14 - Dominick's Anger

Dominick McCade adalah pria yang tampan. Fakta satu itu tidak bisa dibantah lagi. Namun, dengan kacamata dan rambut yang dibiarkan jatuh berantakan di dahinya? Ashley sampai lupa bernapas beberapa detik setelah dia membuka pintu ruang kerja Dominick, di penthouse-nya. Pria itu sedang memeriksa sesuatu di layar komputer yang diletakkan di salah satu sisi meja. Posisi itu membuat Ashley dapat dengan bebas melihat sisi samping wajah Dominick. Itu bahkan bukan pemandangan baru, tetapi Ashley masih terus dibuat takjub.

Pagi-pagi sekali, bahkan sebelum alarm di ponsel Ashley berdering dan hari pun masih gelap, Dominick menelepon dan meminta Ashley sudah berada di tempatnya pukul tujuh tepat. Rencana Ashley untuk menikmati akhir pekannya dengan tenang lantas gagal. Bagian terburuknya lagi, dia mungkin akan membatalkan janji pergi jogging bersama Jeremy pagi ini. Jarak penthouse Dominick dengan apartemennya lumayan jauh, bisa memakan waktu setengah jam kalau tidak macet. Seandainya pergi setelah pulang dari tempat Dominick, sudah terlalu terlambat pula untuk jogging sembari menikmati udara segar pagi hari.

Namun, Ashley tetap mengenakan setelan olahraga untuk berjaga-jaga. Siapa tahu Jeremy bersedia menyusulnya ke taman yang cukup dekat dari tempat Dominick. Yah, meski Ashley sendiri cukup sadar itu akan membuat Jeremy repot dan malas. Lebih baik menundanya saja.

Saat ini Ashley sedang berdiri di seberang meja kerja Dominick. Sudah hampir tiga menit seperti itu. Ashley sudah bertanya ada perlu apa, tetapi pria yang menjabat sebagai CEO itu bergeming. Ini masih terlalu pagi dan Dominick sudah mengerjakan sesuatu di komputernya. Pria itu bahkan sudah mandi, air sisa keramas yang membuat rambutnya jatuh berantakan di dahi. Kaos hitam berlengan pendek membungkus bagian atas tubuh Dominick dengan erat.

"Harper."

Ashley mengenali intonasi suara itu. Panggilan yang menyiratkan bahwa dia baru saja melakukan kesalahan. Seandainya suara memiliki wujud padat, itu seperti sebatang jarum yang hampir menusuk telinganya, yang mampu membuat jantung berdebar-debar karena bergerak sedikit saja jarum itu akan benar-benar masuk ke telinga. Sekarang dia bertanya-tanya apa kesalahannya sampai Dominick memintanya datang sepagi ini.

Pekerjaan kemarin sudah dia selesaikan dengan baik. Jadwal satu minggu ke depan sudah diatur sedemikian rupa hingga tidak ada yang bertabrakan. Makan malamnya dengan Kate juga tidak ada masalah semalam; setidaknya itu yang bisa dia simpulkan mengingat Kate tidak menghubunginya lagi.

"Ya, Bos?" Ashley harus menelan ludahnya dulu sebelum merespons demikian. "Ada masalah?"

Dominick membuka laci mejanya untuk mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Kau tahu ini apa?" Kotak berwarna hitam itu disodorkan pada Ashley dan Ashley segera menerimanya.

Ashley membuka kotak tersebut dan menjawab, "Ini pin khusus milikmu."

Di dalam kotak tersebut terdapat sebuah pin berwarna perak berkilau berbentuk huruf D dan C yang digabung. Itu bukan logo merek fashion terkenal Christian Dior, melainkan gabungan dari inisial namanya, Dominick McCade, tetapi mengabaikan huruf M di nama belakangnya. Desain itu dibuat sendiri oleh Dominick untuk melengkapi penampilannya. Yang itu baru pin, ada juga penjepit dasi dan kancing baju. Orang-orang yang tidak tahu bisa saja mengira Dominick punya merek fashion sendiri, padahal pria itu sengaja menciptakan itu untuk memberi keunikan pada dirinya. Ashley terkadang akan mengantar beberapa kancing ke penjahit atau desainer yang merancang jas milik Dominick. Terkadang ada juga permintaan khusus untuk membordirnya langsung di kain pakaian.

"Apa kau menemukan ini selain di pakaianku?" Dominick menatap Ashley dengan tajam. Suaranya yang serak membuktikan bahwa ada erangan yang sedang dia tahan dalam kerongkongannya.

