31 - About Ashley

"Bos, apa kau punya waktu sebentar?"

Tidak biasanya Ashley bertanya dengan hanya menyembulkan setengah badan di depan pintu. Wanita itu bahkan tahu kalau jadwal Dominick kosong untuk setengah jam ke depan. Jika dia ingin berdiskusi soal agendanya, Dominick akan dengan senang hati meluangkan waktunya. Namun, dia merasa gelagat asistennya itu sedikit berbeda dari biasanya.

"Masuk, atau aku tidak akan mendengarkanmu." Setelah memberi respons, Dominick menyesap kopi yang dimintanya dari Ashley dua jam lalu.

"Baik, Bos."

Dominick meletakkan cangkir gelas kembali ke atas cawan sembari memperhatikan dengan saksama gerak-gerik asistennya. Semuanya benar-benar berbeda. Pintu penghubung ruangannya dengan ruangan Ashley sudah pernah diganti engselnya karena wanita itu tidak berhati-hati, padahal jarang digunakan. Namun, hari ini dia bahkan menutup pintu dengan sangat berhati-hati. Laju langkahnya saat mendekati meja Dominick juga lebih pelan.

Apa yang membuatnya seperti sedang ketakutan? Apa sesuatu telah terjadi di luar dan sekarang Ashley hendak mengadu? Seperti dulu ketika mantan istrinya sering meneror. Akan tetapi, waktu itu kekesalan yang menguasainya, bukan takut.

"Apa?" Dominick bertanya dengan nada tidak sabar karena wanita di depannya hanya diam.

"Itu ... aku ingin mengambil cuti seminggu penuh. Aku belum pernah memakai jatah cutiku selama lima tahun bekerja, jadi ... seminggu saja, Bos. Bolehkah?"

Ada apa? Kenapa tiba-tiba sekali? Mau ke mana dia? Pertanyaan-pertanyaan itu diwakili oleh setiap garis kerutan yang secara dramatis muncul di dahi Dominick. Biasanya dia hanya meminta waktu di akhir pekan jika ingin mengunjungi orang tua dan saudaranya.

"Haruskah?"

Seminggu. Seminggu tanpa Harper. Siapa yang akan mengurusnya nanti? Jelas itu bukan waktu yang sebentar. Dominick sedang di masa kejayaannya, di mana perusahaan harus terus merencanakan perkembangan, mendapat permintaan kerja sama, permintaan merancang sistem informasi, tidak ketinggalan undangan untuk menghadiri acara-acara kolega. Harus ada orang yang bisa menangani dan mengurutkan agenda-agendanya agar tidak saling bertabrakan. Namun, hanya Harper yang mampu.

Ashley baru akan bicara, tetapi Dominick menyela. "Kalau tidak penting, tidak usah cuti. Kau tahu sepadat apa kegiatanku."

"Tapi aku punya hak untuk cuti." Berbanding terbalik dengan keraguan di wajahnya, wanita itu masih berani melayangkan protes dengan alis yang bertaut. Jari-jari tangannya yang saling bertaut dan bergerak gelisah pun tidak luput dari pandangan Dominick.

Dia seperti anak kucing yang marah.

"Aku yang memutuskan kau boleh cuti atau tidak."

"Tapi--"

Dominick beranjak dari kursi dan berjalan ke depan meja. Dalam posisi itu, dia berhadapan dengan Ashley dengan jarak tidak sampai satu meter. Dominick selalu berhasil mengintimidasi ketika menunduk menatap mata lawan bicaranya dan pria itu sangat menyukainya. Cara itu bahkan berhasil membuat Ashley bungkam.

Sebelah sudut bibir Dominick naik ketika kepuasan itu dia rasakan.

"Aku butuh alasan bagus untuk menyetujuinya."

Dominick bersedekap, pinggulnya disandarkan pada tepi bagian depan meja. Dalam posisi itu auranya sebagai pemilik perusahaan keluar begitu saja hingga membuat Ashley menelan ludah. Detik-detik yang berlalu untuk menunggu respons Ashley adalah momentum yang menyenangkan. Dominick memikirkan sesuatu yang menjadi alasan Ashley untuk cuti di kepalanya dan tidak tahan ingin mengucapkannya, tetapi dia lebih memilih mendengar langsung dari bibir yang sedang digigiti itu. Lagi pula, kalau berbohong, wanita itu tidak bisa menyembunyikannya dari Dominick.

