35 - The Curiousity

"Kubilang padanya kalau Kate juga suka memasak. Akan kuperkenalkan pada kalian kalau hubungan kami lancar." Melissa menyeruput es stroberi miliknya sembari tersenyum bangga setelah menceritakan progres kencannya. Progres tantangan mereka selalu menjadi topik pembicaraan yang tidak terlewatkan, tidak peduli jika di antara mereka ada satu orang yang sama sekali tidak menunjukkan progres apa pun.

"Kali ini kau yang unggul, ya. Biasanya Kate sudah berkencan sekarang." Ashley menimpali, padahal dia baru saja kembali dari toilet. Suasana kafe yang sedang sepi malam itu membuat suara Melissa terdengar olehnya meski masih berjarak beberapa langkah lagi dari meja.

"Kalau dihitung dari berapa banyak ajakan kencan yang diterima, masih dia yang unggul." Ada nada pasrah di suara Melissa. Sementara itu, orang yang dimaksud hanya mengerutkan dahi, mulutnya masih sibuk mengunyah spageti.

"Tidak ada yang bisa dibanggakan." Kate meletakkan garpunya ke atas piring kosong dalam posisi terbalik. "Itu adalah situasi di mana orang-orang sedang mencoba memainkan mesin capit. Mereka mencoba, kemudian gagal. Kebetulan aku adalah boneka yang ada di dalam kotaknya."

Ashley menyembunyikan reaksi tidak setuju dengan menyesap minuman cokelatnya. Untuk ukuran wanita yang tidak pernah diajak berkencan, tentu itu adalah sesuatu yang tidak biasa-biasa saja. Apa Ashley bisa mengeluh soal itu? Tidak. Mereka akan berbalik menyerangnya karena tidak pernah berusaha. Terlalu banyak pertimbangan meski hanya untuk memikirkan tentang memiliki pasangan.

Melissa yang gampang bergaul dengan pria terkadang membuat Ashley iri. Punya banyak relasi itu bagus, tetapi yang Ashley maksud jelas bukan tentang pekerjaan. Dia ingin bisa seperti itu, tetapi pada akhirnya selalu mati gaya ketika berhadapan dengan pria. Bahkan ketika Melissa sedang bicara dengan pelayan pria kafe, kedengarannya sangat ramah. Pria itu juga tidak lupa tersenyum padanya.

Apa yang harus dibicarakan saat berhadapan dengan mereka agar hubungan tetap terjalin? Ashley merasa seperti seorang pecundang sekarang. Lama-lama berkumpul dengan kedua sahabatnya hanya menjadi ajang merendahkan dirinya sendiri.

"Ada ajakan yang kau terima tidak?" Melissa benar-benar seperti pengawas yang tidak berhenti memeriksa pekerjaan pegawai. Kalau saja kinerjanya tidak sesuai, dia akan menghukumnya. Dan Ashley yakin, dia akan menjadi pegawai terburuk.

Kate menggeleng dengan tenang, meski terkesan ada desakan di suara Melissa. "Aku ingin fokus dengan pria yang memang kuinginkan. Setelah kupikir-pikir, sepertinya dulu aku membuat banyak pria terluka. Maksudku, mereka mengajakku ini dan itu dengan satu tujuan. Hitung saja berapa kerugian mereka ketika membelanjakanku, tetapi tidak mendapat apa-apa dariku."

"Aku tidak mengerti kenapa kau harus merasa bersalah karena hal itu," sahut Ashley, meski nyatanya dia cukup mengerti apa yang dirasakan Kate. "Kau bilang mereka hanya sedang bermain mesin capit, seharusnya mereka juga mengerti bahwa peluang untuk mendapatkan boneka hanya sepersekian persen." Untuk yang itu, Ashley tidak sepenuhnya setuju, tetapi dia tidak ingin Kate jadi merasa bersalah atas sesuatu yang sudah berlalu.

"Ya, aku setuju denganmu, Ash. Tidak apa-apa kalau mau mencoba untuk lebih dekat dulu dengan mereka. Kau juga berhak memilih." Melissa menimpali, lalu berterima kasih pada pelayan yang kebetulan datang mengantar tambahan minumannya.

"Itu yang kulakukan, aku menjadi pemilih dan pria yang kuinginkan adalah bos Ashley." Kate menyunggingkan senyum ke arah Ashley sembari menangkupkan tangan. "Aku ingin melakukannya dengan benar."

