33 - Wedding Party
Selama di lorong menuju venue acara pernikahan, Ashley melewati cermin-cermin besar yang memang dengan sengaja dijadikan dekorasi oleh pihak hotel. Selama itu juga Ashley terus memperhatikan bagaimana penampilannya saat ini. Tidak satu cermin pun dilewati tanpa melihat pantulan dirinya sendiri. Gaun cokelat muda selutut memeluk tubuhnya dengan sangat pas. Tidak ketat, tidak juga longgar. Bagian atasnya tertutup, hanya kerahnya yang agak lebar. Anting yang dibeli Dominick kemarin, mau tidak mau harus dipakainya. Dan Ashley akan sesekali mengusap lehernya yang terasa kosong karena tidak tertutupi apa pun.
Tidak peduli jika pada akhirnya gaun tersebut menjadi miliknya, Ashley tetap tidak bisa mengenakannya dengan penuh rasa percaya diri. Benda itu bukan sesuatu yang dibeli dengan uangnya sendiri. Dominick meminta Ashley memakainya sebagai pelengkap. Namun, kali ini kasusnya sedikit berbeda. Jika biasanya menghadiri undangan pernikahan kolega Dominick mereka menyempatkan di sela-sela waktu bekerja tanpa merias diri terlebih dahulu, hari ini Ashley justru diminta mengenakan setelan dengan warna yang sama dengan pria itu.
Dominick adalah seorang pimpinan yang berperilaku tidak masuk akal. Ashley tidak mengerti dasar seperti apa yang menjadi alasan dirinya harus berpenampilan baik malam ini.
"Wow." Ashley tidak bisa menahan rasa takjubnya ketika memasuki venue acara yang didekorasi dengan sangat cantik. Warna putih dan merah muda mendominasi, benar-benar sangat feminin untuk sebuah acara pernikahan.
"Apa yang menakjubkan dari ini? Ini hanya acara pernikahan biasa."
Suara Dominick menyadarkan Ashley kalau sejak tadi terus menganga. Betapa menyebalkannya mendengar ucapan seperti itu dari seseorang yang menikah di luar negeri. "Aku bahkan tidak diundang ke pernikahanmu. Mana kutahu semegah apa acaramu, Bos."
"Lalu aku harus menikah lagi?"
Dominick memiliki sepasang mata yang warnanya hitam kelam, bahkan hanya dengan menatap biasa sudah terasa tajam. Arah tatapannya hanya tidak sengaja turun sebentar dari wajah ke leher Ashley, tetapi itu sudah membuat Ashley merasa tidak nyaman hingga secara refleks mengusap lehernya. Kalau saja mantel yang dia pakai saat berangkat tadi boleh dipakai, Ashley tidak akan pernah melepaskannya sampai pulang.
"Semua orang menantikannya, aku pasti datang, Bos."
"Ya, saat itu terjadi, aku akan membuatmu bekerja keras."
Cara terbaik untuk mengasihani diri sendiri adalah dengan menjadikannya sebagai hiburan, setidaknya itu adalah alasan kenapa Ashley tertawa saat ini. "Kapan kau tidak memberiku pekerjaan?"
Dominick sudah akan merespons, tetapi diurungkan karena beberapa meter di depan mereka, ada seorang pria gemuk menyapanya dan saat ini berjalan menghampiri mereka. Ketika Dominick mempercepat langkahnya untuk turut menghampiri pria itu, Ashley sengaja membuat dirinya tertinggal. Dia bahkan belum diberi tahu harus bersikap seperti apa ketika pria itu sedang menyapa orang lain.
Namun, Ashley juga tidak berani terlalu jauh dari Dominick, dan yang dia lakukan kemudian adalah menghampiri bufet terdekat dan pura-pura sibuk memilih minuman. Dan dia terlihat lebih bodoh karena sesekali melirik ke arah Dominick yang sibuk mengobrol.
"Kau datang bersama seseorang. Tidak diperkenalkan?"
"Tidak perlu. Aku hanya tidak ingin datang sendirian. Dia bukan siapa-siapa."
Seharusnya Ashley tidak mendengarnya, tetapi itu membuat wajahnya mengerucut, sama masamnya dengan es lemon yang baru dia ambil. Sungguh memalukan rasanya sudah datang ke acara yang tidak mengundang dirinya.