"Itu ... urusan pribadi."

"Oh, ya?"

"Asisten juga butuh privasi."

Sebelah alis Dominick terangkat ketika wanita itu merotasikan kedua matanya. Dia sudah menduga kata-kata seperti itu yang akan Ashley lontarkan, tetapi jelas bukan itu yang sebenarnya.

"Kau membuang waktuku," ujar Dominick sembari menatap arlojinya. "Pengajuanmu tidak bisa kusetujui."

"Hanya seminggu, Bos. Bagaimana kalau aku sakit, apa tidak kauizinkan juga?"

Cuti sakit. Sampai detik ini Dominick belum pernah mendengar itu dari Ashley. Bahkan ketika diserang flu berat pun dia tetap bekerja. Dedikasi Ashley dalam bekerja memang luar biasa. Atau mungkin beban kerjanya terlalu ringan hingga wanita itu mampu menyembunyikan lelahnya.

"Kau berencana untuk sakit?"

Ashley mendengkus, keraguan di wajahnya kini tergantikan oleh kekesalan. "Bos, aku tidak bercanda. Aku sudah mengatur tanggalnya agar tidak bertabrakan dengan agendamu yang merepotkan. Aku ingin pergi ke suatu tempat."

"Bersama tetanggamu itu?" Sudah dari tadi Dominick menebak kalau Ashley akan pergi dengan si pria tetangga. Dia tahu betul kalau ide cuti ini pasti darinya. Pasti itu yang akan pria itu bicarakan seandainya Ashley tidak buru-buru menyela dengan gelas minuman.

Diamnya Ashley membuat Dominick yakin bahwa tebakannya benar. Seminggu pergi hanya berdua seperti itu, sungguh tidak masuk akal. Kecuali mereka memang memiliki hubungan khusus.

Ucapan Ashley kepada neneknya minggu lalu, tentang berhenti setelah menikah, mungkin selama ini ada seseorang yang sudah menunggu Ashley. Dia mungkin sudah menerima bahwa wanitanya supersibuk. Dia memaklumi itu karena pada malam hari mereka bisa menghabiskan waktu bersama. Pria itu bukan tidak mungkin adalah si pria tetangga yang lebih pendek dari Dominick.

Tanpa sadar, kedua tangan Dominick mencengkeram tepian meja ketika menyadari asisten pribadinya akan direbut.

"Dengan Jeremy atau bukan, aku tetap perlu diberi cuti seminggu, Bos. Aku sudah memilih tanggal yang bagus, yaitu saat kau pergi ke Toronto nanti. Biasanya kau pergi sendiri kalau lebih dari tiga hari."

Pernahkah Dominick memuji kalau senyum Harper-nya sangat menarik? Dominick tidak begitu memperhatikan dengan benar sebelumnya, tetapi hari ini melihat keindahan itu justru membuatnya lupa berkedip. Ada banyak wanita cantik di luar sana, tetapi asistennya punya bentuk mata yang cantik.

"Aku mungkin akan membawamu." Dibandingkan pergi berdua dengan orang lain, lebih baik ikut dengannya. Dominick akan memberi Ashley waktu untuk mengunjungi tempat bagus dan dia akan meminjamkan kartunya untuk berbelanja.

Namun, pemikiran itu hanya bagus menurut Dominick, sebab wajah Ashley langsung merengut. Senyumnya sirna seperti tulisan di pasir yang disapu ombak.

"Jadi, kau benar-benar tidak setuju?" Alih-alih memelas, atau menunjukkan wajah penuh harap, Ashley justru berwajah masam setelah bertanya demikian. Kalau saja posisinya tidak begitu krusial, Dominick pasti sudah mengusirnya sejak tadi.

"Suratnya taruh di mejaku dulu, akan kupertimbangkan."

Kalimat itu menjadi akhir pembicaraan mereka. Dominick yang kembali menempati kursinya menjadi sinyal agar Ashley kembali ke ruangannya.