Dominick McCade, bahkan pria terdekat dengannya saja masih sulit untuk Ashley dapatkan. Namun, itu hanya pengibaratan, dia cukup sadar diri dan tidak mengharapkan apa pun di luar upah kerja dari pria itu. Kalau memang dirinya cukup menarik, seharusnya sudah sejak awal pria itu bercerai mereka sudah melakukan proses pendekatan.

"Aku dan Kate sudah cukup jelas arahnya. Ash, bagaimana denganmu? Sampai sekarang aku tidak mendengar apa pun tentang priamu. Ini sudah mau lima bulan sejak tantangan itu tercetus."

Pertanyaan itu membuat Ashley tidak jadi menyuap kentang goreng. Tatapan kedua wanita itu kini tertuju padanya. Situasinya tidak akan mencekam seandainya alis tebal milik Melissa tidak menukik, seakan-akan ingin menghakiminya.

"Kenapa bertanya? Kalau aku punya satu, aku pasti akan memberi tahu kalian." Dan kentang goreng yang sudah terjepit di antara kedua jarinya masuk ke mulut setelahnya.

"Kau tahu kau tidak akan menemukan satu pun kalau tidak berusaha, 'kan?"

Tanpa Melissa mengingatkan pun, Ashley sudah cukup sadar. Kalau dia mengatakan alasan yang sama terus-menerus, bahwa dia terlalu sibuk hingga tidak sempat memikirkannya, mereka akan muak. Lagi pula, apa yang mau dipaksakan kalau dirinya juga tidak siap untuk sebuah kencan?

"Apa di kantormu tidak ada pria yang eligible untuk dikencani?" Wajah Kate sarat akan rasa penasaran ketika melontarkan pertanyaan tersebut.

"Banyak." Ashley menyahut sekenanya, kemudian melirik arloji untuk memeriksa berapa lama lagi jemputannya akan datang. Dia tidak ingin membicarakan topik pria dan berkencan ini.

"Apa tidak satu pun tertarik padamu?"

Ashley menatap Kate dan dahinya berkerut. Setelah rumor yang beredar tentang hubungannya dengan Dominick menjadi asupan orang-orang di kantor, tidak ada satu pun yang berani mendekat. Kate yang bekerja di bidang media publikasi segala macam berita seharusnya bisa mengerti dampak dari rumor seperti itu. Terlebih lagi, rumornya juga sampai ke kantor Kate.

"Aku tidak cukup menarik." Namun, tentu hanya itu yang Ashley jadikan alasan. Sulit dipercaya kalau ada pria yang mendekat tanpa adanya tujuan khusus, dan 'rasa tertarik' jelas tidak termasuk sebagai salah satunya.

"Rencana pergi mendampingi bosmu dengan merias diri juga tidak berhasil?" Melissa mengerang frustrasi. "Padahal kau sangat cantik, akhir-akhir ini juga makin bersinar."

Kalau bersinar itu tentang kulitnya, well, Ashley mungkin akan berterima kasih pada Dominick atas produk mahal yang dia belikan.

Namun, bicara tentang hasil mendampingi Dominick dengan riasan, alih-alih kemajuan progres, dia justru mendapat hinaan dari mantan istri pria itu. Bahkan meski mereka telah berpisah lama, wanita itu masih punya dendam tidak berdasar. Dia hanya bisa berharap ke depannya tidak ada lagi pertemuan tidak disengaja itu, karena berusaha membuktikan bahwa Alisson salah pun hanya sebuah usaha yang sia-sia.

Ashley hanya menghela napas, tidak tahu mau berkata apa selain menceritakan tentang momen tidak enak yang terjadi beberapa hari lalu. "Itu tidak cocok untukku. Kalau memaksakannya, mencoba dengan pria-pria kalangan atas itu, aku yakin tidak akan berhasil."

"Ya ampun!"

"Apa? Kenapa berteriak?" Melissa tidak tahan tidak melotot pada Kate yang duduk di seberangnya.

"Bos Ashley baru mengirim pesan, dia mengajakku makan malam besok." Kate mungkin benar-benar terpesona dengan seorang Dominick McCade sampai matanya begitu berbinar hanya untuk menyampaikan isi pesan yang masuk di ponselnya.

"Ha ... jadi itu alasannya memintaku melakukan reservasi untuk dua orang besok." Ashley tidak bisa tidak mengeluh. "Dua jamku terbuang sia-sia untuk menghubungi puluhan resto hari ini."

"Kau sangat berjasa. Terima kasih, Ashley."

