30 - After Dinner
Ashley mulai percaya kalau makin lama tinggal di suatu tempat, tempat itu akan terasa lebih sempit. Jarak dari satu titik ke titik yang lain akan terasa lebih dekat. Peluang bertemu orang-orang yang dikenal pun makin besar. Ada banyak tempat-tempat bagus untuk didatangi di New York. Menjadi kota yang berhasil menarik perhatian orang-orang dari seluruh dunia untuk datang, tentu saja segala cara akan dilakukan untuk memanjakan para turis yang datang. Salah satunya dengan membuka resto-resto dengan varian masakan yang tidak hanya menyesuaikan lidah penduduk lokal, tetapi juga orang dari luar.
Ashley tidak bisa menghitung seberapa banyak restoran di New York, bahkan meski sudah mendatangi banyak restoran berbeda, dia yakin itu belum semuanya. Lantas, dari sekian banyaknya restoran mewah di New York, kenapa yang dipilih Jeremy untuk janji makan malam hari ini adalah restoran yang juga didatangi Dominick? Makan malam Dominick kali ini tidak ada di dalam agenda yang Ashley susun, dan berarti itu adalah urusan pribadi.
Ashley masih berdiri di dekat meja konter, tempat dirinya menyapu seisi ruangan untuk menemukan meja Jeremy. Ruangan restoran ini sangat luas, tetapi entah bagaimana meja yang ditempati Jeremy harus bersebelahan juga dengan Dominick? Meski dibatasi dinding kubikal yang rendah, tetapi tetap saja posisi kursi Ashley dan Dominick saling memunggungi. Kalau dia melewati jalan tercepat, pria yang berstatus sebagai bosnya itu akan melihatnya. Sebetulnya tidak masalah, tetapi Ashley malas menyapa. Sudah seharian dia melihat wajah itu, dan sekarang bukan lagi waktu untuk itu.
Akhirnya Ashley memilih jalan memutar yang tidak akan melewati meja Dominick. Namun, dari jalur itu pula dia bisa melihat siapa teman makan malam Dominick. Seorang wanita cantik yang memakai setelan tanpa lengan dengan aksen bulu-bulu di lingkar dadanya. Rambut ikal cokelatnya yang berkilau dan bervolume menarik perhatian Ashley hingga tidak sadar menyentuh rambutnya sendiri untuk membandingkan. Dilihat dari sisi mana pun, mereka tidak terlihat seperti bertemu untuk urusan bisnis. Tidak ada keseriusan di wajah cantik yang terus tersenyum itu. Sempat wanita itu tertawa, seperti baru saja mendengarkan lawan bicaranya melontarkan lelucon. Akan tetapi, seorang Dominick melucu? Sungguh? Ashley tidak bisa membayangkannya.
Ashley mulai berpikiran kalau wanita itu adalah partner kencan Dominick. Lantas bagaimana dengan Kate? Yah, Dominick memang bukan berada di posisi tidak boleh bertemu wanita lain hanya karena dia sedang berusaha mendekati sahabatnya. Hubungan mereka bahkan belum menunjukkan perkembangan yang berarti.
"Kau hanya akan terus berdiri atau mau kutarik duduk?"
Ashley menoleh ketika suara itu menegurnya dari samping kanan. Dia sudah berhenti sejak beberapa saat lalu tepat di sebelah kursi Dominick, tetapi terus terpaku pada wanita yang duduk di seberang Dominick. Wanita secantik itu, kalau dia saja sampai terpaku, bagaimana pria yang melihatnya?
"Maaf, maaf." Ashley berucap pelan dan segera menempati kursi di seberang Jeremy dengan hati-hati. Takut tasnya atau jaket yang dilepasnya akan mengenai Dominick yang ada di belakangnya. "Kau sudah menunggu lama?"
Minuman yang dipesankan Jeremy untuknya sudah mengembun di luar gelas, itu sudah menjawab bahwa pria itu sudah berada di sana cukup lama. Meski begitu, Ashley tetap meminumnya karena merasa haus.