"Terima kasih, Bos!" Nada bicaranya menjadi lebih ceria sebelum pintu penghubung itu tertutup sepenuhnya.

Tidak perlu waktu lama sampai Ashley kembali menerobos ruangannya dengan sebuah map kertas berwarna hijau muda. Wanita itu bahkan tidak mengetuk dulu atau meminta izin untuk masuk. Sungguh sebuah kejadian nyata dari bersikap baik karena ada maunya.

"Ini suratnya, Bos. Di dalamnya bukan hanya surat pengajuan untuk kau tandatangani, tapi juga rincian pekerjaanku yang akan kutitipkan dengan sekretaris umum di depan. Aku pastikan dia tidak akan kubuat repot terlalu banyak. Pertimbangkan saja dulu, Bos, tapi jangan lupa ditandatangani. Terima kasih." Wanita itu bicara dengan cepat setelah meletakkan mapnya ke atas meja Dominick. Setelah itu, dia langsung melesat pergi kembali ke ruangannya lagu.

Dominick berdiri lagi hanya untuk berdiri lebih dekat dengan dinding kaca. Posisi itu tidak akan disadari Ashley dari ruangan sebelah, sebab terhalang oleh tirai gulung yang dipasang di dalam ruangan Dominick. Apa dengan memberinya cuti membuat wanita itu benar-benar bahagia?

Dominick masih terus memperhatikan, mulai dari wanita itu memindahkan setumpuk kertas di mejanya ke sebuah map besar yang memiliki lingkaran besi di dalamnya, sampai kemudian wanita itu meraih ponsel dan memainkannya dengan wajah semringah. Siapa pun akan tahu kalau dia sedang berkirim pesan. Namun, pernahkah Dominick sepenasaran ini? Seharusnya tidak seperti ini, toh siapa pun yang sedang berkirim pesan dengan Ashley bukanlah urusannya.

Seorang wanita cenderung menceritakan hal-hal baik kepada kerabat terdekatnya. Entah itu keluarga, atau teman-teman terdekatnya. Kalau begitu, mungkin saja Ashley sedang berkirim pesan dengan Katherine, sahabatnya.

Ketika nama itu muncul di kepala Dominick, dia baru sadar kalau sudah cukup lama tidak menghubunginya lagi. Rasa ketertarikan di awal yang membuatnya menggebu-gebu untuk mengenal seakan-akan tidak pernah terjadi. Pertemuan terakhir mereka, Dominick cukup menikmatinya. Katherine Willow punya cara berpikir yang menarik, sungguh wanita yang berpendirian dan mandiri. Namun, itu tidak akan tepat bagi pria yang suka memanjakan pasangannya.

Sekarang, dorongan yang sempat muncul hingga dia berpikiran untuk menjadi lebih dekat dengannya pun sudah tidak dia rasakan lagi. Tetap saja, dia perlu menemui wanita itu lagi dalam waktu dekat.

Dominick menjauh dari dinding kaca ketika pintu ruangannya diketuk. Sudah terlalu lama dia memperhatikan sang asisten pribadi, dan akan lebih buruk jika orang lain mengetahuinya.

"Masuk." Awalnya hanya bermaksud membuat tangannya terlihat sibuk dengan membenahi dasi, tetapi rupanya dasi itu sudah longgar entah sejak kapan.

Pintu ruangannya kemudian dibuka oleh seorang pria berambut pirang cepak dengan setelan jas abu-abu. Langkahnya yang lebar-lebar membuatnya tiba di depan meja Dominick dengan cepat. 

"Nick! Aku mendengar kabar tidak menyenangkan, anak-anak mengeluh padaku sejak minggu lalu. Aku tidak bisa fokus sampai buru-buru pulang. Mereka masih perlu dipantau, asal kau tahu." Berbanding terbalik dengan tubuhnya yang kekar, pria pirang itu mengomel seperti seorang wanita. Namun, tidak peduli sekesal apa yang dirasakannya, dia tetap meletakkan satu kotak suvenir ke atas meja Dominick.

