26 - Horse Riding

Nyonya McCade yang membuat janji mengajak Ashley berkeliling kebun, tetapi wanita itu hanya mengantarnya sampai istal. Posisi istal bahkan tidak sampai setengah dari panjang kebun. Sekarang Ashley harus melanjutkannya bersama Dominick. Tidak ada lagi istilah menyenangkan dari aktivitas tersebut.

Nyonya McCade banyak bercerita tentang anggur, termasuk cita-cita suaminya yang ingin membangun kilang anggur. Sayangnya, sebelum cita-cita itu tercapai, pria itu sudah meninggal. Hingga sekarang Paman Singh ditugaskan untuk mengepalai beberapa orang pekerja kebun untuk mengurusnya. Kemudian hasil panen akan didistribusikan ke pengilangan anggur luar. Ashley mendengarkan semua hal yang diceritakan Nyonya McCade dengan rasa ketertarikan yang tinggi dan ada banyak pengetahuan tentang anggur yang didapat.

Bagaimana ketika dia melanjutkannya dengan Dominick? Apakah akan sama menariknya seperti bersama neneknya? Pria itu bahkan lebih peduli dengan kuda ketimbang menyambut mereka yang baru tiba di istal. Cara pria itu memperlakukan kudanya jelas menunjukkan bahwa dia menyayanginya. Sangat berbanding terbalik dengan Ashley yang makin lama melihat kuda itu jadi merasa tanah pijakannya mulai bergoyang. Sejak tadi Nyonya McCade yang memegangi tangannya, sekarang menjadi Ashley yang berpegangan erat.

"Ada apa, Ashley?" Nyonya McCade bertanya dengan rasa khawatir.

"Ah, tidak apa-apa, Nyonya. Hanya pusing sedikit."

"Nyonya, Anda kedatangan tamu dari jauh. Jane meneleponku, dia sedang menunggu Anda di ruang tamu." Helen menyela ketika Nyonya McCade ingin mengatakan sesuatu.

"Tunggu sebentar."

Ashley merasa wajah berpikir Nyonya McCade sangat lucu.

"Oh, benar! Dia temanku saat sekolah menengah dulu. Aku lupa dia ingin datang berkunjung hari ini. Aku benar-benar terlalu tua." Nyonya McCade melepaskan tangan Ashley dan beralih menyentuh punggungnya. "Maaf, Ashley, aku tidak bisa ikut berkeliling, lanjutkan dengan Dominick, ya. Di sana ada sungai dengan pemandangan yang cantik, kau harus melihatnya. Jangan lupa tunjukkan fotonya padaku nanti."

Senyum Nyonya McCade yang tulus membuat Ashley tidak lagi bisa menolak. Bahkan ketika Nyonya McCade kembali bersama Helen, dia baru sadar kalau sebenarnya bisa saja kabur dan beralasan ponselnya mati hingga tidak bisa mengambil foto. Namun, itu tidak mungkin ketika Dominick sudah siap ingin menaiki kudanya dan pria berkumis yang merupakan suami dari Helen sudah mengeluarkan satu kuda lagi yang berwarna cokelat. Kuda milik Dominick berwarna hitam.

"Nona Harper bisa menaiki kuda yang ini."

Paman Singh, Ashley turut memanggilnya seperti itu berhubung mereka belum saling berkenalan dengan benar, membawa kuda itu menjadi lebih dekat dengannya. Ashley secara refleks mundur beberapa langkah. Gelagatnya itu lantas disadari oleh Dominick.

"Kau takut kuda?"

Ketika Ashley mengalihkan pandangan dari kuda, dia menemukan Dominick sudah menunggangi kuda. Tangannya juga sudah memegangi tali kendali. Hanya tinggal menariknya untuk membuat kuda itu mulai berjalan.

"Tidak. Aku hanya tidak bisa menunggangi kuda." Ashley yakin meski menggunakan alasan itu, Dominick tidak akan berbaik hati menawarkan tumpangan untuknya. Berada di atas kuda dengan jarak tubuh satu sama lain yang terlalu dekat adalah sesuatu yang tidak disukai pria itu. "Boleh aku pakai itu saja? Aku akan mengiringi dengan itu."