"Maaf, tadi aku mau langsung ke sini dari kantor, tapi aku merasa gerah dan pulang dulu untuk mandi."
"Bukan masalah, aku hanya pulang cepat dari toko hari ini. Kau mau makan apa?" Jeremy membalas sembari menyerahkan buku menu.
Namun, Ashley tidak menerima buku menu itu dan berkata, "Samakan saja denganmu. Aku ingin tahu seleramu saat kita berada di restoran mewah."
Dia tidak ingin berlama-lama di sana, bahkan kalau bisa pulang sebelum Dominick menyadari keberadaannya. Masalahnya, Ashley biasanya sangat lama memilih menu. Terlebih lagi ketika menu yang ada di daftar adalah sesuatu yang tidak pernah dia coba sebelumnya. Dia yakin, Jeremy yang tidak bisa hanya berdiam diri pasti sudah membolak-balik halaman buku menu selama menunggu.
"Kau yakin?"
Ashley bisa mengerti kenapa pria itu justru memandangnya penuh keraguan. Selama ini mereka selalu memesan menu berbeda dan saling mencicipi makanan satu sama lain setelahnya. Itu menyenangkan jika waktunya tepat. Tidak ingin membuang waktu, Ashley mengangguk kuat dan memberi kode dengan mata agar Jeremy segera memesan.
Meski masih sulit untuk percaya, Jeremy tetap membuka buku menu itu lagi dan tidak lupa memperingatkan, "Aku akan memesan yang paling pedas."
"Aku akan memesan lebih banyak minum."
"Perutmu akan sakit."
"Kau yang akan membeli obat."
Jeremy menggeleng ringan sembari tertawa kecil. "Pada akhirnya aku yang terus bertanggung jawab kalau sesuatu terjadi padamu."
Ashley menelengkan kepala dan tersenyum geli. Dia merasa cukup lega karena hari ini interaksi mereka tidak secanggung kemarin. "Kukira kau senang kubuat repot?"
Jeremy mencondongkan badan ke arah Ashley dan berkata, "Selagi aku boleh menciummu, apa pun akan kulakukan." Kemudian mengedipkan sebelah mata untuk menunjukkan bahwa itu hanya sekadar gurauan.
Namun, itu tidak berhasil membuat Ashley melotot kaget. Dia tidak masalah jika pria itu akan terus membicarakan tentang ciuman, tetapi tidak ketika Dominick berada di dekat mereka. Ashley hanya tidak ingin pria itu mendengar sesuatu tentang kehidupan pribadinya.
"Kau tahu, aku mungkin akan berhenti minum denganmu setelah ini. Jadi, kita makan atau tidak?"
Jeremy tidak lagi melanjutkan pembicaraan, tetapi memanggil seorang pelayan untuk memesan. Ashley mendengarkan menu yang pria itu sebutkan dan tidak bisa menahan dahinya agar tidak berkerut. Kekhawatiran akan menyantap makanan pedas lantas menyergapnya.
Selagi menunggu pesanan datang, Jeremy ditelepon seseorang dari tokonya. Selama pria ity bicara sendiri, Ashley membolak-balik buku menu untuk membunuh waktu sembari menajamkan pendengaran demi mendengar obrolan sosok di belakangnya. Dia ingin tahu apa yang pria itu bicarakan saat berkencan.
"Itu sudah cocok, warna merah muda bagus untukmu."
Mata Ashley spontan melotot saat Dominick melontarkan pujian. Bukan berarti pria itu tidak pernah melakukannya, tetapi dia lebih sering mengatakannya tidak secara gamblang. Dia lebih suka membuat orang lain yang dipuji paham dengan sendirinya bahwa itu adalah pujian.
Sayangnya, suara wanita di seberang Dominick tidak terdengar begitu jelas.
"Kau akan baik-baik saja. Semuanya akan sempurna."
