kedua bola matanya gara-gara itu.

"Ya ampun. Aku juga tidak berencana untuk gagal, tahu."

"Oh, ya? Pria CEO itu sudah menunjukkan ketertarikannya sejauh mana?" Melissa menantang. Dia bersandar sekaligus bersedekap dengan gaya slow motion seakan-akan sedang mengejek progres kencan Kate dan Dominick yang tidak signifikan. Sudah berbulan-bulan sejak pertemuan pertama, tetapi mereka baru bertemu tiga kali. Tidak seperti biasanya, pria yang tertarik pada Kate selalu bergerak cepat.

Yah ... mungkin saja seorang Dominick McCade memang terlalu sibuk sampai-sampai Ashley pun terkena imbasnya. Namun, setidaknya ada satu atau dua pesan yang dikirimkan pria itu pada Katherine setiap harinya, bukan?

Melissa mulai curiga ketika ada sedikit perubahan pada raut wajah Kate. Itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Sayangnya, sebelum dia sempat bertanya apa yang terjadi, satu-satunya pria di bilik itu berdeham. Mereka terlalu asyik sampai melupakan keberadaan Jimmy.

"Aku bisa pura-pura ke kamar kecil kalau kalian perlu privasi." Ada kecanggungan di suara pria itu. Gelagatnya seperti orang yang baru saja salah datang ke sebuah pertemuan.

Berada di tempat asing yang orang-orangnya tidak dikenal, kira-kira seperti itu Melissa menebak-nebak apa yang dirasakan pria itu.

"Tidak perlu, Tuan. Kita belum berkenalan, aku Melissa, teman Kate sejak sekolah." Melissa sengaja tidak mengulurkan tangan untuk menciptakan suasana yang santai. "Kate senang sekali saat menceritakan tentang teman baru yang punya hobi sama dengannya."

Cara Melissa berhasil, ekspresi Jimmy menjadi lebih rileks. Kate pernah bercerita kalau Pria Korea itu ramah dan mudah berbaur, tetapi Melissa pikir dia tidak begitu cocok dengan suasana di sekeliling mereka. Budaya Amerika dengan Asia jelas berbeda, Melissa tidak begitu mengerti perbedaannya, tetapi dia pikir itulah penyebabnya.

"Jimmy Jung. Aku kebetulan penggemar tulisannya."

Melissa mengulum senyum ketika pria itu menatap Kate saat memberikan jawaban. Cara pria itu menatap Kate mirip seperti ketika Jeremy menatap Ashley. Yang berbeda hanya kadar rasa suka mereka. Jeremy sudah seperti memuja Ashley, sedangkan Jimmy baru sekadar rasa kagum.

Lantas Melissa jadi penasaran bagaimana Kate ditatap oleh bos Ashley. Apakah seperti Jeremy, atau masih seperti Jimmy. Sebelum itu, dia ingin menggali penyebab dari perubahan raut wajah Kate ketika membicarakan tentang Dominick tadi.

"Kau tidak harus berkata begitu pada Melissa, dia agak menyebalkan." Kate menegur Jimmy, tetapi sesekali mengerling ke arah Melissa.

"Dari sekian banyak hal yang kau tahu tentangku, kau memilih kata 'menyebalkan', sungguh cara yang tidak baik untuk memperkenalkan seseorang yang disebut sahabat." Melissa mengakhiri ucapannya dengan satu decihan ringan. Rasa tidak sukanya ditunjukkan secara terang-terangan, tetapi tentu saja itu tidak serius.

"Justru makin kukenal, makin banyak pula keburukan yang kudapatkan tentangmu." Kate pun tidak ingin kalah memainkan peran. Dia memasang wajah sinis terbaiknya.

"Oke, oke, sekarang aku percaya kalian berteman baik." Jimmy mengakhiri lakon mereka.