Ashley menunjuk sebuah sepeda yang berada di samping bangunan istal. Sepeda itu tampaknya sudah lama berada di sana jika dilihat dari debu yang menyelimuti. Namun, Ashley tidak mempermasalahkannya.

"Nona Harper yakin? Itu terlihat tidak aman untuk--"

"Biarkan saja. Tolong bersihkan sepeda itu untuk dia pakai." Dominick menyela.

Wajah Paman Singh dipenuhi keraguan, tetapi Ashley mengangguk dengan mantap. Dia cukup jago bersepeda meski sepeda itu lebih cocok dipakai untuk laki-laki. Sampai kuliah pun Ashley masih sering bersepeda. Dia juga beberapa kali ikut kegiatan olahraga yang melibatkan aktivitas bersepeda. Dengan sepeda itu, dia akan mengelilingi kebun seperti keinginan Nyonya McCade.

Paman Singh mengambil seember air dan kain lap dari dalam istal dan mulai mengelap debu di sepeda tersebut. Selagi menunggu, Ashley hanya menyaksikan betapa gagahnya Dominick saat memacu kuda dalam jarak dekat. Pria itu akan pergi beberapa meter dan kembali lagi. Berbeda dari yang biasa Ashley lihat selama di kantor, hari ini Dominick mengenakan pakaian yang lebih santai; sweter rajut tebal abu tua dengan celana kain warna khaki.

"Nona Harper."

Ashley buru-buru mengalihkan pandang segera setelah Paman Singh memanggilnya. Dia tidak ingin kedapatan sedang memandang sang atasan.

"Sepeda ini sudah lama sekali tidak dipakai. Aku sudah memeriksanya, tidak ada kerusakan. Jadi, berhati-hatilah."

Ashley tersenyum pada pria berdarah India itu ketika mengambil alih sepeda. Paman Singh sempat menjalankannya sebentar tanpa ditunggangi untuk memeriksa kondisi sepeda tersebut sebelum memastikan tidak masalah kalau Ashley memakainya.

"Terima kasih banyak, Paman Singh."

Ashley menunggu Dominick kembali sebelum mengayuh sepeda. Dominick ditugaskan untuk menuntun Ashley berkeliling. Sebetulnya itu terdengar seperti kabar buruk karena Dominick mungkin memacu kudanya dengan cepat dan meninggalkan Ashley yang bersepeda jauh di belakang. Sayangnya, Ashley tidak bisa menolak lagi dan setuju saja mengiringi pria itu.

Dua puluh menit pertama, Dominick masih memacu kudanya dengan pelan. Ashley bisa bersepeda santai sambil melihat ke sekeliling. Meski sedang berada di kebun anggur, tetapi setiap beberapa meter akan ada pohon besar dan tempat duduk yang mungkin bertujuan sebagai tempat istirahat. Tempat itu sangat luas, ada sebuah jalan besar yang membagi kebun menjadi dua sisi. Terkadang Ashley akan melambai pada beberapa pekerja yang sedang mengurus kebun. Entah itu memupuk, atau mencabuti rumput di sekitar tanaman, atau hal lainnya.

Kegiatan itu cukup menenangkan, apalagi dengan pemandangan yang cantik. Sepertinya Ashley akan betah berlama-lama di sana. Sayangnya, karena harus mengikuti Dominick, Ashley tidak bisa mampir-mampir untuk beristirahat. Terlebih lagi, pria itu mulai menaikkan laju pacuannya. Lama-kelamaan, kaki Ashley mulai terasa penat, apalagi jalanannya mulai menanjak. Akhirnya Ashley menyerah dan berhenti sebentar, tidak peduli jika Dominick akan jauh meninggalkannya. Mungkin hanya perlu mengikuti jalan setapak untuk tiba di lokasi yang dikatakan Nyonya McCade tadi.

