23 - Melissa's 2nd Date and ... Jeremy again

Melissa menyampirkan jaket kulit cokelat yang baru saja dilepasnya ke sandaran kursi. Sambil menduduki kursi tersebut, dia memperhatikan sekeliling bar dan berhenti agak lama di meja bartender. Seorang pria berambut hitam diikat adalah objek utama yang sedang ditatap Melissa.

Dante Jarvis, atau orang-orang mengenalinya dengan julukan DJ, adalah pria yang diperkenalkan Andy untuk kencan buta Melissa malam ini. Jika dibandingkan dengan dua bartender lainnya, DJ memang lebih menarik perhatian. Bukan hanya karena wajah yang tampan, tetapi juga cara tangannya bekerja membuat minuman-minuman itu dengan shaker sungguh atraktif. Tangannya kekar berotot, membuat kemeja putih yang dia kenakan memeluk erat tubuhnya. Sebetulnya porsi badan itu agak berlebihan bagi Melissa, tetapi dia akan menaruh penilaian itu setelah mengetahui bagaimana kepribadiannya.

Pertemuan mereka direncanakan pada pukul delapan malam. Seharusnya keterlambatan seperti kencan sebelumnya tidak terjadi lagi. Partner kencannya sudah ada di sini meski masih ada waktu lima menit lagi. Tinggal menunggu pria itu menghampirinya lalu mereka akan mengobrol.

Tepat pukul delapan, pria itu meninggalkan konter dan menghampiri Melissa. Ada dua minuman di tangannya, yang salah satunya diletakkan di depan Melissa, padahal Melissa belum memesan apa pun. Minuman yang warnanya putih dengan irisan buah apel di atasnya.

"Appletini. Kudengar kau suka buah apel dari Andy, jadi aku mencampurkan vodka dengan minuman lain berbahan dasar apel."

Melissa merasa takjub dan itu berhasil membuat Dante tersenyum begitu puas.

"Aku tidak tahu Andy akan bicara tentang itu."

"Aku yang bertanya. Minimal aku bisa menyajikan minuman yang cocok dengan seleramu."

Dibandingkan dengan partner kencan Melissa sebelumnya, pria bartender ini lebih baik. Dia tidak dibuat menunggu dan sekarang mendapat kesempatan menikmati minuman yang secara khusus dibuatkan untuknya.

"Kau mempersiapkannya dengan baik, kuharap aku juga memberikan kesan pertama yang bagus meski tidak melakukan apa-apa untukmu." Melissa mengusap bagian belakang telinganya untuk kemudian tersadar bahwa rambut sebahunya hanya diikat satu biasa. Untuk sebuah kencan, penampilannya terlalu biasa. Saat bertemu dokter waktu itu dia bahkan menata rambutnya dengan rapi.

"Tidak masalah. Aku memang suka membuat minuman untuk orang lain. Kau harus mencobanya."

Melissa lantas melirik Appletini itu ketika Dante juga mulai meraih gelas minumannya. Itu berbeda dari apa yang Dante sajikan untuknya. Milik pria itu berwarna cokelat bening, mirip teh, dan itu membuat Melissa penasaran. Sebagai seseorang yang hanya minum beberapa jenis minuman bersama dua sahabatnya, wawasannya tentang minuman keras sangatlah sempit. Dengan Dante, mungkin dia akan mencoba lebih banyak jenis minuman.

Melissa mulai menghidu aroma manis yang menguar samar-samar dari Appletini-nya sebelum diminum. Setelah satu tegukan pertama, Melissa sempat membuat ekspresi yang agak aneh. Lidahnya tidak terbiasa dengan rasa manis bercampur pedas dari minumannya. Namun, setelah menenggaknya lagi, dia baru merasakan bahwa itu enak.

"Hei, tidak perlu memaksakan diri," tegur Dante diiringi tawa kecil.

