36 - Out of Character
Jeremy tidak pernah meninggalkan jaket tebalnya setiap ada agenda minum dengan Ashley. Jaket tersebut memiliki kancing berlapis ritsleting, hingga akan merepotkan untuk dilepas ketika sedang buru-buru. Namun, jaket itu bukan dia yang memakai, melainkan Ashley. Kebiasaan wanita itu saat minum terlalu menggoda, tetapi Jeremy juga tidak ingin berhenti menjadi teman minumnya.
Jeremy tidak bisa berhenti merasa bersalah ketika malam itu tidak mampu menahan dirinya. Mereka sudah minum bersama puluhan kali, dan kebiasaan Ashley juga masih sama; selalu membuka kancing atasan piamanya. Itu bukan pemandangan baru, mantan kekasihnya dulu bahkan melakukannya lebih buruk lagi. Wanita yang mengenakan bikini juga bukan sesuatu yang jarang dilihat. Saat mencium Ashley malam itu, bolehkah Jeremy menyalahkan perasaannya?
Tidak ada yang berbeda dari apa yang dilakukan Ashley sebetulnya, tetapi malam itu Jeremy memang minum sedikit lebih banyak dari biasanya. Semua yang dilihatnya dari Ashley adalah keindahan, tidak peduli yang wanita itu lakukan adalah hal konyol. Film yang menemani mereka minum kemudian menampilkan adegan si wanita sedang menggoda pemeran pria di sebuah ruang kerja. Karena itu mengingatkan Ashley dengan rumornya yang beredar di kantor, dia jadi berkeluh kesah pada Jeremy sambil mencoba mempraktikannya seperti yang dilakukan si pemeran wanita.
Atasan piama yang biasa hanya dilepaskan kancingnya, justru jatuh ke lantai, menyisakan Ashley hanya dengan bra merah marun dan celana selutut. Jika pemeran wanita merangkak ke atas meja si pria, yang dilakukan Ashley adalah merangkak di sofa dan berhenti begitu telah berada di pangkuan Jeremy. Saat itu pengaruh alkohol juga bersalah karena membuat Jeremy tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Dia tidak mampu menahan diri dan menarik Ashley lebih dekat padanya, lalu ciuman itu terjadi.
Namun, Jeremy cukup bersyukur karena Ashley segera menangkap tangannya ketika akan merambat naik untuk meraih pengait bra. Wanita itu tidak menyalahkan Jeremy, sebab dia mengakui juga terbawa suasana dan menikmati. Dan sejak saat itulah, Jeremy selalu membungkus Ashley dengan jaketnya terlebih dahulu. Wanita itu benci sesuatu yang rumit, karena menurutnya hidup saja sudah rumit, dan akhirnya pasrah.
Situasinya seperti sekarang, misalnya.
Jeremy baru saja meletakkan botol bir di pangkuannya, ketika Ashley menggeram kepanasan. Meski sekarang sudah memasuki musim panas, seharusnya dia tidak merasakan itu sekarang. Ini malam, dan pendingin ruangan di ruang tamu wanita itu sudah diturunkan Jeremy suhunya. Hanya tinggal sebentar lagi sampai wanita itu menyerah.
Tidak peduli seberapa jauh Jeremy ingin melihat wanita itu menanggalkan potongan pakaiannya, tindakan pencegahan tetap harus dilakukan.
"Tetanggaku yang tampan." Jeremy sangat menyukai cara wanita itu memanggilnya, tidak peduli meski hanya bisa didengar saat dia mabuk. "Tapi bosku lebih tampan." Dan membenci kelanjutannya.
"Kau ingat aku tidak pernah suka mendengar pujian untuk bosmu yang kejam itu, tapi kau terus mengulanginya." Cemberut di wajah pria itu jelas hanya dibuat-buat.
Wajah Ashley mengerucut saat menatap Jeremy, seperti seorang penderita rabun jauh sedang melihat seseorang dari kejauhan. "Kan, benar?"
Yah, memangnya Jeremy bisa mengontrol orang mabuk? Wanita itu hanya akan mengatakan apa yang dia mau saja. Dan semua yang terlontar dari mulutnya adalah kejujuran.
"Ada apa? Tunggu, kau harus bicara dulu sebelum minum lagi."
