38 - Thinking about Each Other
Dominick menenggak habis isi gelasnya yang baru diisi ulang dengan anggur berkualitas terbaik, setidaknya begitu yang Martin katakan padanya saat seorang asisten rumah tangga pertama kali datang dan memberinya segelas. Dominick tidak bermaksud ingin mabuk, tetapi dia tidak berhenti minta gelasnya diisi ulang. Entah karena rasanya memang enak, atau ada alasan yang tidak dimengerti yang menjadi penyebab dirinya ingin minum terus, seperti hal-hal yang mengganggu pikirannya sejak tadi.
Perayaan yang diadakan di rumah Martin tidak mengundang terlalu banyak orang, hanya rekan terdekatnya yang datang. Lagi pula, ini semacam reuni kecil setelah dia berada di luar negeri selama setengah tahun. Meski Dominick bukan pria yang suka menghadiri acara seperti itu, tetapi dia pikir perlu sesekali berterima kasih pada Martin, mengingat kesuksesan Vacade saat ini juga terdapat campur tangannya. Rekan Martin yang diundang juga merupakan kenalannya sejak kuliah dulu, meski tidak terlalu akrab.
Di ruangan itu selain Martin dan Dominick, ada lima pria lainnya. Istri Martin berada di ruangan lain bersama pasangan tamu-tamunya. Hanya Dominick yang datang tanpa menggandeng siapa pun. Gara-gara itu, Dominick terus dicecar dengan pertanyaan kapan dia akan memulai hubungan lagi.
"Bisa kubilang, pengacara itu benar-benar gila dan menggali lubang kuburannya sendiri. Dia seharusnya sadar kalau mencari masalah dengan Vacade sama artinya membunuh kariernya sendiri."
Dominick sibuk memandangi gelas lantas melirik salah seorang pria yang duduk di seberang Martin. Kejadian tidak mengenakkan memang terjadi bulan lalu. Pengacara yang dibayar sebagai penasihat hukum justru menjerumuskan Vacade dan nyaris mendapat kerugian besar. Beruntungnya, Dominick memiliki asisten pribadi yang sangat teliti. Wanita itu menyadari ada ketidaksesuaian data dan segera melaporkannya.
"Seorang pengacara seharusnya menjadi penasihat untuk mitranya, tapi dia justru menjadi mata-mata. Aku tidak tahu seberapa mahal dia dibayar oleh perusahaan lawan sampai rela menjual dirinya. Pada akhirnya dia rugi lebih banyak ketika Vacade meminta dia digantikan."
"Ya, itu gila. Firma hukumnya langsung memberhentikan pengacara itu."
Martin tergelak oleh respons pria yang lain. "Tentu saja, mereka lebih takut kerja samanya dengan Vacade dicabut daripada kehilangan pengacara mereka."
"Kalau aku jadi mereka, aku juga mengambil langkah yang sama. Vacade sangat berpengaruh sampai instansi pemerintahan takut bekerja sama dengan kalian. Mereka akan kehilangan biaya pemeliharaan rutin dari negara karena Vacade memberikan jaminan pemeliharaan seumur hidup tanpa biaya tambahan."
Tawa dari pria-pria itu pun pecah, tetapi Dominick hanya tersenyum, tidak peduli jika mereka sedang membicarakan tentang . Dibandingkan yang lain, dia memang tidak banyak bicara.
"Nick, kita membicarakan tentang perusahaan, apa kau tidak punya sesuatu untuk dikatakan?" Martin, yang kebetulan duduk di sebelah Dominick, meninju lengan kekar Dominick dengan kuat. Meski tidak terasa sakit, tetapi tetap saja itu menyebalkan.
"Kupikir ini acaramu, kau yang mengundang kita semua." Dominick menjawab dengan tenang, tetapi matanya tertuju pada asisten rumah tangga Martin sembari mengangkat gelas. Dia ingin minum lagi.
"Tidakkah kau terlalu banyak minum hari ini?" tegur Martin, alih-alih menjawab Dominick. "Kau bisa mabuk."
Sekarang Dominick menemukan tujuannya minum terlalu banyak malam ini. Dia ingin tahu sampai mana batas toleransinya terhadap alkohol. Kalau rasa penasarannya masih tidak terjawab meski sudah bertanya pada orang lain, maka dia akan menggunakan metode bertukar informasi. Tentu, ini mengingatkannya pada kebiasaan mabuk Ashley yang masih menjadi misteri.