Ashley hanya meringis ketika Kate meraih tangannya dengan senyum penuh ketulusan.

"Ash, sebaiknya ikuti saranku, berkencanlah dengan Jeremy. Dia kandidat terbaik." Melissa bertopang dagu kemudian. Meski nadanya tenang, tetapi Ashley justru menggeleng dengan cepat.

"Jeremy yang tetanggamu itu, 'kan? Aku penasaran seperti apa orangnya."

"Kate yang malang," ejek Melissa. "Kau akan bertemu dengannya, dia datang untuk menjemput Ashley. Aku benar, 'kan?"

Ashley yang sedang menyesap minumannya dengan wajah masam lantas mengangguk. Mobilnya, maksudnya mobil dari Dominick, ditinggal di bengkel untuk servis rutin. Dia tidak tahu kapan pria itu akan memintanya lagi, jadi Ashley harus memastikan mobil itu selalu dalam kondisi yang baik.

"Wow. Dia tetangga yang sangat baik." Seharusnya itu pujian, tetapi jadi menyebalkan ketika Melissa justru mengajak Kate tertawa bersamanya. "Oh, itu dia sudah datang."

Ashley menoleh ke belakang, memastikan kalau yang dikatakan Melissa benar. Posisi duduknya sekarang memang membelakangi pintu kafe. Jeremy melambai ke arahnya tanpa lupa tersenyum manis. Keramahan pria itu berhasil menarik perhatian beberapa pengunjung wanita di kafe.

"Apa pada malam hari bos toko juga bekerja sebagai sopir Uber?" Sapaan Melissa membuat Jeremy tidak jadi mengatakan sesuatu, padahal mulutnya sudah terbuka.

"Ah, begitulah. Tapi hanya untuk pelanggan khusus." Jeremy mengedipkan sebelah mata ketika tatapannya dibalas Ashley. Pria itu berdiri di samping kursinya, tangannya berada di sandaran kursi Ashley, tempat wanita itu menyampirkan kardigannya.

"Itu menggelikan." Ashley bergidik, dengan sengaja tidak ingin ikut permainan Jeremy. "Oh, iya, perkenalkan ini Katherine, sahabatku yang lain. Kate, ini Jeremy, tetangga sekaligus teman yang banyak kubuat repot."

Sesi perkenalan itu dilanjutkan dengan Jeremy mengulurkan tangan untuk Kate. Dan Kate segera menyambutnya sambil berkata, "Senang bertemu denganmu. Tolong jangan jera direpotkan terus dengan orang aneh ini."

Apa ini? Kenapa Kate jadi sama menyebalkannya dengan Melissa? Situasi itu membuat Melissa tersenyum begitu puas. Selalu seperti itu, mereka berdua di sisi yang sama dan Ashley tertinggal di sisi yang lain.

"Aku juga punya batasan," balas Jeremy dan jabatan tangannya dengan Kate pun berakhir. Dia beralih ke Ashley kemudian. "Kita pulang sekarang?"

Tentu saja, makin lama di sana tidak akan baik untuknya. Belum lagi dengan keberadaan Jeremy di sana akan membuat Melissa makin menggebu-gebu menjodohkannya. Sejak awal memang tujuan Ashley setuju bertemu adalah untuk menunggu Jeremy, berhubung jarak kafe lebih dekat dibandingkan kantornya. Dan itu bukan pertama kali Jeremy menjemput jika mobilnya sedang diservis. Biasa pulangnya mereka akan mampir belanja bulanan, dan itu juga merupakan rencana mereka hari ini.

"Kenapa buru-buru? Kau tidak mau duduk dan minum dulu?" Melissa bertanya pada Jeremy.

Pria itu tidak langsung menjawab, tetapi menatap Ashley seperti sedang meminta persetujuan. Gelagat pria itu tentu terbaca jelas oleh Melissa dan Kate. Ashley menyadari situasinya dan bergerak lebih cepat mengambil kardigan dan tasnya.

"Mungkin lain kali, pria ini sibuk. Sampai jumpa, teman-teman."

•••

Dominick memeriksa arloji hanya untuk menghitung berapa menit lagi waktu tersisa dari jam yang dijanjikan untuk bertemu Katherine. Sudah menjadi kebiasaannya datang sepuluh menit lebih awal. Sejak dulu dia memang membangun brand dirinya sebagai orang yang sangat disiplin terhadap waktu, kini orang-orang pun tahu kalau membuat janji dengannya berarti harus tepat waktu atau tiba sebelum waktunya. Namun, hari ini berbeda, partner makan malamnya hari ini justru datang lebih awal.

