07 - Saturday Morning
Dominick menyimpan pemantiknya ke dalam laci setelah keinginan untuk merokok dia urungkan. Masih terlalu pagi sebetulnya untuk menghisap sebatang rokok, perutnya bahkan belum mencerna apa pun selain secangkir kopi tanpa gula. Sekarang dia memandang sebatang gulungan nikotin yang menari di antara ibu jari dan telunjuknya. Sudah sangat lama sejak dia berhenti kecanduan rokok. Kalau dia mengingatnya, sama saja dengan mengingat masa-masa awal Ashley menjadi asisten pribadinya. Wanita itu terlalu muda untuk mengendalikan pria sepertinya, tetapi dia berhasil melakukannya.
Sebatang rokok itu diletakkan sembarang di atas meja. Untuk satu jam ke depan dia tidak punya kegiatan terjadwal untuk dilakukan, setidaknya begitu agenda yang dikirimkan Ashley ke ponselnya tadi malam. Dia pikir akan menyenangkan jika berdiri di balkon kamar ditemani asap nikotin. Semenjak berhenti menjadi perokok, Dominick bahkan tidak tahu kegiatan apa yang harus dilakukan. Dia menggantinya dengan berolahraga hingga berdampak pada tubuhnya yang menjadi jauh lebih kekar sekarang. Jubah tidur yang dikenakannya sekarang bahkan tidak mampu menutupi bagian atas dadanya yang lebar dengan sempurna.
Ada banyak hal yang ingin dia bagikan, sebetulnya. Namun, dia tidak punya seseorang yang bisa dipercaya dan mau untuk sekadar mendengarkan. Orang-orang terus berkata bahwa pria seberuntung dirinya tidak pantas mengeluh. Itu adalah tugas orang-orang yang susah. Padahal menjadi salah satu orang terkaya di negeri ini bukan berarti dia tidak memiliki kekhawatiran apa pun.
Apa yang dia miliki saat ini, bukan murni pencapaiannya seorang diri. Vacade Inc. merupakan milik kedua orangtuanya. Dua puluh tahun lalu mereka turut menjadi korban dalam kecelakaan pesawat yang disebabkan oleh cuaca ekstrem, meninggalkan duka yang mendalam sekaligus konflik internal perusahaan. Sekarang Dominick harus menjaga perusahaan tersebut dari orang-orang yang berusaha merampasnya, terutama mereka yang merasa memiliki hak bagian atas Vacade.
Awalnya Dominick enggan menjerumuskan diri dalam dunia bisnis yang memusingkan. Dia hanya ingin menjadi seorang karyawan biasa dengan kehidupan yang biasa pula. Dia tidak ingin menjadi orang tua yang terlalu sibuk masa depan. Apa yang dia alami, sebaiknya tidak terulang lagi untuk anak-anaknya kelak. Sayangnya, dia tidak bisa diam saja ketika kondisi neneknya yang saat itu mengambil alih perusahaan mulai memburuk. Orang-orang yang menyebut dirinya adalah saudara mulai mencari cara untuk mendapatkan posisi di Vacade.
Namun, itu membuat Dominick terjebak selamanya. Kesuksesan yang diraihnya saat ini membuat para pesaing berlomba-lomba menjatuhkannya.
Dominick jadi sakit kepala hanya karena memikirkan bagaimana dia bisa sampai di titik ini. Dia ingin segelas kopi dengan wiski, tetapi sudah berjanji memberi Ashley ketenangan khusus hari ini, yang berarti dia tidak bisa memanggil wanita itu untuk datang ke tempatnya sekarang. Dia bisa mencampurnya sendiri, tetapi rasanya tidak akan seenak ketika Ashley yang melakukannya.
Merasa sudah cukup memandang bangunan-bangunan kota dari balkonnya yang berada di lantai teratas gedung, Dominick masuk lagi ke kamarnya. Namun, ketika berjalan menuju kamar mandi, ponselnya yang sempat dilempar asal ke atas kasur berdering. Seulas senyum tipis mencuat di wajahnya ketika membaca nama 'Grams' di layar.