Seharusnya Ashley membawa minum, sebab napasnya mulai tersengal dan kerongkongannya terasa kering. Ini seperti olahraga kesiangan.

Ashley mengeluarkan ponsel dan mulai mengambil gambar di sekitarnya. Hampir semua sudut dia ambil gambar, kecuali wajahnya sendiri. Dia tidak hobi menyimpan gambarnya sendiri jika bukan orang lain yang mengambil gambar untuknya. Saat dia akan mengambil gambar pegunungan yang tampak di ujung jalan, sosok Dominick dengan kudanya masuk dalam sorotan kamera ponselnya. Pemandangan yang bagus, Ashley menekan tombol kamera dan segera menurunkan ponselnya lagi. Itu momen langka, kalau perlu uang, dia mungkin bisa menjualnya kepada wanita yang menggilai bosnya itu.

Tidak, itu adalah pemikiran yang konyol.

"Seburuk apa hubunganmu dengan kuda?"

Ashley tidak sadar kalau sudah menjauh sebelum Dominick berhenti tepat di pijakannya saat mengambil gambar tadi. Kuda itu tidak berbau, tetapi Ashley sudah pusing melihatnya.

"Tidak buruk. Kuda tidak melakukan kesalahan apa-apa."

Ashley menghindari picingan mata Dominick dengan mendongak memandang dedaunan dari pohon yang menaunginya saat ini. Pria itu pasti menginginkan jawaban yang lebih jelas untuk pertanyaannya. Namun, Ashley rasa itu bukan sesuatu yang perlu diketahui oleh sang atasan, sifatnya privasi.

"Kau menghindari kuda, jelas sesuatu pernah terjadi."

Tidak peduli jika Dominick benci seseorang tidak menatapnya ketika berbicara, Ashley tetap enggan menatap pria itu. Sebab ketika dia melihat kuda di bawahnya, rasa mual di perutnya akan bertambah parah.

"Kalaupun sesuatu terjadi, sama sekali bukan untuk kau ketahui, Bos." Ini bukan permainan jual mahal, tetapi lebih baik menjaga hubungan tetap profesional ketimbang membicarakan terlalu banyak masalah hidupnya.

"Apa kau selalu seperti ini? Tidak membiarkan orang lain tahu masalahmu dan berjuang sendirian ketika merasa kesulitan? Bagus kalau kau memang mampu mengatasinya seorang diri, tapi kau bahkan tidak bisa melihat kuda. Kau tahu bagaimana orang-orang membicarakanku, tetapi aku tidak akan membiarkanmu bersikap sesuka hatimu kalau semua itu benar."

Ashley menurunkan pandangan ke wajah Dominick dan dengan cepat beralih menatap tanah di bawah kakinya. Kuda itu cantik sebetulnya, dan itu membuat Ashley juga membenci dirinya karena memberi reaksi yang tidak wajar. Padahal apa yang kuda itu lakukan padanya? Tidak ada.

"Ketika aku masih kelas satu, aku pergi ke wahana bermain. Semuanya kucoba, termasuk komidi putar. Tapi saat aku menaiki kuda di komidi putar itu, mesinnya kehilangan kendali dan berputar sangat cepat. Aku berpegangan sangat erat pada tiang sambil menangis ketika anak-anak lain sudah jatuh terkapar di lantai. Seandainya langsung pingsan, aku akan merasa lebih baik. Sayangnya, saat itu aku merasakan mual luar biasa hingga memuntahkan seluruh isi perutku. Kupikir itu hanya kejadian buruk bagi anak kecil, tetapi perasaan itu menghantuiku sampai sekarang. Aku akan pusing dan mual meski hanya melihat kuda, Bos."

Karena tidak ada respons dari Dominick, Ashley mendongak hanya untuk tahu seperti apa reaksinya. Dia tidak menduga kalau pria itu hanya diam dengan kepala yang ditelengkan ke kanan. Lebih dari itu, sorot matanya kosong. Entah apa yang pria itu pikirkan.

