10 - A Dress for the Party

Ashley masih berpikir kalau saran Kate untuk memikat pria pebisnis yang dia temui di acara amal adalah ide yang buruk, tetapi dia tidak punya pilihan lain selain mencobanya. Kapan lagi dia akan bertemu seseorang jika tidak mencoba cara itu?

Masih ada tiga jam lagi sebelum Ashley harus berangkat menjemput Dominick di penthouse-nya, tetapi wanita itu sudah berdiri di tengah-tengah ruang penyimpanan di kamarnya. Seluruh pakaiannya ada di sana, mulai dari pakaian dalam sampai gaun-gaun pemberian yang belum pernah dia keluarkan dari kotak dan masih dalam kemasan. Di sisi kanan tempatnya berdiri terdapat berbagai model sepatu. Mulai dari yang berbahan karet, kulit, sampai yang berkilau. Bisa dibilang Ashley memiliki lemari yang diidam-idamkan oleh banyak wanita di luar sana; lemari yang dipenuhi oleh barang-barang bagus.

Namun, pada dasarnya Ashley juga hanya wanita biasa, yang ketika memiliki banyak pakaian di lemari, masih merasa tidak ada yang bisa dikenakannya di acara-acara tertentu. Hari ini adalah kali pertama dia mempersiapkan diri dengan baik untuk pergi ke acara amal sekaligus perayaan bertambahnya usia seorang rekan bisnis Dominick. Ashley biasanya terlalu sadar diri, merasa hanya seorang asisten dan saat menghadiri pesta pun masih mengenakan pakaian formal seperti kesehariannya bekerja, hanya saja sedikit lebih elegan. Setelah rumor tidak sedap tentang dirinya dan sang atasan beredar, terlalu berhias sama saja seperti melempar arang ke bara api.

Kali ini berbeda, demi tantangan yang sedang mengikat dirinya dan dua sahabatnya, Ashley ingin terlihat lebih menarik dan berkenalan dengan tamu-tamu yang belum memiliki pasangan. Ashley cukup beruntung karena sering mengundang orang-orang itu ke acara perusahaan, dia jadi punya sedikit informasi pribadi mereka.

Rencananya memang seperti itu, tetapi Ashley bahkan tidak tahu mengenakan apa untuk menghadiri acara tersebut. Masalahnya adalah terlalu banyak pilihan di sana. Sebelum hari ini, dia tidak pernah menghabiskan waktunya memandangi isi ruang penyimpanan. Semua barang-barang pemberian hanya ditumpuk di salah satu rak dan tidak dia sangka akan berakhir sangat banyak. Ashley tidak mampu memilih sendirian sampai meminta seseorang untuk datang membantunya.

Akan tetapi, apakah baju-baju itu akan bagus untuknya? Apa dirinya akan cocok memakainya? Gaun-gaun yang cantik itu tidak pernah dia coba sebelumnya. Si pemberi mungkin hanya mengira-ngira ukuran badannya, tetapi terkadang ada bagian tertentu yang mungkin saja tidak sama dari ukuran pada umumnya. Entah akan kebesaran atau kekecilan. Sekarang Ashley menyesal tidak mencoba lebih dulu sebelumnya. Kalau ada yang tidak pas di tubuhnya, dia bisa menjualnya dan mendapat penghasilan tambahan. Mungkin tidak etis, tetapi barang yang sudah diberikan padanya memberinya hak untuk melakukan apa saja, bukan?

Ashley nyaris membatalkan rencana untuk memakai gaun hari ini seandainya sosok yang ditunggu-tunggu tidak jadi datang. Bel pintu apartemennya berbunyi dan dia segera melompat keluar dari ruang penyimpanan. Langkahnya lebar-lebar, seperti melarikan dari apa pun yang ada di dalam sana. Namun, menjadi tidak bersemangat ketika menyambut tamunya di depan pintu.

"Aku sudah berpikir tidak jadi melakukannya." Itu sebuah keluhan yang tidak pantas diucapkan setelah membuat sosok di depannya menyisihkan waktu untuk membantunya. 

Ucapan Melissa kemarin lantas kembali terngiang, bagaimana jika mencoba berkencan dengan pria di depannya ini? Untuk hal sesepele memilih pakaian saja dia rela menyisihkan waktu. Mengingat dirinya tidak bisa meminta bantuan Melissa dan Kate, satu-satunya yang bisa dimintai tolong adalah tetangganya. Dibandingkan dengan dua sahabatnya, Ashley lebih pandai berbusana. Kalau seandainya Ashley meminta pria itu berkencan dengannya, apa dia juga bersedia melakukannya?