Dominick tidak menghiraukan kekesalan pria itu, bahkan dengan pembawaan yang tenang dia kembali duduk di kursinya. "Tuan Elordi, bagaimana kabarmu? Kudengar istrimu hamil lagi. Programnya berhasil?"

"Ya. Itu berarti kau juga harus segera menyusul, atau kau tidak akan punya keturunan untuk meneruskan Vacade. Tapi tolong jangan mengalihkan pembicaraan, Tuan Muda. Kita punya hal penting untuk dibicarakan." Tanpa dipersilakan, pria itu duduk di salah satu kursi di seberang meja Dominick. Pembicaraan tentang istrinya yang hamil anak kedua sempat membuat wajahnya berseri, tetapi hanya sekejap dan digantikan oleh kefrustrasian.

Martin Elordi, kalau Dominick adalah CEO Vacade, dia adalah COO-nya. Nasib yang sama membuat mereka berhubungan dekat, meski hanya sebatas rekan kerja. Orang tua Martin juga menjadi korban kecelakaan pesawat bersama orang tua Dominick. Tidak hanya itu, mereka sudah saling mengenal sejak masa kuliah dan Dominick menyadari pria itu juga memiliki potensi untuk membantu menjalankan perusahaan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.

Sudah setengah tahun Martin mengurus anak perusahaan di Connecticut. Yang awalnya hanya sebuah tim pelaksana sebuah proyek keamanan sistem, berkembang menjadi sebuah program antivirus yang berdiri sendiri di bawah Vacade. Dominick meminta Martin mengurusnya sampai nanti akan ditetapkan siapa yang akan menjadi pimpinannya.

"Itu adalah sesuatu yang harus dilakukan." Dominick tahu betul ke mana arah pembicaraan Martin. Menurutnya, itu bukan sesuatu yang sesuai untuk dihadapi dengan kepanikan. "Aku menyayangkan potensinya, tapi itu tidak akan berguna kalau dia memasukkan orang dari perusahaan yang jelas-jelas akan menjatuhkan kita."

Wakil kepala bagian perencanaan yang diberhentikan Dominick beberapa waktu lalu memang memicu kekacauan.

"Setidaknya tunggu sampai program yang dikepalainya selesai. Sekarang siapa yang mengurusnya? Semua orang mengerjakannya dari awal lagi."

"Itu karena dia terlalu egois. Dia hanya memercayakan beberapa orang dan sekarang mereka kewalahan." Tidak peduli jika Dominick dianggap berhasil mengembangkan Vacade, tetap saja permasalahan internal seperti hubungan karyawan tidak sepenuhnya terpantau olehnya.

"Kau bisa memindahkannya ke kantor lain dengan jabatan yang lebih rendah." Martin mengatakannya seolah-olah itu adalah usulan terbaik. Namun, Dominick tidak merasa demikian. "Aku tahu pria itu memang bermasalah, tapi isu yang dia sebarkan melibatkan asistenmu lagi."

"Memang benar begitu, dia merendahkan kinerja Harper." Mata Dominick menyorot tajam ke wajah Martin, sengaja memperlihatkan bahwa dia mulai tidak menyukai arah pembicaraan mereka. "Aku sedang mengumpulkan bukti untuk disampaikan ke semua orang kenapa orang itu harus diberhentikan. Harper sedang mengumpulkan data dari tim yang kami bentuk untuk melakukan pemeriksaan secara mendalam. Kau ingat program S yang terkenal dengan cepat ternyata memiliki sistem keamanan yang sama dengan program kita?"

Dominick bahkan tidak perlu bicara lebih banyak karena Martin langsung mengerti. "Wakil kepala membocorkannya?"

"Diketahui bahwa pengembang program S adalah saudara jauhnya. Dengan perangai seburuk itu dia sudah menghina Harper." Satu decakan keras Dominick keluarkan sembari menyugar rambutnya. Kejadian saat itu kembali muncul di kepalanya.

"Minimal kau memberitahuku via email atau telepon agar aku tidak repot-repot pulang seperti ini, Nick. Ngomong-ngomong, Harper-mu sudah bekerja lima tahun. Kau tidak merayakannya? Itu sebuah pencapaian yang luar biasa! Siapa lagi yang tahan bekerja denganmu begitu?"

