11 - Melissa's Date Night

Terjaga sampai larut malam bukanlah kebiasaan Katherine. Dia penganut 'mari tidur cepat selagi bisa', tidak peduli di akhir pekan sekalipun. Tubuhnya memberi reaksi yang kurang bagus pada besok siangnya jika terjaga terlalu larut pada malam hari. Namun, matanya akan terus terbuka jika ada seseorang bersamanya.

Malam ini Melissa tiba-tiba datang ke apartemennya sembari membawa sestoples kacang kenari. Kira-kira beratnya satu kilogram saat diangkat. Kate jadi tidak punya alasan untuk mengusir Melissa yang mengusik waktu malamnya. Makanan dan camilan membuat Kate tidak berdaya meski setelahnya dia harus berolahraga keras demi menjaga berat badannya tetap ideal. Dia tidak seberuntung Melissa atau Ashley yang makan banyak tidak menimbulkan kenaikan berat badan yang drastis.

Satu stoples kacang kenari yang dibawa Melissa kini berada di pangkuan Kate. Kedatangan wanita itu tidak begitu berarti, tidak ada alasan khusus selain menonton film dari aplikasi Netflix menggunakan laptopnya sendiri. Kate tidak bisa menahan protes ketika Melissa justru asyik sendiri, mengabaikannya dalam proses perbaikan gizi. Namun, lama-lama Kate pun ikut menonton bersama Melissa.

Ponsel Kate kemudian berdering panjang. Mau tidak mau dia harus beranjak menuju meja riasnya karena ponsel itu diletakkan di sana sejak mengirimkan balasan ke grup obrolan mereka bertiga. Dia bermaksud ingin tidur segera jika saja Melissa tidak bertamu.

"Ya, Ash?"

"Baca pesanku, Kate. ASAP!"

Ashley-lah yang baru saja menelepon Kate, dan wanita itu langsung mengakhiri sambungan telepon sebelum Kate sempat bicara. Sesuai permintaan Ashley, Kate memeriksa pesan dan ada lima pemberitahuan darinya.

"Aku mulai merasakan betapa menakutkan atasan Ashley." Kate menggeleng-geleng kecil ketika kembali ke atas karpet, posisi awalnya.

"Apa yang terjadi?" Semudah itu memancing rasa penasaran Melissa. Dia sampai bangkit dari posisi tengkurapnya menjadi duduk dan tidak lupa menjeda film.

Kate lantas menunjukkan layar ponselnya.

Ashley
Tolong katakan kau tidak sibuk Jumat malam.
Aku akan mengatur pertemuan kalian.
Jangan khawatir soal penampilan, aku akan meriasmu.
Dia meminta jawaban segera, aku tidak punya pilihan.
🥲🥲

Kate dan Melissa saling pandang sebentar, sampai kemudian Kate mengakhirinya dengan kembali menatap pesan Ashley. Sesuatu yang terkesan seperti dipaksakan itu, Kate tidak tahu apakah akan berakhir baik. Namun, Kate tidak menolak orang-orang yang ingin mengenal baik dirinya, selagi dia juga dapat mengenali orang tersebut.

"Pria itu terobsesi denganmu." Melissa berceletuk sambil kembali ke posisi awalnya menonton, bertengkurap.

"Tidak mungkin." Kate juga berpindah posisi, duduk bersandar pada pinggiran kasur dengan kaki berselonjor. "Dominick McCade tidak terlihat seperti pria yang gegabah. Seorang pebisnis seharusnya mampu melihat peluang keuntungan sebelum bekerja sama. Tapi dia perlu menggali informasi yang banyak terlebih dulu. Bisa jadi itu yang sedang dia lakukan, tapi caranya tidak biasa."

Penuturan Kate membuat Melissa manggut-manggut. "Dia sama sekali tidak menghubungimu? Padahal sudah punya nomormu?"

Kate menggeleng. "Pria seperti dirinya tidak akan melakukan sesuatu yang remeh-temeh begitu. Tapi aku tidak yakin dia akan mendapat keuntungan kalau bersamaku."

"Pengusaha biasanya menerima perjodohan untuk memperbesar bisnis." Pembicaraan yang menarik itu membuat Melissa menutup laptopnya dan berbaring menghadap Kate. "Itu bukti kalau dia memang tertarik padamu, kurasa."