Jelas itu bukan sesuatu yang perlu dipikirkan di saat seperti ini.

"Maaf, tadi aku ingin pulang lebih awal, tapi tokoku kedatangan pelanggan penting, aku harus turun langsung menemuinya." Jeremy si tetangga tersenyum sembari mengangkat tas karton kecil dari sebuah toko roti.

"Tidak, maafkan aku karena sudah membuatmu terburu-buru ke sini." Ashley menepi untuk memberi jalan pria itu memasuki tempatnya. Setelah menutup pintu, dia menuntun pria itu ke ruang penyimpanan di kamarnya. "Ada terlalu banyak baju, aku jadi bingung memakai yang mana. Setidaknya aku perlu seseorang untuk memberi pendapat terlebih dahulu saat aku memakainya."

"Menurutmu aku orang yang tepat?"

Ashley mengambil tas karton dari tangan Jeremy dan membawanya ke luar ruang penyimpanan, meninggalkan Jeremy bersama bertumpuk-tumpuk pakaian. Ada sebuah sofa di kamarnya, Ashley akan menunggu di sana selagi Jeremy memilih beberapa pakaian untuknya.

"Kau punya selera yang agak mirip dengan Dominick. Minimal aku tidak terlihat begitu buruk di matanya."

Meski Ashley sudah menceritakan tentang rencananya memakai gaun ke acara amal pada Jeremy, tetapi dia tidak bisa menyebutkan tujuannya adalah untuk menarik perhatian pria dan dijadikan sebagai pasangan. Ashley pikir meminta bantuan Jeremy merupakan langkah yang tepat. Rasa percaya dirinya akan meningkat karena pria yang dia temui di sana mungkin akan berpendapat yang sama seperti Jeremy. Jeremy sering dikelilingi wanita yang cantik, penilaiannya akan lebih objektif mengingat dirinya yang biasa saja sedang berusaha untuk terlihat lebih cantik.

Ashley mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tas karton itu dan menemukan donat di dalamnya. Pria itu sangat tahu betapa dirinya sangat mencintai donat. Tanpa izin atau dipersilakan pun Ashley sudah mengambil satu dan menggigitnya. Namun, dia tidak menggigit lagi ketika Jeremy keluar dari ruang penyimpanan sembari berkacak pinggang dan dahinya berkerut kebingungan.

"Sejak kapan kau peduli dengan pendapatnya?"

Ashley hanya mengedikkan bahu karena tidak tahu akan menjawab apa, tetapi Jeremy justru berjalan mendekatinya dan menggigit donat di tangannya. "Acara apa yang mau kaudatangi?" Jeremy bertanya sembari berjalan kembali memasuki ruang penyimpanan.

"Acara ulang tahun pria seumuran Dominick, sekaligus pengumpulan dana untuk yayasan yang dimilikinya. Biasanya aku tidak peduli dengan yang kukenakan, tetapi ada terlalu banyak pakaian dan aku berpikir untuk memakainya sesekali."

Jeremy mungkin sedang melakukan pencarian di dalam sana, sebab beberapa kali terdengar benda-benda terjatuh. Tempat itu memang sudah berantakan sejak awal, jadi Ashley tidak terlalu peduli akan jadi separah apa di sana setelah mendapat sentuhan tangan ajaibnya.

"Gaun-gaun itu, aku tidak tahu apa akan terlihat cantik saat kupakai, makanya aku perlu pendapatmu." Suara Ashley memecah kesunyian mengingat sudah cukup lama Jeremy tidak mengatakan apa pun dari dalam sana. "Dan aku kebingungan, semuanya sangat bagus."

"Kau selalu cantik, Ashley Harper. Meski hanya dengan pakaian dalam, kau sudah menakjubkan."

Jelas itu bukan pujian, sebab Jeremy tertawa setelah mengatakannya. Insiden itu akan sangat memalukan jika dilakukan tanpa pengaruh alkohol. Namun, bagian paling menyebalkannya adalah pria itu terus mengingatnya meski sudah lebih seminggu berlalu.

"Apa yang bisa kulakukan agar kau berhenti mengingat tentang itu?"

Jeremy muncul di ambang pintu dengan membawa satu gaun berwarna hijau tua. "Mungkin kalau kau bersedia mengenakan ini tanpa protes."

"Kalau tidak pas?"