Pria itu diam sebentar di ambang pintu, memandang bagian belakang tubuh Katherine. Wanita itu masih memandang ke luar jendela tanpa menyadari kedatangan Dominick. Tidak lama kemudian wanita itu berbalik dan terkejut karena keberadaannya.

"Selamat malam, Tuan McCade. Maaf, saya tidak sadar kalau Anda sudah datang."

Hari ini Katherine mengenakan setelan yang pernah dibelikan Dominick di pertemuan kedua mereka. Dia terlihat memesona, dan senyumnya cantik seperti ketika dia melihat wanita itu pertama kali. Seharusnya Dominick merasa puas, sebab pemberiannya dipakai, tetapi dia tidak merasakan sesuatu seperti itu. Dia juga tidak berekspektasi Katherine akan memakainya. Situasinya jelas akan berbeda jika terjadi pada Ashley.

Dominick berdeham, entah bagaimana dia justru memikirkan tentang asisten pribadinya. Dengan menggunakan tangan, dia mengisyaratkan agar Katherine duduk di seberangnya.

"Bagaimana kabar Anda, Nona Willow?"

"Cukup baik. Bagaimana dengan Anda?"

"Lebih baik hari ini." Senyum tipis yang Dominick tunjukkan sukses membuat wanita di depannya tersipu. Dominick akan pura-pura tidak menyadari itu dan membuka buku menu. Sebetulnya itu bukan sesuatu yang perlu dilakukan, sebab Ashley sudah mengatur menu makan malam mereka dan hanya tinggal menunggu si pelayan mengantarkan ke meja mereka.

"Anggur dengan berapa kadar alkohol yang bisa Anda toleransi?"

"Ya?"

Dominick menurunkan buku menu ke atas meja untuk menatap Kate lagi. "Anda tidak bisa mabuk, benar? Sesuatu tentang kondisi khusus, tapi makan malam ini tidak lengkap tanpa anggur."

"Anda masih ingat itu." Wanita itu tersenyum ketika mengatakannya.

Kate punya senyum yang cantik, berapa kali pun Dominick melihatnya, dia selalu memujinya. Namun, apakah perasaan itu memang ketertarikan yang sesungguhnya? Pertemuan ini sudah tidak sama spesialnya dengan pertemuan pertama mereka. Mungkin ada yang salah dengan dirinya, tetapi ada satu hal yang ingin dia cari tahu dengan menemuinya.

"Saya hanya berhati-hati. Kalau begitu Moscato d'Asti aman untuk Anda."

Moscato d'Asti merupakan minuman anggur putih yang terbuat dari buah anggur jenis Moscato Bianco dan berasal dari Italia. Rasanya manis dan ringan, juga dikenal sebagai anggur dengan kadar alkohol paling rendah, sekitar lima persen. Dominick tidak menghafalnya, tetapi kebetulan mengingat yang satu itu karena selalu berada di urutan pertama untuk daftar minuman yang diajukan Ashley untuk acara perusahaan. Awalnya dia tidak peduli dan memercayakan semuanya pada sang asisten pribadi, tetapi sekarang dia tahu alasan wanita itu terus memasukkan anggur itu ke daftar minuman. Ashley-lah yang ingin meminumnya.

Ada satu lonceng kecil di tengah meja, yang ditutupi dengan pot bunga kecil. Dominick mengangkat benda itu dulu sebelum menekan loncengnya. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang ke meja mereka dan Dominick langsung menyampaikan pesanannya. Selagi menunggu anggur datang, pelayan lain masuk ke ruangan mereka dengan membawa makanan pembuka; dua porsi sup krim dengan isian yang berbeda.

"Harper yang memilih menu makan malam hari ini, saya harap Anda tidak keberatan." Dominick menyadari kerutan yang muncul di dahi Kate. Namun, dia tidak begitu mengerti reaksi macam apa yang sedang wanita itu tunjukkan.

"Oh ... saya suka ini. Tapi ... saya tidak enak karena sup krim Anda tidak ada udangnya."

Dominick lantas menatap sup krimnya yang berisi potongan daging ayam dan sayuran.

Itu cukup unik. Ketika seseorang sudah dihadapkan dengan makanan yang enak dan mahal, sangat jarang akan peduli dengan apa yang dimakan oleh orang lain. Namun, hari ini wanita itu membandingkan sup krim mereka.