Ashley menggeleng. Namun, perasaannya makin gelisah. Meski itu adalah jawaban yang benar, tetapi dia merasa jawaban itu juga kurang tepat.

"Kau tidak pernah memeriksa apa yang kuberikan padamu ternyata. Aku sudah menahan diri dan membiarkanmu tidak memakainya saat pergi denganku, tapi aku melihat itu dipakai oleh orang lain tadi malam."

Ashley membelalakkan mata begitu menyadari ke mana arah pembicaraan Dominick. Itu pasti karena gaun yang dia biarkan Kate memakainya kemarin. Memang benar dia tidak memeriksanya dengan hati-hati dan langsung memberikannya pada Kate. Ashley selalu mengira kancing itu ada pada pakaian Dominick saja. Seperti tujuan benda-benda kecil itu diciptakan; sebagai identitas seorang Dominick. Bagaimana mungkin Ashley akan mengira benda itu juga dipasang di gaun yang dipesan untuknya? Memangnya dia siapanya Dominick sampai harus diperlakukan sespesial itu?

Sekarang dia menunduk, tidak berani lagi menatap pria yang usianya sepuluh tahun lebih tua darinya itu. Ashley tetap berusaha menenangkan dirinya sendiri, bahwa barang yang sudah diberikan padanya seharusnya bebas mau dia apakan. Namun, sepertinya Dominick memiliki pandangan yang berbeda tentang sebuah hadiah.

"Aku benar-benar minta maaf, Bos. Aku sungguh tidak mengira kalau model kancing itu juga ada di baju yang diberikan padaku. Aku tidak akan mengulanginya lagi lain kali. Maafkan aku."

Tidak ada gunanya mendebat seorang Dominick tentang hak dan wewenang atas kepemilikan barang. Di lain sisi Ashley mengaku bersalah. Selama ini memang benar dia tidak pernah mengeluarkan pakaian pemberian Dominick dari kotaknya. Jadi, apa pun bentuk pembelaannya, tidak akan mengubah apa-apa.

Dominick beranjak dari kursi dan berjalan ke depan mejanya. Tepat di hadapan Ashley pria itu bersandar pada meja. Tidak ada yang dia lakukan selain bersedekap di sana.

Ashley merasakan panas di kepalanya karena menjadi sasaran tatapan tajam Dominick. Situasi ini persis seperti masa-masa awal dirinya menjadi asisten. Waktu itu Ashley menyingkirkan sekotak rokok Dominick yang masih baru karena mengira itu milik klien yang tertinggal di ruang konferensi. Hal yang sepele memang, tetapi tetap menjadi salah Ashley karena tidak bertanya lebih dulu sebelumnya.

"Sebetulnya salahmu tidak akan begitu fatal kalau kau memang menjual gaun itu karena butuh uang dan kebetulan Nona Willow yang membelinya, tapi kau memberikannya secara cuma-cuma agar dia terlihat luar biasa di mataku. Kau bersikap seolah-olah tidak mengenalnya dan membuatku menunggu, padahal kalian berteman sangat baik. Aku tidak tahu kalau Ashley Harper adalah seorang pembohong."

Ashley berjengit kaget dan menunduk lebih dalam karena tiba-tiba pria itu membungkuk hingga wajah mereka sejajar.

"Apa kau sebenci itu memakai barang dariku, Harper? Aku sedang bicara jadi tatap mataku."

Akhirnya Ashley mendongak. Sepasang bola mata hitam pekat itu membuatnya menelan ludah. "Bukan begitu, Bos. Aku ... sungguh tidak teliti dan malah memberikan baju darimu."

"Kalau begitu aku ingin kau memakainya ke kantor hari Senin nanti." Dominick menegakkan badannya lagi. "Aku tidak peduli bagaimana kau mendapatkannya."

Tentu saja perintah itu membuat Ashley terbelalak sekali lagi. Dia sudah berkata pada Kate untuk menyimpan gaun itu, mana mungkin diminta kembali?

"Boleh kupakai yang lain?"

"Tidak."

"Tapi memakai itu ke kantor sangat berlebihan, Bos."

Model gaun yang dikenakan Kate semalam kini membayang di kepala Ashley. Gaun yang seharusnya dikenakan untuk mendatangi acara formal harus dipakai untuk bekerja. Dia benar-benar akan terlihat seperti seorang penggoda. Orang-orang yang punya mulut akan bicara lebih banyak tentang dirinya.