Kate menggaruk rahangnya yang tiba-tiba gatal meski tidak ada nyamuk yang berterbangan. Rencana awalnya adalah tidur cepat, lalu Melissa datang, dan sekarang Ashley menyerangnya dengan rencana kencan bersama Dominick. Awalnya tidak ada masalah, tetapi sekarang terdapat sedikit tekanan yang menjatuhi bahunya. Kencan yang merepotkan itu setidaknya harus berhasil agar muncul pertemuan-pertemuan yang lain. Sosok Dominick cukup menarik untuk Kate korek informasinya. Di sisi lain, itu juga bisa jadi bahan artikel seandainya dia diminta menulis tentang pria itu lagi.

Jika semuanya berjalan lancar, apa itu berarti dia akan benar-benar menjadi pasangannya?

Sebelum hari ini, Kate tidak pernah membayangkan kehidupan yang diselimuti kemewahan. Dia menyukai kesederhanaan, kehidupan rumah tangga yang harmonis dengan keuangan yang cukup; tidak kurang dan tidak lebih. Kate berharap dia dan pasangannya kelak mampu menciptakan situasi yang nyaman dan membahagiakan untuk anak-anak. Jangan sampai mereka merasakan apa yang dia alami selama ini.

"Jadi kau akan menerimanya?"

Kate mendelik ke arah Melissa dan menghela napas. "Menurutmu aku punya pilihan yang tidak menimbulkan masalah untuk Ashley?"

"Ah, jadi kau melakukannya karena Ashley."

"Kenapa nada bicaramu seperti itu?" Kate memicing karena nada bicara sinis Melissa.

"Kalau kau keberatan melakukannya, kau bisa katakan kalau tidak tertarik, atau sudah bersama seseorang. Harus tegas, Kate."

Seperti biasa, Melissa gampang melepas atau menolak sesuatu tanpa memikirkan perasaan orang lain. Satu hal yang tidak dimiliki salah satu sahabatnya itu adalah rasa tidak enakan. Tidak perlu ada pertimbangan, lepas saja kalau sudah tidak suka, tidak mau, tidak cocok. Kate sudah pernah mencoba bersikap seperti itu, berusaha untuk tidak peduli, tetapi itu terus menghantui pikirannya tanpa bisa dikendalikan. Melissa tahu betul satu hal itu tentang dirinya. Beruntung dia adalah sahabat Kate, kalau bukan mungkin Kate sudah membanting pintu di depan wajahnya.

"Kesempatan yang baik tidak boleh disia-siakan, seperti menambang emas yang sudah sangat dekat dengan galian. Siapa tahu aku bisa membuat ibuku pulang dan mengurus adik-adikku saja di rumah." Kate menghela napas. Dadanya selalu terasa berat dan sesak setiap kali memikirkan tentang kondisi keluarga. "Lagi pula, itu baru pertemuan pertama, kalau tidak suka, ya, tidak perlu dilanjutkan."

"Kau benar. Kebutuhan hidup sangat banyak, memang harus mencari yang siap dompetnya."

Satu pukulan bantal dilayangkan Kate ke kaki Melissa hingga wanita itu meringis. "Dia perlu pengertian juga. Aku tidak mau menikahi mesin pencetak uang."

"Apakah itu penting?"

Kate melirik Melissa yang sudah menerawang langit-langit kamarnya. Pertanyaan itu dilontarkan Melissa dengan suara yang pelan, yang berarti bukan untuk merespons Kate lagi. Kate bisa mengerti bagaimana Melissa bisa tumbuh seperti itu dan tidak bisa memahami dirinya. Ibunya kabur sejak dia masih sangat kecil dan tumbuh bersama dua pria pekerja keras. Mental dan hatinya tidak tumbuh dengan cara yang sama seperti Kate.

"Kencanmu dengan dokter jantung itu, besok, 'kan?" Kate mengganti topik pembicaraan.

Melissa mencebik. "Begitulah."

Jawaban sekenanya itu membuat sebelah alis Kate terangkat. Melissa terlalu santai untuk seseorang yang ingin kembali berkencan setelah bertahun-tahun lamanya.

Yah, sebenarnya pertemuan dengan Dominick nanti pun bukan yang pertama kali bagi Kate. Dia sudah pernah berkencan beberapa kali, tetap tidak bisa tidak merasa gugup saat akan bertemu orang baru.

"Kau terlalu santai."

"Lalu aku harus bagaimana? Itu, kan, hanya pertemuan biasa." Melissa kemudian bangun. Laptop yang tergeletak di atas kepalanya kembali menayangkan film yang ditonton sebelumnya. "Ayo, kita sudah mau masuk ke bagian klimaks."

