28 - Getting Closer

Makan malam bersama keluarga McCade berakhir sepuluh menit lalu. Itu merupakan saat yang menyenangkan karena Nyonya McCade banyak melontarkan cerita lucu masa kecil Dominick. Di momen itu Ashley seperti sedang mengenali lebih dalam bagaimana sosok Dominick, termasuk bagaimana pria itu memiliki kebiasaan yang cukup unik. Nyonya McCade begitu bersemangat menceritakan tentang cucunya, tidak sedikit pun menyembunyikan rasa bangganya.

Biasanya orang-orang akan protes ketika masa kecilnya dibicarakan terlalu banyak, tetapi tidak dengan Dominick. Pria itu membiarkan sang nenek berceloteh banyak sambil tetap menikmati makan malamnya. Ashley pikir Dominick mungkin sudah terbiasa dengan kebiasaan Nyonya McCade hingga tidak lagi protes. Lagi pula, wanita berusia senja itu merasa senang, Dominick mungkin tidak ingin merusak momennya.

Setelah membantu Helen mencuci piring, Ashley bermaksud kembali ke kamar sementaranya karena tidak ada hal lain yang dilakukan. Namun, rasa penasarannya terpantik ketika melewati ruang baca. Dia ingin melihat-lihat buku yang ada di sana. Penataannya di setiap rak sangat rapi dan cantik. Setiap warna dikumpulkan di satu area, sehingga memanjakan mata sekali ketika melihatnya.

Nyonya McCade pergi ke kamarnya untuk beristirahat dengan diantar Dominick. Berhubung hanya ada Helen di dapur, jadi Ashley meminta izin padanya.

"Apa Nyonya McCade keberatan kalau aku melihat-lihat buku? Aku terus melewatinya dan penasaran karena bukunya sangat banyak."

Helen sempat mengernyit sebentar, sementara Ashley sudah menganggap itu sebagai tanda larangan. Dia bisa memaklumi, Nyonya McCade mungkin khawatir buku-buku yang sudah ditata dengan rapi akan kembali berantakan. Meski sudah dikembalikan lagi ke tempatnya, terkadang tidak akan sama rapi seperti ketika diletakkan oleh pemilik sebenarnya.

"Aku tidak akan menyentuhnya, Helen, hanya melihat-lihat judulnya. Tapi kalau memang tidak boleh, tidak apa-apa, aku akan langsung ke kamar." Sebelum mendengar larangan, Ashley buru-buru menyela lagi.

"Bukan begitu. Aku berpikir akan menemanimu, biar aku yang merapikannya setelah kau membaca. Tapi aku tidak bisa karena harus pergi dengan suamiku malam ini. Tidak apa-apa kalau sendirian?"

Ashley merasa lega. Dia hampir menyesal melontarkan pertanyaan tadi dan berpikir Helen mungkin menganggap dirinya sangat tidak tahu diri karena berusaha merasuk ke dalam keluarga McCade terlalu banyak. Untung kenyataannya tidak seperti itu.

"Terima kasih, Helen. Aku berjanji hanya melihat-lihat. Semoga kencan kalian menyenangkan."

Ashley melambaikan tangan sembari berjalan meninggalkan Helen di dapur. Setibanya di ruang baca, Ashley menghampiri rak berisi buku-buku bersampul warna pastel. Meski sudah tua, tetapi Nyonya McCade tidak hanya membaca tulisan-tulisan dari penulis lawas. Dia juga mengoleksi novel terbaru. Mungkin itu sebabnya Nyonya McCade tidak kolot, seperti yang Dominick katakan, wanita itu berpikiran terbuka dengan masa kini.

Rak lainnya Ashley datangi. Tidak hanya penuh dengan buku-buku, beberapa di antaranya diberi sekat pot tanaman kecil atau foto-foto berpigura kecil dengan pewarnaan hitam putih. Ada satu yang menarik perhatian Ashley, yaitu foto kelulusan Dominick. Di foto itu Dominick duduk di kursi sementara kakek dan neneknya berdiri di belakangnya. Uniknya, meski merayakan kelulusan, tetapi wajah pria tampan itu sama sekali tidak tersenyum. Padahal dua orang tua di belakangnya tampak semringah.