Jeremy merebut botol dari tangan Ashley sebelum mulut botol itu menyentuh bibirnya. Wanita itu tidak akan mengatakan apa-apa jika terus menenggak minumannya. Wajahnya saja sudah sangat merah dan matanya sayu. Aroma alkohol sudah menyelimuti sekeliling Ashley, menyamarkan aroma asli tubuhnya.
"Janji kau tidak marah dulu?" Dengan wajah merengut seperti anak-anak, Ashley mengangkat dua jari kelingkingnya. Jeremy nyaris tidak percaya kalau wanita di sampingnya ini adalah anak pertama yang harus mencukupi kebutuhan tiga adiknya. "Ayo, janji dulu."
Karena Ashley mendesak, akhirnya Jeremy menautkan jari kelingkingnya. "Aku bisa menebak apa yang mau kau katakan."
"Ei ... pura-pura saja kau tidak tahu."
Jeremy meringis ketika Ashley menekan kelingkingnya dengan kuat. Miliknya bahkan jauh lebih besar dari wanita itu.
"Aku tidak bisa cuti. Pria tampan itu memintaku ikut pergi dinas dengannya. Tidak ada waktu yang pas untuk bisa cuti."
Jeremy tidak terkejut, bahkan ketika wanita itu memintanya agar tidak marah pun dia sudah menebak kalau ini tentang rencana liburan mereka. Sekarang rasa tidak sukanya pada pria itu makin menjadi-jadi. Bos macam apa yang menahan-nahan pegawainya libur bekerja. Jeremy tidak bisa menduga hal lain selain kemungkinan bahwa pria itu sebetulnya tertarik pada asisten pribadinya sendiri. Kalau itu benar, berarti Jeremy akan memiliki saingan yang berat. Dominick McCade bahkan sudah mengikatkan tali tidak kasat mata pada Ashley hingga wanita itu tidak mampu berkutik. Tidak peduli jika hubungan mereka bersifat profesionalisme, tetapi itu sungguh berlebihan.
"Dia suka padamu atau bagaimana? Posesif sekali."
Ashley menggeleng dan tertawa garing. "Tidak mungkin. Dia tertarik pada Katherine dan sekarang mereka sedang bertemu untuk makan malam."
Sungguh? Jeremy merasa lega mendengarnya.
"Apa perlu aku yang bicara padanya?" Tidak, Jeremy tidak mungkin melakukan itu. Ashley pernah mengadu tentang ketakutannya jika melawan Dominick meski terkadang ada umpatan yang dia lontarkan untuk pria itu. Jeremy melontarkan itu hanya untuk menghibur Ashley.
"Tidak, tidak. Tapi mungkin rencana liburannya bisa diganti dengan sesuatu yang lain?"
Sial. Bisa-bisanya wanita itu menawarkan itu dengan wajah yang sungguh menggoda? Jeremy mulai memikirkan hal-hal kotor dan segera membersihkannya dengan menenggak lagi bir yang tersisa di botol.
Bodoh. Dia sudah berpakaian tertutup dan kau masih tergoda?
"Apa aku harus menjawabnya malam ini juga?"
Jeremy tersentak ketika botol di tangannya direbut Ashley. Wanita itu bahkan langsung menenggak isinya. "Aku akan sibuk dan tidak bisa minum denganmu seperti ini beberapa waktu ke depan."
"Aku harus memikirkannya agar kesempatan itu tidak terbuang sia-sia."
"Pikirkanlah dengan cepat. Ayo~"
Tidak hanya mendesak dengan suara manja, wanita mabuk ini juga menarik kaos yang dikenakan Jeremy dan menggoyang-goyangkannya. Sisi Ashley yang seperti ini, Jeremy harap hanya dia satu-satunya pria yang mengetahuinya. Ashley pernah bercerita kalau dia selalu menghindari mabuk saat bersama Dominick, kemungkinan besar pria itu tidak pernah tahu.
"Oke, oke. Lepaskan ini." Jeremy menangkap tangan Ashley dan memeganginya di pangkuan. "Berjanjilah kau tidak akan menolak."
Ashley mengangguk kuat seperti seekor anak anjing yang patuh. "Janji!" serunya dengan yakin.
"Berkencanlah denganku sebanyak lima kali." Dan Jeremy akan berusaha membuat Ashley jatuh cinta padanya.