Kali ini Ashley menutup buku menu karena sudah tidak tahan lagi. Di saat itu juga, pelayan datang mengantarkan pesanan Jeremy.
Pria itu tidak berbohong tentang memesan makanan pedas. Tiga dari empat masakan, warnanya merah. Aroma cabai yang menguar dari uap masakannya tidak tertahankan. Meski begitu, semuanya tampak menggoda.
"Aku memesan yang tidak pedas kalau kau tidak kuat," ujar Jeremy sembari meletakkan satu piring kosong di sisi Ashley, disusul peralatan makannya.
"Aku akan mencicipi semuanya, tapi dengan porsi yang sedikit. Yang tidak pedas untukku semua, 'kan?" Ashley bertanya sembari menarik satu mangkuk sup lebih dekat dengannya.
"Itu tidak adil."
Ashley tertawa ketika Jeremy mencebik. Pria itu terlalu ekspresif hingga menjadi hiburan tersendiri menurut Ashley. Bersyukur sekali dia setuju pergi makan malam dan bisa pulang lebih cepat. Ini benar-benar obat untuk rasa lelahnya seharian ini. Selanjutnya mereka mulai menikmati hidangan yang dipesan.
Jeremy tidak berbohong tentang memesan menu yang paling pedas Ashley hanya mencoba beberapa sendok setiap masakan, tetapi sudah dua kali memesan minuman tambahan. Dia sampai berencana akan mampir membeli obat dulu saat pulang nanti. Sementara pria di depannya tidak berhenti menertawakan wajahnya yang merah.
"Jadi, kapan kita bisa pergi?"
"Ke mana?"
"Ya ... ke mana saja. Kau akan libur seminggu, jadi kita bisa memilih destinasi yang lebih jauh."
Ashley hampir tidak jadi menyuap supnya ketika topik yang dimunculkan adalah tentang rencana liburan yang melibatkan cuti selama seminggu. Agar tidak sampai terdengar oleh Dominick, Ashley mencondongkan badan dan berbicara dengan suara lebih pelan.
"Aku belum sempat mengajukannya hari ini. Dua bulan ke depan cukup padat, akan kucoba setelahnya." Setelah mengatakan itu, Ashley menunduk menatap mangkuk sup tidak pedas sambil mengaduknya asal-asalan, hanya karena tidak ingin mendapati pria di depannya menunjukkan raut kecewa.
"Bukannya cuti harus diajukan jauh-jauh hari?"
"Ya, aku tahu. Aku hanya belum bisa melakukannya hari ini. Aku akan buat surat pengajuannya besok, tapi karena posisiku, mungkin agak sulit meminta persetujuannya."
Jeremy meletakkan sendok dan garpunya ke atas piring yang sudah kosong. Jari-jari panjangnya kemudian mengetuk meja, yang Ashley artikan bahwa ada sesuatu yang membuat pria itu merasa ragu. Setelahnya, Jeremy menatap Ashley sedikit lebih intens hingga membuat wanita itu bertanya-tanya.
Ashley makin dibuat bingung ketika Jeremy menghela napas agak panjang. Kemudian dengan wajah yang serius pria itu berkata, "Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."
"Harper."
Keduanya serempak menoleh ke sumber suara, di mana seorang Dominick McCade berdiri di samping meja mereka. Hanya sendiri, wanita yang bersamanya tadi sudah tidak ada. Ashley nyaris menggeram karena sapaan tiba-tiba pria itu membuat rasa penasarannya menggantung di atas kepala. Bukan tentang kenapa Dominick menyapa, tetapi tentang apa yang ingin dikatakan Jeremy.
Kendati demikian, Ashley tetap berdiri untuk menunjukkan keseganannya pada pria yang sudah memberinya penghasilan. "Selamat malam, Bos," balasnya.
"Seharusnya kita berangkat bersama kalau tujuannya sama." Dominick berkata begitu dengan wajah yang datar, tatapannya hanya tertuju pada Ashley, tidak peduli jika ada Jeremy yang benar-benar bersamanya sejak tadi.
