08 - Another Encounter
Akhir pekan yang menyenangkan terlewati. Setelah dua malam begadang, satu hal yang Melissa ingin lakukan di Senin pagi ini adalah mengganti kekurangan jam tidurnya. Dia sudah menduga kalau berkumpul dengan kedua sahabatnya kembali berarti tidak boleh tidur sebelum puas bermain. Nyatanya akhir pekan itu pun tidak cukup untuk mengganti bertahun-tahun perpisahan mereka. Mereka perlu lebih banyak waktu bertemu.
Sebagai upaya mendapat waktu tidur di hari Senin, Melissa minta bertukar shift kerja dengan Andy. Pria itu akhirnya setuju bertukar setelah Melissa tidak berhenti membujuknya seharian penuh. Hari ini Melissa masuk shift pagi, karena sudah bertukar, dia merelakan Kamis malamnya untuk berjaga di kantor dan hanya punya waktu empat jam istirahat sebelum melanjutkan shift siangnya di hari Jumat.
Tadinya begitu, Melissa ingin menyombong bahwa pada Senin pagi ini dia bisa tidur nyenyak. Orang-orang yang harus bekerja hari ini akan merasa iri, termasuk dua sahabatnya. Bahkan pagi-pagi sekali dia sudah mengirim foto dirinya masih berbaring di kasur.
Melissa
[📷 photo]
Selamat hari Senin.
Katherine
Ah, aku masih mengantuk.
Senin adalah hari di mana orang-orang sangat sibuk.
Tidak sepantasnya kau tidur.
Ashley
Kuharap tidurmu tidak nyenyak.
Melissa
😎
Sialnya, Tuhan begitu baik pada Ashley sampai mengabulkan harapannya. Melissa sudah membenamkan diri di balik selimut sampai sebatas leher. Gulingnya juga sudah di posisi yang sangat pas dalam dekapannya. Seperti mengunduh sebuah fail berukuran besar yang tiba-tiba bermasalah ketika sudah mencapai 99%, begitu juga tidurnya. Bayang-bayang mimpi sudah ada di depan mata, tetapi dia harus terbelalak lagi ketika ponselnya berdering sangat keras. Satu hal yang Melissa lupakan, yaitu membuat ponselnya berada dalam mode senyap.
Wakil manajernya menelepon bahwa dia harus bertanggung jawab atas anak-anak program magang yang akan mulai bekerja minggu depan. Melissa akan menjadi salah satu mentornya. Dia pikir informasinya hanya cukup sampai di situ, tetapi dia juga harus melupakan rencana tidurnya. Sang wakil manajer memintanya untuk mempersiapkan ruangan dan perangkat yang akan dibutuhkan si anak magang karena ini adalah kali pertama di divisinya. Kalau saja dia tetap masuk hari ini, Melissa tidak akan merasa begitu dirugikan kalau waktunya tersita untuk pergi ke distributor.
Satu hari liburnya tersita untuk mengerjakan sesuatu di luar job desk-nya. Melissa tidak ingin melakukannya, sungguh, tetapi dia tidak bisa membantah. Terlebih lagi, sang manajer akan menjemput ke flat-nya. Kalau sudah seperti itu, dia tidak bisa mengelak lagi atau hubungan baik yang sudah dibangun dengan wakil manajer akan rusak. Melissa tentu akan sangat membutuhkan bantuannya jika meminta libur di hari tertentu.
Tidak butuh waktu lama bagi Melissa untuk bersiap-siap. Mandi sebentar, memakai celana training dan atasan kaus pendek, lalu ditutupi dengan jaket baseball. Tidak perlu terlalu formal karena mereka hanya akan berurusan dengan orang toko.
"Maaf mengganggu liburmu hari ini. Kupikir kau masuk kerja, jadi aku mendatangi ruanganmu, tapi yang kutemukan hanya Andy."
Setidaknya, wakil manajernya itu masih meminta maaf dengan benar. Melissa jadi tidak perlu kesal berlama-lama.
"Kalau kau memberi tahu rencana ini dari kemarin-kemarin, aku tentu dengan senang hati meninggalkan pekerjaanku di kantor." Dia membalas sembari memasang sabuk pengaman.