Lagi pula, tanpa tersenyum pun pria itu sudah sangat tampan. Dominick mungkin sadar senyumnya menawan dan menjadikannya sebagai senjata untuk memikat lawan jenis. Sungguh tidak adil. Ashley jadi tersenyum sendiri ketika teringat ada satu kali seorang CEO wanita yang langsung menyetujui pengajuan kerja sama hanya karena melihat Dominick tersenyum. Ashley bisa mengerti apa yang dirasakan wanita itu, karena dulu pun dia pernah terpesona padanya.

"Nicky kami jarang bercerita, biasanya dia mengungkapkan perasaannya melalui gambar."

Buku sketsa yang pernah Ashley lihat di ruangannya waktu itu, mungkin lebih dari sekadar coretan asal. Untuk sekadar mengisi waktu luang, gambar itu sebetulnya sangat bagus, sampai-sampai ada yang bisa dijadikan motif kain untuk jasnya. Siapa yang mengira pria kaku seperti Dominick ternyata juga seseorang yang menyukai keindahan. Namun, perasaan seperti apa yang sedang pria itu tuangkan saat menggambarnya?

Sebuah buku bersampul kulit berwarna cokelat muda tanpa tulisan apa pun di bagian sisinya menarik perhatian Ashley. Selain buku yang itu, dia bisa memeriksa judulnya tanpa harus memeriksa kover bukunya. Ketiadaan tulisan judul di buku itu lantas membuat Ashley penasaran.

Kejadian malam kemarin seperti terulang kembali. Tangan Ashley sudah menarik bagian atas buku untuk diturunkan, tetapi ada tangan lagi yang membungkus tangannya, menahan agar buku itu tidak bisa diambil. Bentuk tangan yang seperti itu, milik siapa lagi kalau bukan Dominick McCade, sang atasan. Ada apa dengan pria itu akhir-akhir ini, kenapa suka sekali menyentuhnya?

Ashley yang semula setengah berjongkok--mengingat buku tadi posisinya berada di bawah--bermaksud ingin menegakkan badan lagi, tetapi puncak kepalanya justru membentur sesuatu yang keras.

"Astaga! Maafkan aku, Bos." Ashley langsung berbalik untuk memastikan apakah pria itu baik-baik saja. Kalau puncak kepalanya saja terasa sakit, dagu Dominick yang dibenturnya tadi juga pasti akan merasakan hal yang sama, begitu yang Ashley pikirkan. "Kau membuatku kaget. Apa ini sakit?" Karena panik, Ashley tidak sadar sudah meraih rahang Dominick dan melihat lebih dekat bagian dagunya. Dia memperlakukan pria itu seperti anak kecil.

Ashley menatap mata pria itu karena tidak ada reaksi sama sekali. Terus seperti itu untuk beberapa saat. Tatapan Dominick seakan-akan menyedotnya hingga tidak mampu berkedip. Lama-kelamaan Ashley menyadari ke mana tangan miliknya meraba-raba sejak tadi. Wajah Dominick adalah bagian tubuh yang pantang disentuh oleh orang lain kecuali dalam kondisi tertentu. Ashley akan menganggap kejadian tadi adalah salah satunya, tetapi Dominick tentu memiliki pandangan yang berbeda tentang itu.

"Belum puas?"

Tangan Ashley spontan turun dan terkepal di kedua sisi tubuh. Dia mundur pelan-pelan hingga punggungnya menabrak rak buku. "Aku ... tidak sengaja, Bos. Benturannya sangat keras, aku tidak bisa memikirkan apa-apa selain memeriksanya, barangkali patah. Tidak, maksudku, siapa tahu itu menyisakan lebam, atau lidahmu terjepit di antara gigi mungkin?"

Dominick hanya menelengkan kepala tanpa mengalihkan pandangan dari Ashley sedikit pun. "Kau makin berani menyentuhku sekarang." Alih-alih marah, Dominick justru bicara dengan tenang. Akan tetapi, Ashley yang justru tidak merasa tenang. Emosi pria itu terlalu stabil selama di sini.

"Sudah kubilang itu tidak sengaja, Bos." Ashley menahan geram dalam kerongkongannya. Siapa yang menyentuh siapa? Ashley ingin sekali protes bahwa pria itulah yang lebih dulu menyentuh hingga membuatnya terkejut. "Lagi pula kenapa berdiri sangat dekat dan membungkuk di atas kepalaku? Aku, kan, tidak tahu."