•••
Hari ini Ashley bangun kesiangan, hampir satu jam lebih lambat dari biasanya. Dia bangun pada dering terakhir alarm ponselnya. Tidak biasanya seperti ini, bahkan ketika minum sampai lewat tengah malam pun, dia masih berhasil bangun jam enam pagi. Sepertinya mereka minum-minum sampai lupa waktu semalam, Ashley sampai tidak tahu kapan Jeremy pulang. Sekarang kepalanya pusing karena melakukan semua hal terburu-buru. Dominick akan marah kalau dia terlambat tiba di tempatnya.
Lotion yang dibelikan Dominick beberapa waktu lalu tidak sempat dipakai, dan Ashley membawanya untuk dipakai setibanya di kantor nanti. Dia tidak punya banyak waktu untuk membersihkan diri tadi, kemungkinan besar aroma alkohol masih menguar dari tubuhnya. Lotion mahal itu benar-benar membuktikan kualitasnya. Ashley benar-benar tidak harus memakai parfum lagi.
Setibanya di gedung tempat tinggal Dominick, Ashley menyemprotkan parfum di lehernya sedikit. Namun, baru di semprotan kedua, pria itu meneleponnya. Ashley sampai buru-buru meraih tasnya dan keluar dari mobil.
"Di mana?"
"Aku sudah di tempatmu, ini mau masuk elevator."
Ashley pikir pria itu akan mengatakan sesuatu lagi, tetapi tidak terjadi. Dominick justru mengakhiri sambungan telepon. Kacau sekali. Ashley bersandar pada dinding elevator, dan tidak sengaja melihat pantulan dirinya di sisi dinding yang lain. Rambutnya belum ditata dengan benar, kardigannya tidak dikancing, lalu dia belum memakai lipstik. Yah, meski tidak ada perbedaan yang mencolok ketika bibirnya diberi lipstik atau tidak, tetap saja dia merasa wajahnya akan terlihat pucat.
Elevator ini sungguh tidak bisa diajak bekerja sama, pergerakannya terlalu cepat. Ashley baru mengeluarkan lipstik dari tas, tetapi pintu elevator justru terbuka. Itu merupakan elevator pribadi yang mengantarkan langsung ke ruang tamu penthouse Dominick.
Di sana Taylor sudah datang dan sedang membenahi jasnya.
"Taylor, bisa bantu aku?"
"Ya, ada apa?"
Ashley mundur lagi beberapa langkah menjauhi Taylor. "Saat aku melewatimu, katakan aroma apa yang keluar dariku."
Seharusnya Taylor hanya diam, tetapi pria paruh baya itu justru mencondongkan badan sedikit dan mengendus seperti anjing ketika Ashley lewat di depannya.
"Aroma bunga-bungaan."
"Tidak ada yang lain?"
Taylor hanya menggeleng.
"Bagus. Terima kasih, Taylor."
Tidak ada aroma alkohol, berarti Ashley aman. Dominick akan marah dua kali lipat jika aroma itu masih tercium. Jika dengan aroma parfum biasa yang sudah wangi saja harus diganti, apalagi kalau bau alkohol? Ashley tidak bisa membayangkan akan seperti apa reaksi Dominick, tetapi pria itu cukup manja sampai dasi saja harus dirapikan orang lain lebih dulu. Dengan jarak sedekat itu, aroma apa pun yang menguar dari Ashley pasti akan tercium. Namun, Taylor sudah memastikannya dan Ashley juga lewat tidak jauh-jauh darinya.
Ashley menilik di ambang pintu ruang penyimpanan pakaian dan aksesoris Dominick dan menemukan pria itu sedang berdiri menghadap cermin sedang mengancingkan kemejanya. Biasanya di jam sekarang pria itu sudah duduk di meja makan, tidak mungkin karena menunggu Ashley untuk memilih dasinya, bukan?
"Kau terlambat." Singkat, padat, dan menusuk telinga. Tatapan Dominick dari pantulan cermin tertuju pada Ashley dengan tajam. Menelan ludah rasanya seperti menelan permen bulat-bulat di kerongkongan Ashley.
"Maaf, Bos." Ashley memasuki ruangan itu, meletakkan tasnya sementara di sofa tanpa sandaran, dan langsung ke etalase koleksi dasi Dominick yang berada di tengah-tengah ruangan. Hari ini pria itu mengenakan kemeja berwarna merah marun, dasi hitam dengan motif kain yang timbul berwarna keemasan yang dipilih Ashley.