Dominick mengusap telinganya karena tidak tahan mendengar celotehan Martin. Sudah sering kali dia akan protes dan meminta agar pria itu tidak perlu bicara terlalu banyak, tetapi itu sudah kebiasaan yang menempel dalam dirinya dan tidak bisa dikendalikan.

"Tidak perlu. Aku sudah memberinya banyak bonus." Mengadakan perayaan yang tidak penting seperti itu, bukanlah kebiasaan Dominick. Bahkan pesta perayaan yang pernah diadakan perusahaan Vacade tidak akan terjadi jika bukan COO-nya yang mempersiapkan semuanya.

"Hei, itu berbeda. Kalau kau membuat perayaan khusus untuknya, itu bisa berarti kau mengapresiasinya selama ini. Dia akan senang dan betah bekerja di bawahmu lebih lama lagi."

Membuat Ashley senang? Apa itu sepadan jika Dominick tidak menyetujui pengajuannya untuk cuti selama seminggu?

Tidak. Lebih membuat orang lain senang karena keinginannya terwujud daripada menggantinya dengan sesuatu yang lain. Dan lagi, kapan lagi dia akan melihat Ashley tersenyum lebar seperti tadi kalau pengajuan cutinya tidak disetujui.

"Tidak perlu. Dia tidak akan menyukainya." Itu bukan sekadar alasan, tetapi Dominick memang tahu kalau Ashley merasa tidak nyaman dengan perayaan apa pun berkaitan dengan dirinya. Bahkan ketika Dominick merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh enam tahun lalu, wanita itu justru meminta maaf besok harinya dengan alasan yang konyol. Dia takut tidak bisa membalas kebaikan itu dengan harga setimpal.

"Hanya makan bersama atau minum-minum santai. Hei, kalau kau tidak mau, aku yang akan melakukannya."

Karena Martin berdiri, Dominick pun ikut beranjak dari kursi. Pria yang menjabat sebagai CEO itu mengira Martin ingin mendatangi ruangan Ashley hingga tubuhnya secara impulsif bergerak ingin mencegahnya. Namun, ternyata Martin hanya menaikkan celananya.

"Kau sudah punya istri. Jangan macam-macam." Jelas itu merupakan sebuah peringatan. Akan tetapi, Martin meresponsnya dengan decihan jenaka.

"Aku tidak seperti seseorang yang bercerai karena selingkuh dengan pekerjaan."

Dominick mendengkus. Sebesar apa pun keinginannya untuk mengelak bahwa tidak seperti itu kejadian sebenarnya, tetap saja dia harus menahannya. Mantan istrinya merupakan teman baik Martin. Meski berusaha membersihkan namanya, pria itu tetap akan lebih percaya cerita dari sisi wanita itu.

"Apa kau terlalu senggang sampai tidak ingin pergi dari sini? Aku sibuk."

"Yap. Teruslah sibuk sampai putraku besar dan mampu menduduki kursimu." Martin beranjak pergi, tetapi sebelum benar-benar keluar dari sana, dia berhenti dan bicara lagi. "Di dalam kotak itu ada dua suvenir, berikan satu yang berwarna merah muda untuk Nona Harper. Dia pasti stres berat karena mengurusmu."

"Berilah sendiri."

"Tidak bisa. Seseorang tidak ingin aku bertemu dengannya."

Sial.

•••

Lovely Neighbor 🦭
Aku sudah mengajukannya.

Jeremy N
Bagaimana hasilnya?

Lovely Neighbor 🦭
Aku sangat gugup, dia terus bertanya alasannya.
Tapi akhirnya dia bersedia membaca surat pengajuanku dulu.
😸

Jeremy N
Kukira dia tidak akan setuju.
Dia seperti pria yang tidak bisa melakukan apa-apa sendirian.
🤬

Lovely Neighbor 🦭
Ya ... hampir.
Bagaimana kau tahu dia hampir tidak setuju?

Itu ... mudah, hanya sesama pria yang akan mengerti. Melalui kacamata Jeremy, Dominick McCade itu cukup obsesif pada asistennya sendiri. Di malam saat mereka bertemu, Jeremy sengaja menunjukkan sentuhan yang akrab hanya untuk memastikan, hasilnya bisa dibilang cukup memuaskan dan sesuai dugaan.