Ashley tersenyum kaku sebagai bentuk sopan santun, meski dalam hati dia berharap Dominick segera pulang saja. Lantas, perlukah dia memperkenalkan Jeremy ketika pria itu tidak kunjung mengalihkan perhatian darinya?
"Kita bahkan sama-sama tidak tahu kalau akan pergi makan di sini, Bos. Apa kau datang sendiri?"
Mari berpura-pura tidak tahu tentang keberadaan wanita cantik tadi, pikir Ashley.
"Tidak. Aku bersama seseorang, tapi dia sudah pulang lebih dulu. Kebetulan kau ada di sini, Harper, aku perlu kau mengambil berkas di ruanganku untuk--"
"Tahan dulu, Tuan Bos yang Agung." Ketika Jeremy beranjak dari kursi, dari situlah Ashley merasakan aroma kekacauan akan terjadi. Pria itu menentang penuh pekerjaan yang dilakukan di luar jam kerja. "Tidak bisakah asisten tercintamu ini diberi waktu istirahat? Ini di luar jam kerjanya."
Tepat seperti dugaan Ashley. Wanita itu memegangi belakang lehernya seakan-akan di sana terasa tegang karena tekanan darah yang naik. Belum lagi dia harus menerima tatapan Dominick yang menuntut penjelasan. Pria itu jelas tidak akan menggubris Jeremy.
"Maaf, Bos. Perkenalkan, dia Jeremy, teman baik sekaligus tetanggaku. Jeremy, dia Dominick, bosku." Sulit mempertahankan seulas senyum seperti situasinya baik-baik saja. Sudut bibirnya sampai bergetar.
"Jadi kau yang mengirim pesan tanpa kenal waktu itu." Intonasi Dominick sangat tidak ramah didengar. Kejadiannya baru dua hari lalu, pantas kalau pria itu mengingatnya. Sesuatu yang tidak penting seperti itu, biasanya langsung tersingkirkan dari ingatan.
"Apa bedanya denganmu? Memintanya ke kantor lagi di waktu istirahat?"
Kacau sudah. Ashley berpindah posisi menjadi di depan Jeremy, sengaja menjadi tameng agar kedua pria itu tidak berujung saling baku hantam, meski dia tahu Dominick bukan orang yang mau mengotori tangannya untuk hal seperti itu.
"Maaf, Bos. Jeremy ... hanya tidak begitu mengerti tentang pekerjaanku." Ashley menghela napas sebentar. "Aku akan mengambilnya nanti."
"Dengar, Tuan Jeremy, aku meminta Ashley melakukannya sebagai asisten pribadi, bukan sekretaris pimpinan di kantor. Aku membayar mahal untuk itu dan jam kerjanya tidak terbatas, kecuali saat dia cuti." Dominick bersedekap, gesturnya terlalu santai untuk menghadapi Jeremy yang level emosinya sedang naik.
"Cuti? Ashley, bagaimana kalau sekalian menga--"
"Oh, lihat wajahmu merah sekali, Tetangga. Pasti karena kepedasan, bukan? Ini minum lagi yang banyak."
Tahu apa yang akan Jeremy katakan, Ashley jadi panik dan menyodorkan gelas minumnya langsung ke mulut pria itu. Secara otomatis pria itu jadi bungkam. Kemudian dia memberi kode dengan mata agar tidak membicarakan tentang cutinya saat itu juga. Setelah pria itu paham, Ashley kembali menghadap Dominick.
"Aku akan mengambil berkasnya dan mengantarkannya ke tempatmu setelah ini, Bos."
Untuk beberapa saat, Dominick hanya menatap wajah Ashley dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan. Namun, setelahnya dia menghela napas. "Tidak perlu. Siapkan saja besok pagi di mejaku."
"Baiklah, terima kasih, Bos."