"Apa yang kau lakukan semalam?" Dominick berbalik menghadap Ashley, dengan meja etalase dasi tadi sebagai jarak mereka.
"Tidur?"
"Kau mengerti maksud pertanyaanku, Harper."
Ashley menatap apa saja di sekitarnya kecuali wajah Dominick. "Aku memang mengurus jadwalmu, Bos, tapi aku tidak harus melaporkan setiap kegiatanku padamu, 'kan?" sahutnya sembari menghampiri pria itu.
Jantung Ashley makin berdebar kencang ketika sudah berhadapan dengan pria tersebut. Itu bukan debaran yang terasa menakjubkan sebagaimana yang orang-orang rasakan saat jatuh cinta. Tidak, jauh sekali dari itu. Ini adalah reaksi dari tekanan mental yang harus dihadapi ketika menerima kemarahan seorang Dominick. Dasi yang tergulung di tangannya lantas dibuka untuk dilingkarkan di kerah kemeja Dominick. Pria itu bahkan enggan membungkuk hingga Ashley harus berjinjit di atas pantofelnya yang setinggi lima senti.
"Jadi, kau minum semalaman."
Tangan Ashley membeku setelah satu kali ikatan dasi di depan dada Dominick. Bagaimana pria itu mengetahuinya? Apa tubuhnya memang masih mengeluarkan aroma alkohol? Ashley sudah menyikat giginya, tidak lupa berkumur dengan obat kumur sampai dua kali. Hanya badannya yang tidak dimandikan dengan benar.
"Aromanya menempel di tubuhmu kalau kau bertanya-tanya."
Apa penciuman Taylor tidak bagus?
"Maaf, aku tidak punya waktu untuk berendam pagi ini, Bos. Aku akan berangkat dengan mobilku sendiri."
Ashley melanjutkan aktivitasnya, mengabaikan tatapan tajam Dominick yang masih tertuju padanya.
"Dengan siapa?"
"Tidak perlu kau tahu."
Jika Ashley pesta minum dengan banyak orang pun bukan sesuatu untuk diceritakan pada Dominick. Ini adalah situasi yang langka karena seorang pria yang tidak peduli pada apa pun tiba-tiba ingin tahu segalanya.
"Kau selalu minum bertiga. Kalau Katherine pergi denganku semalam, berarti ada orang lain selain mereka yang minum denganmu."
Huh? Ashley tidak ingat pernah bercerita tentang itu padanya.
"Aku bisa minum sendiri." Walau kenyataannya, Ashley benci menikmati minuman itu seorang diri. Kalau tidak, mana mungkin Jeremy bisa menjadi partner minumnya.
"Kau minum dengan pria tetangga itu?"
Ashley tidak mengerti kenapa Dominick harus merasa kesal ketika menyebutkan sosok Jeremy. Kesalahan apa yang tetangganya perbuat sampai dia bersikap demikian? Mereka pernah bertetangga walau Jeremy mengaku tidak pernah tahu bahwa orang itu adalah Dominick. Sebaiknya pria itu tidak usah tahu dulu kalau dia minum dengan Jeremy semalam.
"Kubilang sendiri, Bos." Karena merasa kesal, ucapan Ashley yang penuh penekanan juga diikuti dengan tarikan yang kencang pada dasi Dominick. Namun, tidak sampai membuat pria itu sampai tercekik. Hasilnya? Tarikan itu membuat tubuh Dominick condong ke depan, ke arah Ashley. Kedua tangan yang kemudian berada di sisi tubuh Ashley, bertopang pada tepi meja etalase di belakangnya, membuat Ashley tidak bisa menyingkir dari sana. Tubuhnya terjepit di antara tubuh Dominick dan meja etalase.
Ashley pikir, Dominick akan segera mundur, tetapi justru tetap berada dalam posisi itu.
"Apa ini bentuk pemberontakanmu yang ingin berhenti setelah menikah?"
Ashley melirik sisi kiri dan kanannya, berharap ada celah yang bisa dia lewati untuk menyingkir dari sana. Namun, cengkeraman Dominick pada tepi etalase sangatlah kuat.
"Itu ... melenceng jauh, Bos." Ashley menoleh ke kanan, hanya untuk menghindari tatapan Dominick. "Apa hubungannya aroma alkohol dengan pernikahanku yang tidak akan terjadi dalam waktu dekat?"