Tatapan Dominick lantas tertuju pada buku bersampul cokelat yang posisinya sejajar dengan lutut Ashley. Ashley jadi makin penasaran karena pria itu menatap agak lama di sana. Pasti buku itu bukan sesuatu yang biasa, bukan?

"Kemasi barangku, kita pulang besok pagi."

Ashley sudah menunggu pria itu mengatakan sesuatu tentang buku tersebut, mungkin seperti sebuah larangan atau sesuatu yang menyatakan bahwa buku itu tidak seharusnya berada di sana. Namun, dia justru melengos pergi setelah memberi perintah seperti itu.

"Besok pagi? Kenapa? Kukira kau masih ingin lama-lama bersama Nyonya McCade" Di belakang Dominick, Ashley bertanya. Dia mengekor pria itu sampai ke kamarnya.

"Kau akan tahu terlalu banyak kalau berlama-lama di sini."

Yah, itu tidak salah. Nyonya McCade memang terlalu bersemangat membagikan kisah tentang Dominick, seakan-akan dia sudah menyiapkannya sejak lama dan menunggu seseorang datang untuk diceritakan. Ashley juga tidak mempermasalahkannya. Tahu lebih banyak tentang Dominick akan membuatnya lebih mengerti pria itu dan lebih berhati-hati lagi ke depannya saat bekerja.

"Nenekmu yang begitu bersemangat, Bos."

Tanpa menunggu instruksi tambahan, Ashley menuju kasur Dominick sementara pria itu menduduki sofa. Barang bawaan Dominick semuanya sudah ditumpuk rapi di atas kasur, hanya tinggal dimasukkan ke koper. Sisi baik memiliki bos yang cinta kerapian seperti Dominick adalah pekerjaan yang seharusnya merepotkan menjadi lebih mudah.

Namun, pria itu juga kerap membuat hal sederhana menjadi lebih rumit.

Sambil mengepak barang-barang Dominick, Ashley sesekali menatap pria itu sekadar memeriksa apa yang dia lakukan. Ini akhir pekan dan Dominick sedang sibuk bekerja. Laptop di pangkuannya adalah laptop yang terhubung dengan dokumen kantor. Di meja depan sofa yang Dominick duduki terdapat beberapa buah buku tebal tentang bisnis. Ashley sungguh mengagumi pria itu yang masih belajar meski bisa dibilang sudah sangat sukses.

"Bos, barang yang di kasur sudah kumasukkan ke koper, ada lagi?"

Pakaian dan perlengkapan Dominick tidak cukup untuk mengisi koper berukuran dua puluh inci, bahkan setelah Ashley menatanya, masih ada hampir empat puluh persen ruang tersisa.

Dominick menunjuk buku-buku di atas meja. "Masukkan yang ini juga."

Ashley beranjak menuju meja dan mengangkat buku-buku tebal itu untuk dimasukkan koper. Perhatiannya lantas teralihkan pada sebuah buku bersampul kulit seperti yang dia temukan di rak, tetapi berwarna biru malam. Posisinya juga di atas meja, tetapi lebih dekat dengan kaki Dominick. Di tengah-tengah buku terselip sesuatu, entah itu pena atau pensil, yang berarti Dominick baru saja mengisi sesuatu di sana.

"Apa yang itu perlu dimasukkan juga?" Ashley menunjuk buku bersampul kulit itu.

"Tidak. Aku akan menyimpannya sendiri nanti."

Ashley mengangguk. Berarti itu buku yang tidak bisa disentuh oleh sembarang orang. Dan mungkin yang bersampul cokelat tadi juga. Dia pernah melihat buku berwarna biru malam beberapa kali di atas meja kantor Dominick, tetapi tidak pernah tahu di mana pria itu menyimpannya di mana.

Sambil menekan rasa penasarannya, Ashley membawa tiga buku terakhir untuk dimasukkan ke koper sebelum menutupnya.

"Setelah ini periksa emailmu, aku perlu kau merapikan dokumen."

Astaga. Ini akan menjadi masalah. Ashley membeku di tempatnya berdiri. Mana sempat dia mengira kalau liburan ini akan bekerja juga. Dengan koper minimalis yang hanya mampu menampung keperluannya selama dua hari, mana mungkin dia bisa menyelipkan iPad atau laptop di sana. Di tas selempangnya yang kecil juga sudah penuh dengan produk perawatan, dompet, dan ponselnya. Email itu terhubung ke ponselnya, tetapi tidak mungkin merapikan dokumen lewat ponsel karena fitur aplikasinya sangat terbatas.

