22 - Missing Freedom

"Kami tidak cocok. Sungguh. Sebanyak apa pun rasa penasaranku tentang kehidupan pria kaya, kurasa aku tidak akan bisa merasuk ke dalamnya. Semua hal yang biasanya kulakukan sendiri, akan digantikan oleh orang lain. Aku hanya duduk dan ... bukankah itu membosankan?"

Suara kunyahan keripik yang menyusul setelahnya terdengar seperti sebuah ejekan. Ashley hanya mendelik pada Melissa yang tidak berhenti menyuap keripik, padahal Kate meminta bertemu mereka untuk menceritakan bagaimana kencannya hari ini. Well, meski Ashley tidak yakin jika kencan itu sesuai dengan kriteria Kate.

Ashley sedang berolahraga di atas treadmill ketika Kate melakukan panggilan grup dan berkata ingin bertemu. Kebetulan tempat Ashley yang dijadikan lokasi berkumpul. Namun, yang datang terakhir justru Kate. Tidak hanya itu, dia juga membawa beberapa bingkisan besar yang salah satunya adalah camilan untuk mereka santap saat ini.

"Seorang Dominick McCade membuatku kewalahan." Lagi, Kate mendelik ke arah kantong belanja di sebelahnya dan menelungkupkan wajah di puncak lutut.

"Bukankah bagus? Kau bisa mengerjakan hobimu tanpa harus mempertimbangkan apakah itu berpenghasilan atau tidak."

Ashley mengangguki ucapan Melissa. Kesederhanaan cara berpikir wanita teknisi itu sangat dibutuhkan untuk meluruskan pemikiran Ashley dan Kate yang terkadang bisa sangat kusut.

"Aku terus mengumandangkan itu di kepala. Pikirkan sisi baiknya, Kate, uang pria ini sangat banyak! Namun, aku tidak merasakan kepekaan seorang Dominick." Saking gemasnya, Kate sampai menggunakan telunjuk dan ibu jari untuk menunjukkan sedikit yang dia maksud. "Dia tidak peduli jika ketika pegawai butik memasangkan sepatu di kakiku membuatku tidak nyaman."

"Kalian baru kenal sebentar."

Lagi, ucapan Melissa diangguki Ashley.

Diamnya Ashley membuat Kate heran. Lantas ketika Kate menyipitkan mata saat menatapnya, Ashley hanya menelengkan kepala dengan kerutan di dahi. Dia bingung kenapa ditatap seperti itu.

"Kau tidak mau mengatakan apa-apa? Dominick, kan, atasanmu. Apa dia memang seperti itu?"

Pertanyaan Kate membuat Ashley menggaruk rahangnya yang tidak gatal. Bekerja dengan Dominick selama bertahun-tahun tidak membuatnya menjadi yang paling tahu semua hal. Meski pekerjaannya melibatkan interaksi yang cukup intens, tentunya ada bagian tertentu yang Dominick tidak perlihatkan padanya. Terutama bagaimana pria itu memperlakukan wanita yang disukainya.

"Entah. Aku tidak pernah berkencan dengannya." Akhirnya hanya itu yang bisa Ashley katakan.

"Kau melontarkan pertanyaan bodoh, Kate. Kalian baru sekali kencan dan kau sudah tidak tahan. Beri dia waktu untuk mengenalmu lebih banyak lagi." Sambil memegangi bungkus keripik, Melissa mengacungkan jempolnya.

"Apa saja yang kalian bicarakan?"

Ashley bukan orang yang ingin tahu urusan orang lain, sebetulnya. Dia juga tidak peduli apa saja yang orang lain lakukan saat berkencan. Namun, Ashley ingin tahu apakah Dominick sudah membicarakan tentang rencana mengajak Kate ke tempat Nyonya McCade atau tidak, sebab sejak tadi Kate tidak mengatakan apa-apa tentang itu selain keluhannya terhadap kebiasaan orang elite.