Ashley yakin, bukan hanya dirinya yang merasakan keanehan dari sikap Dominick. Orang lain pun akan merasa demikian kalau melihatnya. Namun, kenapa? Apa yang membuat sikap bosnya itu jadi seperti ini? Kemarin dia sudah pergi makan malam dengan Katherine, seharusnya pria itu merasa senang setelah menghabiskan waktu dengan wanita yang dia suka. Apa semalam terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hingga suasana hati pria itu tidak bagus sampai pagi ini?
Ashley terus mempertanyakan perubahan sikap Dominick sampai tidak lagi melihat waktu dan sudah berapa lama pria itu menatapnya.
"Kau terlambat karena minum semalaman. Aku tidak bisa tidur karena memikirkan apa alasan asistenku tidak bisa minum denganku."
"Ha?" Itu reaksi yang membuat Ashley terlihat bodoh. Namun, itu reaksi yang sangat wajar untuk sesuatu yang tidak wajar.
"Kau tidak mengerti? Aku terus memikirkan apa yang terjadi pada Harper saat mabuk sampai kesulitan tidur. Bagaimana kalau suatu waktu aku ingin ditemani minum sebagai bagian dari pekerjaan? Aku akan memecatmu kalau menolak. Tapi sepertinya memang tujuanmu adalah berhenti bekerja denganku."
Rambut Ashley yang belum dirapikan, sekarang dimainkan oleh Dominick. Ashley bahkan sudah mempersiapkan diri kalau saja pria itu akan tiba-tiba menariknya. Itu hanya ada di bayangan Ashley, sebab Dominick bukan pria yang akan melukai wanita secara fisik.
"Lalu apa, Bos? Kau selalu berkata kalau mencari penggantiku adalah urusan yang mudah." Ashley ingin melanjutkannya dengan berkata, sekarang itu seperti kau takut kehilanganku. Namun, Ashley tidak punya kepercayaan diri sebesar itu.
"Kau tahu, Harper." Kali ini suara Dominick lebih pelan dan rendah, terdengar begitu seksi seakan-akan sedang menggoda Ashley. "Aku sudah memintamu pergi sejak dulu. Kau tidak mengerti kodenya dan datang lagi besok hari. Sekarang aku memutuskan untuk tidak membiarkanmu pergi."
Ashley tidak tahu apa yang harus dikatakan. Pembicaraan ini terlalu absurd. Dia takut salah memaknai maksud dari ucapan Dominick dan mendatangkan perasaan yang tidak perlu. Dia mulai berpikir keras untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Kenapa kau seperti ini, Bos? Apa ... tadi malam tidak berhasil? Kate menolakmu? Itu tidak mungkin. Dia sudah mengaku kalau sangat menyukaimu. Dia juga bilang, lain kali kalau kau mengundangnya pergi ke tempat nenekmu, dia sudah siap. Tidak harus menunggu lagi. Saat kau mengirim pesan padanya semalam, dia merasa sen--"
Sentuhan macam apa lagi ini? Ashley merasa sekujur tubuhnya terasa panas hanya karena telunjuk Dominick berada di bibirnya. Ada banyak perintah lisan untuk membuatnya diam, tetapi pria itu justru memilih cara seperti itu. Tatapan mata Ashley terkunci oleh hitamnya mata Dominick, seperti terhipnotis dan tidak bisa mengangkat tangan untuk menyingkirkan jari itu dari sana.
Telunjuk Dominick bergerak pelan, seperti sedang menyusuri garis bibirnya. Pelan sekali seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. Telunjuk itu kemudian berganti menjadi jempol, lalu mengusap bibirnya dari kanan ke kiri dan kembali lagi seperti sedang menyapukan warnanya. Meski tatapan pria itu sudah beralih pada apa yang dimainkannya, tetapi Ashley masih mematung. Sekarang apa yang Dominick pikirkan saat menyentuhnya dengan cara seperti itu?
"Daripada menebak-nebak, kau mau tahu apa yang kubicarakan pada wanita itu semalam?" Jempolnya belum berhenti mengusap bibir Ashley, seakan-akan tidak mengizinkan Ashley untuk bicara.
Namun, cara Dominick menyebut Katherine dengan sebutan 'wanita itu' membuat Ashley kesal. Seharusnya dia tidak menganggap wanita yang ingin dikencani dengan cara seperti itu. Ashley tidak terima.