Jeremy N
Hanya menebak, dia memang menyebalkan.

Lovely Neighbor 🦭
Ingatlah yang baik-baik saja.
Tanpa apartemennya, aku tidak akan mengenalmu. ☺️

Jeremy hanya tersenyum ketika lagi-lagi pembelaan itu yang terus didapat setiap kali dirinya mengungkapkan kekesalan terhadap Dominick. Fakta yang satu itu memang tidak bisa disanggah dalam bentuk apa pun. Dan dia cukup kesal karena seorang Dominick berjasa atas pertemuan mereka.

Sebelum Ashley pindah di sana, Jeremy tidak pernah tahu siapa yang menempati pintu di seberangnya. Ketika dia berangkat dan pulang dari toko pun tidak pernah sekali pun berpapasan dengannya. Entah karena waktu mereka tidak pas, atau tempat itu memang sudah tidak dihuni. Jeremy terus berharap setidaknya bertemu penghuninya satu kali saja dan berkenalan. Dia sadar jika suatu saat sesuatu yang buruk menimpanya, orang terdekat pertama yang bisa diminta bantuan adalah tetangga.

Harapan bertemu tetangga seberang pun lantas terkabul ketika Ashley pindah ke sana. Di hari pindahan Ashley, Jeremy pulang lagi dari toko karena mengambil barang yang tertinggal. Barang-barang Ashley masih berada di luar, sementara orangnya ada di dalam dengan laptop di pangkuan. Jeremy tidak bermaksud mengintip, tetapi dia bisa melihat kesibukan wanita itu karena pintunya terbuka. Saat itu juga Jeremy mengira bahwa rumah di seberangnya selama ini kosong.

Jeremy hanya bermaksud melihat-lihat dan berniat akan membantu memindahkan dus-dus ke dalam. Namun, sebelum Jeremy sempat menyapa lebih dulu, Ashley lebih dulu melakukannya. Sebagai seorang pria, dia tidak menampik kalau saat itu lebih dulu terpesona dengan fisiknya. Bagaimana mungkin seorang wanita yang wajahnya tidak dirias, bahkan dihiasi bulir peluh di pelipisnya, bisa terlihat sangat cantik. Ashley adalah wanita pertama yang membuat Jeremy kikuk meski baru disapa dengan seulas senyum.

Menolong Ashley hari itu adalah modus Jeremy agar mereka saling mengenal. Dia sampai lupa kalau seharusnya kembali ke toko dan malah mengobrol seharian di tempat Ashley. Sejak hari itu, mereka menjadi dekat dan membuat janji untuk pergi makan di luar. Namun, sering kali gagal karena seorang Dominick terus membuat Ashley bekerja. Jeremy ingin membencinya, tetapi terus diingatkan Ashley kalau tempat yang didiaminya sekarang adalah milik pria itu. Entah diberikan, atau hanya dipinjamkan, mereka tidak tahu pasti. Yang jelas, tempat itu menjadi menyenangkan karena dipenuhi oleh aroma Ashley.

Jeremy menggeleng, tersadar terlalu lama berdiam diri hanya karena mengenang bagaimana pertemuan klise mereka dulu. Sekarang makin mengenal Ashley, dia justru makin serakah. Meski sudah sangat dekat, tetapi Jeremy ingin lebih-lebih lagi. Kedekatan yang lebih dari sekadar jarak. Hubungan seperti sekarang ini tidak cukup untuknya, terlalu banyak batasan-batasan yang tidak bisa dilakukan.

Ponsel yang baru diletakkannya ke atas meja bergetar lagi, tetapi itu bukan sesuatu yang penting, hanya pemberitahuan bahwa barang yang dipesannya sudah tiba di lobi lantai satu gedung apartemen. Rencananya dia ingin mengambil barang tersebut sembari pergi ke luar untuk makan siang, dan sekarang adalah waktunya. Jeremy meraih kuncinya di laci meja dan bergegas keluar dari ruangan. Seandainya Ashley hanya berstatus sebagai karyawan biasa di kantor, Jeremy pasti akan menjemputnya agar mereka bisa makan siang bersama.