Alih-alih mendapat jawaban, Ashley justru menerima tatapan yang aneh dari Kate dan Melissa.

"Dominick tipe pria yang tidak suka berbasa-basi, jadi aku penasaran bagaimana sikapnya ketika berusaha dekat dengan seseorang, dan apa yang dia bicarakan. Tapi kenapa kalian menatapku seperti itu?"

"Aku hanya mengira kau tahu segalanya." Melissa mengedikkan bahu setelah memberikan jawaban.

Orang yang lebih tepat menjawab pertanyaan Ashley adalah Kate. Namun, wanita itu menghela napas dan menyamankan posisi di atas sofa, dan dia adalah satu-satunya yang berada di sana. Sedangkan Ashley dan Melissa duduk bersila di atas karpet.

"Tidak banyak. Seperti kegiatan harian, pekerjaan, hal-hal yang kusuka. Setelahnya dia membawaku pergi belanja. Kupikir dia pria yang menunjukkan perasaannya dengan membelikan barang-barang bagus." Ada sedikit keraguan ketika Kate mengutarakan pendapatnya tentang Dominick. "Aku tidak bisa menerima itu ketika yang kumampu hanya memberinya perhatian. Itu tidak sebanding, bukan?"

Sebanding. Sepadan. Mendengar kata-kata itu membuat Ashley kesal. Di mana letak keadilan jika yang kaya diperbolehkan mengejar yang tidak kaya, tetapi yang tidak kaya tidak diperbolehkan mengejar yang kaya? Apa karena orang-orang seperti Ashley tidak akan mampu membalas dengan nominal yang sama?

Pemikiran itu lantas membuat Ashley berdesis tanpa sadar.

"Dia yang mengejarmu, 'kan? Dia yang menanggung risiko kalau suatu saat merasa dirugikan karena tidak mendapat apa-apa darimu selain kasih sayang."

"Mudah sekali mengatakannya seperti itu, Mels." Kate mencubit pelan lengan Melissa saat mengatakan itu.

Karena Kate masih tidak menceritakan tentang ajakan Dominick pergi ke rumah Nyonya McCade, Ashley masih merasa penasaran. "Apa ada rencana kencan selanjutnya?"

Kate bergumam. "Dia sempat bertanya waktu apa yang pas untuk pergi, lalu kujawab saat akhir pekan. Dia hanya berkata 'baiklah' setelah itu."

"Oh, apa itu minggu ini?" Antusiasme yang tiba-tiba muncul pada Ashley terbaca dengan jelas oleh dua lainnya. Dia tidak bisa menahan euforianya begitu memikirkan kemungkinan Kate akan pergi dengan Dominick, sebab dengan begitu dia tidak harus membatalkan janji dengan Jeremy. Lantas ketika Ashley menyadari perubahan raut wajah mereka, dia buru-buru menambahkan, "Maksudnya, aku ingin mengatur ulang jadwalnya kalau ada agenda lagi, daripada dia meminta secara mendadak, aku tidak mau repot."

"Tidak. Dia bilang ingin pergi mengunjungi neneknya."

"Kau diajak?" Melissa mewakili pertanyaan yang sejak tadi ditahan Ashley.

"Tidak. Dia bilang suatu saat akan mengajakku ke sana. Tapi aku tidak begitu yakin kami akan menjadi pasangan. Ada perbedaan antara rasa ketertarikan untuk mengenal dengan rasa penasaran." Kate mengatakannya dengan logat seperti seorang detektif yang baru mendapat clue atas sebuah kejadian.

"Jadi, menurutmu Bos Ashley merasakan yang mana?"

"Aku tidak begitu bisa mengerti sikapnya. Aku belajar psikologi secara mandiri, dan ini hanya pendapatku. Aku tidak merasa Dominick McCade memiliki ketertarikan seperti itu padaku, tetapi dia juga tidak mungkin merasa penasaran denganku. Setelah dia mencari tahu, apa yang dia dapat? Tidak ada. Aku wanita biasa-biasa saja yang menjalani hidup yang membosankan."