"Beri tahu aku apa yang kulakukan saat itu terjadi." Dominick membalas dengan tenang, setenang suara kucuran minuman beralkohol yang mengisi gelasnya. "Tinggal saja botolnya di sini," pintanya ketika si asisten rumah tangga itu ingin membawanya pergi.
"Hah ... . Nick, aku tahu kau tidak segila itu. Yang seharusnya frustrasi adalah aku, karena kau tidak menyampaikan undanganku pada Nona Harper. Istriku sangat ingin bertemu dengannya." Rasa frustrasi itu bahkan ditunjukkan dengan jelas melalui ekspresi wajah Martin.
Dominick menenggak dahulu minuman di gelasnya. "Dia punya agenda lain, aku tidak bisa memaksa." Lalu merespons sembari mengisi gelasnya lagi.
"Ternyata kau tidak sekejam seperti isu yang beredar." Pria yang duduk di seberang Martin bicara lagi.
"Bagaimana Anda bisa mendengar sesuatu seperti itu?" Kendati tidak suka mendengar pembicaraan tentang dirinya, tetapi kali ini dia putuskan untuk mengikuti. Setidaknya ada sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang cukup mengganggu.
"Sekretarisku berteman dengan seseorang yang pernah menjadi asistenmu, Tuan McCade. Kita semua tahu bagaimana pergaulan para wanita, hampir semua hal mereka bicarakan."
Respons pria itu memantik sesuatu di dalam diri Dominick. Apa asisten yang sudah bekerja padanya selama lima tahun ini juga mengeluhkan hal yang sama kepada teman-temannya? Tidak jarang wanita itu ke kantor dengan wajah lelah karena lembur hari sebelumnya. Namun, itu sudah menjadi risiko bekerja di bawah pimpinan perusahaan besar. Ashley seharusnya sangat mengerti tentang itu dan tidak pantas jika mengeluh. Dominick tidak pernah peduli apa pun pendapat orang-orang terhadap dirinya, tetapi untuk pertama kalinya dia ingin mendengar pendapatnya. Pastinya akan ada lebih banyak yang bisa dia ungkapkan dibandingkan dengan asisten-asisten sebelumnya.
"Nona Harper tidak mungkin bertahan lima tahun lamanya kalau isu-isu seperti itu benar adanya." Martin mencoba menghibur karena mengira kerutan di dahi Dominick adalah bentuk ungkapan ketidaksukaan.
"Sempat ada rumor tidak mengenakkan tentang dia."
Astaga. Dominick tidak tahu kalau pertemuan mereka malam ini akan menjadi perkumpulan pria penggosip. Pria yang duduk di seberang Martin benar-benar tidak bisa diam.
"Ada banyak kiriman artikel tentang itu kepada kami untuk diterbitkan di majalah dan siaran berita. Kami menolaknya, dan berkat Martin juga kita berhasil mencegah kabar itu beredar di media." Satu-satunya pria berkacamata di sana pun turut bicara. Posisi duduknya berseberangan dengan Dominick.
"Terima kasih. Saya masih mengingat kebaikan Anda sampai sekarang."
Kabar perceraian pengusaha besar dengan seorang beauty influencer berhasil menarik perhatian orang banyak. Berkat popularitas mantan istrinya juga, informasi sekecil apa pun akan mereka telan bulat-bulat, termasuk bagaimana Ashley dianggap sebagai perusak rumah tangga mereka. Namun, sampai sekarang tidak ada yang tahu kebenaran dari perpisahan mereka. Membuat klarifikasi hanya membuang-buang waktu.
"Bahkan jika pada akhirnya Tuan McCade memperistri Nona Harper, kupikir tidak masalah. Dia wanita yang berhasil menaklukkan seorang Dominick McCade. Istriku pernah satu sekolah dengan Alisson, wanita itu memang suka menggemparkan seisi sekolah dengan dramanya. Jadi, aku tidak percaya kalau Nona Harper adalah seorang penggoda." Karena cerita yang menggebu-gebu dari si pria berkacamata, Martin sampai tergelak.
"Kami bukannya tidak tahu bagaimana kelakuan Alisson, tapi aku masih tidak mengerti apa yang dilihat Dominick waktu itu sampai memutuskan menikahinya."
Sial. Karena Martin mengatakannya seperti itu, Dominick tidak bisa merasakan apa-apa selain penyesalan. Namun, dia juga bersyukur tidak memiliki anak dengan wanita itu. Urusannya akan lebih repot ketika dia menuntut ini dan itu dengan kedok kebutuhan anak. Rasa syukur itu lantas dirayakan Dominick dengan minum anggur lagi.