"Bisa kumengerti, itu tidak bagus. Kau beruntung hari ini Grams tidak memaksa. Seharusnya kau beri tahu kami sebelum terjadi sesuatu yang buruk."

Respons Dominick sungguh di luar dugaan Ashley. Lebih wajar kalau pria itu hanya mendengkus dan setelahnya pergi. Akan tetapi, Ashley menyadari bahwa seorang Dominick McCade juga tidak akan setega itu. Cerita pengalaman seperti itu terkadang memang berhasil memantik rasa simpati orang lain, kali ini Dominick yang mengalaminya.

"Aku akan bercerita pada Nyonya McCade nanti, Bos. Terima kasih." Ashley tersenyum, berharap itu cukup untuk membuat atasannya berhenti menatapnya dengan rasa kasihan.

"Sudah terlambat." Kemudian tatapan Dominick tertuju pada sepeda tua yang terparkir di samping Ashley. "Kita tidak tahu sampai mana bisa bertahan."

Apa Dominick tidak ada niat untuk turun dari kuda dan duduk di atas batang kayu besar seperti Ashley saat ini? Ashley mempertanyakan itu sejak tadi, tetapi tidak berani menyuarakannya. Minimal dia tidak harus melihat kuda itu terus setiap matanya tertuju pada Dominick. Itu sungguh menyebalkan.

"Aku baik-baik saja bersepeda, Bos. Ini hanya istirahat sebentar karena kau terlalu cepat memacu kuda itu."

"Namanya Luna, kuda ini betina." Tangan Dominick mengusap puncak kepala kudanya ketika menyebutkan namanya. Kuda itu meringkik pelan dan memejamkan mata seakan-akan menikmati sentuhan Dominick. "Dan aku sedang membicarakan sepedanya, bukan kau."

Ashley menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. Tentu saja seperti itu, sepeda itu lebih memiliki arti dalam hidup Dominick ketimbang Ashley. Bodoh kalau berharap pria itu akan peduli.

"Sebetulnya, Bos, bukankah momen seperti ini bisa kau manfaatkan untuk menanyaiku tentang Kate? Kalau kau memang tertarik padanya. Dulu mereka seperti itu--maksudku, biasanya orang-orang akan mencari informasi melalui teman atau kerabat dekat dari orang yang disukainya." Hampir saja Ashley menceritakan sesuatu yang tidak penting lagi.

Dominick mungkin punya cara sendiri untuk mendekati orang lain, tetapi Ashley justru merasa aneh ketika pria yang dikenalnya mendekati Kate tanpa bertanya-tanya. Memang awalnya Ashley berpura-pura tidak mengenal Kate, tetapi pria itu sudah tahu bahwa mereka teman dekat. Mudah saja jika pria itu ingin memeras informasi dari Ashley, tetapi sampai saat ini dia tidak melakukannya.

"Aku cenderung fokus dengan apa yang ada di depanku. Daripada mengorek informasi tidak berguna, aku lebih suka bertanya langsung pada orangnya. Istirahatmu sudah cukup? Ayo lanjutkan."

Fokus dengan apa yang ada di depannya? Perhatian Ashley tertuju pada sepotong kalimat yang Dominick ucapkan tadi hingga tidak segera menyusul ketika pria itu sudah memacu kudanya lagi. Memang benar Dominick mempunyai kebiasaan bertanya tentang kolega kerja saat orang itu berada dalam jangkauan pandangannya, seperti ketika menghadiri acara besar. Dia tidak pernah bertanya lebih dulu pada Ashley tentang tamu-tamu yang dia temui sebelum berada di venue acara.

"Aku mungkin akan salah paham kalau dia tidak sedang mendekati Kate." Ashley bicara sendiri sembari berjalan menuju sepeda. Dia akan tertinggal terlalu jauh kalau tidak segera menyusul Dominick.