Pria itu menyeringai dan terlihat sangat tampan. Itu sungguh tidak adil bagi Ashley. "Lebih berlebihan mana dengan dirimu yang memakai gaun terbuka untuk memamerkan punggung? Permintaanku masih cukup baik, Ashley. Sebaiknya kau turuti atau aku akan memintamu melakukan sesuatu yang lebih buruk."

Ashley mulai mempertimbangkan bagaimana seandainya dia tidak menurut dan menerima sesuatu yang buruk tersebut. Karena jujur saja, dia tidak mampu meminta kembali bajunya dari Kate. Bayangkan makanan yang baru saja diludahkan kemudian disuap lagi, setidak enak itu rasanya.

"Kau tahu, Harper, aku benci seseorang yang tidak menghargai pemberian orang lain. Pakai gaunnya hari Senin. Apa salah kalau aku memintamu memakai gaun pemberianku?" Dominick memainkan rambut Ashley yang terurai di depan bahunya. "Karena kau sudah mencoba memakai gaun untuk mendampingiku, mulai sekarang telah diputuskan kau akan memakai gaun dariku saat kita pergi lagi."

Astaga. Baru saja Ashley ingin berhenti memakai pakaian bagus untuk mendampingi Dominick, sekarang dia justru diminta memakainya terus. "Aku tidak bisa, Bos."

"Keputusan telah dibuat. Kau bisa mengundurkan diri kalau sudah tidak sanggup, Harper. Ada banyak orang yang menginginkan posisimu, mudah saja mencari pengganti. Aku ingin asistenku juga terlihat bagus, hanya jangan memakai sesuatu yang terlalu terbuka."

Tangan Ashley terkepal di kedua sisi tubuhnya. Pria itu tahu betul ancaman yang pantas hingga membuatnya tidak bisa berkutik. Pekerjaan ini tidak bisa dilepas Ashley, setidaknya untuk dua sampai tiga tahun ke depan.

Dominick tidak bersikap sesuai usianya ketika kemarahan sedang menguasai. Yang seperti inilah yang menjadi alasan asisten-asisten sebelumnya memutuskan untuk pergi. Sedangkan Ashley yang sudah tercebur mau tidak mau harus bertahan sampai akhir. Setidaknya sampai situasinya cukup aman untuk pergi.

"Baik, akan kulakukan."

Dominick melepas rambut Ashley setelahnya. "Aku tahu kau pasti berpikir kau bebas melakukan apa saja dengan apa yang sudah kuberikan padamu. Tapi tujuanku memberimu barang itu tidak tercapai, itulah yang membuatku marah dan tidak bisa menahannya sampai hari Senin."

"Ya ... aku mengerti."

"Bagus. Kau boleh pulang." Setelah berkata seperti itu, Dominick berjalan keluar dari ruang kerjanya, melewati Ashley begitu saja.

Ashley baru benar-benar bisa bernapas dengan lega setelah kepergian Dominick. Pekerjaannya mudah sebetulnya, tetapi memiliki bos yang mudah tantrum seperti itu yang membuatnya sering kali berpikir ingin mundur. Pagi ini Ashley pergi ke tempat Dominick tanpa mengonsumsi apa pun sebelumnya. Kemudian menerima kemarahan pria itu membuatnya makin lemas. Dia harus segera pergi dan mampir untuk membeli sesuatu di pinggir jalan nanti.

Namun, baru saja keluar dari penthouse Dominick, ponselnya berdering.

"Ya?"

Beban di pundaknya serasa bertambah berat ketika mendengarkan penuturan orang di seberang sambungan telepon.

"Aku baru mengirim uang kemarin. Masih perlu lagi?"

Ada jeda cukup lama sebelum orang di seberang membalas, "Tersisa sedikit dan tidak cukup, sedangkan kami sangat membutuhkannya segera, Ashley."

Rasa frustrasi dilampiaskan Ashley pada rambutnya. Dia menyugar rambutnya yang terurai, tetapi tangannya tetap berada di atas kepala, meremas rambutnya sendiri. Inilah salah satu alasan kenapa dia tidak bisa melepaskan pekerjaan yang memberinya penghasilan sangat banyak.

"Kau harus cepat lulus. Aku tidak sanggup menanggung semua ini sendirian."

•••

"Hei, Tetangga, aku menelepon sejak tadi tapi tidak kau jawab."