Sebastian, wakil manajernya kemudian tertawa. "Kau tahu pengerjaan jumlah tiket masalah pelanggan dihitung per shift kerja, 'kan? Kalau kau menyelesaikan sedikit, akan muncul masalah untukmu. Apalagi kau sudah dicap sebagai teknisi paling andal."
Melissa menggeleng ringan, berusaha menampik predikat tersebut meski diam-diam menahan senyum. Tahun lalu, saat rapat kerja, dia memang mendapat penghargaan atas kinerjanya yang luar biasa itu. Sayangnya hal itu tidak bisa membuatnya berbangga diri. Beban di pundaknya terasa lebih berat. Mencapai sesuatu tidak sesulit mempertahankannya.
"Seharusnya kuminta dirimu agar tidak mencantumkan data sebenarnya. Hitungan sistem memang tidak bisa dimanipulasi, tetapi kalau lewat tanganmu dulu, itu bisa terjadi." Dibandingkan dikenal sebagai pegawai terbaik, Melissa lebih suka tidak terlihat. Dia tidak ingin diperhatikan, dia hanya ingin menyelesaikan bagiannya diam-diam dan merasa tenang setelahnya.
"Hei, sudahlah. Aku yakin kau akan baik-baik saja." Sebastian menepuk ringan pundak Melissa beberapa kali setelah menaikkan kacamatanya.
Melissa melirik sekilas pria itu sebagai bentuk peringatan agar tangan itu tidak terlalu lama berada di pundaknya. Beruntungnya, pria itu cepat menangkap kodenya dan segera menarik tangannya.
"Aku menjadi mentor karena pencapaian itu, 'kan?" Baru memikirkannya, Melissa sudah mengerang, secara terang-terangan menunjukkan betapa dia tidak menyukainya. Tidak peduli jika pria di sebelahnya merupakan atasannya. Tatapannya tertuju ke luar jendela mobil.
"Mau bagaimana lagi? Keputusan sudah dibuat."
Tidak lama setelah pembicaraan itu, Sebastian menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan yang mirip sebuah kantor. Ini merupakan kali pertama Melissa datang langsung. Sedikit yang didengarnya, etalase yang memamerkan perangkat keras berada di lantai satu sampai tiga. Selebihnya dia tidak tahu ada apa lagi. Yang jelas, tempat ini juga menjadi sebuah game centre yang menjual CD permainan sekaligus tempat untuk mencobanya dulu. Andy pernah bercerita kalau tempat ini punya koleksi game yang sangat lengkap.
"Ayo."
Melissa baru keluar dari mobil setelah Sebastian keluar lebih dulu. Kantor distributor yang menyediakan perangkat keras di kantornya bisa dibilang menakjubkan. Baru diceritakan Andy saja sudah membuatnya kagum, lebih-lebih lagi setelah dia datang dan melihatnya sendiri.
Sebastian memimpin jalan memasuki gedung tersebut. Meski merupakan etalase perangkat keras, tetapi tempat itu sama wanginya dengan toko-toko yang menjual pakaian laki-laki. Aroma musk mendominasi udara yang dihirupnya. Pemiliknya sudah pasti seorang laki-laki yang masih muda. Karena kalau sudah berkeluarga, rasanya tidak terlalu memedulikan kenyamanan toko. Yah, meski tidak semua orang seperti itu.
"Ah, itu dia orangnya."
Melissa tidak tahu apakah Sebastian bicara dengannya sejak tadi, atau hanya sedang bicara sendiri. Yang pasti Melissa tidak menghiraukannya.
"Permisi, halo, Tuan Nielsen."
Astaga. Kejutan apa lagi yang didapat Melissa hari ini? Dia pikir pemilik dari toko ini adalah pria berumur yang mungkin masih lajang, atau sudah berkeluarga. Atau mungkin memiliki perut yang maju. Namun, yang dia lihat justru seseorang yang tidak dia sangka-sangka. Melissa menyesal terlalu banyak memuji tempat itu hari ini.