Tamu-tamu yang lain saling menyapa. Mungkin ada yang sudah kenal lama lalu bertemu kembali di sini tanpa disengaja. Ada juga yang datang bersama lalu mereka berfoto. Mereka datang dengan rasa sukacita, turut merasakan apa yang dirasakan si pengantin. Akan tetapi, Ashley belum melihat pengantinnya ada di mana. Mereka melewatkan upacaranya tadi, karena untuk tiba di sini mereka harus menempuh dua jam perjalanan.
"Dia sudah berdandan secantik itu, masa tidak kau ajak menyapa tamu yang lain?"
Benar, minimal Dominick mengajaknya menyalami sang sepupu yang sedang menikah.
"Dia bukan seseorang untuk diperkenalkan pada orang lain, Tuan. Sebaiknya Anda kembali bergabung dengan yang lain, mereka akan berfoto."
"Untuk foto keluarga, kau juga harus ikut."
"Anda tidak melihat warna setelanku berbeda?"
Ashley menyaksikan perbedaan yang benar-benar kontras antara setelan cokelat mudanya dengan setelan abu-abu tua yang dikenakan si pria tua. Dari obrolan singkat itu, Ashley menyadari bahwa orang itu memiliki hubungan keluarga dengan Dominick.
"Kau menolak ikut memakai pakaian seragam dengan yang lain."
"Berarti sudah jelas aku tidak akan bergabung dengan kalian."
Kalau tidak ingin berinteraksi dengan anggota keluarga, kenapa dia memilih untuk datang? Menempuh dua jam perjalanan pun melelahkan.
"Pastikan kau menemui Jennifer, dia yang memaksa ingin kau datang."
"Tentu. Aku sudah berjanji padanya akan datang."
Jennifer? Siapa lagi itu? Ashley mulai bertanya-tanya seberapa banyak wanita yang dekat dengan bosnya. Kalau tujuannya adalah bertemu si wanita bernama Jennifer di sini, seharusnya Ashley tidak perlu datang. Dia hanya akan ditinggalkan dan akan menjadi seperti orang yang tersesat di kerumunan orang-orang kaya.
"Mau sampai kapan bersembunyi?"
Ashley hampir tersedak karena Dominick berbicara saat dirinya sedang minum. Pria itu bahkan sudah berdiri di belakangnya.
"Aku tidak sembunyi," sahut Ashley sembari menyeka sudut bibirnya yang sedikit basah karena minuman. Dia kemudian berbalik menatap pria itu. "Aku hanya tidak ingin mengganggu."
Dominick menatapnya sembari menelengkan kepala. Tatapannya terlalu intens, seperti memindai dengan saksama apa yang ada di wajah Ashley.
"Dia benar, kau sudah secantik ini."
Apa itu pujian? Kalau iya, Ashley harus mengipasi wajahnya karena tiba-tiba terasa panas. Ada apa dengan sikap pria itu belakangan ini?
"Ayo, aku akan bertemu pengantinnya lalu kita pulang."
Dominick melangkah lebih dulu, tetapi Ashley justru tidak menyusulnya. Dia tidak tahu mengatakan apa pada sang pengantin. Biasanya mengucapkan selamat di acara pernikahan terasa lebih mudah karena kedatangannya dengan status yang cukup jelas; mendampingi Dominick dengan setelan pakaian kerjanya. Namun, kali ini rasanya agak berlebihan. Gaun ini memang terlalu cantik untuk membalut tubuhnya.
Setelah jarak mereka sudah cukup jauh, barulah Dominick berbalik dan memicing ke arahnya. Itu adalah kode agar Ashley segera menyusul. Dengan langkah gontai, Ashley melakukannya. Akan tetapi, dia hanya berjalan di belakang pria itu sembari menunduk. Sebab perhatian para tamu tertuju pada Dominick, dia akan ikut terlihat kalau berjalan di sebelah pemuda itu. Mereka akan bertanya-tanya siapa yang ada di sebelah pria itu, bukan?
Dominick menghentikan langkah di belakang seorang wanita berambut cokelat dengan mengenakan gaun lebar berwarna merah muda. Wanita itu sedang mengobrol dengan dua wanita lainnya. Modelnya seperti gaun pengantin, tetapi dengan warna yang tidak biasa.