Ashley baru saja memasuki gedung apartemen dan sudah disambut Jeremy. Sepertinya pria itu duduk di lobi untuk menunggunya. Ashley mengeluarkan ponsel dari kantong celana untuk memeriksanya dan benar saja, ada tujuh panggilan tidak terjawab dari Jeremy di sana.

"Maaf, ponselnya kulempar di bangku belakang mobil tadi." Dia menghentikan langkahnya sebentar. "Maaf membatalkan rencana kita, sesuatu telah terjadi dan aku harus buru-buru pergi sampai lupa mengabarimu."

Ashley melanjutkan lagi langkahnya, tetapi Jeremy kemudian menyusul dan mengiringi langkahnya sampai ke dalam elevator. "Apa yang terjadi?" Tidak hanya itu, Jeremy juga mendahului Ashley menekan tombol elevator menuju lantai apartemen mereka.

Perasaan Ashley menghangat saat Jeremy menatapnya dengan rasa khawatir. Satu-satunya tatapan mengasihani yang tidak Ashley benci adalah milik Jeremy. Sejauh ini pria itu tidak hanya sekadar mengasihani, tetapi mendengarkan dan menghiburnya. Selama jauh dari orang-orang terdekatnya, bersama Jeremy lebih dari cukup untuk mengobati rasa rindu pada mereka.

Ashley menyandarkan kepala di lengan Jeremy dan pria itu segera merangkulnya agar bersandar lebih nyaman. "Aku lapar," keluhnya. Sebagai anak pertama di keluarganya, bersama Jeremy sama seperti memiliki seorang kakak laki-laki yang penyayang dan penuh perhatian. Dengan pria itu dia bisa mengungkapkan hal-hal yang selama ini selalu ditahannya sendiri.

Jeremy berdecih ringan. "Kau tahu bukan itu yang mau kudengar."

"Aku ingin makan dulu, baru kuceritakan." Ashley mengangkat kantong plastik bening berisi dua kotak stirofoam besar yang dia bawa sejak keluar dari mobil. "Kau juga pasti belum sarapan, 'kan?"

"Kau tahu saja."

Ashley merasa gerah, setibanya di apartemennya, hal pertama yang dia lakukan adalah melepas jaket olahraganya dan melapisi tanktop-nya dengan kaos berukuran besar warna putih. Saat di apartemen, dia suka memakai pakaian seperti itu.

Begitu keluar dari kamar, makanan yang dibelinya tadi sudah ditata Jeremy di meja makan. Pria itu melakukannya seperti orang yang memang tinggal di sana. Tidak perlu meminta izin, atau bertanya di mana letak barang tertentu. Peralatan makan pun sudah ditatanya di atas meja beserta minuman dingin yang dia ambil dari kulkas.

"Kita perlu belanja, kulkasmu hampir kosong."

Kapan Ashley belanja bulanan? Dia bahkan sudah melupakannya. Terlalu banyak hal yang dilakukan membuatnya lupa mengurus rumah. Ashley rasa itulah keuntungan dari memiliki hubungan baik dengan tetangga seperti Jeremy. Biasanya Ashley juga tidak akan menyadari seberapa banyak sisa bahan-bahan di rumahnya kalau tidak diajak pergi.

"Aku banyak membawa makan dari luar, jadi tidak sadar." Ashley membalas di sela-sela kunyahan. "Tapi ada yang lebih penting dari belanja."

Napas panjang yang Ashley embuskan sudah cukup memberi tahu Jeremy kalau kejadian pagi ini memang bukan sesuatu yang menyenangkan. Ashley merasa tidak cukup beruntung karena langsung bertemu dengan Jeremy di lobi. Tidak ada gunanya menyembunyikan jika pria itu sudah melihat kekacauannya. Akhirnya Ashley menceritakan secara singkat apa yang terjadi. Hanya di bagian dirinya ceroboh dan diminta untuk mengenakan gaun itu lagi.

"Aku akan menukarkan gaun itu dengan gaun yang lain. Tapi aku harus memeriksa setiap kotak untuk memastikan yang kuberikan pada Kate bukan dari Dominick lagi." Baru memikirkannya tentang menyortir gaun saja sudah membuat Ashley menjatuhkan kepala ke atas meja makan, bertelungkup. "Kau lihat sendiri seberantakan apa isi walk in closet-ku, 'kan?"

"Kenapa tidak membeli yang baru kalau tidak ingin mengambil yang sudah kauberikan?" Jeremy bersedekap dan tampak percaya diri bahwa itu adalah solusi terbaik.