Sekali lagi, Melissa mempertanyakan bagaimana pria seperti itu bisa menjadi teman minum yang menyenangkan menurut Ashley. Bahkan sekali lagi Melissa harus melihat senyum menyebalkan itu.
"Sudah kubilang selamat tinggal adalah salam yang kurang tepat. Salam kenal, aku Jeremy Nielsen." Jeremy, sang pemilik toko sekaligus tetangga Ashley yang sudah membuat Melissa kesal bukan main, mengulurkan tangan pada Melissa.
Melissa menatap tangan itu dengan dahi yang berkerut. Berhubung Sebastian juga ada di sana, Melissa mau tidak mau menjabatnya. Yah, akan repot kalau diminta menceritakan bagaimana mereka bertemu sebelumnya. Jadi, untuk kali ini dia akan bersikap sedikit ramah, menganggap pertemuan sebelumnya tidak pernah terjadi, dan menjadikan ini sebagai pertemuan pertama mereka.
"Melissa Rose, salam kenal Tuan Nielsen."
Jeremy menyeringai ketika Melissa menjabat tangannya dengan kuat. Ada dendam yang sedang dibalaskan di sana.
Begitu jabat tangan berakhir, Jeremy beralih kembali pada Sebastian. "Aku sudah menerima daftarnya. Kami punya beberapa pilihan untuk spesifikasi yang dibutuhkan, jadi mari kita langsung memeriksanya di atas."
Kalau sedang serius bekerja, Melissa pikir Jeremy tidak begitu buruk. Pria itu tahu bagaimana menempatkan diri dalam situasi-situasi tertentu. Profesionalismenya terlihat jelas meski pakaiannya terlalu santai. Ketimbang bekerja, pakaian itu bisa dipakai untuk pergi ke bar.
Jeremy memimpin jalan. Sebastian dan Melissa beriringan mengikuti. Selama menaiki tangga ke lantai dua, pria itu sibuk menjelaskan tentang satu per satu merek komputer yang memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan. Sebastian akan merespons sesekali, sementara Melissa hanya menyimak. Wanita itu bahkan mempertanyakan keberadaannya di sana mengingat Sebastian sendiri sudah cukup untuk menjadi perwakilan dan berdiskusi dengan Jeremy.
Sekarang Melissa memisahkan diri, meninggalkan Sebastian dengan Jeremy menuju etalase tablet. Dia bukan tertarik, tetapi memang sengaja tidak ingin terus saling tatap dengan Jeremy. Saat pria itu menjelaskan, matanya akan menatap Melissa dan Sebastian secara bergantian, tetapi waktunya selalu tepat ketika Melissa sedang menatapnya. Kontak mata terjadi beberapa kali dan itu membuat Melissa merasa tidak nyaman.
"Hei, aku perlu meluruskan sesuatu." Jeremy sudah berada di sebelah kanan Melissa saat mengatakan itu. Sebastian sedang bicara dengan salah seorang pegawainya terkait rincian produk, jadi Jeremy bisa meninggalkannya.
Melissa tetap fokus membaca daftar spesifikasi produk di depannya, tidak sedikit pun berpaling untuk Jeremy. "Tetanggamu sudah meluruskannya. Tidak perlu dibahas lagi, Tuan."
"Jeremy saja, aku hanya tiga tahun di atas Ashley. Caramu memanggilku membuatku merasa tua."
Melissa yakin pria ini tidak akan bisa mendeskripsikan dirinya tanpa membawa-bawa nama Ashley. Kalau itu bertujuan untuk membuat mereka jadi lebih dekat, maka Melissa akan dengan senang hati melangkah mundur.
"Aku tidak merasa kita cukup dekat untuk saling memanggil nama depan. Kebetulan kita adalah kolega kerja, kurang pantas rasanya."
Melissa bersikap sangat profesional ketika pakaian yang dikenakannya terlalu santai. Melalui sudut matanya, Jeremy memindai penampilannya dan tersenyum kecil. Jangan salahkan Melissa kalau merasa direndahkan dengan cara yang menatap seperti itu.
"Ada masalah dengan penampilanku? Kemarin seragamku, sekarang ini." Melissa menghadap pria itu sambil berkacak pinggang.