"Jennifer." Dominick memanggil. Wanita itu lantas berbalik dan segera memeluk pria itu. Namun, wajah wanita itu terlihat familier, Ashley merasa pernah melihatnya di suatu tempat dan sekarang mulai berusaha keras untuk mengingatnya.
"Sudah kubilang warna merah muda akan bagus untukmu."
Oh! Dia wanita yang saat itu pergi makan malam dengan Dominick. Jadi, dia adalah sepupu Dominick yang menikah hari ini. Kenyataan bahwa wanita itu bukan partner kencan Ashley entah kenapa terasa melegakan. Itu berarti hanya Kate wanita yang pria itu dekati saat ini.
"Terima kasih. Seharusnya aku percaya padamu sejak awal."
Pelukan antar saudara jauh itu berakhir. Dan tanpa disengaja, Ashley justru bertemu tatap dengan Jennifer.
"Dia asistenmu?"
"Benar, dia Harper."
Tanpa Ashley duga, wanita bernama Jennifer itu berjalan ke hadapannya dan memberi salam pipi. Sejak tadi dia terus berpikir bagaimana harus bersikap, tetapi ternyata wanita itu sudah tahu siapa dirinya. Dominick teru saja membuatnya merasa kesulitan.
"Terima kasih sudah datang, Nona Harper. Dominick memang tidak suka datang ke acara seperti ini sendirian." Ramah sekali wanita ini, sungguh berbanding terbalik dengan Dominick yang sejak tadi berwajah kaku.
"Ah, iya. Selamat atas pernikahannya." Ashley berusaha merespons seramah mungkin meski merasa canggung.
"Dia merepotkan, tapi sebenarnya sangat peduli." Jennifer bergumam sebentar. "Begini, Nona Harper, aku punya sedikit urusan dengan pria ini, jadi bagaimana kalau kau coba hidangan yang kami sajikan? Kau sudah makan malam?"
"Oh, tentu, silakan."
"Aku akan menemuimu nanti," ujar Dominick sebelum pergi bersama Jennifer.
Yang ditakutkan Ashley terjadi juga; ditinggal sendirian di acara di mana tidak ada orang lain yang Ashley kenali. Mungkinkah di tempat ini dia akan berkenalan dengan seseorang? Minimal seorang pria yang ke depannya bisa dikencani. Taruhan itu, meski awalnya ingin pasrah, tetapi sekarang mulai membuatnya khawatir. Tamu yang datang berpasangan saat ini sedang menari. Ada juga yang masih berkeliling melihat-lihat hidangan sambil bergandengan tangan.
Mengapa situasi itu memunculkan sebuah perasaan yang sulit dijelaskan? Ashley tidak pernah sekali pun merasa iri dengan orang-orang yang berpasangan, tetapi hari ini dia mulai penasaran sebahagia apa rasanya. Bahkan jika ingin mendapatkan satu yang peduli dan sayang padanya, Ashley tidak tahu bagaimana memulainya.
Ashley kemudian mengalihkan pandangan pada bufet makanan. Tadi dia sedikit lapar karena sudah lewat waktu makan malam, tetapi sekarang nafsu makannya hilang. Akhirnya hanya minuman anggur yang dia ambil dari seseorang yang berkeliling dengan nampan sambil menawarkan minuman untuk tamu.
"Wah, wah, lihat siapa yang datang hari ini."
Suara itu, tidak begitu familier, tetapi jelas sekali ada nada tidak suka di sana. Kapan terakhir Ashley berhadapan langsung dengan orang itu? Kalau memikirkannya, sama saja dengan mengingat kembali masa-masa ketika rumor bodoh tentang dirinya dan Dominick menjadi topik hangat sekantor.
Ashley menoleh, hanya untuk menerima tatapan menilai dari seorang Alisson Cantrell. Bahkan kalau Ashley boleh membandingkan, gaunnya lebih cantik dari wanita itu. Namun, jelas Alisson merias wajah lebih baik darinya.
Parahnya, wanita itu tidak sendiri, ada beberapa wanita lain yang mungkin adalah teman-temannya di belakangnya. Ashley mulai gelisah dan berharap Dominick segera menghampirinya lagi. Namun, pria itu bukanlah pangeran kuda putih yang harus datang untuk menyelamatkannya. Mau tidak mau, Ashley harus menghadapinya seorang diri.