"Kau ini jangan seperti Ashley. Sudah cukup satu saja orang yang sangat-sangat rendah diri sampai aku kewalahan, jangan ditambah lagi."

Selanjutnya, Ashley tidak lagi mengikuti pembicaraan dua orang itu. Kepalanya sudah bersandar pada badan sofa, membuat wajahnya menghadap langit-langit. Dia mulai mempertanyakan apakah sebenarnya Dominick serius ingin mempertemukan Kate dengan Nyonya McCade, atau niat itu diurungkan Dominick setelah diperingatkan tadi siang? Atau memang sejak awal pria itu tidak berniat mengajak Kate dan hanya membuat jebakan agar Ashley pada akhirnya yang pergi?

Dominick bukan orang yang akan memutuskan sesuatu dengan cepat tanpa pemikiran yang matang meski dalam waktu singkat. Akan tetapi, bukan juga orang yang akan susah payah membuat jebakan demi mendapatkan apa yang dia mau. Lebih baik pria itu memerintah sejak awal daripada membuat rencana yang rumit begitu.

Namun, apa pun yang dilakukan Dominick bukanlah sesuatu yang harus dipikirkan terus-menerus. Masalah Ashley sekarang adalah bagaimana agar dirinya tidak harus ikut pergi bersama Dominick dan rencananya dengan Jeremy tetap terlaksana.

•••

"Semua barangmu sudah dibawa?"

Ashley menatap pria itu dan mengangguk. Koper kecilnya sudah berada di dalam bagasi mobil bersama satu koper lain yang ukurannya lebih besar. Tiga hari berlalu begitu cepat hingga tiba saatnya dia harus pergi seperti yang sudah direncanakan.

"Mengemudi sendiri?" Ashley bertanya ketika mobil lain bersama pengemudinya pergi meninggalkan mereka.

Sayangnya, rencana itu bukan rencana Jeremy, melainkan rencana Dominick. Usaha Ashley membujuk Dominick agar pria itu pergi sendiri juga gagal. Pria itu tidak peduli meski Ashley sudah memelas. Rasanya seperti dirinya sedang dihukum karena terlalu cepat mengatur jadwal kepergian Dominick ke tempat Nyonya McCade. Bahkan Nyonya McCade sampai meneleponnya langsung dan berkata bahwa tidak sabar ingin pergi ke kebun anggur bersama. Kelemahan Ashley adalah berurusan dengan orang-orang yang sudah tua.

Masalahnya, hanya akhir pekan ini waktu yang cocok. Karena beberapa bulan ke depan, tidak ada waktu yang sesuai untuk kepergian di hari Jumat sampai Minggu. Yah, seharusnya itu akan menjadi waktu yang kosong untuk Ashley merealisasikan rencana dengan Jeremy. Hanya tinggal bagaimana membujuknya setelah ini.

Kalau Jeremy akan mengabaikan Ashley selama beberapa waktu, maka itu wajar. Ashley sungguh merasa bersalah dan masih membayang di kepalanya wajah kecewa pria tersebut. Kabar baiknya, Jeremy belum memesan kabin untuk mereka.

"Aku tidak bisa membawa Taylor menginap di tempat Grams."

Jawaban itu membuat wajah Ashley makin tertekuk. Dengan sengaja dia menutup bagasi dengan agak membantingnya, tidak peduli jika pemiliknya akan mengamuk. Lagi pula, itu sia-sia. Dominick bukan seorang pecinta mobil seperti pria kebanyakan, tidak juga sangat berhati-hati memperlakukan mobilnya. Kalau rusak, dia akan beli lagi. Ya, semudah itu.

Jujur saja, Ashley sudah lelah karena pekerjaan hari ini, apalagi dengan adanya proses seleksi untuk mengisi posisi wakil kepala bagian perencanaan yang hilang. Alih-alih beristirahat, dia harus melakukan perjalanan selama tiga jam tanpa sopir. Taylor bahkan diberi waktu untuk beristirahat, lalu apakah Ashley juga yang harus mengemudi?