"Bagus kau tidak jadi membuatnya melakukan perjalanan jauh." Jeremy tiba-tiba merangkul pundak Ashley setelah menghabiskan air di gelas dan meletakkannya kembali ke meja. "Kami ada janji minum bersama setelah ini." Saat mengatakan itu, Jeremy juga melambai pada seorang pelayan untuk membawakan bill makanan mereka.
"Aku akan berkemas." Ashley menyingkirkan tangan Jeremy dari pundaknya dan kembali ke posisi kursinya. Dia segera memasang jaket dan menyampirkan tas selempangnya.
Seorang pelayan datang menghampiri mereka dan menyerahkan papan berisi bill yang harus dibayar. Namun, sebelum Jeremy mengambilnya, Dominick sudah lebih dulu melakukannya.
"Aku yang membayar. Anggap saja sebagai salam perkenalan."
"Ah ... terima kasih banyak, Bos."
Jeremy tertawa kecil dan mengambil jaketnya dari sandaran kursi, tetapi tidak dipakainya. "Terima kasih, kalau begitu kami bisa langsung pergi." Kali ini, Jeremy menggandeng tangan Ashley dan menariknya agar segera pergi dari sana.
"Sampai jumpa besok, Bos." Ashley menyempatkan mengucapkan salam itu sebelum kakinya mulai melangkah. Dia hanya bisa berharap kejadian tadi tidak akan memengaruhi sikap pria itu padanya besok, atau Ashley akan kesulitan lagi mengajukan cuti.
"Apa biasanya dia sebaik itu?" Jeremy bertanya ketika mereka sudah di luar restoran.
"Ya, dia tidak pelit." Ashley menjawab sekenanya. "Tapi apa yang mau kau katakan tadi?"
"Kapan?"
"Sebelum Dominick menyapaku?"
"Oh." Alih-alih segera menjawab, Jeremy justru mengeluarkan kunci untuk membuka kunci pintu mobilnya. Dia melakukannya dengan lambat, seakan-akan sengaja mengulur waktu. "Itu, aku hanya ingin mengajakmu minum malam ini. Tapi kita tunda saja, kau harus bangun pagi besok, 'kan?"
Entah kenapa Ashley merasa bukan itu yang ingin Jeremy katakan sebenarnya. Namun, dia tidak akan memaksanya. "Baiklah."
•••
"Seperti yang kubilang, kencan kedua berjalan lancar. Aku akan ke tempatnya kalau dia setuju tidak mengundang orang lain. Aku masih menunggu jawabannya."
"Bagus! Aku juga punya cerita yang bagus. Ada mengenal seseorang di kantor, di saat yang sama aku juga mulai dekat dengan seorang bloger. Awalnya dia hanya mengomentari postinganku, lama-lama kami jadi berkirim pesan. Kau tahu tidak? Dia juga adalah orang yang kukenal di kantor!"
"Bagaimana orangnya? Dari caramu menceritakannya, kupikir dia target barumu?"
"Target baru? Satu saja aku belum berhasil."
"Tapi bagaimana orangnya? Kau sangat bersemangat."
"Dia ... si Pria Korea yang pernah kuceritakan sebelumnya. Auranya sangat positif. Dia punya senyum yang cerah. Kami punya sesuatu untuk dibicarakan bersama, jadi saat bersamanya sama sekali tidak membosankan. Aku tidak perlu berpikir keras untuk memikirkan topik apa untuk dibicarakan selanjutnya karena dia juga pandai menemukan topik baru."
"Sepertinya kau lebih nyaman dengan pria itu ketimbang bos Ashley, ya?"
"Ah, itu ... sebetulnya iya."
Kate dan Melissa sudah berceloteh sejak mereka tiba di apartemen Ashley. Namun, pemiliknya bahkan tidak ikut bergabung. Lagi pula, jika membicarakan tentang taruhan itu, Ashley tidak punya sesuatu untuk diceritakan. Sudah hampir empat bulan berlalu dan dia belum bertemu satu pria untuk sekadar diajak makan malam.