"Cukup pembicaraan tentang aku atau asistenku. Mari dengarkan bagaimana Martin berhasil mengurus SecureIt dalam waktu enam bulan. Perayaan hari ini untuknya."
Dominick merasa pria-pria ini perlu dihentikan, atau Ashley akan terus mengganggu pikirannya.
Apa yang Harper lakukan hari ini sampai tidak bisa ikut denganku?
•••
"Mau sampai kapan kita seperti ini?"
Ashley mengangkat tautan tangannya dengan Jeremy. Pria itu menggandeng tangannya sejak mereka pergi dari gedung Industry City, dan sekarang sedang berjalan santai di sekitar Jembatan Brooklyn--kebetulan mereka memang sedang berada di daerah sana. Tidak hanya mereka berdua di sana, daerah itu masih cukup ramai meski matahari sudah terbenam sempurna sejak tiga jam yang lalu. Jembatan Brooklyn terkenal dengan pemandangan matahari terbenamnya yang cantik.
Awalnya Ashley tidak merasa keberatan sejak Jeremy mengatakan bahwa orang yang berkencan itu biasanya bergandengan tangan. Namun, dia pikir hanya sampai mereka mampir ke sebuah kafe untuk membeli minuman hangat, mereka sudah berjalan cukup jauh. Mobil Jeremy bahkan masih terparkir di area gedung yang mereka datangi tadi.
"Sampai kita kembali lagi ke mobilku?"
Picingan mata Ashley menjadi alasan Jeremy tergelak. Mungkin ini repotnya berkencan dengan orang yang sudah dikenal dekat, sulit dikendalikan. Berbeda jika dengan orang asing pada kencan buta, berbicara saja harus hati-hati. Yah, meski belum pernah mencobanya, setidaknya Ashley mendengar itu dari cerita teman-temannya.
"Kita akan berjalan sejauh apa?" Ashley merapatkan sisi tubuh dengan Jeremy, hanya untuk menyembunyikan tautan tangan mereka. Tatapan dari orang-orang membuatnya tidak nyaman. Saat bertanya pun dia menatap sekitar dengan gelisah.
"Ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman?" Level kepekaan seorang Jeremy memang tidak perlu diragukan lagi.
"Hanya merasa asing bergandengan tangan denganmu seperti ini." Ashley rasa tidak perlu menceritakan tentang tatapan orang-orang. Lagi pula, pria di sampingnya cukup menarik, jadi mungkin tatapan itu tertuju padanya.
"Apa kau tidak lihat orang-orang?" Jeremy menunjuk beberapa pasangan. "Mereka juga bergandengan."
Ashley tertawa, begitu menyadari kalau yang dia perhatikan hanya tatapan mereka, tidak pada tautan tangan mereka. "Kukira hanya kita yang seperti ini."
Langkah Ashley terhenti seketika ketika Jeremy menghadang jalannya. Tautan tangan mereka belum terlepas, dan pria itu mencondongkan badan ke arahnya.
"Ada sesuatu di wajahku?" Dengan menggunakan tangan lain yang sedang menenteng plastik minuman, Ashley menyentuh wajahnya. Tidak ada yang aneh selain kerutan di dahinya sendiri. Sikap pria itu membuatnya heran.
"Ada."
"Apa?"
"Keindahan."
Sekarang ekspresi wajah Ashley jadi penuh kengerian, secara sengaja menekan dirinya untuk tidak merasa tersipu. Dia cukup sering mendengar pujian terlontar dari mulut pria itu dan tidak pernah benar-benar menanggapinya. Hari ini, Jeremy memujinya dengan senyum yang tidak seperti biasa, seakan-akan sedang berusaha menunjukkan ketulusannya.
"Apa saat berkencan juga perlu saling memuji?" Ashley menggulirkan bola mata ke arah jembatan di sisi kanannya, menghindari tatapan Jeremy. Biasanya mereka bisa adu saling pandang dalam waktu lama, tetapi hari ini Ashley tidak mampu melakukannya.
Ashley baru bernapas dengan lega ketika Jeremy menegakkan badan kembali. Parfum yang dikenakan pria itu juga tidak berbeda dari biasanya, tetapi berhasil membuat napasnya tertahan untuk sesaat. Bisa-bisanya sepotong pujian membuatnya bereaksi seperti itu.