"Aku mencari tahu tentang kebiasaan mabukmu, Harper. Kalau aku tidak mendapat jawabannya dari bibir ini, kau tahu aku akan selalu menemukan cara lain, bukan?"
Sungguh di luar dugaan. Sepenting itukah kebiasaan mabuknya sampai Dominick harus mengoreknya dari orang lain. Untuk apa? Besar sekali tanda tanya di kepala Ashley saat ini. Seperti mendapat kekuatan secara tiba-tiba, Ashley berhasil mengangkat kedua tangannya untuk menahan tangan Dominick.
"Kita akan terlambat, Bos."
Untuk saat ini, mari dihentikan saja. Ashley tidak sanggup berada di bawah intimidasi Dominick lebih lama lagi. Dia yang minum semalam, tetapi justru Dominick yang seakan-akan berada di bawah pengaruh alkohol. Sungguh berbeda dari Dominick yang dikenalnya.
"Untuk rapat nanti siang, aku ingin kau mengubah beberapa poin. Kita akan membicarakannya di mobil."
"Baik, Bos."
Ini dia Dominick McCade yang sangat dikenalnya.
•••
Tidak biasanya Kate melamun ketika sedang menulis. Namun, kali ini bukan tentang kebuntuan dari apa yang mau ditulis, melainkan sesuatu yang mengganggunya sejak tadi malam.
Mungkin agak berlebihan kalau Kate mengkhawatirkannya, tetapi hal itu sangat jelas terbaca hingga dia mulai meragukan kelanjutan dari hubungannya dengan Dominick. Pria itu bersemangat ketika di awal-awal pembicaraan. Lalu setelah membicarakan tentang kebiasaan mabuk dan tidak mendapat informasi lengkap tentang Ashley, gelagatnya berubah. Dominick menjadi lebih banyak diam. Respons saat membicarakan topik lain pun tidak seaktif sebelumnya.
Dominick tidak lagi bertanya sesuatu tentang Kate. Dia lebih aktif bertanya pada pria itu, tetapi tidak mendapat respons yang sepadan. Ada banyak informasi untuk ditukar di antara mereka berdua. Namun, Kate tidak merasakan adanya ketertarikan untuk melakukan itu dari seorang Dominick.
Apa ketertarikan pria itu terhadap dirinya sudah habis? Ya, sejak awal Kate seharusnya tetap waras dan sadar diri, bahwa dunianya dengan Dominick jelas sangat berbeda. Kate lupa bahwa sejak dulu memang banyak yang berusaha mencari tahu tentang dirinya lalu pergi ketika itu tidak sesuai ekspektasi mereka. Mungkin hal serupa juga dialami Dominick sekarang. Akan tetapi, tadi malam Dominick masih mengatakan sesuatu tentang pertemuan selanjutnya. Saat itu terjadi, Kate mungkin akan secara tegas menanyakan kepastian seperti apa hubungan mereka.
Lantas seandainya Dominick mulai tertarik pada Ashley, seharusnya wajar saja. Mereka berada di ruang lingkup yang sama. Namun, Kate yakin, Ashley tidak akan mengkhianati persahabatannya seperti itu. Sejak dulu, Ashley selalu menjembatani pria-pria yang ingin dekat dengan Kate, seharusnya yang ini juga seperti itu. Ashley tidak pernah tertarik dengan pria yang mendekati Kate. Tentu saja itu juga berarti perasaan Dominick tidak akan berbalas jika memang menargetkan Ashley.
Sebuah benda yang diletakkan seseorang di atas meja kerjanya berhasil membuyarkan pikiran Kate. Pelakunya adalah Jimmy Jung, pria yang sejak beberapa hari lalu menjadi teman pulang bersama dari kantor. Hari ini juga begitu, Jimmy selalu datang ke ruangannya untuk menjemput. Kali ini dia meletakkan satu kotak susu.
"Pulang ini, mau mampir ke toko buku dulu? Ada buku yang ingin kubeli."
Kate mengangguki. Jimmy menjadi rekan kerja terdekatnya melebihi Penelope sekarang. Hobi yang cocok membuatnya menikmati setiap momen kebersamaan mereka. Mereka tidak akan kehabisan bahan untuk dibicarakan karena dunia literasi merupakan topik yang sangat luas.
"Tentu. Aku juga ingin membeli buku baru."
•••
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
5 September 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top