Awalnya Ashley hanya mendengarkan, sambil menyantap kukis cokelat Kate dengan klaim dibuat sendiri. Namun, ketika nama atasannya dibawa-bawa, Ashley kembali membayangkan wajah cantik yang membekas di kepalanya. Tanpa maksud merendahkan penampilan, kalau dibandingkan dengan Kate, wanita itu jauh lebih unggul. Bahunya lurus, baju apa pun mungkin akan sangat bagus untuknya.
Ashley mungkin tidak akan terlalu memikirkannya andai Kate tidak mengakui ketertarikannya dan keinginannya untuk mengencani seorang Dominick. Lantas kalau Dominick tidak jadi melanjutkan proses pendekatan mereka karena kehadiran wanita lain yang levelnya jauh lebih unggul, bagaimana perasaan Kate? Mungkin sejak awal Ashley sudah mencegah mereka menjadi lebih dekat. Keraguan yang dia rasakan di awal ketika Dominick mengakui ketertarikannya.
Kenapa juga Ashley harus mengkhawatirkan orang lain ketika dirinya sendiri belum bertemu satu orang pun? Hari ini wanita itu bahkan bercerita tentang pria lain. Semudah itu Kate bertemu seseorang. Ashley merasa begitu bodoh.
"Hei, apa tidak ada yang mau kau katakan?"
Melissa mungkin hobi sekali menyenggol lengan orang lain yang sedang minum. Kali ini Ashley adalah korbannya. Anggur yang sedang diminumnya jadi tumpah ke pangkuannya. Andai minuman anggur itu masih ada di dalam mulutnya, Ashley pasti akan menyemburkannya pada Melissa.
"Masih menyimak. Tapi apa harus menyenggolku begitu?" Ashley meraih beberapa lembar tisu untuk mengelap kakinya yang basah.
"Menyimak sampai tatapanmu kosong? Kami sudah memanggilmu tapi tidak ada respons." Melissa protes, lalu menyusul mengambil tisu juga untuk membantu Ashley.
"Bagaimana cerita liburanmu ke rumah Dominick, Ash?"
Gerakan tangan Ashley terhenti sebentar, dia tidak ingat pernah memberi tahu kepergiannya pada wanita itu, tetapi kemudian ingat kalau Melissa pernah mengatakan tentang itu di grup mereka. Namun, kenapa harus disebut liburan?
"Itu bukan liburan." Pertama-tama, Ashley akan mengklarifikasi terlebih dahulu agar wanita itu tidak berpikiran yang aneh-aneh tentang mereka.
"Tapi kita bicara tentang kepergianmu mengunjungi neneknya." Kate yang tengkurap lantas bertopang dagu. Wajahnya yang semringah menunjukkan antusias untuk mendengarkan lebih banyak. Namun, Ashley bisa merasakan ada kekhawatiran di matanya."Kau tidak diminta mengurus neneknya, 'kan?"
Ashley menggeleng sembari menggumpal tisu bekas mengelap minuman tumpah tadi. Dia mulai merasa kesal karena tampaknya Kate mulai mempertanyakan hubungan Ashley dengan Dominick, seperti yang orang lain lakukan. Akan tetapi, sikap Kate seperti pasti ada alasannya. Akan sulit urusannya kalau persahabatan mereka berantakan hanya karena seorang pria.
"Itu hanya kunjungan ramah tamah, tidak ada yang spesial. Aku bahkan masih mengerjakan pekerjaan kantor di sana." Kalau reaksi Kate akan berujung tidak menyenangkan, maka Ashley tidak akan bercerita lebih banyak tentang interaksi mereka.
"Serius? Apa dia tidak berpikir kau akan kelelahan?" Reaksi itu didapat dari Melissa.