"Maaf, aku bukannya tidak suka, tapi ini rasa baru yang perlu diadaptasi oleh lidahku." Melissa menenggak lagi minuman tersebut sebelum meletakkannya kembali ke atas meja. "Ini enak, serius."

"Kau bukan satu-satunya yang seperti itu, tidak perlu merasa bersalah."

Sungguh, Melissa mulai menyukai pria ini. Hal-hal tidak menyenangkan yang dia pikirkan tentang seorang pria bartender pelan-pelan mulai terkikis. Melissa berpikir bahwa pria-pria yang sering menyajikan minuman sering kali tergoda oleh-oleh wanita yang cantik dan seksi, apalagi kalau sudah mabuk. Sudah lima belas menit berlalu dan belum ada kesan yang membuatnya kesal. Dia terima-terima saja jika setelah ini akan ada kencan lanjutan. 

"Apa milikmu juga dibuat secara khusus?"

DJ mengangkat gelasnya yang isinya tersisa sedikit dengan batu es yang besar, lalu menggoyangkannya dengan ringan. "Ini hanya Negroni. Aku hanya suka mengocok minuman-minuman itu, tapi tidak dengan meminumnya juga."

"Sepertinya bisa kumengerti. Ketika kau membuatnya, itu akan terasa seperti sedang meminumnya, seperti ketika kita memasak, tapi kita yang makan paling sedikit karena sudah lebih dulu kenyang." Melissa bukan orang yang suka membuat pengibaratan seperti itu, tetapi dia ingat Kate pernah mengatakannya seperti itu. Sekarang dia hanya mengulanginya dan sadar bahwa itu tidak terdengar cocok.

"Apa kau sering memasak, Melissa?"

DJ menyamankan posisinya di kursi itu, tidak ketinggalan menaikkan sebelah kaki menyilang di atas kaki yang lain. Melissa menangkap itu sebagai gestur untuk mengobrol lebih lama.

"Tidak. Kakak laki-lakiku lebih suka melakukannya. Aku hanya memasak kalau dia sedang pergi."

"Itu bagus. Kau harus mencoba masakanku nanti. Menjadi bartender adalah jalan lain yang kuambil setelah gagal menjadi koki."

Cita-cita yang gagal dicapai adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi Dante menceritakannya dengan santai seakan-akan itu bukan masalah besar. Atau pria itu mungkin sudah menerima kegagalannya dengan lapang dada. Satu hal yang bisa dia pelajari dari pria tersebut.

"Kau cukup sukses dengan kariermu sekarang. Itu keren, kau mampu menggali kemampuan lain dari dirimu, tidak hanya diam di tempat."

"Akan lebih baik kalau aku mencari cara lain untuk menjadi koki. Aku perlu bertahan hidup, kebetulan menjadi bartender karier yang ada di depan mata, akhirnya kucoba saja."

Melissa mengangguk-angguk. "Hidup memang terlalu keras untuk sebagian orang."

"Ya, begitulah." Dante hanya tersenyum sampai tatapannya tertuju pada sesuatu di belakang Melissa.

"Hai, DJ." Seorang wanita menghampiri meja mereka dan menyapa pria itu dengan sangat ramah. Dan Melissa yakin wanita itulah yang ditatap Dante tadi. Kalau dilihat dari penampilan, memang terlihat jauh lebih menarik dari Melissa. "Aku rindu masakanmu. Kalau kau mau, aku bisa meminta ayahku menjadi investor dan membangun rumah makan untukmu."

Melissa tidak bisa menahan matanya agar tidak melotot ketika wanita seksi itu secara terang-terangan menggoda Dante. Oh, tidak ketinggalan kedipan matanya yang menggelikan. Melissa segera menutupi reaksi itu dengan menyesap sisa minumannya.

"Itu berlebihan, Anne. Tapi kalau kau memang mau aku memasak lagi, datang saja ke tempatku Minggu ini." Alih-alih merasa terganggu karena aktivitasnya diinterupsi, Dante justru masih bersikap dengan baik.