"Selamat pagi, wanita tercantik."
Sapaan Dominick yang menggelikan membuat seseorang di seberang telepon mendengkus. "Seharusnya kau merayu wanita yang jauh lebih muda dariku."
Mata Dominick berotasi. Dia berjalan ke sisi lain kamarnya, menuju sebuah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota New York. Dia suka berada di sana saat sedang bicara di telepon.
"Itu bukan rayuan, Grams. Itu adalah panggilan sayang karena hanya kau wanita paling spesial di hidupku."
Sekali lagi, wanita tua di seberang sana berdecih. "Itu mengingatkanku kapan aku bisa bertemu kekasihmu? Sudah tiga tahun kau bercerai, seharusnya sudah menikah lagi."
Dominick menelengkan kepala sambil memegangi lehernya, seakan-akan pertanyaan itu adalah hantaman yang membuat tulangnya mengalami dislokasi. Grams, atau neneknya, menjadi menyebalkan ketika sudah menagih kabar pernikahannya lagi. Dia bahkan tidak yakin akan menemukan wanita yang mau membersamai bukan karena uangnya yang banyak, apalagi setelah rumor yang disebarkan oleh mantan istrinya.
"Kenapa buru-buru, Grams? Aku menikmati kesendirian ini. Banyak hal yang bisa kulakukan tanpa harus mempertimbangkan persetujuan pasangan."
Belajar dari pengalaman sebelumnya, Dominick mulai berpikir kalau itu cukup merepotkan.
"Istrimu, kan, harus mengerti. Kau perlu mencari satu yang pengertian dan benar-benar sayang padamu."
Dominick memang tidak pernah mengharapkan solusi apa-apa pada neneknya. Semua orang pasti menginginkan pasangan yang mau saling mengerti, tanpa disuruh pun Dominick akan melakukannya. Seseorang yang seperti itu, di mana dia bisa menemukannya?
Lalu wajah si penginterviu tiga hari lalu muncul di kepalanya. Meski hanya dugaan sederhana, dia cukup yakin Katherine--yang nama belakangnya dia lupakan--tidak seperti wanita-wanita lain yang berusaha mengejarnya. Bisa jadi itu bagian dari profesionalitasnya sebagai seorang jurnalis. Namun, Dominick bisa merasakan perbedaannya jika dibandingkan dengan jurnalis-jurnalis sebelumnya. Tidak ada gestur-gestur tidak perlu yang sengaja dilakukan untuk menarik perhatiannya, justru Dominick tidak bisa mengalihkan pandangan dari wajahnya yang manis.
"Cucuku, kau masih di sana? Kenapa diam sangat lama?"
Karena memikirkan wanita itu, Dominick sampai lupa kalau teleponnya masih terhubung dengan sang nenek.
"Aku tertarik dengan seseorang, kalau prosesnya lancar, aku pasti akan mengajaknya bertemu denganmu, Grams."
Satu helaan napas lega terdengar dari neneknya. "Akhirnya ... aku ingin sekali menggendong cicit."
Tentu saja, siapa yang tidak menantikan keturunan dari seorang pengusaha muda seperti Dominick? Ini bukan semacam ungkapan rasa percaya diri, tetapi orang-orang kerap menyampaikan ucapan tersebut di hampir setiap pertemuan. Meski jika ditelaah kembali, ada unsur ejekan di sana. Bagaimana mungkin Dominick bisa segera punya anak jika statusnya sekarang adalah duda?
"Masih jauh dari itu, Grams. Jadi, tolong jangan tinggalkan aku dulu."
"Memangnya karena siapa aku bertahan, hm? Aku tidak bisa pergi dengan tenang sebelum kau bertemu orang yang tepat."
Dominick tertawa hambar. "Sebaiknya tidak terlalu berharap, Grams."
"Jangan membuatku menunggu lama, atau aku akan memaksamu bertemu seseorang."