•••

Sebagai wanita yang sangat disiplin waktu, Melissa paling tidak suka dibuat menunggu. Dia benci keterlambatan. Untuk menilai seseorang poin kedisiplinan memiliki nilai paling besar. Sekali jelek, penilaian yang lainnya tidak berarti apa-apa. Hari ini Melissa ingin menerapkan metode penilaian tersebut, tetapi dua mil dari tempatnya berada sekarang ada seseorang yang terus memintanya agar menunggu sedikit lagi.

Melissa
Sedikit, sedikit, sedikit.
Aku sudah menunggu terlalu banyak.
Aku tidak peduli sekaya dan setampan apa dokter itu, tapi sudah satu jam aku menunggu.
Aku akan pulang.

Andy
Ayolah, sedikit lagi.
Lima menit terakhir, kalau masih tidak datang, kau boleh pulang.

Melissa
Kau siapa mengatur kepulanganku?

Andy
🙇🏻‍♂️🙇🏻‍♂️
Dia seorang dokter, mungkin sedang ada tindakan.

Melissa
Seharusnya aku tidak menerima yang ini.

Andy
Jangan khawatir, aku punya rekomendasi yang lain.

Melissa
Kau bahkan tidak tahu seperti apa standarku.

Andy
Buat daftarnya, akan kucocokkan.

Satu helaan napas kesal Melissa embuskan. Sebenarnya dia bisa mengencani siapa pun yang ada di kantor. Ada banyak pilihan untuknya. Namun, Melissa pikir mengencani mereka akan rumit. Drama pekerjaan sudah membuatnya pusing, jangan lagi dicampur dengan percintaan. Kemudian Andy dengan segudang keusilannya menunjukkan beberapa kandidat untuk Melissa. Di antara beberapa pilihan itu, hanya sang dokter jantung yang berhasil menarik perhatiannya. Hanya dari foto, tentunya.

Melissa sudah menyimpan nomor ponsel dokter tersebut dan sudah mengirimkan beberapa pesan sejak satu jam yang lalu. Dia ingin memastikan apakah tetap ditunggu atau pertemuan mereka dijadwalkan ulang saja. Seorang dokter terkadang bisa memiliki jam kerja yang tidak terduga, terutama ketika ada pasien darurat yang memerlukan tindakan cepat. Bahkan seorang dokter terpaksa meninggalkan aktivitas apa pun yang sedang dia lakukan demi menyelamatkan pasien tersebut. Melissa kagum karena itu pekerjaan yang mulia.

Namun, apa tidak bisa memperkirakan terlebih dahulu waktu operasi dan mengirim pesan padanya? Dengan begitu Melissa tidak perlu buru-buru pergi dan menyelesaikan satu episode dari film serial yang sedang ditontonnya. Ini bahkan sudah lewat jam makan malam. Es limun yang dipesannya pun sudah habis. Lima menit lagi, lima menit yang terhitung sejak Andy menyebutkannya dalam pesan, Melissa benar-benar akan pulang. Tidak ada toleransi.

Setiap pintu kafe terbuka, Melissa selalu refleks menoleh ke sana seperti orang bodoh. Dia bahkan tidak pernah menantikan kedatangan seseorang sebesar itu. Kebanyakan pelanggan datang dengan pasangan. Kafe ini bisa dibilang memiliki suasana yang romantis, cocok untuk berkencan, tetapi agak berlebihan bagi Melissa untuk menemui seorang pria asing.

Sekali lagi Melissa menatap pintu, tetapi yang dia lihat justru si pria menyebalkan yang tinggal di seberang apartemen Ashley. Pria itu tidak sendirian, ada seorang wanita pirang bergaun seksi di sisinya. Entah kenapa sejak pertemuan pertama mereka, pria itu jadi sering muncul di mana-mana. Di toko, masih bisa Melissa maklumi, tetapi hari ini dari sekian banyak kafe, bisa-bisanya mereka bertemu di sini.

Melissa tidak kunjung mengalihkan pandangan dari Jeremy sekadar untuk memastikan kebenaran dari dugaannya. Melissa selalu yakin pria itu memiliki rasa ketertarikan pada sahabatnya. Terlalu sering bergaul dengan pria membuatnya menyadari perbedaan sikap mereka ketika berkaitan dengan hal-hal yang mereka sukai. Dan itu dia rasakan pada Jeremy. Akan tetapi, dia mulai meragukan dugaannya ketika malam ini Jeremy datang bersama seorang wanita. Pria itu akan mendapat cap berbahaya jika masih berusaha mendekati Ashley dalam status berpacaran dengan wanita lain.