"Kalau begitu, sampai jumpa." Sebelum meninggalkan mereka, wanita seksi itu masih sempat-sempatnya membelai wajah Dante. Dan lagi, pria itu juga sama sekali tidak merasa risi, sama sekali tidak mempermasalahkannya meski sedang berhadapan dengan partner kencannya.

Apa itu tadi? Mengundang wanita ke rumahnya semudah itu? 

Melissa bisa menyimpulkan kalau Dante pasti sering menerima perlakuan seperti tadi. Tidak peduli jika itu adalah risiko dari pekerjaannya, kalau pada akhirnya mereka benar-benar mencoba menjadi pasangan, Melissa tidak akan tahan. Dia tidak akan sanggup menyaksikan prianya disentuh sembarangan oleh wanita lain. 

"Bicara tentang mencoba masakanku tadi, kau juga bisa datang ke tempatku hari Minggu. Aku biasa mengundang beberapa orang teman dan memasak untuk mereka."

Jadi, ada beberapa orang yang datang, cukup melegakan untuk didengar. Dante mungkin pria penggoda seperti yang selama ini Melissa pikirkan. Lagi pula, Melissa tahu Andy tidak akan memperkenalkannya pada sembarang pria.

"Tidak bisa. Aku terjadwal masuk kerja."

"Kau harus datang lain kali. Apa kau alergi sesuatu? Aku ingin ketika aku memasak nanti, kau bisa memakannya."

Pria ini benar-benar mencintai memasak rupanya. Sebelum hari ini, Melissa tidak pernah memikirkan secara spesifik seperti apa pria idamannya. Tidak juga sekali pun membayangkan bagaimana rasanya  memiliki pasangan yang bisa memasak. Di rumah ada Marc yang sering memasak, jadi rasanya mungkin tidak sebegitu spesial. Pulang ke rumah dan sudah tersaji makanan di atas meja, sudah biasa terjadi selama ini.

"Ya, akan kuingat tawaran itu. Tapi bolehkah aku menanyakan sesuatu?"

Namun, yang terdengar setelahnya justru dering alarm dari jam pintar yang melingkari pergelangan tangan kiri Dante. "Maaf, bisa kita lanjutkan lain kali? Waktu break-ku sudah berakhir, aku harus kembali bekerja. Kau bisa tanyakan itu lain kali, sampai jumpa. Oh, kalau kau masih merasa haus, pesan saja lagi. The bill is on me."

Pria itu pergi begitu saja meninggalkan Melissa, bahkan sebelum dia sempat merespons. Sungguh, apa-apaan itu tadi? Betapa polosnya Melissa mengira Dante sudah menyelesaikan jam kerjanya, padahal saat menemuinya pria itu masih mengenakan apron. Melissa tidak menyadarinya tadi, dan baru melihatnya saat memperhatikan Dante berjalan kembali ke balik meja konter.

Sekarang Melissa meragukan Dante untuk dijadikan kekasih. Pertemuan mereka diinterupsi oleh jam kerja. Seandainya pria itu lebih dulu mengabari kalau tidak bisa bertemu hari ini, Melissa tentu tidak akan memaksa. Di situasi ini rasanya seperti hanya dirinya yang bersungguh-sungguh. Dante hanya menyisihkan waktu sedikit seperti orang tidak serius menanggapi pertemuan mereka. Seharusnya Melissa tidak setuju kalau lokasi pertemuan mereka di bar ini.

Kendati demikian, Melissa tidak benar-benar menganggap bahwa pertemuan kali ini juga sama gagalnya dengan yang lalu. Pria itu ingin memasak untuknya, 'kan? Mungkin Melissa bisa mengajukan syarat bahwa ketika dia mencicipi masakan Dante, tidak boleh ada orang lain selain mereka berdua saat itu.