"Pasti pas, aku sudah membayangkannya."

Tanpa pikir panjang Ashley melemparkan kotak donat yang sudah kosong ke arah Jeremy. Satu erangan dia loloskan karena pria itu berhasil menghindarinya.

"Sudah kubilang berhenti membayangkan tubuhku!"

•••

Dominick mengikat dasinya yang berwarna hijau tua gelap di depan cermin rias yang besar di dalam ruang penyimpanannya. Kain dasi tersebut berkilau dan licin ketika disentuh, menunjukkan kemewahan dari kepribadian si pemakai. Dominick merasa puas dengan pilihan Ashley untuk dia kenakan petang ini.

Hal-hal sesepele memilih apa yang harus dikenakan dianggap Dominick sebagai aktivitas yang membuang-buang waktu. Itu sebabnya untuk pemilihan pakaian ke acara-acara tertentu menjadi tugas Ashley sebagai asistennya. Bahkan jika dibandingkan dengan asisten sebelumnya, hasil pilihan Ashley selalu membuatnya puas. Wanita itu tahu bagaimana membuat auranya terpancar di depan umum, tidak peduli jika mod pakaian pria itu-itu saja.

Rompi berwarna abu-abu terang melapisi kemeja hijau muda yang dikenakannya sebelum diakhiri dengan jas beludru berkualitas sebagai lapisan paling luar. Warna setelannya pun sama dengan dasi yang saat ini Dominick kenakan. Dirinya sudah siap, tetapi wanita yang mempersiapkan penampilannya hari ini belum menunjukkan batang hidungnya.

"Taylor." Dominick keluar dari kamarnya sembari menyerukan nama sopir pribadinya yang akan mengantar mereka hari ini.

"Taylor, coba kau periksa apakah--"

Dominick mengakhiri kalimatnya ketika pemandangan punggung telanjang seorang wanita menyambutnya di ruang tengah. Tidak hanya mulutnya yang berhenti bicara, langkahnya pun terhenti. Wanita itu tidak asing jika dilihat dari model rambutnya, tetapi penampilannya hari ini berhasil membuat Dominick merasakan sesuatu yang mengganjal di kerongkongannya hingga menelan ludah.

Ashley Harper sudah berkali-kali dipaksa untuk memakai gaun ketika mendampinginya ke pesta atau acara formal, tetapi lebih memilih setelan yang mirip dengan saat dia bekerja sehari-hari. Dominick selalu meminta butik tempat setelan jasnya dijahit agar membuat satu untuk Ashley juga. Wanita itu membawanya pulang, tetapi untuk disimpan, bukan untuk dipakai. Bayangkan berapa banyak tumpukan gaun di tempat Ashley.

Namun, hari ini Dominick justru menemukan wanita itu secara sukarela mengenakan satu dan sukses membuatnya terpaku. Dia bahkan baru melihat bagian belakangnya. Gaun itu panjang, tanpa lengan, tetapi terbuka di bagian punggung. Kainnya memeluk tubuh Ashley sampai setengah paha dan memekar sampai ke ujung kaki. Sebagai seorang pria yang normal, tentu saja Dominick tidak bisa berpaling dari kulit punggung Ashley yang bersih meski tertutup rambut sebagian. Dia sampai mempertanyakan seberapa halus kulit itu jika disentuh. Tangannya spontan terkepal ketika pemikiran bodoh itu terlintas di kepalanya.

"Kau terlambat." Sembari berusaha mengesampingkan rasa takjubnya, Dominick berjalan ke sisi lain ruang tengahnya dan memperhatikan asistennya itu dari samping. Sejak tadi dia bertanya-tanya apa yang wanita itu lakukan di depan cermin hias di samping rak TV.

Ashley memutar badannya ke arah Dominick dengan tangan yang masih memegangi telinga. "Maaf, Bos. Aku sudah tiba dari tadi, tetapi anting yang kupakai tersangkut di rambutku yang diikat."

Dominick menyimpulkan kalau pemakaian aksesoris pada wanita cukup mengganggu. Itu pernah terjadi ketika milik mantan istrinya tersangkut di sweter rajutnya hingga rusak. "Cepat selesaikan."

"Bos, sebetulnya, aku tidak bisa melihatnya dengan benar di cermin, kalau kau berkenan--tidak, aku akan turun lebih dulu dan meminta Taylor membantuku."