"Saya punya cara khusus untuk memakan udang," balas Dominick sebelum menyendok sup krim itu ke mulutnya. Dia pikir Kate akan mengikuti, tetapi wanita itu justru hanya diam menatapnya. "Ada apa?"

"Saya suka memasak. Mungkin lain kali saya akan memasak untuk Anda, apa ada bahan tertentu yang tidak bisa Anda konsumsi?"

Tawaran itu menghentikan Dominick menyuap sup krimnya. Waktunya sangat tepat dengan kedatangan anggur yang dia pesan tadi. Pelayan membukakan botol anggur dan menuangnya ke dua gelas yang masing-masing untuk Dominick dan Kate. Dominick langsung menenggaknya tanpa menawari Kate untuk meminumnya juga.

Seseorang memasak untuknya, dilihat dari sisi mana pun, itu terdengar sederhana. Akan tetapi, terdengar traumatis bagi seorang Dominick. Dia tidak bisa menyantap sajian yang dimasak selain koki pribadi, Bibi Singh, dan koki neneknya. Mereka sudah memasak untuknya selama bertahun-tahun dan tidak ada masalah. Sementara itu, koki-koki di resto juga tidak akan mengambil risiko membahayakan pelanggan sepertinya. Daripada menerima sesuatu yang dibuat secara khusus untuknya, Dominick lebih memilih mengeluarkan uang untuk seporsi makan.

Katherine mungkin tidak punya maksud buruk, tetapi orang-orang yang memberinya sesuatu juga bisa dibilang sebuah kebaikan, hanya niat di baliknya yang tidak diketahui.

"Terima kasih, Nona Willow. Mungkin lain kali." Sayangnya, Dominick juga tidak akan menyampaikan penolakan dengan cara yang kasar. "Silakan dimimum."

Kate menurutinya. Dia meneguk dengan hati-hati pada awalnya, tetapi setelah rasa yang manis itu menyapa lidahnya, isi gelas itu langsung habis. Dominick lantas menuangkannya lagi ketika gelas itu kembali mencapai permukaan meja.

"Ini enak. Saya harus merekomendasikannya pada Melissa dan Ashley. Kami bisa minum banyak tanpa khawatir cepat mabuk." Kate mengungkapkan kegembiraannya sampai tidak sadar menyebutkan nama kedua temannya.

"Melissa?"

"Maaf, saya terlalu bersemangat. Dia salah satu teman kami."

Dominick membawa punggungnya bertemu sandaran kursi. Dahinya berkerut, ketika berusaha menggali informasi di kepalanya.

"Persahabatan Anda benar-benar menarik, bahkan asisten pribadi saya pun terlibat."

Kate tertawa ringan, tetapi perlahan-lahan pudar menjadi senyum getir. "Kami hanya orang-orang yang dipertemukan oleh nasib yang serupa. Cara paling mudah untuk berhubungan baik dengan seseorang adalah dengan memiliki perasaan yang sama terhadap suatu hal. Sama halnya seperti minat terhadap musik, atau hobi yang sama."

Wanita itu diam sebentar dengan tatapan kosong, tetapi Dominick tetap menunggunya bicara lagi.

"Kami saling menghibur karena mengerti luka satu sama lain, tanpa disadari sudah sedekat ini. Saat Ashley mengatakan bahwa dia lolos bekerja di perusahaan Anda, saya khawatir kalau tali pengikat kami melonggar. Saya sudah berusaha menariknya lagi, tapi ketika dia memberitahu kami dengan mata yang berbinar, kami tidak bisa menahannya. Pada akhirnya, kami justru menyusul ke sini."

Luka, ya? Luka seperti apa itu? Dominick ingin menanyakannya, tetapi dia sadar bahwa tidak tepat menanyakan itu pada Katherine. Yang membuatnya penasaran bukan tentang wanita yang ada di hadapannya saat ini, melainkan tentang Ashley.

"Aku tidak tahu. Tapi sepertinya akan menyenangkan jika bisa hidup bebas tanpa seseorang yang membuatku harus melakukan ini dan itu. Aku ingin hidup di mana aku tidak harus bertanggung jawab atas kebutuhan orang lain. Aku ... ingin berhenti hidup seperti ini dan memakai waktuku dengan benar. Setidaknya aku tidak merasa hidup dengan sia-sia."

"Saya berencana berhenti bekerja setelah menikah."