"Maaf, aku tidak membawa laptop atau iPad-ku, Bos. Aku meninggalkannya di ruanganku."

"Hanya karena kita pergi ke rumah nenekku bukan berarti kau boleh mengabaikan tugas pokokmu, Harper. Lima tahun bekerja denganku, apa masih harus kuarahkan ini dan itu? Pekerjaan ini membutuhkan perhatian sepanjang waktu. Kita bukan penyedia layanan pemerintah yang memiliki waktu libur dan bisa menundanya sampai hari kerja. Sebuah program berjalan sepanjang waktu selagi terhubung dengan internet, kau tahu itulah risiko bekerja di perusahaan pengembang program. Keteledoran seperti ini tidak bisa kutoleransi, Harper. Kau terlalu bersenang-senang di sini."

Ke mana pria yang tadi siang bertutur lembut sampai memperhatikan luka di kakinya?

Ashley hanya menunduk ketika pria itu meluapkan emosinya. Melontarkan pembelaan bahwa ini merupakan akhir pekan dan bukan perjalanan dinas hanya akan menjadi bahan bakar kemarahan pria itu. Sebanyak apa pun peraturan dalam pekerjaannya, tetap peraturan nomor satu adalah yang paling kuat; bosmu selalu benar.

"Aku membutuhkan dokumennya malam ini agar besok bisa langsung dikerjakan. Hari Senin akan ada pertemuan jam sembilan untuk membahas hasilnya. Kau tidak melupakan itu, 'kan?"

Ashley menggeleng. Dia yang mengatur jadwal itu untuk Dominick, tentu saja dia ingat. Kalau pria itu membahas agenda yang akan datang dua minggu lagi, maka Ashley harus membuka catatannya.

Dominick meletakkan laptopnya ke atas meja dan berjalan menuju tas jinjing yang ada di meja rias. Ashley masih diam memperhatikan sambil berencana setelah ini mungkin akan bertanya pada Helen barangkali ada laptop yang tidak terpakai di rumah ini. Namun, tidak jadi karena pria itu kemudian menyodorkan iPad disertai kibornya. Tentu saja, Dominick juga pria yang penuh persiapan, Ashley hampir lupa.

"Lain kali bawa laptopmu ke mana pun kita pergi. Aku tidak peduli kau sedang mandi atau tidur sekalipun, kalau aku meminta, harus kau kerjakan saat itu juga."

"Terima kasih, Bos, aku akan langsung mengerjakannya." Ashley membawa iPad itu menuju pintu, tetapi Dominick justru menarik lengan piamanya.

"Ke mana?"

"Kamar. Kan, harus mengerjakan yang kau minta."

"Kerjakan denganku di sini."

Ashley melihat-lihat sekitarnya. Ke mana dia akan duduk? Hanya ada satu sofa untuk dua orang di sana, tetapi sudah dikuasai oleh Dominick tadi. Karpet di bawah meja pun berukuran kecil, tidak cukup untuk alas duduk. Duduk di lantai juga dingin, apalagi panjang celananya hanya di atas lutut. Kasur Dominick? Lebih tidak mungkin lagi.

Akan mudah kalau Dominick tidak keberatan berbagi sofa itu dengannya. Namun, Ashley ingin mengerjakannya sambil duduk bersila dan itu membutuhkan lebih banyak ruang. Kakinya bisa saja akan menindih paha Dominick. Duduk tegak lurus seperti yang dilakukan Dominick hanya akan membuat otot-ototnya kaku.

"Boleh kuambil selimut dulu?"

"Untuk apa?"

Ashley mengusap tengkuk karena rambut-rambut halusnya berdiri. "Untuk alas duduk," sahutnya sembari menunjuk lantai di dekat meja.

Wajah Dominick makin tidak terlihat bersahabat ketika dahinya berkerut. "Kau sudah memelukku tadi siang, ada apa dengan duduk bersebelahan?"

Kenapa dia mengungkit tentang itu? Itu adalah situasi di mana Ashley tidak berdaya. Tadi bahkan dia sudah meminta ditinggal saja kalau Dominick ingin buru-buru kembali. Kondisi lemasnya hanya membutuhkan waktu untuk beristirahat sampai energinya kembali.