Sepeda itu dituntunnya sebentar sampai ke jalan batako dan dan berjalan sedikit lagi sebelum menaikinya. Namun, ketika Ashley mulai menginjak pedalnya, terdengar suara yang membuat jantungnya berdebar makin kencang.

"Astaga ... ke mana aku harus membawa sepeda ini untuk diperbaiki?"

•••

Bertanya tentang Katherine Willow? Dominick sama sekali tidak pernah terpikirkan akan melakukan hal itu. Mencari tahu informasi yang sifatnya personal melalui orang lain bukanlah kebiasaannya. Seandainya tidak disinggung, Dominick tidak akan tahu kalau asistennya terbiasa ditanyai seperti itu. Bahkan sebetulnya dia juga tidak terpikirkan sedikit pun tentang wanita itu. Yang mengisi kepalanya hanya segera berkuda dan keinginan untuk tahu apa yang membuat Ashley enggan berkuda.

Dominick langsung mengerti dan bisa menerima apa yang dirasakan Ashley atas pengalaman tidak mengenakkan tentang kuda. Dia tahu betapa menyebalkan ketika perasaan seperti itu terus menghantui selama dirinya menua. Kebanyakan orang berkata bahwa waktu menyembuhkan, tetapi realitanya tidak seperti itu. Dominick sudah menghabiskan dua puluh tahun waktunya untuk itu, tetapi ketika hari itu tiba, dia terus diingatkan tentang bagaimana orang tuanya meninggalkan dirinya.

Dua sampai tiga tahun setelah kematian mereka, Dominick menolak bepergian dengan pesawat. Namun, sebagai seseorang yang sudah tumbuh dewasa, dia sadar bahwa kekhawatiran seperti itu harus disingkirkan. Terlebih lagi, jabatan Dominick saat ini mengharuskannya bepergian ke luar negeri. Siapa lagi yang akan melakukannya kalau bukan dirinya sendiri.

Dominick menghentikan laju kudanya sebentar, sekadar untuk memeriksa apakah asistennya masih mengikuti atau tidak. Sejak tadi mereka memang tidak banyak bicara, tetapi sepeda tua itu terkadang akan mengeluarkan suara-suara seperti ketika direm atau melewati permukaan yang tidak rata. Namun, sejak tadi Dominick tidak mendengar apa-apa. Dia sudah putar balik untuk menghampirinya tadi, tetapi sekarang dia tertinggal lagi. Yang pertama memang salahnya karena terlalu bersemangat, selanjutnya Dominick melajukannya dengan pelan, menyesuaikan laju wanita itu mengayuh sepedanya. Wanita itu bahkan tidak tampak sama sekali.

Mau tidak mau, Dominick harus kembali lagi. Dia mulai kesal karena hal seperti ini sungguh membuang-buang waktu. Belum lagi kalau Ashley tertinggal sangat jauh. Tadinya dia ingin memarahi wanita itu karena menolak ikut berkeliling sambil berkuda. Akan tetapi, setelah Dominick mengetahui alasannya, tindakan luapan emosi akan melukai perasaannya.

Namun, apa yang dia temukan sekarang jauh lebih menarik lagi. Ashley berjongkok seperti seorang montir yang sedang melakukan perbaikan pada sepeda.

"Apa yang terjadi?"

Dominick tidak membentak, intonasinya normal seperti bicara biasa, tetapi wanita itu justru terkesiap mendengarnya. Keningnya lantas berkerut ketika Ashley berdiri menghadapnya dan menghela napas.

"Aku benar-benar minta maaf, Bos. Saat aku ingin menginjak pedalnya, rantainya putus. Kalau ada bengkel sepeda di dekat sini, aku akan membawanya ke sana nanti sore."

Dominick turun dari kudanya dan mendekati sepeda itu untuk melihat lebih jelas. Tangan pria itu tidak terlepas dari tali kendali yang, hingga kudanya juga ikut bergerak mendekat. Dia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi sejak awal, tetapi sengaja membiarkan Ashley tetap memakainya. Sekarang itu jadi seperti perbuatan jahat.