"Pria seperti dia tidak akan peduli tentang itu, Mels." Setelah dari Melissa, Ashley beralih menatap Kate lagi. "Apa kau mengkhawatirkan sesuatu, Kate? Kami tidak akan pernah memiliki hubungan seperti itu."
"Aku tahu. Aku hanya ... penasaran?"
Ashley mengernyit. Tidak biasanya Kate bersikap seperti itu dan rasanya benar-benar aneh. Apa memang seperti itu kalau Kate sedang tertarik dengan seseorang? Ashley tidak pernah memperhatikan dengan baik selama ini. Yang dia tahu, para pria mengejarnya, lalu mereka berkencan. Tidak pernah dia melihat Kate yang berusaha.
"Intinya, tidak ada yang terjadi. Hanya minum teh bersama dan mengobrol santai. Malamnya memeriksa dokumen seratus halaman. Ada lagi yang membuatmu penasaran? Kalau perlu, aku akan minta Dominick mengajakmu kalau tiba waktu kunjungannya lagi. Bagaimana? Kau siap diperkenalkan meski belum dekat?"
Ashley mungkin bicara terlalu cepat sampai napasnya tersengal. Atau mungkin rasa kesal yang bercokol di dada yang membuatnya jadi seperti itu. Dia hanya berharap nada bicaranya tadi tidak terdengar seperti ingin menciptakan permusuhan di antara mereka. Namun, tidak kunjung ada reaksi dari Kate atau Melissa yang biasa bertugas meluruskan hal-hal merepotkan di antara mereka.
"Uh, maaf. Itu, aku tidak sedang emosi, hanya ... kupikir kau juga sedang menilaiku seperti orang-orang di luar sana, Kate."
"Begini, Ash, Kate seperti itu karena drama romansa kantor yang dia tonton belakangan ini. Jadi, entahlah. Dia mulai berpikir akan lebih terbuka dengan Dominick."
Ashley menuang anggur lagi ke gelasnya sembari mendengarkan Melissa bicara. Dia senang-senang saja membantu mendekatkan mereka sebetulnya, asalkan Kate tidak sepenuhnya menaruh beban itu di pundaknya. Dia tidak bisa menjamin itu berhasil, apalagi ketika tahu Dominick juga bertemu wanita lain.
"Bagaimana kalau tidak berhasil, Kate? Aku ... tidak tahu apa Dominick juga dekat dengan wanita lain di luar sana. Tidak semua hal dibicarakan denganku."
Kate mendengkus dan mengedikkan bahu. "Kita bisa mencari lagi. Aku juga tidak berharap banyak, tapi rasanya yang seperti Dominick harus dicoba."
Kata 'dicoba' sebetulnya agak kurang pantas didengar. Terlebih lagi, mereka sedang membicarakan seorang Dominick McCade. Namun, Ashley tidak akan membahasnya kali ini. Lagi pula, seperti itulah Kate yang dia kenal.
Perhatian Ashley dan Kate tiba-tiba teralihkan karena Melissa yang mendengkus agak keras.
"Yang tadi itu menegangkan, sungguh. Tapi, Ash, kami belum mendengar tentang perkembanganmu untuk taruhan itu."
Pada akhirnya topik itu lagi yang harus dibicarakan. "Tolong bersabar sedikit lagi."
"Sudah kubilang kencan saja dengan tetanggamu." Melissa meninju pelan lengan Ashley karena merasa gemas.
"Kenapa harus dia?" Dan Ashley mengembalikan tinju itu.
"Karena ... kenapa tidak?" Kali ini Kate yang bicara. Ashley memicing, mereka pasti sekongkol kali ini. Karena Kate saja belum diperkenalkan dengan benar pada Jeremy.
"Mungkin kalau aku sudah frustrasi dan tidak kunjung bertemu seseorang, aku akan mencobanya."
"Sekarang belum frustrasi?" Melissa menggodanya.
Dan Ashley langsung melempar bantal sofa pada Melissa.
•••
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
22 Juli 2024 (waktu WITA)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top