"Itu hanya berpegangan, Bos." 

Saat Dominick marah, beri saja waktu untuk meluapkannya, setelah itu dia akan melupakannya. Orang yang terlalu mengambil hati kemarahan pria itu tidak akan bertahan lama di bawahnya. Mungkin itu sebabnya asisten-asisten terdahulu tidak tahan. Lihat, Dominick bahkan sudah tidak lagi membahas tentang keteledoran Ashley.

"Dadamu menempel erat di punggungku, Harper. Aku merasakannya dengan jelas. Tidak seperti itu yang namanya berpegangan."

Gara-gara membicarakan dadanya, Ashley jadi memeluk iPad milik Dominick, seperti sedang menutupi asetnya. Ashley membuang muka ketika pria itu kembali menatapnya setelah mengempaskan tubuh kembali di sofa. Berada di rumah Nyonya McCade memunculkan sisi Dominick yang menyebalkan.

"Apa lagi yang kau tunggu? Dokumennya harus segera dikirim." Dominick menepuk sisi sofa yang kosong di sebelahnya, mengisyaratkan agar Ashley segera menyusul.

•••

Dominick sedang membaca revisi akhir dokumen persetujuan program yang selesai dirapikan Ashley ketika kepala wanita itu mendarat di lengannya. Itu adalah kali kedua setelah dagunya; interaksi fisik yang tidak bisa dihindari. Ashley tertidur dan sekarang bersandar di lengannya. Gara-gara itu, Dominick baru sadar bahwa waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Wajar saja kalau wanita itu sampai tertidur.

Dominick sering mendengar bahwa dirinya adalah pimpinan yang keras, tidak punya hati, kaku, atau hal-hal lain yang merujuk pada kekejaman seorang pimpinan terhadap karyawan. Apa gunanya menahan emosi ketika kesalahan karyawan ada di depan mata. Menahan diri demi menjaga imej pimpinan yang lemah lembut untuk mengurangi risiko pergantian asisten adalah hal sia-sia. Tidak semua orang bisa bertahan lama tanpa melibatkan perasaan. Sekarang Dominick bersyukur bahwa Ashley Harper-lah yang berhasil bertahan.

Ashley menerima semua keluhan, protes, luapan emosi, tetapi tidak berpikir untuk mundur. Apa pun alasan yang memotivasinya tetap bekerja dengannya, Dominick tidak peduli. Itu artinya julukan yang selama ini diberikan orang-orang tidak sepenuhnya benar.

"Saya berencana berhenti bekerja setelah saya menikah."

Bohong kalau Dominick tidak terusik setelah mendengar ucapan Ashley tersebut. Membayangkan bukan Ashley lagi yang menjadi asistennya saja Dominick tidak sanggup. Tidak mudah mengajari orang lain dari awal untuk mengerti kebiasaan dan kebutuhannya. Belum lagi adanya kesalahan-kesalahan kecil yang tidak bisa dimaklumi. Satu lagi, dia akan kehilangan kopi dengan campuran wiski favoritnya jika Ashley berhenti.

Seandainya Ashley sudah memikirkan rencana seperti itu, berarti sudah ada seseorang di sisinya. Dominick lantas penasaran pria seperti apa yang berhasil dicuri hatinya oleh wanita yang menghabiskan waktunya dengan bekerja.

Cukup lama Dominick menatap wajah di sampingnya. Dia juga tidak ada niat untuk membangunkan Ashley dan memintanya kembali ke kamar. Wajah itu makin terlihat cantik seiring bertambah usianya, keinginan untuk menggambarnya pun terus muncul. Yang dia lihat sekarang tidak jauh berbeda dari wajah yang biasa dia temui di kantor. Perbedaannya hanya pada warna bibir yang lebih pucat karena tidak dipoles lipstik.

Dominick masih ingin menatap wajah Ashley, tetapi diinterupsi oleh ketukan di pintu. Siapa memangnya yang akan mengganggu di jam-jam sekarang ini?

"Ya, masuk saja."

Ketika pintu terbuka, Helen muncul dengan sebuah ponsel di tangan. Saat menemukan Dominick tidak sendirian di kamar itu, dia sempat terkejut sebentar.

"Bibi Singh, ada apa?"