"Rantainya sudah berkarat. Tinggalkan saja di sini. Aku akan minta Paman Singh membawanya lagi ke istal." Dominick yang kemudian menyadari kalau Ashley berjalan mundur menjauhinya hanya bisa menghela napas. "Kau setakut itu?"

Ashley hanya menggeleng. "Aku saja yang membawa ini kembali ke istal, Bos. Tidak apa-apa, kau lanjutkan saja berkudanya."

"Tidak mungkin kita sudah cukup jauh dari istal." Dominick menatap kudanya sebentar. Dia mendengkus kecil saat melihat ekspresi Ashley saat ini. Wanita itu pasti tahu apa yang sedang Dominick pikirkan saat ini. "Luna tidak menggigit, dan dia juga tidak bisa berputar dengan cepat."

Dominick kaget ketika Ashley justru jatuh terduduk di tanah. "Aku sudah lemas, Bos."

"Mau sampai kapan kau akan membiarkan rasa takut itu terus ada pada dirimu? Harper, kau tidak akan tahu sebelum mencobanya." Dominick tahu Ashley akan menolak, jadi dia lebih dulu menekankan agar wanita itu mau mencoba.

Tangan Dominick terulur di hadapan Ashley. Dia tahu rasanya pasti berat untuk wanita itu setelah mengalami kejadian tidak mengenakkan di masa lalu. Namun, rasa suka Dominick terhadap kuda ingin sekali dia tularkan pada asistennya. Dia ingin menunjukkan bahwa Luna adalah kuda yang baik.

Benar saja, Ashley hanya menggeleng dan bergeming dalam posisinya.

"Jangan bersikap kekanakan, Harper."

"Ini pemaksaan, Bos."

"Kapan aku tidak memaksa? Ini membuang waktu. Berdiri sendiri atau aku melemparmu ke punggung Luna?" Seperti ketika di kantor, Dominick juga menggunakan nada ancaman saat ini.

Akhirnya Ashley berdiri sendiri tanpa meraih tangan pria itu. Dia melangkah ragu-ragu sampai berada tepat di sebelah Luna. "Ini terlalu tinggi," katanya sembari mengukur batas punggung kuda itu setinggi pundaknya sendiri.

"Kau harus menginjak sanggurdi ini." Dominick menunjuk posisi yang harus dipijak Ashley untuk menaikinya.

Ashley menaikkan kaki pada awalnya, tetapi sebelum dia mengangkat beban tubuhnya, kaki itu turun lagi. Dominick lantas merasa geregetan melihatnya.

"Itu bergoyang saat aku menginjaknya. Bos, aku tidak sanggup. Sungguh."

Dominick pasrah, situasi ini akan melibatkan lebih banyak kontak fisik. Dia berpindah ke belakang Ashley. Ketika wanita itu enggan bergerak, Dominick meraih lengannya untuk kemudian didorong lebih dekat dengan Luna.

"Letakkan satu kakimu di sini, lalu tumpukan tanganmu di punggung Luna dan angkat badanmu." Dominick sudah memosisikan tangan di kedua sisi tubuh Ashley untuk membantunya mengangkat badan.

"Aku lemas, Bos. Lihat, tanganku gemetar."

Asisten pribadinya itu tidak berbohong. Dominick dengan jelas melihat tangan itu bergetar seperti tremor. Seburuk itukah kuda baginya?

Dominick tidak mengatakan apa-apa lagi dan meraih pinggang Ashley untuk kemudian diangkatnya. Ketika pinggang Ashley sejajar dengan tinggi punggung Luna, Dominick memintanya agar satu kakinya diangkat ke sisi sebelah tubuh Luna. Setelah memastikan wanita itu duduk dengan benar di sana, Dominick melepasnya.

"Bos, rasanya aku seperti melayang."

Dominick tertawa kecil, mengabaikan rengekan Ashley. "Kau mau di depan atau belakang?"

Wajah Ashley mengerucut hanya karena memikirkan jawaban untuk pertanyaan itu. "Ke mana aku akan berpegangan kalau di depan?"