"Coba puji aku."
"Hah?" Ashley berpikir dirinya sudah salah bicara, sebab pria itu memintanya dengan kesan yang tidak bersahabat, persis seperti memberinya tantangan.
"Kita sedang berkencan, jadi puji juga aku."
Wajah Ashley mengerucut ketika tangannya ikut tertarik saat pria itu bersedekap. Ashley pikir itu terlihat aneh karena tangannya tidak dilepaskan dulu, justru makin erat.
Ashley memandangi pria itu lamat-lamat, sambil mencari-cari objek apa yang bisa dijadikan pujian. Saat mabuk, dia bisa melakukannya dengan mudah. Kata 'tampan' meluncur begitu saja saat memanggilnya, meski setelah itu dia bandingkan dengan Dominick yang menurut penilaiannya memang lebih tampan. Namun, dia tidak mungkin menggunakan itu di saat seperti ini. Ashley akan mengingat wajah bos kejamnya, padahal mereka sedang berkencan malam ini.
"Kita tidak akan pulang kalau kau terus diam." Pria itu bahkan mengancamnya.
Ashley menghela napas, sekaligus menyingkirkan rasa malu atas apa yang akan dia katakan setelah ini. Demi pulang, dia akan melakukannya untuk itu.
"Coba melotot dulu."
Kening Jeremy spontan berkerut. "Begini?" Dia bertanya setelah menuruti permintaan Ashley.
"Saat aku menatap matamu, aku selalu yakin bahwa kau akan menjagaku dengan baik." Ashley menunduk setelah mengatakan itu, apalagi ketika pria itu terkejut. Suda Ashley duga, hal-hal seperti itu memang tidak cocok untuknya. "Aku tahu itu aneh. Jadi berhentilah melihatku seperti itu."
Ashley baru saja merasa bersyukur akhirnya Jeremy melepaskan tangannya, tetapi itu hanya kelegaan sekejap karena kemudian pria itu memeluknya erat sekali.
Ini kenapa?
"Hei, Tetangga?" Tidak peduli jika ini sebuah kencan, Ashley tidak bisa memanggil Jeremy dengan namanya. Sebutan itu terlalu sering dilontarkan kepada satu sama lain sampai nama pria itu sendiri terasa asing diucapkan.
Sekarang Ashley bertanya-tanya apakah pelukan itu harus dibalas karena mereka sedang berkencan. Dia bahkan tidak tahu apa alasan pria itu memeluknya. Itu bukanlah pelukan pertama mereka, tetapi rasanya berbeda dari biasanya. Jeremy akan memeluk Ashley sebagai bentuk penghiburan, dan saat ini dia tidak sedang merasa gelisah atau bersedih hingga membutuhkannya. Seandainya bagian dari berkencan memang pelukan, Ashley akan membiarkannya sebentar lagi.
"Kau ... lucu sekali saat mengatakan itu. Aku khawatir akan menciummu kalau terus menatap wajahmu."
Ashley menggeleng-geleng. Sudah cukup ciuman yang waktu itu terjadi saat mereka sama-sama mabuk, tidak perlu terulang lagi ketika mereka dalam kondisi waras. Demi mencegah itu terjadi, Ashley melingkarkan kedua tangannya di punggung Jeremy, kalau posisi ini bisa mencegah pria itu menciumnya, dia rela menunggu sampai keinginan itu lenyap.
"Ya, ya, peluk saja aku seperti ini." Ashley mengatakan itu dengan suara yang tenang sambil mengusap punggungnya. Pria ini bahkan tidak sedang bersedih, tetapi Ashley merasa seperti sedang menghadapi anak-anak. "Hei!" Tangan yang sedang mengusap-usap itu berganti menjadi memukul punggung Jeremy dengan kuat. Bagaimana mungkin dia tidak terkejut ketika pria itu justru mengeratkan pelukannya sampai terasa sesak.
"Maaf." Jeremy melepaskan pelukan dan tersenyum sangat lebar. "Tapi itu benar, aku memang akan selalu menjagamu, bahkan kalau bisa bos kejammu itu ingin kusingkirkan juga."
Kata-kata sok heroik itu membuat Ashley memutar bola matanya. "Kau gila, ya? Hidupku masih bergantung padanya." Ashley murung sesaat, tetapi kemudian teringat bahwa saat ini dia sedang pergi berkencan dengan Jeremy dan tidak boleh menunjukkan wajah seperti itu.