"Aku sama sekali tidak menghinamu. Seragammu waktu itu, menurutku keren. Sekarang, aku cukup terkesan karena kau berpenampilan sederhana di sini." Meskipun Jeremy tersenyum untuk menunjukkan kesungguhannya dalam bersikap ramah, Melissa tetap tidak merasakannya demikian. Justru sekarang bersedekap dan mundur selangkah.
"Caramu mengatakannya seperti tidak pernah melihat yang seperti ini saja." Kalau pria ini memang sering berinteraksi dengan Ashley, seharusnya dia tahu kalau wanita itu juga sama seperti Melissa.
"Selain Ashley, semua wanita di sekitarku pandai berdandan."
Melissa melihat senyum memuja itu lagi ketika menyebutkan nama sahabatnya. "Ya, ya, terserahlah."
Dia hendak pergi dari sana, kembali mendatangi Sebastian. Namun, kain lengan kanan jaketnya ditarik oleh Jeremy. Begitu Melissa berbalik, pria itu melepasnya. "Bagaimana caraku meminta maaf? Apa minum kopi bersama cukup? Aku sungguh tidak bermaksud apa pun selain memuji."
Melissa mulai sadar bahwa meminta maaf dengan cara seperti itu sudah biasa dilakukan Jeremy. Menilai dari betapa santai pembawaannya, Jeremy mungkin belum pernah menerima penolakan dari mereka, tetapi dia akan mendapatkannya satu hari ini.
"Tidak semua maaf bisa terbayar dengan kopi."
•••
Katherine belum berani pergi makan siang di luar kantor meski Penelope sudah membujuknya berkali-kali. Dia khawatir tidak mampu menyelesaikan tugas hariannya jika tidak kembali tepat waktu. Mungkin sebenarnya sempat saja seperti ketika wanita berisi itu meyakinkannya, tetapi Kate tetap menolak, apalagi dirinya masih dalam tahap adaptasi dengan pekerjaannya. Karyawan baru cenderung punya lebih banyak pekerjaan meski lebih sederhana dari yang lain.
Istirahat siang ini Kate menyantap roti panggang isi sayur yang dibawanya dari rumah. Kantin kantor punya segalanya, tetapi untuk satu bulan pertama ini dia perlu berhemat dulu karena sayang terlalu sering memakai uang simpanannya sebelum gaji bekerjanya turun. Untuk minumnya sendiri dia punya teh bunga Chamomile hangat.
Kate meniupi uap yang menguar dari cangkir kecilnya ketika menuangkan teh ke sana. Dia menyesap pelan-pelan sambil membaca ulang artikel kelima yang dia selesaikan tepat sebelum waktu istirahat. Tidak ketinggalan iringan musik pop yang diputar pelan-pelan di komputernya. Orang-orang di ruangannya sedang pergi makan siang di kantin, atau resto luar kantor. Mungkin hanya Kate pegawai bodoh yang rela menikmati waktu makan siangnya juga dipakai untuk bekerja.
"Halo, apa ada Katherine Willow di sini?"
Kate mendorong keluar kursinya dengan kaki dari kubikal, agar siapa pun itu yang sedang berada di ambang pintu bisa melihat dirinya.
Oh, itu pria fotografer yang dia lihat minggu lalu di dapur pegawai. Matanya menyapu sekeliling ruangan yang nyaris kosong sampai kemudian berhenti pada Katherine. Pria itu tersenyum lalu berjalan menghampirinya.
"Halo, kita bertemu lagi."
Kate berdiri ketika pria itu sudah cukup dekat dengannya. Dia baru menyadari betapa tinggi pria itu. Kate mungkin hanya sebatas bahunya, itu pun sudah memakai sepatu berhak lima senti.
"Ah, iya. Ada perlu apa?" Kate bertanya sembari merapikan mejanya. Stoples tempat dia menyimpan roti bakar belum dibereskan sejak dia selesai memakannya.