Gila. Gila. Gila. Ashley mengepalkan tangan untuk menahan diri agar tidak mengacak rambutnya.

Bukankah lebih tidak masuk akal membawaku yang bukan siapa-siapa ke sana? Ingin sekali Ashley menjeritkan itu pada Dominick. Namun, pada akhirnya dia hanya menahannya dengan seulas senyum.

"Apa yang kau lakukan?"

Ketika Dominick menanyakan itu, Ashley jadi bingung. Sebab pria itu membuka pintu depan di sisi pengemudi dan bersiap ingin masuk ke sana.

"Bukan aku yang mengemudi?"

Dominick terus masuk dan menduduki bangku kemudi. "Kau bisa menempuh perjalanan tiga jam menjadi satu jam lebih cepat?"

Ashley menggeleng. Dia hanya berani melaju dengan kecepatan tinggi jika sedang mengemudi sendiri. Dia tidak ingin mengambil risiko mencelakai atasannya.

"Tunggu apa lagi?"

Yah, itu bagus. Ashley bisa istirahat dan jika beruntung, dia bisa tidur. Dia segera berjalan menuju sisi lain mobil dan memasukinya. Dominick tidak suka ketika dirinya mengemudi, tetapi penumpangnya duduk di belakang. Setidaknya kursi di depan harus diisi dulu.

Dominick tidak main-main tentang ingin memangkas waktu perjalanan mereka. Ashley melihat hal-hal di luar jendela sebelah kanannya menjadi lukisan kabur yang tidak bermakna. Awalnya itu membuat pusing, tetapi lama-lama dia terbiasa dan mulai menyamankan posisi dengan bersandar di sana. Dia hampir tertidur seandainya pria itu tidak tiba-tiba mengajak bicara.

"Suasana hatimu sangat buruk seharian ini."

Kaulah penyebabnya, pikir Ashley.

"Kau bertanya karena peduli atau hanya ingin teman mengobrol?" Akan lebih kurang ajar lagi kalau Ashley menambahkan, kalau bosan, nyalakan musik saja. Tentunya dia tidak ingin mengambil risiko.

"Karena rencana dengan pria itu gagal?"

Ashley akhirnya menatap Dominick dengan mata memicing. Untuk ukuran pria yang usianya hampir empat puluh tahun, ternyata dia cukup berisik.

"Bos, kau terus menyebut 'pria itu' memangnya siapa yang kau maksud?" Ashley sudah tahu yang disebut Dominick merujuk pada Jeremy, tetapi dia hanya ingin tahu bagaimana pria itu memandang sosok Jeremy sebagai siapanya.

"Yang kulihat malam itu di kantor. Kalian bergandengan tangan."

Ashley mungkin terlalu banyak memperhatikan gerak-gerik Dominick, sampai ketika tangan pria itu mencengkeram kemudi pun tidak luput dari tatapannya. Kenapa itu membuat Dominick merasa kesal?

"Dia teman baik. Kemarin dia menjemputku karena tahu aku belum pulang. Aku membatalkan rencana kami lagi, kalau itu terjadi padamu, bagaimana perasaanmu?"

"Aku tidak tahu. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya."

Tentu saja, Dominick McCade selalu mendapatkan yang dia inginkan. Tidak peduli jika itu membuat asistennya sendiri merasa tertekan.

"Tapi, Bos, apa yang kau lakukan di kantor malam itu? Kau lebih suka mengganggu 'waktu istirahat' asistenmu untuk mengambil dan mengantarkan ke tempatmu." Karena sudah telanjur kesal, sekalian saja Ashley melontarkan uneg-unegnya. Pria itu perlu diberi tahu sesekali.

"Aku kebetulan lewat, jadi sekalian mampir mengambil barang yang tertinggal."