Suara Ashley berputar di kepala Dominick seiring dengan makin besarnya rasa penasaran tentang itu. Siapa yang sudah mengekangnya selama ini sampai sebuah kebebasan menjadi sebuah keinginan yang harus dicapai?

Dominick menuangkan anggur ke gelasnya lagi dan langsung diminum saat itu juga. Dia harus mengubah topiknya atau rasa penasaran itu berujung mencekiknya.

"Saya ingat Anda mengatakan sesuatu tentang kondisi khusus saat mabuk. Apa itu?"

"Ah, itu ... ."

Dominick merasakan keraguan pada gelagat Kate. Kemarin Ashley, sekarang Kate, seaneh apa mereka saat mabuk? Pertanyaan itu adalah pembuka dari apa yang sebenarnya ingin Dominick tanyakan. Tentu akan aneh kalau dia langsung menanyakan tentang apa yang terjadi ketika asistennya mabuk, bahkan dengan dirinya merasa penasaran pun sudah melenceng dari kepribadiannya.

"Kau tidak harus menjawabnya sekarang." Mendesak orang asing untuk sesuatu yang sepele seperti itu sama sekali bukan gaya Dominick. Dia menuangkan lagi anggur ke gelasnya yang kosong dan gelas Kate yang tersisa sedikit isinya.

"Kami pikir itu sesuatu yang memalukan untuk diketahui orang lain." Tatapan Kate tertuju pada pergerakan anggur cair di dalam gelas ketika Dominick menuangkannya.

"Selalu ada efek tidak wajar ketika alkohol memengaruhi kita."

"Bagaimana dengan Anda? Saya akan memberitahu kalau Anda juga. Saya pikir ini adalah sesi di mana kita perlu bertukar informasi." Kate mempertahankan senyumnya, seakan-akan tahu kalau pria itu pasti akan memberitahunya.

Sebelah sudut bibir Dominick naik sedikit, memamerkan seringai tipis yang menawan. "Anda tidak akan percaya, tapi saya peminum yang baik. Saya bahkan tidak tahu apakah saya pernah mabuk?" Itu bukan sebuah kebohongan, bahkan Dominick tidak mengalihkan pandangan dari wajah Kate untuk membuktikan keseriusannya. Wanita itu sempat mengerutkan dahi, tetapi kemudian mengangguk--bukti bahwa dia percaya.

Saat Ashley menanyakan hal serupa padanya, Dominick memang sengaja tidak memberitahu, karena yakin Ashley tidak akan percaya semudah itu. Lagi pula, wanita itu juga tidak ingin memberitahunya sejak awal.

"Kalau begitu Anda akan menjadi orang yang tepat untuk menjadi partner minum, sebab Anda pasti akan mencegah partner Anda melakukan hal-hal yang tidak masuk akal."

"Seperti apa contohnya?"

"Saya tidak bisa mengingat apa yang saya lakukan saat terlalu mabuk. Itu berbahaya, sampai saya tidak bisa minum dengan orang lain selain dua sahabat saya. Bisa dibilang, kami saling menjaga."

"Saling? Bagaimana dengan dua lainnya?" Dominick tidak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama lagi. Sayangnya, dia harus menunggu lagi karena pelayan resto datang menyajikan hidangan utama mereka.

"Melissa suka marah-marah." Tanpa Dominick sangka, Kate tetap menjawabnya. "Kalau Ashley ... rasa percaya dirinya meningkat drastis."

Oh? Jadi, itu yang terus-menerus dibilang Ashley adalah sesuatu yang buruk, yang akan menyebabkan Dominick membencinya? Tidak ada yang buruk dari hal itu.

"Kasus Anda jauh lebih berbahaya. Sebaiknya jangan minum dengan sembarang orang. Orang jahat akan memanfaatkan situasinya."

Kate hanya tersenyum. "Saya pikir, saya masih bisa melawan jika seseorang berusaha macam-macam. Justru Ashley-lah yang harus dikhawatirkan."

"Kenapa?"

"Untuk itu ... sebaiknya Anda tanyakan langsung pada yang bersangkutan, Tuan."

Ternyata tidak berhasil juga. Dominick bersedekap, untuk menyembunyikan kepalan tangan. Kekecewaan ini bukan hanya sekadar rasa penasarannya tidak terobati, melainkan karena ada pria lain yang menemani wanita itu minum meski kondisinya saat mabuk terbilang sangat berisiko.

"Baiklah, silakan dinikmati makanannya, Nona Willow."

•••

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
27 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top