"Aku juga punya uang banyak. Aku bisa berikan padamu tanpa harus bekerja keras."
"Tidak, itu tidak perlu. Kau harus menyimpannya untuk tabungan masa depan."
Tabungan masa depan, ya? Ashley memikirkannya dan merasa pilu untuk sesaat. Dia sering memikirkan tentang itu, apalagi dengan penghasilan yang banyak setiap bulan pun uang yang terkumpul sebagai tabungan juga seharusnya sudah banyak. Seandainya bukan karena pria itu, dia tidak akan merasa sulit seperti ini. Ashley bisa membeli apa pun dengan uangnya yang banyak.
"Bagaimana aku menyebutnya, ya? Aku punya bangunan yang tidak berhenti menghasilkan uang. Kalau habis hari ini, aku akan mendapatkannya lagi besok."
Ashley berdecih pelan, tidak kuat melihat cara pria itu menyombongkan hartanya. Dia percaya pria itu punya uang yang banyak, kalau tidak, tidak mungkin Jeremy bisa menempati salah satu bangunan apartemen termahal di New York. Hanya ... Dominick jauh lebih kaya. Sebanyak apa pun uangnya dikeluarkan untuk membayar kerja keras Ashley, itu tidak akan habis.
"Aku tidak tahu kalau partner kencanku ini suka pamer." Ashley mengatakannya dengan nada jenaka.
"Kenapa?" sahut Jeremy sambil menggandeng tangan Ashley lagi. Mereka sudah terlalu lama diam di sana dan pria itu mengajaknya kembali berjalan. "Kau tidak suka."
"Bukan. Aku hanya kasihan karena biar dilihat dari sisi mana pun kau tetap kalah."
"Dari siapa?"
"Dominick?"
"Haah ... bisa-bisanya aku dibandingkan dengan pria itu."
Ashley hanya tertawa geli, sebab dia tahu Jeremy tidak pernah menyukai pria itu, begitu pula sebaliknya.
"Aturan lainnya saat berkencan, tidak boleh memikirkan pria lain selain aku, partner kencanmu. Kita akan saling bertukar informasi tentang satu sama lain."
Ashley hanya bisa meringis ketika Jeremy mencubit sebelah pipinya kuat sekali. Pria itu jadi memperlakukannya seperti gadis remaja.
"Baiklah, aku mengerti." Wajah Ashley merengut ketika mengusap pipinya yang merah bekas dicubit.
Memangnya apa lagi yang ingin dikorek tentang satu sama lain? Ashley rasa mereka sudah cukup memahami karakter satu sama lain termasuk selera. Kalau pun ingin ada topik obrolan saat mereka melakukan kencan kedua, ketiga, sampai kelima, paling hanya akan membicarakan tentang keseharian mereka dan hal-hal yang terjadi di sekitar mereka.
Namun, ada satu yang membuat Ashley penasaran, yaitu seperti apa latar belakang keluarga Jeremy. Tentang orang tuanya, tentang saudaranya, termasuk bagaimana pria itu hanya tinggal sendirian. Sebetulnya sama saja seperti dirinya yang tidak terlalu banyak menceritakan tentang kondisi keluarganya.
"Sekarang mau ke mana lagi?"
Ashley bergumam, sedang berpikir. "Ke mana saja asal bersamamu." Kalimat itu harusnya terdengar romantis, tetapi tidak jadi karena Ashley menjulurkan lidah setelahnya.
"Bisa gila aku rasanya."
•••
Sementara itu di pesan grup.
Katherine
Sudah berjam-jam Ashley tidak membalas.
😐😐
Aku penasaran dia pergi dengan siapa.
Melissa
Dia sedang berkencan sekarang.
Jangan ganggu dulu.
Katherine
Partner kencanmu bagaimana, Mels?
Melissa
Masih suka memasak.
Katherine
😑
Melissa
🙂?
Katherine
Aku menunggu kabar Ashley.
Melissa
Kenapa?
Katherine
Ini kencan pertamanya, tentu aku penasaran.
Maksudku, siapa pria yang beruntung itu.
Melissa
Sabar saja. Dia akan muncul.
Kalau tidak hari ini, berarti besok pagi.
Jangan ganggu dulu.
Katherine
Ya ampun ...
Ashley
Ternyata ...
Kencan cukup menyenangkan, ya.
•••
See you on the next chapter :)
Lots of love, Tuteyoo
19 September 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top