"Ya. Anda tidak mengira aku juga akan diundang?" Ini acara orang, tidak boleh menimbulkan keributan dan memancing perhatian tamu yang lain. Ashley bersusah payah membentuk senyum yang manis di bibirnya.
Alisson tersenyum sinis. "Semua orang melihatmu datang bersama Dominick. Pada akhirnya, kebenaran itu pun terungkap."
Ashley meletakkan gelasnya yang sudah kosong ke atas meja sebelum benda itu dijadikan senjata untuk membalas Alisson. Dia benci kekerasan, tetapi kadar alkohol dari anggur tersebut mungkin akan berhasil mengambil alih kendali dirinya.
"Anda sendiri tahu kebenarannya tidak seperti itu. Sebaiknya jangan ciptakan cerita palsu untuk menghibur teman-teman Anda."
"Sadarilah posisimu, Ashley Harper. Mantan suamiku itu menjadi salah satu pria yang kabarnya disoroti oleh banyak orang. Tanpa aku membuat cerita, mereka sudah akan lebih dulu menilai." Wanita itu kemudian maju dua langkah untuk berbisik di telinga Ashley. "Dengan segala kemewahan yang ada di tubuhmu saat ini, kau tampak tidak lebih dari seorang simpanan. Berapa banyak Dominick membayar untuk bisa menyentuhmu?"
Kemarahan menguasai Ashley. Dia tahu Alisson hanya terlihat baik saat di depan kamera, selebihnya wanita itu tidak lebih dari seorang perundung. Kepalsuan apa yang dia tunjukkan hingga Dominick sampai menikahinya dulu?
Keputusannya sudah tepat dengan melepaskan gelas kaca tadi, karena jika tidak, Ashley mungkin benar-benar akan melemparkannya ke wajah itu.
"Kenapa Anda peduli tentang berapa banyak yang dihabiskan oleh mantan suami Anda?" Tangan Ashley terkepal di kedua sisi tubuhnya karena menahan emosi. "Bahkan jika sesuatu terjadi pada kami, sudah bukan urusan Anda lagi."
Alisson tertawa dengan nada merendahkan. "Aku akan bertepuk tangan dengan bangga untuk merayakan kebenarannya."
"Alisson, berhentilah mengganggunya."
Setelah adu mulut dirinya dengan mantan istri Dominick, Ashley jadi berharap Dominick tidak jadi datang. Sebaiknya nanti saja, setelah Ashley mendapatkan cara untuk kabur dengan cara yang elegan. Pria itu sekarang berdiri di sebelahnya.
"Hanya menyapa. Bagaimana kabarmu, Dominick?"
"Aku tidak perlu basa-basi seperti itu. Pergilah, Jennifer sudah mencarimu sejak tadi."
"Harper sangat cantik hari ini. Kau masih memperlakukan wanita dengan cara yang sama, Dominick, seperti anak perempuan yang memakaikan barang-barang bagus pada bonekanya."
Ucapan Alisson menyadarkan Ashley tentang bagaimana selama ini pria itu terus memberi barang-barang untuk dipakai. Posisi yang dimiliki Dominick juga membuatnya menjadi pria yang suka mengatur. Mungkin alasan perceraian mereka memang tidak sesederhana yang dia tahu selama ini. Mendengar bagaimana kesalnya Alisson saat mengatakan itu bisa berarti bahwa masa-masa pernikahan mereka dulu membuatnya kesulitan.
"Harper."
Sentuhan ringan di lengannya membuat Ashley terkesiap. Begitu sadar, Alisson dan teman-temannya sudah tidak ada di sana.
"Ayo pergi."
Begitu saja? Pria itu tidak akan mengatakan apa-apa? Minimal seutas maaf karena keputusannya membuat Ashley benar-benar direndahkan.
•••
Dominick mengakhiri sambungan telepon dan kembali menghampiri meja di mana laptopnya sudah terbuka. Ada pekerjaan yang membutuhkan perhatiannya segera dan tidak bisa menunggu sampai kembali ke rumah. Akhirnya dia bersama Ashley menginap di hotel dengan kamar yang berbeda. Meski dirinya bekerja, tetapi Dominick meminta Ashley agar segera beristirahat. Pekerjaan ini bukan sesuatu yang membutuhkan bantuan wanita itu. Lagi pula, suasana hati Ashley tidak begitu bagus setelah pertemuan tidak disengaja dengan mantan istrinya.