Jimmy, pria yang datang mencarinya, merogoh kantong kemejanya yang berposisi di dada kiri. Sebuah flashdisk bergantungan kaus kaki rajut yang sangat kecil menggelitik Kate. Bukan bentuknya yang terlihat aneh, tetapi warnanya; ungu. Benda itu mungkin hadiah dari seseorang, sebab rasanya lucu kalau pria yang tampak manly sepertinya akan menyukai warna feminin tersebut. Oh, atau benda itu sebenarnya bukan miliknya. Hari ini Kate terlalu cepat menilai.
"Aku diperintahkan untuk memberikan fail foto ke penulis baru, tapi aku belum punya kontakmu, tidak satu pun di bagian fotografi yang memilikinya. Jadi, aku langsung datang ke sini. Mereka bilang kau mendapat bagian menulis iklan minggu ini." Jimmy meletakkan flashdisk tadi ke atas meja Kate dengan hati-hati. "Failnya ada dalam folder 'Softdrink'. Tapi bolehkah aku menunggumu saat menyalinnya?"
"Oh, baik. Sebentar." Kate meletakkan stoplesnya di sudut kiri mejanya dan menarik kursi untuk kemudian dia duduki. Matanya tidak berpaling dari gantungan kaus kaki, bahkan pada saat ingin mencolokkannya ke sisi monitor komputernya. Benda itu terus meleset, hingga akhirnya Jimmy mengambil benda tersebut dan memasukkannya sembari membungkuk ke arah monitor komputer Kate.
Kate membiarkan saja pria itu melakukannya. Dalam posisi itu dia menemukan betapa bagus kulit Jimmy. Apakah kulit orang Asia memang sebagus itu, atau Kate hanya tidak terbiasa melihatnya. Tidak seperti mereka yang kadang dihiasi freckless, kulit wajah Jeremy sangat bersih, bahkan bekas cukuran pun tidak tampak begitu jelas seperti yang biasa ditemukan di wajah pria lain. Kate merasa pria yang pintar membersihkan diri sangatlah menarik.
"Kukira memang sulit dimasukkan." Jimmy tertawa kecil karena dirasa percuma memusatkan energi ke jari yang memegangi benda kecil itu, padahal mudah saja memasukkannya.
Kate mengerjap, buru-buru mengalihkan pandang dari wajah Jimmy. "Maaf, aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari kaus kaki ungu." Kate mengatakannya dengan jujur, tetapi sudah tidak lagi terpaku pada flashdisk. Ah, bahkan sudah tidak lebih menarik dari kulitnya.
Jimmy perlu flashdisk itu segera kembali, jadi Kate tidak seharusnya menahan pria itu.
"Apa sejelek itu?"
"Oh, bukan jelek." Kate buru-buru menyela, bahkan tangannya langsung terangkat dari mouse dan dikibaskan di depan wajahnya. "Itu lucu dan unik."
Reaksi Kate membuat Jimmy tertawa. "Itu ... rajutan pertamaku waktu kecil, nenekku yang mengajari. Aku menyimpannya karena itu kenangan yang paling berkesan."
Kate tersenyum, dia sama sekali tidak bertanya bagaimana dia memilikinya, atau seberharga apa benda itu untuknya. Untuk menutupi ekspresi yang menunjukkan aku tidak bertanya, Kate fokus pada layar di depannya. Jimmy mungkin pria yang mudah terbuka pada orang lain, sampai-sampai Kate tidak mampu mengimbanginya. Situasi mereka seperti orang yang sedang memasukkan air ke teko, tidak akan berarti jika tutupnya tidak dibuka.
Kate adalah tekonya, dia tidak akan mudah menerima orang-orang masuk dalam hidupnya jika orang itu tidak berusaha membuka tutupnya. Dan ada banyak makna lain dari membuka tutup tersebut.
Folder yang dimaksud Jimmy sedang dalam proses penyalinan. Kate pikir itu akan cepat, tetapi ternyata memakan waktu cukup lama. Entah karena ukuran failnya memang besar, atau flashdisk Jimmy memang sudah cukup tua. Kate tidak tahu, dia tidak begitu memahami bagaimana sebuah sistem penyimpanan bekerja di komputer.
"Bagaimana menurutmu bekerja di sini?" Jimmy sudah tersenyum ketika Kate menoleh secara refleks oleh suaranya.