Barang yang tertinggal? Ashley ingat selalu mengingatkan pria itu setiap akan pulang tentang apa saja yang perlu dibawa sebelum pulang. Bahkan isi setiap laci dan lemari di ruangannya pun Ashley hafal. Oh, kecuali satu laci sebelah kanan Dominick yang kuncinya disimpan oleh pria itu sendiri. Itu wajar, seseorang pasti punya privasi sekecil apa pun bentuknya.

"Oh, begitu." Setelah jeda cukup lama, Ashley merespons sekenanya. Yang terpenting adalah memberi jawaban. Suasana hati Ashley masih terlalu buruk untuk bicara lebih banyak lagi.

Menit-menit berikutnya berlalu dalam keheningan. Sekarang Ashley mulai mengantuk. Hari yang mulai gelap seakan-akan menjadi isyarat bahwa sudah waktunya untuk beristirahat. Seandainya dia jadi pergi dengan Jeremy besok, malam ini pasti Ashley sedang berkemas dengannya. Lalu mereka akan bersenang-senang di tepi sungai Coyote yang cantik. Malamnya menyalakan api unggun kecil dan membakar marshmallow. Rencana itu sudah sering dibicarakan oleh pria penyuka makanan manis itu pada Ashley.

Bagaimana besok? Ashley bahkan tidak tahu apa yang akan dia lakukan begitu bertemu dengan Nyonya McCade nanti. Ini bukan situasi di mana dia perlu bersikap baik agar diterima seperti orang-orang yang memperkenalkan pasangannya. Dia juga tidak ingin bersikap terlalu biasa agar wanita itu tetap percaya bahwa dirinya adalah asisten yang tepat untuk cucunya. Nyonya McCade memang secara pribadi ingin mengajaknya berkeliling kebun, tetapi bukankah agak berlebihan?

"Apa keinginan terbesarmu?"

Mata Ashley nyaris terpejam seandainya Dominick tidak bersuara. Dia menatap pria itu kebingungan, mencari-cari perangkat yang mungkin sedang dipakainya untuk menelepon seseorang, tetapi tidak ada yang dia temukan.

"Kau bertanya padaku, Bos?"

Dominick menatapnya sebentar dan kembali fokus ke jalanan di depan. "Siapa lagi?"

Seorang Dominick mengajaknya bicara? Ashley tidak tahu bagaimana menyikapi keanehan ini. "Entahlah, aku tidak punya keinginan apa pun."

"Tidak mungkin. Misalnya kau bekerja karena ingin punya uang banyak, itu juga termasuk."

"Kau sedang bosan, Bos?" Pertanyaan yang Ashley tahan sejak tadi akhirnya dia suarakan.

"Apa kita tidak boleh mengobrol?"

"Tidak. Tapi itu aneh, kau tidak pernah membawa topik apa pun selain pekerjaan dan kebutuhanmu. Wajar kalau aku merasa bingung, 'kan?"

Pria itu tertawa kecil dan Ashley menjadi bertambah bingung. Dia juga sudah menyesal karena menyaksikan bagaimana lesung pipit pria itu terbentuk di bawah rambut-rambut halus yang kembali menghujani bagian bawah pipinya. Karena, ya, itu membuat Ashley kembali menyadari betapa atasannya sangatlah tampan. Kenapa dia tidak sering-sering melihat ekspresi seperti itu saat di kantor? Sungguh memanjakan mata.

"Jawab saja. Kita di luar jam kerja sekarang."

"Oh, jadi kali ini waktuku disita tanpa dibayar? Namanya pencurian, Bos." Tangan Ashley sudah terkepal, ingin memukul lengan pria itu seperti yang biasa dia lakukan pada Jeremy ketika sedang digoda. Namun, kepalan tangan itu kemudian mendarat ke pahanya sendiri. Tidak mungkin dia akan memukul pria itu, 'kan?

"Jadi, apa?"

"Kau ingin tahu sekali. Kalau kukatakan, apa akan kau berikan?" Setidaknya obrolan kali ini tidak terasa kaku dan Ashley merasa sedikit lebih baik.