"Kalau di belakang, kau berpegangan padaku, begitu?" Dominick hanya ingin menggodanya, tidak ada yang lain. Selama wanita itu bekerja dengannya, tidak pernah sekali pun dia melihat wajah cemas seperti itu. Meski terkadang perintahnya sulit dan membuat waswas, tidak ada tatapan memohon seperti yang dilihatnya sekarang. Ini cukup menghibur.

"Sungguh, Bos. Kenapa kau memintaku melakukan ini? Kenapa kita tidak segera jalan saja?" Ashley memegangi dengan erat, seakan-akan hidupnya bergantung pada benda itu.

Dominick menyusul naik dan memosisikan dirinya di depan Ashley. Setelah itu dia langsung merasakan sweternya dicengkeram sangat erat. Kain itu akan kumal karena dijadikan pegangan. Dahinya berkerut tidak senang menyaksikan tangan Ashley berada di sana.

"Jangan protes dulu, Bos. Aku sungguh merasa sekelilingku bergoyang saat ini. Ini bukan bualan."

Dominick akan menahannya untuk saat ini dan mulai memacu kuda. Jalannya pelan, dan dalam beberapa waktu tertentu dia akan bertanya apakah Ashley baik-baik saja. Ini bukan sebuah kebaikan, tetapi sang nenek akan cerewet kalau Ashley tidak jadi berkeliling. Dia sudah diperingatkan bahkan sebelum Ashley menyusul mereka di teras. Semudah itu Ashley menarik perhatian neneknya. Meski kenyataannya, Ashley memang memiliki kepribadian yang mudah diterima orang lain. Dominick menilainya seperti itu.

Sambil memacu kuda, Dominick melihat sekelilingnya juga. Buah anggur yang tumbuh masih berwarna hijau. Seharusnya mereka datang di musim gugur ketika anggur siap dipanen. Sudah sangat lama sejak terakhir dia berada di sana. Dulu kakeknya yang sering mengajaknya berkeliling, sambil menceritakan keinginannya untuk membangun kilang anggur sendiri. Terkadang keinginan untuk mewujudkan impian sang kakek itu ada, tetapi dia tidak yakin mampu mengurusnya. Akhirnya kebun itu hanya dijadikan sebagai distributor di pengilangan anggur.

Dominick juga menyesal karena ketika sang kakek masih hidup, dia tidak membantunya mencapai keinginannya. Vacade menyita seluruh perhatiannya. Menyingkirkan orang-orang yang berusaha menempati jabatan tinggi tanpa visi yang jelas sungguh melelahkan. Perlu bertahun-tahun sampai perusahaan itu bersih dari orang-orang yang memiliki ikatan keluarga dengannya.

Akhirnya mereka tiba di sungai yang disebut-sebut oleh neneknya tadi. Dominick berhenti dan memandang pegunungan yang tampak di seberang sungai. Sungai yang besar itu membatasi kebun anggur dengan kebun milik orang lain. Neneknya berharap Ashley melihat ini, tetapi sudah beberapa saat berlalu, wanita di belakangnya sama sekali tidak mengeluarkan suara.

"Kau tidak akan mengambil foto pemandangan ini karena Grams memintanya?" Dominick menoleh ke belakang dan menemukan Ashley hanya diam memandang sungai.

"Aku tidak bisa melepas pegangan hanya untuk mengambil ponsel." Suara Ashley lemah sekali, tidak ada semangat sedikit pun.

"Kau sungguh merasa buruk karena berkuda?" Dominick kemudian mengeluarkan ponselnya sendiri dan mengambil gambar pemandangan sungai. Mode kameranya kemudian diganti menjadi kamera depan hanya untuk mengambil gambar Ashley. Setidaknya ini bisa dijadikan bukti kalau neneknya mencari foto dari Ashley.

Namun, ketika melihat bagaimana ekspresi Ashley saat memandang sungai melalui ponselnya, Dominick lantas merasa bersalah. Wajah Ashley sangat pucat.