Tidak lama kemudian, DJ datang sembari mendorong sebuah troli kecil khusus makanan. Di atasnya terdapat satu ember kecil berisi es batu, sebotol minuman tanpa label merek, dan sebotol anggur. Melissa yakin botol yang polos merupakan minuman yang diracik sendiri oleh DJ seperti yang pria itu katakan sebelumnya. Di samping ember juga ada beberapa gelas kaca dan semangkuk besar camilan untuk menemani mereka.

Membawa minuman dan camilan dengan troli seperti itu sebetulnya agak berlebihan, tetapi itu lebih baik daripada tangannya tersenggol oleh pengunjung yang sedang menari hingga terjatuh.

"Aku membuat minuman dengan mencampurkan sari apel karena Melissa menyukainya. Kalau kalian tidak suka, ada anggur berusia tiga tahun sebagai gantinya." DJ memindahkan barang-barang dari troli ke atas meja. Atas inisiatif pribadi, Jimmy turut membantu.

"Aku padamu, DJ." Melissa mengedipkan sebelah mata ke arah DJ disertai senyum menggoda. Namun, yang menarik dari wanita itu, meski bersikap seakan-akan sedang merayu, tetapi sama sekali tidak terlihat menggelikan. Hanya dengan melihatnya, karakter perayu seperti pengunjung wanita berpakaian seksi di bar itu sama sekali tidak ada pada diri Melissa.

"Kuharap kalian juga menyukainya," ujar DJ ketika menyodorkan masing-masing satu gelas yang baru dia isi kepada Kate dan Jimmy.

"Terima kasih." Kate dan Jimmy merespons hampir bersamaan.

Melissa memperhatikan gerak-gerik DJ dan Jimmy, lantas ketika mereka asyik mengobrol satu sama lain, Melissa mengatakan sesuatu pada Kate.

"Hei, tidak apa-apa kalau kau minum banyak hari ini, aku akan menjagamu."

•••

Mimpi terburuk Katherine adalah minum-minum di tempat umum yang banyak pengunjungnya sampai mabuk. Dia pun iri pada orang-orang yang bisa minum sepuasnya tanpa ada efek samping konyol seperti dirinya. Memang ada beberapa kasus yang mirip dengannya, tetapi Kate pikir itu tidak separah dirinya.

Kate sudah bangun sejak lima menit yang lalu, tetapi dia masih berbaring di kasur sebuah ruangan yang asing. Melissa berjanji akan menjaganya semalam, Kate memegang janji itu dan minum lebih banyak. Tidak tahu mana yang harus disalahkan, Kate terlalu percaya pada Melissa atau DJ yang membuat minuman terlalu enak. Kate tidak berhenti meminta gelasnya diisi ulang. Sayangnya, itu membuatnya lupa akan apa saja yang sudah terjadi dan sebanyak apa pembicaraan mereka.

Kate meraba tubuhnya sendiri, memastikan bahwa pakaiannya masih terpasang lengkap. Yang terlepas hanya jaket dan sepatunya. Seseorang yang membawanya ke tempat ini mungkin sudah membantunya untuk tidur lebih nyaman. Namun, siapa?

Kate akhirnya bangkit untuk duduk. Dia menyapu sekeliling ruangan dan mengernyit, menyadari bahwa ini bukan kamar Melissa. Tidak ada satu orang pun di sana selain dirinya. Ruangan bercat biru muda dengan furnitur yang didominasi warna putih gading, nyaris membuat Kate mengira bahwa ini adalah kamar seorang wanita. Apalagi, kamar itu sangat rapi. Akan tetapi, ketika di sudut ruangan terdapat meja komputer game dengan beberapa miniatur mobil di rak dinding di atasnya, Kate mulai yakin ini adalah kamar pria.

Jaket, tas, dan sepatu, Kate temukan di atas meja samping meja komputer tadi. Tidak ingin berlama-lama di sana, Kate segera menghampiri tempat itu dan mengambil barang-barangnya. Siapa pun pemilik kamar ini, Kate harap milik seseorang yang dikenalnya. Sebelum itu, dia harus segera pergi dari sana.