Mata Dominick menyipit, memperhatikan asistennya dengan saksama. Dia tidak begitu mengerti apa yang terjadi dengan antingnya, dan baru melihatnya dengan jelas ketika wanita itu lewat di belakangnya.

Dominick hafal betapa cekatannya wanita itu ketika ada pekerjaan. Gerakannya sangat cepat. Terkadang rambutnya yang ditata rapi pada pagi hari sudah berantakan di siang hari. Itu bukan sesuatu yang perlu diperhatikan secara khusus, tetapi dia melihatnya setiap hari dan itu terekam dengan sendirinya di ingatan. Dengan pergerakannya yang tidak anggun, tidak heran jika anting panjang itu akan tersangkut di rambut.

"Tidak." Dia meraih lengan Ashley hingga wanita itu berjalan mundur kembali ke depannya. "Aku belum sepenuhnya siap di sini. Biar kubantu."

"Oh? Baiklah." Ashley menoleh untuk memperlihatkan bagian mana yang tersangkut di rambutnya.

Dominick meraih antingnya dan menarik itu keluar dari rambut Ashley dengan hati-hati. Rambut Ashley sudah ditata dengan rapi dalam satu ikatan, tidak mungkin Dominick akan merusaknya.

"Sudah. Kau harus bergerak dengan hati-hati kalau memakai aksesoris seperti itu."

"Terima kasih, Bos. Sekarang giliranmu."

Ashley meletakkan clutches-nya ke atas meja terdekat dan memperhatikan penampilannya. Dominick hanya diam menunggu sampai Ashley selesai memindainya.

"Kerah kemejanya masih belum rapi."

Dominick berdongak ketika Ashley mendekat dan merapikan kerah kemejanya. Alisnya spontan bertaut ketika aroma yang manis dari tubuh Ashley memenuhi udara yang dihirupnya. Aromanya sama saja seperti biasa, tetap hari ini itu memberi efek yang tidak biasa baginya. Mungkin karena penampilan wanita itu hari ini.

"Selesai. Kita siap berangkat."

•••

Ashley
Aku sudah berpenampilan berbeda hari ini.
Tapi apa lagi yang harus kulakukan?

Melissa
Teruslah tersenyum.
Tunggu sampai seseorang tertarik dan mendatangimu.

Ashley
[📷 photo]
Menurut kalian ini tidak aneh?

Katherine
Kau sangat cantik!
Orang-orang akan tersipu dengan garis lehermu yang bagus!
Kau harus lebih percaya diri.

Melissa
Aku kaget kau cukup berani menunjukkannya.
Malam ini kau benar-benar totalitas.

Ashley spontan menyentuh lehernya sendiri, berusaha menutupinya dari orang-orang yang mencuri pandang ke arahnya. Atas saran Jeremy, sebagai penasihat penampilan dadakan hari ini, dua harus mengikat rambutnya untuk memperlihatkan ornamen di bagian dada gaunnya. Selama ini Ashley tidak percaya diri dengan lehernya yang sedikit lebih panjang ketimbang orang lain. Oleh karena itu, Ashley selalu membiarkan rambutnya terurai dan mengikatnya hanya jika sedang di rumah. Pria itu juga berpendapat sama seperti Kate di pesannya setelah Ashley mengirimkan swafotonya ke grup.

Namun, Ashley tidak yakin tamu-tamu itu melirik karena penampilannya. Di sebelahnya ada Dominick yang sedang berbincang dengan salah seorang klien yang juga rekan bisnis si penyelenggara acara. Ashley harus selalu mendampingi Dominick untuk membisikkan identitas pria tersebut. Tentu saja penampilannya tidak semenakjubkan Dominick. Oh, dan lihat saja betapa mengintimidasi tatapannya pada orang-orang.

Kalau terus seperti ini, Ashley tidak akan bisa bertemu siapa pun. Tidak akan ada yang mengajaknya berkenalan meski dia cukup sadar diri levelnya tidak setara dengan para tamu yang berdatangan. Salah satunya cara adalah dengan memisahkan diri, tetapi belum ada waktu yang tepat untuk melakukannya.

Dominick beranjak pergi dan otomatis Ashley harus mengiringinya.

"Pria dengan jas putih itu siapa? Dia berjalan ke arah kita." Dominick berbisik pada Ashley.

"Dia punya bisnis di bidang periklanan, tapi tidak pernah ada kerja sama dengan perusahaan kita. Kalian pernah bertemu saat perayaan ulang tahun nenekmu dua bulan lalu. Harold Hansen, teman baik mendiang ayahmu saat kuliah, Bos. Putranya baru saja lulus gelar master di Amerika, kau harus memberi ucapan selamat."