Selama di jalan pulang, Ashley hanya diam dan lebih banyak memandang ke luar jendela. Tidak ada yang menarik selain rerumputan yang tumbuh tinggi, tetapi itu tiba-tiba menjadi objek yang menarik. Biasanya Ashley akan melontarkan penolakan ketika Dominick memberi tahu mereka akan menginap di hotel malam ini, tetapi wanita itu hanya mengiakan melalui anggukan. Tidak peduli dirinya adalah bos, ketika asisten pribadinya seperti itu, Dominick jadi tidak ingin mengganggu.
Sayangnya, membiarkan Ashley istirahat menjadi rencana yang tidak terwujud. Dominick tidak menemukan dokumen yang ingin dia baca di laptop tersebut. Hanya Ashley yang tahu karena sebelumnya dia meminta wanita itu menyalin dokumen backup di laptopnya.
Dominick kemudian meraih ponsel dan memanggil nomor Ashley.
"Ya, Bos?"
"Ke kamarku sekarang."
"Ah, tunggu sebentar, Bos, aku sedang di luar."
Dahi Dominick lantas berkerut. "Apa yang kau lakukan? Kau bahkan tidak punya pakaian untuk dipakai keluar." Dominick menunduk menatap pakain yang dia kenakan. Karena menginap ini tidak direncanakan sebelumnya, mereka tidak punya pakaian ganti selain piama yang disediakan di kamar hotel.
"Aku pakai mantel. Sebentar, Bos. Aku akan langsung kembali ke hotel setelah ini. Aku pergi mencari minimarket."
Dominick menyugar rambut. Dia tidak yakin ada minimarket di sekitar hotel, dan sekarang sudah lewat jam sepuluh. Selain membutuhkan Ashley segera kembali, berpergian di tempat asing seorang diri pada malam hari juga berbahaya.
"Segera ke kamarku setelah mendapat yang kau cari. Aku perlu kau mencari dokumen yang kuminta kemarin."
"Tentu, Bos. Uh, hei, maaf, Anda menghalangi jalanku."
Mata Dominick menyipit sembari menajamkan pendengarannya. Kalimat kedua Ashley jelas bukan ditujukan padanya. Samar-samar terdengar beberapa orang pria melantur, dan itu memunculkan kesiagaan Dominick untuk segera menyusul. Ashley jelas sedang diganggu oleh pria-pria itu.
"Harper, kau di mana?" Sayangnya, sambungan telepon diakhiri Ashley.
Sungguh membuat khawatir saja. Dominick bergegas meraih kunci mobil dan meninggalkan kamar hotel. Kalau jarak minimarket jauh dari hotel, mobil akan mengantarnya cepat tiba di sana. Untuk tahu lokasinya, Dominick bertanya pada seseorang di balik meja resepsionis hotel. Untungnya tidak terlalu jauh. Petugas hotel itu memberitahunya kalau lokasi minimarket hanya berjarak beberapa gedung di kanan hotel.
Tidak seperti biasanya, Dominick hanya dengan setelan piamanya berlari ke arah yang dimaksud. Entah siapa yang seharusnya bertanggung jawab jika sesuatu terjadi pada asisten pribadinya, yang Dominick sadari adalah belum saatnya Harper digantikan oleh orang lain, tidak secepat ini.
Berbeda dari kota yang dia tinggali, daerah itu sudah sangat sepi pada malam hari. Tidak ada pejalan kaki selain dirinya. Kendaraan yang melaju pun dengan kecepatan tinggi, seakan-akan tidak ingin peduli pada apa yang mereka lewati. Jika sesuatu terjadi, Ashley mungkin akan kesulitan mencari bantuan.
Dominick mempercepat langkah ketika dalam jangkauan pandangannya sudah ada Ashley berlari ke arahnya. Kabar baiknya, pria-pria yang tadi terdengar mengganggu tidak mengikuti di belakangnya. Wajah ketakutan Ashley tergambar dengan jelas. Situasinya makin dramatis ketika mereka sudah dekat, Ashley mengulurkan tangan dan menubruk Dominick dengan sebuah pelukan.
Dominick kaget dan untuk beberapa saat hanya mematung. Tangannya terdiam kaku di kedua sisi tubuhnya. Dia tidak begitu suka kontak fisik, tetapi tidak bisa menyingkirkan Ashley darinya. Terlebih lagi, tangan wanita itu bergetar di punggungnya. Dominick jadi menahan kata-kata yang sudah dipersiapkan untuk mengomelinya. Sebelah tangannya lantas naik untuk mengusap punggung Ashley, bermaksud menenangkan.