Perjodohan adalah cara terburuk untuk mendapatkan pasangan dan merusak harga dirinya. Tidak peduli jika itu merupakan hal yang umum bagi kalangan pengusaha; menjodohkan anak-anak mereka untuk kepentingan tertentu. Namun, keluarga Dominick tidak menjadikan itu sebagai tradisi keluarga. Yang berarti, dia bebas menjadikan siapa pun sebagai pasangannya. Neneknya tentu hanya bergurau soal itu, jadi Dominick menanggapinya dengan tawa yang renyah.
"Kudengar dari Taylor asistenmu sekarang sudah bertahan lima tahun. Setidaknya sekali saja ajak dia liburan."
Wanita itu tiba-tiba saja mengganti topik pembicaraan. Taylor, sopir pribadi Dominick, memang secara khusus juga menjadi mata-mata yang akan melaporkan setiap gerak-geriknya kepada sang nenek. Itu sebabnya meski dia tidak bercerita, wanita itu akan tahu. Dominick juga tidak keberatan dengan pekerjaan sampingan sopirnya. Pria itu sudah menjadi sopir keluarga sejak orang tuanya masih hidup. Sosok yang sudah dipercaya sebesar itu tidak bisa dilepaskan begitu saja.
Topik baru yang dibicarakan neneknya berarti obrolan ini akan berlangsung lebih lama. Dominick tidak bisa hanya berdiri tanpa melakukan apa pun dan waktunya terbuang dengan percuma, jadi dia melanjutkannya sembari melepas jubah dan masuk ke kamar mandi. Ponselnya diletakkan di atas meja wastafel tanpa lupa dia aktifkan pelantang suara. Dia tidak langsung masuk ke bilik shower, tetapi bercukur terlebih dahulu. Dia perlu terlihat beberapa tahun lebih muda karena ingin mulai berkencan lagi.
"Dia sudah sering pergi liburan saat ikut dinas denganku. Tidak perlu ada liburan lainnya. Aku akan kesulitan kalau dia jauh dariku terlalu lama." Dominick mengatakannya sembari memoleskan shaving foam di sekitar pipi bawah, dagu, dan rahangnya.
"Jangan terlalu kejam dengannya. Tidak mudah mencari yang bekerja selama dia. Oh, dia mungkin akan mengajukan cuti menikah suatu saat nanti. Usianya masih sangat muda, bukan? Bagaimana kalau kau ajak dia ke sini, aku penasaran wanita seperti apa dia sampai mampu membuatmu berhenti merokok."
Dominick sudah memegang alat pencukur, tetapi ucapan sang nenek membuatnya tidak jadi melanjutkannya. Ashley tidak pernah mengajukan cuti apa pun bentuknya, terkadang dia hanya meminta agar akhir pekannya tidak diganggu. Di akhir pekan itu pun dia tahu Ashley tidak pergi berkencan, lantas kapan dia akan bertemu dan berkenalan dengan seorang pria?
Satu dengkusan kesal Dominick embuskan. Tidak ada yang spesial dari asistennya sampai menyita waktunya seperti ini.
"Akan kupikirkan lagi. Sekarang aku mau mandi, sampai nanti, Grams. Aku menyayangimu."
Dominick baru mengakhiri sambungan telepon ketika satu pesan masuk dia dapatkan.
My PA - Harper
[👤 Katherine Willow]
Ini tidak gratis, Bos.
•••
"Sudah kukirim."
Ashley melempar ponsel sembarangan ke sofa di belakangnya. Setelah mendapat persetujuan Kate kemarin, dia mengirimkan kontaknya pada Dominick. Pria itu bahkan tidak mengucapkan terima kasih padahal sudah menerornya.
Memangnya apa yang bisa diharapkan dari bosnya yang satu itu? Mungkin seharusnya Ashley tidak perlu terlalu buru-buru memberikannya. Kalau memang pria itu menginginkannya cepat-cepat, sebentar lagi Kate akan dihubungi. Namun, ponsel yang sedang terhubung ke pengisi daya di atas meja tidak menunjukkan tanda-tanda menerima panggilan atau pesan masuk. Sementara si pemiliknya sedang berkutat di dapur, memasak sarapan untuk mereka.