Ashley ngos-ngosan karena bicara terlalu cepat. Informasi itu harus disampaikan dengan cepat sebelum pria yang dimaksud tiba di depan mereka. Dia bisa menjadikan itu sebagai alasan untuk menjauh dan mengambil minum.

"Dominick, anakku, bagaimana kabarmu?" Pria tua berjas putih itu akhirnya tiba dan menjabat tangan Dominick.

Ashley memperhatikan senyum terpaksa yang terpatri di wajah Dominick dan menahan senyum. Dia tahu bosnya itu tidak terlalu senang dengan keramah-tamahan orang lain yang dia anggap asing.

"Baik, Tuan Hansen. Selamat atas kelulusan putra Anda. Kudengar dia mengambil jurusan bisnis?"

Bisnis? Ashley yakin dirinya tidak menyebutkan jurusannya, tetapi pria itu sudah mengetahuinya. Terlebih lagi, Dominick bukan orang yang suka bicara asal-asalan. Menerka-nerka dalam sebuah obrolan sama sekali bukan gayanya.

"Kau benar." Harold Hansen benar-benar senang karena Dominick begitu memperhatikan.

Dia pria itu kemudian membicarakan tentang bisnis. Di tengah-tengah pembicaraan, datang satu orang lagi dan bergabung bersama mereka. Saat ada jeda obrolan, Ashley memanfaatkannya untuk berpamitan pada Dominick dengan alasan mencari minum.

Bufet minuman berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri tadi. Itu kabar baik, karena dari posisi ini Ashley bisa sambil memantau bosnya dan ke mana pria itu akan pergi selanjutnya. Meski pria itu mudah ditemukan berkat tinggi badan serta warna jasnya yang tidak disamai oleh siapa pun, tetapi Ashley kesulitan bergerak dengan panjang yang dikenakannya.

Kembali menatap bufet, Ashley dibuat kebingungan akan banyaknya pilihan minuman di sana. Mulai dari yang beralkohol sampai tidak beralkohol. Tentunya Ashley tidak ingin ambil risiko membuka bajunya di sini jika mabuk. Dia hanya menuangkan sirup berwarna hijau dari mangkuk kaca besar dengan es batu berbentuk burung merak.

"Selamat malam."

Seorang pria bersetelan jas silver berkilau menghampirinya dan mengucap salam. Namun, Ashley tidak yakin kalau itu untuknya, jadi dia menyempatkan untuk melihat sekitar terlebih dahulu untuk memastikan. Terlebih lagi pria yang menyapanya bukan sekadar tamu biasa.

"Ya, selamat malam, Tuan. Selamat ulang tahun untuk Anda." Ashley berusaha tersenyum dengan baik mengingat pria yang menyapanya adalah bintang utama dari acara malam ini.

"Terima kasih. Tapi saya tidak ingat sudah mengundang wanita cantik untuk datang malam ini. Boleh saya tahu Anda datang bersama siapa?" Pria itu mengulurkan tangan pada Ashley yang mau tidak mau disambut demi sopan santun.

Namun, yang tidak Ashley duga adalah, pria itu justru mengecup punggung tangannya. Untuk sesaat insiden itu membuat Ashley melotot. Dia melirik ke arah keberadaan bosnya, memastikan pria itu tidak melihat. Seluar biasa apa dirinya malam ini sampai seorang pria melakukan itu padanya. Ashley seharusnya memakai sarung tangan agar bekas tempelan bibirnya tidak terasa di kulitnya.

Satu hal yang Ashley pelajari malam ini adalah, penampilan seorang wanita benar-benar berpengaruh dan bisa menjadi magnet tidak kasat mata untuk menarik pria mendekat.

"Saya datang bersama Tuan McCade, Dominick McCade." Dengan pelan Ashley menarik lagi tangannya dari genggaman pria itu.

"Ah, jadi Anda adalah plus one Tuan McCade. Maafkan kelancanganku, Nona?"

"Ashley Harper. Tapi saya datang mendampingi Tuan McCade sebagai asisten pribadinya."

Ashley memperhatikan perubahan raut wajah pria itu yang agak dramatis. Dengan alis yang berkerut pria itu memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Ekspresi itu Ashley artikan sebagai reaksi yang jauh dari kata menyenangkan. Mungkin penampilannya malam ini sangatlah berlebihan.