"Mau sampai kapan memelukku, Harper?" Dominick akhirnya bertanya setelah tiga menit penuh masih dalam posisi yang sama.
Seperti tersengat listrik, Ashley langsung melepaskan diri darinya. Bahkan secara tidak sengaja mendorong dada Dominick. Wanita itu mengambil jarak sejauh mungkin sembari mengeratkan mantel.
"Maaf, Bos. Tidak sengaja."
Dominick sempat berpikir wanita itu mungkin menyembunyikan wajah di dadanya karena menangis. Namun, sama sekali tidak ada jejak air mata di sana meski kekacauan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisinya. Rambutnya yang diurai berantakan karena berlari. Alas kaki yang digunakan Ashley pun adalah sandal tipis kamar hotel. Dominick lantas melihat kakinya sendiri, karena panik, dia lupa menggantinya. Lagi pula, satu-satunya alas kaki yang dia punya hanya sepatu yang tadi dipakai ke acara pernikahan.
Dominick tidak mengatakan apa-apa dan berjalan lebih dulu kembali ke hotel. Dia tahu wanita itu mengikuti di belakangnya meski tanpa diminta. Mereka tidak bicara lagi sampai di depan elevator. Dominick juga tidak lagi meminta Ashley menekan tombol elevator menuju lantai kamarnya.
"Apa yang kau cari?" Dominick akhirnya bertanya. Gatal sekali mulutnya karena ditahan-tahan sejak tadi.
"Beberapa kaleng bir?" Wanita itu juga tidak berusaha mengarang alasan.
"Kurasa instruksiku sudah cukup jelas untuk beristirahat." Dominick tidak mengerti kekesalannya ini disebabkan oleh Ashley yang tidak menurut atau karena dia harus berlari keluar hotel untuk menyusulnya. Dia bahkan tidak membawa ponselnya.
"Aku sudah cukup dewasa untuk memutuskan kapan boleh minum."
Itu benar. Dominick merutuki sikapnya dengan satu helaan napas panjang. Tidak ketinggalan menyugar rambutnya yang berantakan di dahi. "Tapi itu tadi berbahaya. Kau baik-baik saja?"
Ashley mengangguk. "Kupikir aku mematahkan jari orang itu tadi. Dia menjerit kesakitan. Aku takut dia akan menuntutku."
Lucu sekali wanita ini hingga membuat Dominick mendengkuskan tawa. "Apa yang dia perbuat?"
"Dia menarik tanganku, lalu berusaha meraih mantelku. Aku panik dan menekuk telapak tangannya sampai tulangnya berbunyi. Sekarang itu terasa ngilu kalau diingat."
Pertahanan dirinya cukup baik, begitu yang akan Dominick ingat ke depannya. Sungguh sebuah kekhawatiran yang sia-sia.
"Kau bisa minum sepuasnya di kamarku setelah ini. Ada beberapa botol di kulkas." Tepat setelah Dominick mengatakan itu, pintu elevator terbuka. Lantai tiga puluh adalah posisi kamar Dominick berada.
Seharusnya itu adalah tawaran yang menggiurkan, mengingat minuman yang disediakan hotel untuk jenis kamar yang ditempati Dominick lebih berkualitas dari bir kaleng. Namun, reaksi Ashley justru pelototan mata.
"Aku ... akan membawanya ke kamarku saja, Bos."
Apa yang membuat Ashley jadi begitu gelisah?
"Aku mungkin perlu kau mencari dokumen lain di laptopku. Fail yang kausalin kemarin tidak kutemukan."
"Tapi aku tidak bisa minum di kamarmu, sungguh."
Dominick yang ingin menempelkan kartu kunci kamar lantas menatap Ashley dengan sorot bertanya-tanya. "Kenapa?"
"Kau tidak akan suka dengan kebiasaanku saat mabuk."
"Kalau begitu jangan minum terlalu banyak."
•••
Btw kata file emang ditulis 'fail' ya, begitu penulisannya di KBBI. Hehe
Semoga kalian ndak bosen ketemu kisah Ashley sama Dominick terus yak. :")
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
12 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top