"Tidak mungkin. Itu gaun yang didesain sesuai permintaan Dominick. Tidak bisa kuminta desainernya membuat lagi karena aku tidak menyimpan sisa kancingnya. Lalu motif tekstur kain baju itu sepertinya juga Dominick sendiri yang mendesainnya. Aku merasa pernah melihat kain yang sama waktu memeriksa lemari besarnya."

Kalau diingat-ingat, Dominick punya satu buku sketsa di lemari kaca di belakang kursinya di kantor. Meski pria itu serius mengurus perusahaan, terkadang ada saatnya dia akan bosan dan menggambar. Ashley pernah melihat hasilnya dan itu sangat bagus. Dominick benar-benar sempurna seandainya kepribadiannya juga bagus.

"Tapi siapa yang menghubungi desainernya? Kau atau dia?"

"Kau mau aku meminta desainer itu membuatkan satu lagi untukku, begitu?" Meski bingung pada awalnya, tetapi Ashley segera mengerti arah pembicaraan Jeremy.

Benar saja, pria itu mengangguki pertanyaannya.

"Tidak mungkin. Dengan desainer itu, mereka menandatangani kontrak kerja sama. Dominick tidak suka model pakaiannya ditiru, meski saat dilihat itu sama saja dengan yang lainnya. Tapi bahan pakaiannya berbeda. Mungkin itu juga berlaku untuk pakaianku."

Ashley yang pusing, Jeremy yang justru terlihat lebih putus asa. "Seharusnya kau bekerja denganku saja. Dominick itu aneh." Pria itu menggerutu.

Ashley mengernyit ketika Jeremy tiba-tiba bertopang dagu di atas meja dan wajahnya mengerucut. Pria itu jadi terlihat lucu dan aneh secara bersamaan. Namun, Ashley juga ikut menyusul bertopang dagu seperti Jeremy.

"Kalau aku tidak bekerja dengan Dominick, aku tidak akan tinggal di sini dan kau akan hidup tenang tanpa diganggu." Saat mengatakan itu, ada senyum penyesalan yang Ashley tunjukkan. Dia sadar sudah terlalu banyak membuat Jeremy repot.

"Itu buruk. Aku senang-senang saja diganggu terus, apalagi itu kau." Wajah cemberut pria itu tadi berubah menjadi tersenyum sangat manis.

Kenapa dia suka direpotkan? Pertanyaan itu mencuat begitu saja di kepala Ashley. Seakan-akan menjadi jawaban, suara Melissa menyusul teringat lagi. Bagaimana kalau mencoba berkencan dengan Jeremy?  Ashley bahkan tidak tahu bagaimana memulainya. Kalau dia bertanya apakah pria itu menyukainya lalu dijawab dengan tidak, tentu saja Ashley akan sangat malu.

"Jadi, bagaimana kalau bekerja denganku? Seandainya tempat ini diambil Dominick lagi, kau bisa tinggal denganku. Masih ada tiga kamar kosong."

Ashley menggeleng ringan sembari tersenyum kecil, dan dia juga mulai mempertanyakan keuntungan apa yang didapat pria itu kalau menampungnya. Dia pun merasa tidak punya kemampuan khusus untuk bekerja di toko Jeremy. Yang dia punya hanya pengalaman menjadi asisten pribadi. Kecuali Jeremy juga memintanya menjadi asisten, Ashley pasti tanpa pikir panjang akan langsung melamar untuk posisi itu setelah berhenti bekerja dengan Dominick.

"Tahan tawaran itu sampai dua atau tiga tahun ke depan. Aku pasti akan langsung menerimanya."

Ashley mengatakan itu dengan serius sebetulnya, tetapi pria di seberangnya justru merespons dengan tawa kecil disertai anggukan. Bahkan tangan Jeremy terulur untuk memainkan beberapa helai rambut yang terlewat dia ikat sebelum menyantap makanan yang dibelinya tadi. Entah kenapa orang-orang suka memainkan rambutnya hari ini.

"Mau kubantu menyortir pakaian?"

"Tidak ke toko?"

Jeremy tersenyum seperti ingin berbangga diri. Ashley melihat itu tidak begitu cocok karena pria itu terlalu manis untuk menjadi pria yang sok keren.

"Aku pemiliknya, untuk apa aku membayar orang lain kalau masih harus datang setiap hari?"

Untung saja pria itu memang punya sesuatu untuk dibanggakan.

•••

Selamat dan semangat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, teman-teman~

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
14 Maret 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top