Partner kencan Jeremy tampaknya ingin terus menempel, tetapi terdapat keengganan di wajah pria itu meski terus tersenyum. Itu pemandangan yang menarik bagi Melissa. Bisa jadi wanita itu bukanlah kekasihnya. Dia mungkin terlalu lama memperhatikan sampai-sampai ketika Jeremy mencari-cari keberadaan pelayan, tatapan mereka bertemu. Melissa tersenyum iba pada pria itu sembari menggeleng kecil sebelum memalingkan muka.

"Astaga!"

Terlalu asyik memperhatikan tetangga Ashley membuat Melissa tidak menyadari kapan si dokter jantung duduk di hadapannya. Sekarang dirinya merasa begitu bodoh karena terlalu peduli pada urusan percintaan orang lain. Namun, kenapa Melissa masih refleks ke arah Jeremy lagi? Itu memalukan sekaligus menyebalkan, apalagi pria itu membalasnya dengan seulas senyum mengejek yang sangat khas.

"Maaf, aku sangat terlambat. Tindakan operasinya cukup berat."

Melissa tidak mudah luluh pada rayuan pria apa pun bentuknya. Mantan kekasihnya dulu menyiapkan kejutan ulang tahun di rumah Melissa, tetapi alih-alih tersanjung, dia justru merasa itu sangat tidak berguna dan buang-buang uang saja. Kebetulan saat itu wastafel di rumahnya bocor, sedangkan ayah dan kakaknya tidak ada di rumah. Sang kekasih lantas diminta untuk memperbaikinya, sementara Melissa menikmati kue ulang tahun yang dibawa kekasihnya seorang diri.

Namun, kali ini berbeda, hanya dengan tersenyum dokter itu mampu membuat Melissa hampir melupakan kekesalan atas keterlambatannya. Senyum pria itu bahkan menularinya, tetapi tetap saja Melissa tidak akan diam saja setelah pria itu melakukan sesuatu yang sangat dibencinya.

"Itu tidak sebentar, Tuan Dokter." Melissa melirik gelas kosongnya sebagai bukti bahwa saking lamanya, minumannya sampai habis. "Anda tidak memberi tahu tentang rencana tindakan. Kukira seorang dokter selalu merencanakan tindakan apa yang harus dilakukan beserta estimasi waktunya."

Melissa makin merasa tidak senang ketika pria itu, yang enggan dia sebutkan namanya, justru tersenyum makin lebar. Cara pria itu menatapnya seperti orang dewasa yang sedang menghadapi anak kecil merajuk. Melissa jadi merasa keluhannya hanya hal remeh-temeh.

"Terkadang saat tindakan bisa saja terjadi hal-hal tidak terduga. Seperti perdarahan yang tidak normal dan lain sebagainya." Tenang sekali pria itu menjawab, seperti tidak ada rasa bersalah sama sekali.

"Anda tahu hal-hal seperti itu biasa terjadi, seharusnya Anda tetap memberi kabar. Ini baru pertemuan pertama, tapi tidak memberi kesan yang baik sama sekali. Mungkin akan ada orang lain yang berkenan memaklumi profesi Anda, tapi Anda bahkan tidak peduli kalau waktu yang terbuang sia-sia itu bisa untuk melakukan sesuatu yang lebih penting. Setelah saya bicara dengan serius seperti ini, Anda sungguh masih bisa tersenyum seperti itu? Apa bagi Anda saya tidak punya hal lain untuk dikerjakan?"

Dokter berambut pirang itu lantas berhenti tersenyum. Dia berusaha memperlihatkan rasa sesal yang di mata Melissa sama sekali tidak terasa ketulusan. Pria itu mungkin sudah biasa membuat orang lain menunggu dan dimaklumi. Bagi Melissa, yang terlatih untuk disiplin waktu dalam pekerjaannya, hanya sedikit alasan yang bisa dimaklumi, misalnya orang itu tiba-tiba sakit atau mengalami musibah sampai meninggal.

"Aku benar-benar minta maaf, Nona Rose. Tidak akan terjadi lagi ke depannya." Dokter itu menangkupkan tangan di depan dada dan tersenyum begitu manis.

"Ke depannya? Saya meragukan itu, Tuan Dokter."

Pria itu berdeham dan mengambil buku menu yang ada di tengah-tengah meja. Melissa cukup sadar ucapannya mungkin saja membuat dokter tersebut tersinggung. Akan tetapi, daripada melanjutkan hubungan yang berselimut kepura-puraan, dia lebih senang bersikap apa adanya.

"Bagaimana kalau kita memesan makan dan mengobrol? Beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesan pertama yang buruk."