"Ini buruk, Bos. Mualnya makin parah, aku mau muntah."

Dominick buru-buru menyimpan ponselnya, bermaksud ingin memacu kudanya lagi agar bisa kembali ke rumah neneknya. Jarak sungai dengan jalan kembali lebih dekat jika dibandingkan dengan jarak istal ke sungai. Seharusnya mereka bisa kembali dengan cepat dan Ashley bisa muntah di toilet. Namun, sebelum Dominick sempat memacu kudanya lagi, kepala Ashley membentur punggungnya.

"Ah ... maaf, Bos. Aku tidak bisa menahannya lagi."

Maksud hati tidak ingin mengotori kebun atau air sungai dengan muntahan, sweternya justru menjadi korban. Dominick langsung turun dari kuda sebelum Ashley membuat sweternya lebih kotor lagi. Akan tetapi, karena bergerak terlalu tiba-tiba, Ashley jadi kehilangan keseimbangan. Wanita itu sudah dipastikan ambruk ke tanah seandainya Dominick tidak segera menangkapnya.

"Kapan terakhir kau berkuda?" Dominick bertanya sembari membantu Ashley duduk bersandar pada pohon.

"Ketika aku diputar seperti gasing?" Jari Ashley yang panjang dan kurus membuat gerakan melingkar seperti memberi tahu bagaimana mainan yang disebutkannya itu berputar.

"Seharusnya aku bertanya dulu."

Dominick berdiri menjauhi Ashley. Dia tidak ingin ketika wanita itu muntah lagi, bagian depan sweternya yang akan menjadi sasaran. Beruntungnya, sweter yang dia kenakan memiliki kancing di bagian depan. Jadi dia bisa langsung melepaskannya tanpa khawatir muntahannya akan mengenai kepalanya. Sekarang tersisa kaus putih polos yang memeluk tubuh bagian atasnya begitu erat.

Muntahannya hanya berupa air ketika Dominick memeriksanya. Sweter itu dilipatnya dan kedua lengannya diikat untuk menyembunyikan bagian yang terkena muntahan. Terakhir dia mengaitkan sweter itu ke pelana kudanya. Jelas setelah ini dia tidak bisa membawa Ashley berkuda lagi.

Setelah mengikatkan kudanya ke pohon terdekat, Dominick kembali menghampiri Ashley dan berjongkok di depannya. Wanita itu menyembunyikan wajahnya di atas lutut yang dilipat. Ini menjadi kali pertama Dominick mendapati asistennya dalam kondisi yang kurang baik.

"Masih mual?"

Ashley menggeleng.

"Mau muntah lagi?"

Wanita itu menggeleng lagi. "Tapi aku terlalu lemas untuk berdiri."

Dominick menghela napas dan menatap langit yang mulai menggelap. Suara petir terdengar samar-samar tidak lama kemudian. Sebentar lagi mungkin akan hujan.

"Naiklah ke punggungku."

•••

Bab ini se-absurd otak Tuteyoo yang lagi kerempongan mau akreditasi, tapi gak bisa nahan diri buat menghalu. Wkwk.

Teman-teman pernah ngalamin kejadian kayak Ashley gak?
Tuteyoo pernah, tapi bukan komidi putarnya sih.
Jadi, dulu H-1 UNAS Matematika pas SMP, aku makan martabak manis. Udah ada feeling gak nyaman waktu itu, soale manis banget. Cuma karena doyan + laper, makan banyak waktu itu sebelum tidur.
Besok paginya pas lagi ngerjain soal ujian malah mules sampai gak bisa fokus. Dua apa tiga kali gitu bolak-balik toilet. Ini kalo mau berlebihan kayak meme, dipikir mules karena ngerjakan soal. Tapi enggak loh, Matematika itu pelajaran favorit.
Akhirnya gak doyan lagi makan martabak manis, soale ngeliat aja udah berasa mual :")

Olrait, see you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
6 Juni 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top