Melissa ingat pria itu berkata bahwa dirinya boleh memesan lagi dan pria itu yang akan membayar. Meski tidak ada lagi yang dilakukan di sana, dia tentu tidak akan melewatkan kesempatan untuk memakai kupon tersebut untuk mencicipi minuman mahal. Ini bukan tentang sikap tidak tahu diri, tetapi kita tawaran seperti itu datang padanya, tentu harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Melissa sudah berada di depan meja konter, membaca daftar menu yang ada di hadapannya. Untuk kategori koktail, semuanya terdengar asing. Seperti rencana awal, Melissa memilih yang harganya paling mahal di antara semuanya. Dia lantas melambai pada seorang bartender yang kebetulan melihat ke arahnya.

"Satu Honey Ginger Infusion, please. Untuk biayanya--"

"DJ? Jelas sekali. Aku akan membuatnya untukmu."

Bartender itu seorang wanita, dan dari caranya menebak, seperti seseorang yang sudah bosan mempertanyakan perihal yang sama berulang kali. Melissa ingin bertanya, tetapi dengan kesan tidak menyenangkan dari wanita itu, dia mengurungkannya. Akhirnya dia hanya diam memperhatikan ke sekelilingnya dan tidak sengaja menemui wajah yang familiar di sisi kanannya.

Melissa mendengkus. Seberapa besar penyusutan kota New York sampai dia harus bertemu pria itu di mana pun dia sedang berkencan? Dia tidak yakin kalau istilah 'kebetulan' bisa terjadi berulang kali. Namun, dia juga tidak percaya kalau takdir sedang mempermainkannya. Ada banyak bar yang tersebar di sudut kota, tetapi kenapa mereka bisa bertemu di sini.

"Kau pasti sedang berpikir kenapa kita bisa bertemu lagi."

Melissa yakin, pria itu terus menunduk sejak tadi, entah bagaimana bisa menyadari kalau dirinya sedang ditatap.

"Aku tidak berniat menyapamu sebetulnya." Meski berkata begitu, Melissa tetap bergeser dan duduk di bangku sebelah pria itu, Jeremy.

"Kalau begitu bisa beri tahu sahabatmu agar tidak terus terikat dengan pekerjaannya?" Jeremy menenggak minumannya dan menghela napas kemudian. "Itu menyebalkan."

Melissa bertopang dagu di atas meja dan dengan mata yang menyipit berusaha menelisik situasi yang pria itu hadapi saat ini. "Kau terlihat kacau. Aku duduk di sana, kau mau bicara?"

Sebetulnya Melissa tidak bermaksud ingin lebih dekat dengan pria yang seharusnya hanya terhubung dengannya karena urusan pekerjaan, tetapi jika ini berkaitan dengan sahabatnya, Melissa jadi tidak bisa menahan rasa penasarannya.

Sementara itu, Jeremy menurut saja ketika Melissa menunjuk meja di belakang mereka. Lantas ketika sang bartender wanita memberikan minumannya, mereka langsung menghampiri meja Melissa sebelumnya.

"Ada apa dengan Ashley? Apa kau sudah menyatakan perasaanmu dan dia menolak?" Itu hanya permainan tebak-tebakan. Namun, siapa pun yang melihat Jeremy saat itu mungkin akan melontarkan dugaan yang sama.

"Aku berencana melakukannya besok." 

Melissa berdecih, nyaris menertawakan progres Jeremy yang bisa dibilang sangat lambat. "Lalu apa yang terjadi?"

"Dia harus ikut Dominick ke rumah neneknya. Ashley bilang itu bagian dari pekerjaannya, tapi apa itu masuk akal?"

Pria yang malang. Melissa tahu betul bagaimana pekerjaan itu sangat berarti bagi Ashley, tetapi dia tidak mengira kalau akan separah ini sampai membuatnya tidak peka. Melissa memang tidak pernah melihat bagaimana Jeremy bersikap ketika hanya ada Ashley bersamanya, tetapi dia cukup sadar kalau rasa suka pria ini untuk sahabatnya itu tidak main-main.