Dominick bergumam agak lama. "Tergantung. Mungkin aku harus mengganti waktumu yang kucuri ini dengan sesuatu."

Mobil berhenti karena lampu lalu lintas yang menyala merah. Di saat itu, Ashley kembali menatap ke luar jendela sambil memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang dilontarkan Dominick.

Apa keinginan terbesarnya? Dia tidak memikirkan satu barang pun karena itu bukan sesuatu yang sulit didapatkan. Memiliki kekasih seperti pasangan yang baru keluar dari toko perhiasan juga bukan sesuatu yang mendesak ingin dia miliki segera. Ashley ingin tahu seperti apa rasanya dicintai, tetapi bukan itu jawaban yang tepat untuk 'sesuatu yang bisa diberikan Dominick jika memungkinkan'.

Seekor burung yang baru saja terbang setelah memakan potongan roti dari seorang wanita tua menarik perhatian Ashley. Cara hewan itu mengepakkan sayapnya dengan indah dan terbang tinggi ke mana pun yang ia mau hinggapi memunculkan satu keinginan yang mendalam.

"Mungkin ... sebuah kebebasan?"

Mobil kembali melaju dan Ashley tidak lagi bisa melihat burung yang sedang hinggap di atas sebuah kotak pos di trotoar.

"Kebebasan?"

"Aku tidak tahu. Tapi sepertinya akan menyenangkan jika bisa hidup bebas tanpa seseorang yang membuatku harus melakukan ini dan itu. Aku ingin hidup di mana aku tidak harus bertanggung jawab atas kebutuhan orang lain. Aku ... ingin berhenti hidup seperti ini dan memakai waktuku dengan benar. Setidaknya aku tidak merasa hidup dengan sia-sia."

Tidak ada respons dari Dominick. Ashley mengingat kembali ucapannya dan tersadar bahwa pria itu mungkin mengartikan maksudnya dengan sesuatu yang lain.

"Ini bukan tentang bekerja denganmu, Bos. Seperti yang kau bilang, aku bisa berhenti kapan saja. Tapi sebetulnya aku tidak bisa. Kuharap kau masih membutuhkanku sampai aku merasa semuanya sudah cukup dan aku bisa pergi. Ketika saat itu tiba, aku akan secara sungguh-sungguh berterima kasih padamu dan meminta maaf yang sedalam-dalamnya."

Lagi, Ashley bersandar pada kaca jendela. Suasana yang melankolis ini membuatnya ingin segera menjatuhkan diri ke dasar jurang. Kenapa dia terlalu terbuka tentang perasaannya hanya karena satu pertanyaan yang sepele? Ashley terlalu panik kalau saja Dominick mengira dia tidak suka bekerja di bawahnya dan mulai berpikir akan memberhentikannya. Tidak. Ashley masih sangat membutuhkan pekerjaan itu hingga membuatnya panik. Dia bicara terlalu banyak dengan harapan pemikiran pria itu teralihkan.

Selanjutnya yang Ashley dengar hanya helaan napas Dominick.

"Harper, kalau aku tidak butuh, kau pasti sudah kuberhentikan sejak lama. Jadi, kebebasan yang kau maksud itu, maaf, tidak bisa kuberikan."

Bisakah orang-orang melihat sisi dari seorang Dominick yang ini? Ashley selalu percaya Dominick adalah pria yang baik meski terkadang bisa sangat menyebalkan dan tidak berperasaan. Namun, satu hal yang Ashley terus percaya adalah, Dominick punya alasan untuk bersikap sedemikian rupa.

"Aneh kau bersikap sehangat ini, Bos."

"Aku bahkan mampu membuatmu merasa terbakar." Saat mengucapkan itu, Dominick menyeringai.

Tapi terbakar ... seperti apa?

•••

Aloha~
Tuteyoo masih bisa update lagi karena akreditasi diundur jadi pertengahan Juni. Leganya ...

See you on the next chapter~
Lots of love, Tuteyoo
19 Mei 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top