"Ternyata dia di sini. Ponsel Ashley tertinggal di ruang baca. Aku baru kembali setelah pergi dengan suamiku dan mendengar benda ini berdering. Kamarnya kosong, kukira dia pergi ke suatu tempat." Helen berkata dengan pelan dan berjalan memasuki kamar Dominick setelah pria itu memberi isyarat.

"Siapa yang meneleponnya dini hari?"

"Kontaknya bertuliskan tetangga. Kupikir itu cukup penting, siapa tahu terjadi sesuatu di rumahnya?"

Tetangga? Sedekat apa hubungan antar tetangga ketika yang Ashley tempati adalah sebuah apartemen yang tidak ramah. Orang yang menempati pintu di seberangnya tidak akan tahu kapan Ashley ada di rumah atau tidak.

Mungkin bukan tetangga di tempat tinggalnya sekarang.

"Terima kasih, Bibi Singh."

Dominick pikir Helen akan langsung pergi, tetapi wanita itu justru menatap Ashley. "Lehernya akan sakit kalau tidur seperti itu terus. Nanti pindahkan dia, atau bangunkan sebentar untuk kembali ke kamarnya."

Selain Nyonya McCade, Helen adalah orang lain yang berani memberi arahan dan Dominick akan menurutinya. Helen bukan hanya mengurus neneknya, tetapi dulu juga membantu mengurus Dominick saat masih remaja, bahkan lebih intens lagi setelah orang tuanya meninggal.

"Dia baru tertidur sepuluh menit lalu, kurasa. Aku membiarkannya karena kami baru selesai mengerjakan urusan kantor."

"Kau membuatnya bekerja di hari libur? Kejam sekali." Bahkan Helen juga menyebutnya seperti itu, meski nada bicaranya terdengar bercanda. "Aku akan kembali ke kamarku, selamat malam."

"Ya, selamat malam, Bibi Singh."

Memindahkan Ashley, ya? Kalau dia menurunkan sedikit bahunya, Ashley akan bersandar lebih nyaman. Namun, apa gunanya menahan wanita itu di dekatnya lama-lama? Pekerjaannya sudah selesai, sesuai rencana, Dominick juga sudah mengirimkannya. Sejak kejadian tadi siang, dia tidak lagi bisa berpikir jernih ketika Ashley berada di dekatnya.

Masih jelas di ingatan Dominick ketika dada Ashley menempel erat di punggungnya. Wajar bagi seorang pria jika merasa takjub, 'kan? Tanpa melihat dan menyentuh dengan tangannya sendiri pun, dia bisa merasakan kalau Ashley punya tubuh yang bagus. Tidak peduli sesibuk apa pekerjaannya, wanita itu masih bisa mengurus dirinya sendiri.

Sekali lagi, Dominick mempertanyakan bagaimana wanita itu menyembunyikan keindahannya selama ini? Kalau insiden seperti itu akan terjadi lagi di masa depan, Dominick mungkin akan benar-benar meledak.

Ponsel Ashley berdering lagi. Kontak yang sama seperti yang disebutkan Helen tadi yang memanggil. Ada perlu apa sampai tetangga menelepon di waktu sekarang? Perbedaan waktukah?

Tunggu, pesan yang Dominick baca saat di mobil juga dari kontak yang disimpan dengan nama yang sama. Itu sebabnya dia baru mengetahui namanya Jeremy ketika Ashley menyebutkannya. Dia baru mengingatnya sekarang.

Dominick lantas menerima telepon tersebut, ingin tahu ada keperluan apa sampai mengusik asistennya di jam yang tidak wajar.

"Halo." Datar sekali untuk seseorang yang sedang menerima telepon.

Dominick menunggu beberapa saat sampai orang di seberang sana merespons. "Bisa berikan ponsel ini pada pemiliknya?"

"Bisa. Tapi dia tertidur karena kelelahan. Ada pesan?"

Lagi, pria di seberang membuatnya menunggu. "Tolong sampaikan untuk membaca pesanku saat dia bangun. Terima kasih."

Sambungan telepon kemudian diakhiri secara sepihak. Tidak ada yang pernah melakukan itu pada Dominick dan sekarang itu membuatnya kesal. Kekesalannya lantas dilampiaskan pada ponsel Ashley yang diletakkan ke atas meja dengan agak membantingnya.

Mengirim pesan tanpa kenal waktu seperti itu, seperti apa hubungan mereka?

•••

:))

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
29 Juni 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top