Namun, apa yang dia dengar tadi, Ashley pergi ke tempat nenek Dominick? Melissa ingat sedikit pembicaraan tentang itu saat mereka berada di tempat Ashley beberapa hari lalu. Reaksi wanita itu, Melissa baru menyadari kalau sebenarnya Ashley berharap Kate-lah yang pergi dengan bosnya. Namun, dia tidak tahu bagaimana Ashley yang justru pergi ke sana.

"Kalian sudah membuat janji, ya?" Melissa mungkin ahlinya menebak dengan akurat. Akan tetapi, kalau mengingat nada bicara Jeremy tadi, dia tidak hanya kecewa, ada rasa kesal juga di sana.

"Kami berencana pergi bermalam di kabin di Sungai Coyote. Malamnya, aku mengungkapkan perasaanku sambil memanggang Marshmallow." Jeremy mungkin mulai mabuk karena senyum pria itu terlihat aneh ketika menatap langit-langit ruangan. Melissa tidak ingin menebak-nebak berapa banyak minuman yang sudah masuk ke pria itu kali ini. "Lalu aku akan mendekapnya sepanjang malam, menghalau angin yang berusaha menyentuh kulitnya."

"Wow. Itu terdengar sangat matang." Melissa menyesap minumannya untuk menyembunyikan bahwa yang terbayang di kepalanya saat ini adalah sesuatu yang menggelikan.

"Untuk urusan pekerjaan, aku bisa memaklumi. Tapi dia harus melakukannya karena tidak ingin memaksa entah siapa itu namanya untuk ikut. Hei, temanmu yang satu lagi itu, aku tidak menyukainya."

Untung saja Melissa sudah kembali meletakkan gelasnya saat Jeremy mengungkapkan kekesalannya. Sekarang dia merasa seperti tidak bersama pria yang menyebalkan. Namun, kenapa Kate sampai ikut terseret juga?

"Memangnya apa yang Katherine lakukan?"

"Oh, iya, namanya Katherine." Minuman Jeremy habis, dia melambai pada seorang bartender dan mengangkat gelas kosongnya, berharap salah satu dari mereka datang untuk mengisi ulang gelasnya. Tidak lama kemudian, seseorang menghampiri meja mereka dan memenuhi gelas Jeremy. Saat orang itu bertanya apa Melissa juga ingin menambah minumannya, dia hanya mengangkat tangan bahwa miliknya masih cukup.

"Hei, serius. Kalian bahkan belum pernah bertemu, kenapa dia disalahkan juga?"

"Ashley tidak ingin pergi, tapi terpaksa karena sahabat yang dia sayangi merasa pertemuan dengan nenek Dominick terlalu cepat. Dia bilang, dia tidak bisa membuat Dominick membawa Katherine itu pergi, jadi dia yang melakukannya. Aku tidak mengerti kenapa dia sangat mencintai pekerjaan itu. Katakan padaku, sebenarnya dia butuh berapa banyak uang lagi? Aku bisa memberinya berapa pun agar dia berhenti memaksakan diri."

Pria yang menyedihkan, pikir Melissa. Namun, Ashley lebih parah karena tidak menyadari perasaan pria yang sudah banyak terlibat dalam kesehariannya. Apa menceritakan pada pria ini adalah tindakan yang tepat? Dia tahu kenapa Ashley tidak ingin kehilangan pekerjaan di mana dia mendapat dua sumber penghasilan meski hanya bekerja di bawah satu orang.

"Ashley digaji oleh perusahaan dan dari Dominick sendiri. Dia bekerja sebagai asisten pribadi, tetapi posisinya di perusahaan adalah sekretaris pribadi direktur. Hanya berbeda dari istilah, tapi pokok dari pekerjaannya sama." Meski Melissa yang memberi tahu, tetapi dia juga yang turut merasa takjub hanya dengan mengira-ngira berapa besar penghasilan Ashley.

"Dia pernah bilang kalau harus menggajinya lebih dari Dominick kalau aku ingin mempekerjakannya."