"Aku hampir percaya Anda adalah pasangannya mengingat warna setelan kalian sama. Kalian benar-benar sangat kompak."

Ketika pria itu menyinggung soal penampilan, Ashley langsung menatap gaunnya sendiri. Sejak tadi dia bahkan tidak menyadari itu. Saat Jeremy menyarankan itu, dia hanya memakainya tanpa protes lagi.

Ashley tersenyum canggung, sementara pria itu tersenyum puas. "Ya, anggap saja begitu, Tuan. Ini memudahkan kami untuk menemukan satu sama lain ketika terpisah seperti ini." Pandangannya berpencar ke sekeliling venue acara. Seperti yang dia ucapkan, Dominick sudah tidak lagi berada di tempat sebelumnya. Pria itu pergi entah ke mana.

"Kudengar Tuan McCade agak ketat soal aturan, mungkinkah warna seragam adalah salah satunya?" Pria yang Ashley tidak benar-benar mengingat namanya ini kembali bicara dan tampak tidak ada tanda-tanda ingin beranjak pergi. Tidak adakah tamu lain yang ingin menyapa atau bersalaman dengan pria yang sedang bertambah usia itu?

"Tidak juga, ini terjadi karena ketidaksengajaan, Tuan." Aturan yang Ashley ingat adalah jangan sampai ada pembicaraan yang merendahkan atasannya. "Tuan McCade sebenarnya sangat baik, hanya sedikit tegas. Saya sudah lima tahun bekerja dengannya."

"Oh!" Sekarang pria itu tampak takjub. "Jadi kaulah asisten yang sering dibicarakan orang-orang itu."

Apakah pria yang juga seorang pemilik yayasan ini suka mendengarkan gosip? Bahkan ketika karyawannya sedang bergosip, seharusnya dia tidak sempat ikut mendengarkan, bukan? Hari ini adalah kali pertama Ashley merasakan bahwa seorang pimpinan juga manusia biasa.

"Saya harap mereka tidak membicarakan sesuatu yang jelek tentang saya." Ashley tentu ingat akan gosip yang beredar tentang dirinya sebagai perusak rumah tangga Dominick.

Pria itu tertawa. "Tidak. Orang-orang kepercayaan Dominick biasanya tidak perlu diragukan lagi. Kalau kau berada di sisinya, berarti kau punya kualitas yang luar biasa. Apa kau sudah punya pasangan?"

"Ekhem."

Itu bukan dari Ashley, tetapi seseorang di belakangnya. Ashley berbalik untuk menemukan bosnya berdiri di sana dan merupakan seseorang yang berdeham tadi.

"Maaf, Tuan Arthur, tapi saya perlu wanita ini untuk mendampingi saya bertemu orang-orang. Saya yakin tamu yang lain ingin bicara dengan Anda?"

Ashley berjengit kaget ketika telapak tangan Dominick menyentuh punggungnya. Meski hanya sentuhan ringan, tetapi suhu kulit pria itu sangat kontras dengan dinginnya suhu ruangan.

"Anda benar, Tuan McCade. Nona Harper, senang berkenalan dengan Anda, sampai bertemu di lain kesempatan." Setelah itu, pria yang dipanggil Arthur itu beranjak pergi.

"Kita harus pergi." Dominick berbalik dan beranjak pergi.

Ashley pun meletakkan kembali gelas yang belum sempat dia minum isinya ke atas meja dan segera menyusul Dominick. "Kita mau ke mana?"

"Pulang." Bosnya menjawab sembari melonggarkan dasi.

"Tunggu, aku akan menghubungi Taylor." Ashley segera membuka ponselnya dan menghubungi sopir pribadi Dominick untuk menyiapkan mobil.

"Kau sudah menghubungi Nona Willow untuk jadwal pertemuan kami?"

"Um, aku belum menghubunginya karena ini akhir pekan. Aku tidak ingin dia merasa tidak enak karena didesak." Itu hanya alasan Ashley, tetapi hanya itu jawaban terbaik untuk bosnya yang suasana hatinya tampak kurang baik.

"Jadwalkan segera. Aku perlu jawabannya besok."

Astaga. Ashley menghentikan langkah sebentar karena tidak mampu mengimbangi langkah kaki Dominick dengan gaun yang dikenakannya sekarang. Sebenarnya apa yang membuat pria itu merasa kesal?

•••

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
11 Februari 2024

Kayaknya Tuteyoo mau fokus ke satu naskah ini aja sebelum yang lainnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top