Namun, langkah Jeremy terhenti di depan ruang perbaikan ketika menemukan seseorang mengenakan seragam yang familier. Kalau dia tidak salah menebak, orang itu adalah Melissa, potongan rambutnya sama. Untuk memastikannya, dia masuk ke sana dan berpura-pura sedang melakukan pemeriksaan pekerjaan karyawan.

"Kau ada di sini." Jeremy menyapa seakan-akan baru melihat Melissa di sana. "Kenapa tidak bilang?"

"Oh, halo, Tuan Nielsen. Untuk perbaikan komputer saja kurasa tidak perlu sampai menemui pemilik toko."

Menurut Jeremy, Melissa adalah wanita yang cukup aneh. Selain gayanya yang tidak terlalu feminin, dia juga suka bicara sarkastis. Wanita itu bahkan tidak berusaha menyembunyikan betapa palsu senyum yang dia tunjukkan saat ini.

"Benar. Tapi apa kau tidak percaya dengan kinerja teknisi kami sampai harus dipantau?" Jeremy tahu itu terdengar menyebalkan, tetapi dia perlu alasan untuk membawa wanita itu pergi tanpa harus mengungkapkan langsung tujuannya.

"Kebetulan sekali ini waktu istirahat, jadi aku ingin melihat untuk belajar." Lagi, Melissa tersenyum dengan cara yang menyebalkan. Matanya jelas menyorotkan kemenangan. Orang lain yang mendengarnya akan tahu betapa negatif pikiran Jeremy saat ini.

"Kau bisa bertanya langsung padaku kalau ada yang tidak dimengerti. Dan kalau kau senggang, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu juga. Mutualisme? Aku tahu kau tidak suka berutang pada orang lain."

Alih-alih segera merespons, Melissa justru beralih menatap dua orang teknisi yang sedang memeriksa komponen bagian dalam komputernya. "Hei, apa bos kalian ini memang suka berbasa-basi?"

Jeremy menaikkan sebelah alisnya sebagai respons tidak suka ketika dua teknisinya tertawa kecil. Dia bukan atasan yang ditakuti, jadi gestur itu hanya sekadar gurauan.

"Aku ingin pergi makan siang, dan kebetulan kau ada di sini, bisakah aku bertanya sesuatu tentang Ashley?" Dengan senyumnya yang lebar, Jeremy tidak lagi bermain kata dan mengatakan tujuannya dengan benar.

"Jadi, Ashley itu adalah sahabatku, bosmu ini nak--hei!"

Tidak peduli Melissa adalah wanita, Jeremy menarik kerahnya menjauh dari sana sebelum teknisinya mendengar lebih banyak tentang sesuatu yang tidak perlu mereka ketahui. Namun, tentunya tidak begitu kencang agar tidak terjadi sesuatu yang berisiko. Jeremy sungguh tidak mengira wanita itu akan berbuat nekat.

Jeremy baru melepaskan kerah baju Melissa ketika mereka sudah turun satu lantai dengan tangga.

"Kau mau membunuhku, ya?"

"Tidak mungkin, aku masih memerlukanmu sebagai informan." Jeremy berdeham. Meski wanita di depannya ini sudah tahu tentang perasaannya, tetap saja dia akan merasa malu bertanya lebih banyak tentang Ashley. "Kami ingin melakukan perjalanan selama seminggu, jadi aku perlu informasi tentang referensi lokasi yang akan dia sukai."

"Kenapa tidak tanya orangnya langsung?"

Bisakah wanita ini tidak menguji kesabarannya?

"Aku tidak ingin membuatnya merasa terbebani. Sebagai gantinya, aku akan mengatur kencan buta untukmu, bagaimana?"

Dua kali mendapati wanita itu sedang kencan buta sudah cukup membuat Jeremy yakin bahwa itu adalah kesepakatan yang tepat.

"Yah ... kita perlu memperluas jangkauan, tidak akan kutolak. Tapi kau juga harus mentraktirku makan siang."

"Deal."

•••

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
2 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top