Aroma masakan yang pedas dan menyengat hidung menyambut Kate begitu keluar dari kamar. Di depan kamar itu hanya terdapat dinding yang berhasil membuat area itu menyerupai sebuah lorong pendek. Kate memilih berjalan ke sebelah kanan. Aroma masakan itu makin kuat dan di ujung lorong, Kate justru menemukan meja makan kecil yang menjadi satu dengan dapur. Dia makin dibuat kaget ketika menemukan seorang wanita sedang memasak dengan posisi membelakanginya. Dia menilai usia wanita itu melalui rambut dan postur tubuhnya.

"Ah, Anda sudah bangun." Wanita tua itu tiba-tiba berbalik dengan membawa mangkuk bergagang berisi sayuran yang sudah matang untuk diletakkan ke atas meja makan.

Kate bergeming, padahal biasanya paling tidak tahan diam saja tanpa membantu orang lain yang sedang mengerjakan sesuatu. Hari ini saja dia tidak bersikap seperti biasanya. Otaknya masih berusaha memproses situasi apa yang dihadapinya. Wanita tua itu neneknya siapa? Wajahnya tidak punya ciri khas khusus yang menunjukkan daerah mana dia berasal, yang berarti wanita itu memang penduduk asli New York.

"Se-selamat pagi ... ." Suara Kate memelan di ujung ucapan karena tidak tahu bagaimana menyapa wadai .

"Bagaimana kondisi Anda?" Wanita tua ini sangat ramah sampai Kate kebingungan menghadapinya. Mungkin Kate harus tahu dulu wanita di depannya ini nenek siapa.

"Saya ... baik-baik saja. Terima kasih sudah membiarkan saya beristirahat di sini."

"Anda terlihat kebingungan." Wanita itu tersenyum dan seketika mengingatkan Kate pada seseorang yang memiliki garis senyum yang sama; Jimmy Jung. "Duduklah. Mari kita sarapan dulu sebelum Anda pulang."

Kemiripan yang belum dipastikan itu sudah cukup membuat Kate merasa lega. "Nama saya Katherine. Panggil saja Kate."

Wanita itu tersenyum lagi. "Aku Maria. Jimmy masih tidur, jadi aku akan membangunkannya dulu sebentar. Dia tidur di ruang tengah karena Anda menempati kamarnya."

Kate melirik panci yang masih berada di atas kompor yang menyala. "Biar saya saja yang membangunkannya. Saya merasa bersalah karena sudah merampas tempat tidur orang lain."

Maria mungkin adalah nenek Jimmy. Kate akan menganggapnya seperti itu berhubung wanita itu tidak menyebutkan relasi macam apa yang dimilikinya dengan Jimmy. Selain karena wanita itu terlalu tua untuk menjadi ibu Jimmy, Kate juga sempat diberi tahu kalau kedua orang tuanya masih tinggal di Korea. Wanita itu mengikuti arah tatapan Kate dan segera mematikan kompornya.

"Baiklah. Aku akan tetap di sini untuk memasak. Anda bisa keluar dari sana dan belok kiri." Maria menunjuk jalan keluar yang berseberangan dengan jalan masuk Kate ke dapur tadi.

"Terima kasih, Nyonya," balas Kate sembari meletakkan tasnya ke atas kursi yang tadi hendak dia duduki.

"Maria saja."

Kate hanya mengangguk dan pergi dari sana. Alasan sebetulnya dia menawarkan diri untuk membangunkan Jimmy bukan hanya sekadar untuk membantu Maria yang sedang memasak, tetapi juga untuk bertanya apa yang terjadi semalam sampai dia dibawa ke sini. Melissa bersamanya juga semalam, seharusnya kalau memang sudah akan pulang, wanita itu akan memberi tahu alamatnya. Kate juga bisa pulang sendiri. Kalau sampai dibawa pulang ke rumah orang lain seperti ini, pasti sesuatu yang buruk sudah terjadi.