"Yah ... aku cukup setuju dengan itu. Memangnya siapa yang mau melepas pekerjaan yang gajinya sangat besar?"

Melissa mengedikkan bahu ketika Jeremy memicing.

"Apa yang membuatnya membutuhkan uang sebanyak itu?"

Ah ... seperti biasa, Ashley tetap memberi batasan atas hubungannya dengan orang lain. Tidak peduli sedekat apa dirinya dengan Jeremy, tetapi Ashley bahkan tidak memberi tahu bagaimana situasi di balik punggungnya saat ini.

"Itu informasi yang penting, Tuan. Aku tidak bisa sembarangan memberitahumu." Yah, kalau Ashley tidak memberitahunya, seharusnya Melissa juga turut menjaganya.

"Astaga. Kau sudah membuatku penasaran!"

"Kenapa kau tidak langsung bertanya dengannya?"

"Kalau dia sudah menjawab, apa aku akan bertanya padamu?"

Baiklah, itu memang yang akan Ashley lakukan. Dia tidak akan menceritakan masalahnya semudah itu jika tidak dipaksa. Melissa tidak tahan terus dibuat menebak-nebak apa yang ada di kepala Ashley, dan untungnya keberadaan Katherine membantu wanita itu lebih terbuka pada mereka.

"Informasi ini tidak gratis." Melissa mengangkat gelas dan menggoyang-goyangnya. Tatapannya hanya tertuju pada es batu yang bergerak di dalamnya, seperti seorang pebisnis yang sedang melakukan transaksi dengan pebisnis lainnya.

"Aku tidak seharusnya meremehkanmu. Berapa yang kaubutuhkan?"

Ketika Jeremy akan mengeluarkan dompet dari sakunya, Melissa segera menghentikannya. Itu terlalu intens dan sedikit mencoreng harga dirinya.

"Aku tidak meminta bayaran uang," keluh Melissa sembari memutar kedua bola matanya.

"Lalu apa?"

"Aku tidak akan memberi tahu sekarang." Melissa meniupi kukunya yang tidak bercat apa-apa. Dia memiliki kepercayaan diri layaknya seorang pebisnis.

"Baiklah. Aku sudah telanjur penasaran, jadi, cepat beri tahu aku."

"Jangan mengungkit topik ini dengan Ashley. Aku memberitahumu bukan karena ingin menjual sahabatku sendiri. Aku melakukan ini karena tidak ingin orang-orang berpendapat yang aneh-aneh tentang dia. Oh, karena kau sebegitu menyukainya, maka akan kuberi tahu."

"Langsung saja, Nona, tidak perlu bertele-tele." Jeremy menunjukkan senyum yang dipaksakan dan itu sangat aneh.

"Ashley adalah tulang punggung keluarganya. Dia harus memenuhi kebutuhan ibunya, tiga adiknya, dan ayah sambung yang gila atas dasar balas budi. Bukan gila yang seperti itu maksudku. Kuharap kau tidak pernah berpikir dia adalah wanita yang tergila-gila akan harta karena dia sendiri bahkan tidak bisa menikmati penghasilannya dengan benar."

Jeremy tampaknya terkejut akan informasi baru itu. Dia bahkan tidak mampu menahan itu untuk dirinya sendiri.

"Tidak, tidak, aku tidak pernah berpikir sejelek itu tentang Ashley." Jeremy diam sebentar sebelum bicara pelan seperti pada dirinya sendiri. "Aku tidak pernah tahu bebannya berat."

"Ya, begitulah. Sudah cukup, 'kan? Aku ingin pulang." Melissa meraih jaket yang tersampir di belakangnya untuk dikenakan kembali, tetapi kemudian Jeremy meraih tangannya. Dia terkejut, tetapi tidak juga menepisnya.

"Terima kasih. Sebagai gantinya, apa yang harus kulakukan untukmu?"

"Aku tidak akan memberitahumu sekarang. Tapi saat aku memintanya, kau tidak boleh menolak."

•••

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
25 Mei 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top