"Belum bisa kubilang nyaman karena baru beberapa hari. Tapi sejauh ini baik-baik saja." Kate tidak benar-benar menatap Jimmy meski pria itu terus menatapnya saat bicara. Kate punya alasan untuk memeriksa apakah fail sudah tersalin dengan sempurna atau belum.
"Tempat ini akan sangat cocok untukmu."
"Kenapa kau berpikir begitu?" Kate menjawab sembari mencabut flashdisk milik Jimmy dan langsung dikembalikan. "Terima kasih."
"Pembawaanmu tenang, itu akan cocok dengan atmosfer yang tercipta di sini."
Kate menggulirkan matanya ke sisi kiri, ke arah di mana Jimmy tidak akan melihat ekspresi anehnya. Belum tahu saja pria itu kalau Kate sering mengamuk.
"Kau hanya belum mengenalku dengan benar." Kate masih kalem, meski di dalam hati ini berontak. Ini bukan kali pertama seorang pria mengira dirinya orang yang kalem, tenang, tunggu saja sampai dia tahu seperti apa sisi lain dirinya. Laut yang tenang pun menyimpan banyak binatang buas di dalamnya.
"Maaf, kalau itu tidak membuatmu nyaman." Jimmy mengusap tengkuknya dan berwajah malu. "Aku terbiasa mengungkapkan pendapatku terhadap sesuatu."
Baiklah, itu yang pertama Kate menerima kata maaf dari seorang pria. Setidaknya pria yang dia hadapi sekarang bukan perayu yang akan berkata 'tidak peduli bagaimana aslimu, aku akan tetap menerimanya'. Namun, tetap saja mereka kabur.
"Tidak apa-apa. Aku menghargai kejujuranmu." Kate tersenyum, tetapi caranya menatap Jimmy juga bisa berarti 'kapan kau pergi?'.
"Oke. Itu saja, aku menantikan kolaborasi kita di masa depan. Saat itu tiba, kita akan saling mengenal dengan baik. Sampai jumpa, Katherine."
Jimmy tersenyum lebar hingga menampilkan sederet giginya. Setelah mendapat respons yang tidak begitu bagus dari Kate, pria itu bahkan tidak merasa tersinggung. Apa pria Asia memang seperti itu? Kate mulai mempertanyakannya.
Tidak sedikit pria mendekatinya karena coba-coba. Seperti menebar umpan di danau, tergantung apakah ikannya akan menyambar atau tidak. Kalau respons si wanita cukup bagus, akan mereka teruskan. Kalau tidak, mereka akan melempar umpan di kolam yang lain.
Kate pernah tertarik dengan ilmu psikologi, jadi dia mempelajarinya sedikit-sedikit. Kesimpulan itu tidak dia tarik sembarangan, tetapi juga mempelajari sikap si pria yang mendekat dan mengamati apa yang mereka lakukan setelahnya. Fakta-fakta tentang manusia yang beragam membuat itu menjadi lebih menyenangkan. Kali ini tugasnya adalah mengamati Jimmy. Kate melakukan itu bukan sebagai bentuk dari jual mahal, tetapi cara untuk mempelajari karakter si pria serta apa maksud dan tujuan mereka mendekatinya. Kate harus tahu seperti apa pria yang kelak akan dia terima sebagai pasangan hidupnya.
Di tengah-tengah pemikirannya yang tidak akan pernah berujung itu, ponselnya berdering singkat. Suara anak kucing mengeong satu kali menjadi dering ketika ada pesan masuk di ponselnya.
Ashley Harper
Kate, katakan kau sibuk minggu ini, please.
Dominick memintaku mengatur makan malam denganmu.
Sudah meminta nomormu, tapi tidak mau mengirim pesan kepadamu langsung.
Aku akan mengatur di minggu depan, bagaimana?
Satu lagi PR Kate. Seandainya semua pria menggunakan metode pancingan yang sama, Kate akan lebih realistis dan memilih yang punya uang banyak. Setidaknya dengan begitu beban hidupnya berkurang sedikit.
Katherine Willow
Atur sesukamu saja.
•••
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
23 Januari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top