Kate berhenti di ambang pintu jalan masuk menuju ruang tengah yang disebutkan Maria tadi. Jimmy tidur di sofa panjang dengan kepala ditutupi buku novel. Kate memperhatikan sekeliling ruangan dan sadar bahwa itu lebih mirip seperti sebuah perpustakaan kecil. Dinding sekelilingnya dibuat menjadi sebuah rak dan terisi penuh oleh buku-buku, kecuali dinding di belakang sofa.

Sekarang Kate ragu bagaimana cara membangunkan pria itu. Wajahnya ditutup, tidak tahu apakah pria itu memang masih terlelap atau sudah bangun dan hanya malas bangun. Kate merasa belum terlalu dekat dengan pria itu sampai boleh mengganggunya.

Kate mendekat pelan-pelan, tangannya sudah akan menyentuh lengan Jimmy yang terlipat di atas kepala. Namun, tiba-tiba tangan itu bergerak sendiri menyingkirkan buku yang ada di wajah. Kate nyaris terlonjak ketika mata yang melotot menyapanya.

"Oh, hai." Jimmy bangkit untuk duduk di sana. "Kau sudah bangun." Wajah bantal itu tetap terlihat menawan saat tersenyum.

"Maria--aku tidak tahu siapamu--bilang kalau kita akan sarapan bersama." Kate banyak berkedip karena merasa malu bertatap muka dengan Jimmy. Rasanya seperti pria itu memegang rahasia terburuknya.

"Itu nenekku." Jimmy lalu menepuk ruang kosong di sebelahnya. "Mau duduk?"

Kate menatap ruang kosong itu dan menggeleng ringan. Dia tidak berniat berlama-lama di sana.

"Sebetulnya aku penasaran kenapa dibawa ke tempatmu tadi malam." Ada rasa tidak enak yang menyelimuti Kate hingga dia mengusap tengkuk dengan canggung.

Jimmy menangkap kegelisahan Kate dan tersenyum, tetapi tidak cukup untuk membuat wanita itu merasa lebih tenang.

"Kalian berdua mabuk parah. Melissa terus mengoceh kalau seseorang harus menjagamu karena kau selalu lupa segalanya saat mabuk. Karena Melissa tidak mungkin mengantarmu pulang dalam kondisi seperti itu, kuputuskan untuk membawamu ke sini. Kau tertidur sebelum menjawab di mana alamatmu, jadi kubawa pulang. Maaf kalau ini tidak membuatmu nyaman, tapi tenang saja, aku tidak memanfaatkan kondisimu saat mabuk sampai melakukan hal buruk."

Kate makin merasa buruk ketika pria itu justru meminta maaf padahal sudah membantunya. Kegelisahannya mungkin terlihat begitu jelas dan membuatnya terlihat seperti sedang meragukan kebaikan Jimmy. Kate sama sekali tidak berpikir pria itu akan berbuat buruk padanya,tetapi terlambat jika ingin menjelaskannya.

"Apa aku melakukan sesuatu yang merugikanmu?" Kate ingin cepat-cepat pulang rasanya. "Seharusnya aku yang minta maaf karena merepotkanmu."

"Tidak ada. Kita hanya bermain permainan meja dan yang kalah harus minum. Kau bermain sangat buruk sampai akhirnya tidak bisa berpikir jernih karena kebanyakan minum." Jimmy menjawab sambil menahan tawa. Sementara itu, Kate merasa frustrasi karena tidak tahu hal lucu apa yang sedang dia bicarakan.

Kate menghela napas lalu menjatuhkan tubuh ke atas sofa. Suasana hatinya tidak begitu bagus untuk memulai hari ini. "Seharusnya aku tidak setuju saat diajak minum. Kebiasaan mabukku tidak begitu bagus."

"Melissa bercerita sedikit tentang itu. Jadi, apa aku bisa menjadi teman minummu juga?"

•••

Maaf sekali baru bisa update :")

See you in the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
9 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top