"Aku akan memesan minum lagi."

"Baiklah, minum saja."

Melissa membiarkan pria itu memanggil seorang pelayan dan menyebutkan pesanan mereka. Entah karena lapar atau bagaimana, pria itu memesan dua porsi makanan.

"Kau orang asli sini?" Dokter itu membuka obrolan.

Melissa menggeleng kecil. "Saya meninggalkan Connecticut dan merantau ke sini tiga tahun lalu."

"Ada alasan kenapa memilih New York? Kudengar CT diakui sebagai pemimpin global dalam investasi. Pendapatan per kapita di sana cukup tinggi. Kau bisa menjadi perawat di sana dengan penghasilan yang bagus."

Ah, pembicaraan tentang karier ini sudah membuat Melissa ingin segera mengakhiri sesi makan malam mereka. Kenapa wanita identik dengan karier-karier yang sifatnya feminin? Seharusnya sudah tidak ada lagi diskriminasi gender dalam hal profesi di masa sekarang ini.

"Sayang sekali ... tapi saya lebih suka mengurus jaringan yang rusak daripada orang sakit."

Ada perubahan ekspresi yang tidak cukup menyenangkan di wajah pria itu. Melissa merasa dokter itu mungkin ingin mengatakan sesuatu, tetapi ditahannya.

"Bukan masalah. Apa pun pekerjaanmu, yang terpenting adalah kau senang menjalaninya."

Mungkin Melissa terlalu cepat menilai. Dokter itu, atau dia akan menyebut namanya sekarang; Harry, mengatakan sesuatu yang selama ini ingin sekali didengarnya dari mulut orang lain. Suporter terbaik untuk kariernya saat ini hanya dua sahabat dan kakaknya.

"Terima kasih, kata-kata itu membuat saya senang." Melissa masih bersikap terlalu formal sampai membuat Harry tertawa.

"Bisa turunkan sedikit level formalitasnya? Aku merasa seperti sedang bicara dengan seorang pasien."

"Maaf, kebiasaan."

Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang mengantar pesanan mereka. Entah selama apa Harry melakukan tindakan sebelum tiba di kafe sampai memesan dua porsi roti bakar. Sayangnya, sebelum sempat pria itu menyentuh roti yang dipesan, ponselnya berdering.

Melissa menunggu Harry bicara di telepon sambil menyesap minuman. Pria itu memelankan suara seakan-akan tidak ingin Melissa mendengar apa yang sedang dibicarakan. Melissa lantas mencari kesibukan lain dengan melihat-lihat ke sekeliling kafe yang lumayan ramai. Dan di antara para pelanggan itu, sudah tidak ada lagi Jeremy dan pasangan manjanya.

Tunggu, Melissa mengernyit begitu tersadar kalau dirinya mencari keberadaan si pria menyebalkan. Wajar saja, kan, kalau dia sekadar ingin memastikan apakah Jeremy masih memperhatikan untuk mengganggunya. Ya, benar begitu.

"Melissa, maaf. Aku dokter junior di rumah sakit. Ada situasi darurat yang harus ditangani segera dan seniorku sedang menangani kasus yang lain. Lain kali, aku akan benar-benar menyisihkan waktu untukmu. Silakan dinikmati, aku akan membayarnya. Sampai jumpa."

Satu jam menunggu, setengah jam mengobrol, lalu ditinggal pergi begitu saja. Dan apa katanya tadi, 'lain kali'? Jangan harap Melissa akan menghubungi atau merespons pesannya. Kontak Harry bahkan baru saja terhapus dari ponsel Melissa. Benar-benar kencan yang buruk. Kalau untuk ini saja dia tidak bisa mengatur waktu, bagaimana ke depannya? Melissa pun ingin punya waktu yang berkualitas dengan pasangan, bukan kejar tayang seperti tadi.

"Ekhem."

Melissa mendongak ketika seseorang berdeham.

"Kursi ini kosong, 'kan?"

Sial. Kenapa pria menyebalkan ini kembali lagi dan menghampirinya?

•••

Halo ...
Maaf telat banget update-nya. 2 minggu terakhir ada banyak hal yang mengganggu pikiran ini :")
Insecurity memang suka tiba-tiba menyerang tanpa diundang.

Terus, setelah ditimang-timang dan dibayangkan, cerita ini akan punya bab yang banyak. Semoga teman-teman tahan bacanya. Dan Tuteyoo berharap updatenya gak molor terus biar kelarnya gak kelamaan. Aamiin.

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
26 Februari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top