"Aku sanggup seharian berada di kamar mandimu."
Ashley mendongak ketika Melissa datang dengan sudah mengenakan celana training panjang dan atasan kaos polos berlengan pendek, nyaris mirip crop top karena panjang badannya agak pendek. Sesekali perutnya akan kelihatan ketika tangannya sedang menggosokkan handuk ke rambut.
"Kau bisa gunakan sesuka hatimu."
Lantas yang Ashley dapatkan dari Melissa adalah satu putaran bola mata.
"Tidak dalam perut kosong." Melissa membanting tubuhnya ke sofa di belakang Ashley. "Dengan pekerjaanmu yang sangat menyita waktu, kau pantas mendapatkan tempat ini. Atasanmu harus memberikannya padamu, bukan hanya meminjamkan."
Ashley tertawa begitu hambar. "Sertifikatnya ada padaku, tapi masih atas nama dirinya. Daripada sesuatu yang pantas, bukankah ini lebih mirip seperti tali pengikat? Kalau aku berusaha pergi, dia bisa menuntutku kapan saja."
Tidak pantas cepat-cepat menganggap tempat ini adalah miliknya, jadi Ashley membual seperti itu. Meski pada kenyataannya, Dominick tidak akan melakukan hal sehina itu. Bahkan jika sesuatu hilang darinya, dia bisa membeli yang baru. Pria itu tidak begitu sentimentil terhadap hal-hal di sekelilingnya.
"Jadi mengerikan saat kau mengatakannya."
"Nyatanya aku masih bertahan sampai sekarang."
Untuk beberapa saat mereka hanya diam, fokus pada TV yang menayangkan acara komedi. Ketika adegan yang lucu ditampilkan disertai suara tawa, keduanya bahkan tidak ikut tertawa. Itu menjadi bukti bahwa sesuatu mengisi pikiran mereka masing-masing.
"Oh, Ash."
Ashley hanya menoleh ke belakang ketika Melissa memanggil.
"Jeremy itu ... orang yang seperti apa? Aku masih ingat kau berkata dia teman minum yang menyenangkan." Melissa menggaruk rahang kanannya dengan telunjuk saat berkata demikian. Ashley tidak tahu itu hanya untuk menutupi rasa penasarannya atau memang gatal. "Padahal dia sudah mengejekku."
"Dia tidak mengejekmu, Mels."
"Lihat, kau membelanya, kau bahkan tidak ada di sana saat dia melakukannya. Apa hubungan kalian cukup spesial?"
Ashley mengernyit pada ucapan yang nyaris terdengar seperti tuduhan itu. Melissa tidak biasanya sensitif seperti itu, yang Jeremy katakan mungkin memang seburuk yang dia pikirkan. Meski pada akhirnya dia tetap tidak bisa membayangkan Jeremy akan melakukan sesuatu yang membuat orang sampai sakit hati. Terkadang dia menyebalkan, tetapi ada pembeda yang menunjukkan kapan dia serius atau sedang bercanda.
"Dia tetanggaku, teman minum, kupikir itu cukup spesial. Tapi dia pria yang baik, sungguh. Bahkan pagi ini dia memberi obat pengar untuk kita. Dia juga bilang kalau dia sedang memuji, dengan tatapan bersungguh-sungguh." Ashley sampai mempraktikkan bagaimana Jeremy melakukannya, matanya sampai menyipit serius.
"Kau percaya begitu saja?"
"Tidak ada alasan untuk tidak percaya. Seperti katamu, aku tidak melihat kejadiannya."
Ashley tersenyum ketika Melissa akhirnya mengangguk. Tahu bahwa itu sudah cukup, Ashley meraih botol air mineral sisa miliknya untuk diminum.
"Kalian berkencan?"
Pertanyaan Melissa sukses membuat Ashley hampir menyemburkan airnya, tetapi berhasil dia tahan dan berujung tersedak.
"Ah, maaf, maaf, itu hanya pertanyaan absurd. Kau pasti sudah bilang kalau tidak sendiri lagi." Melissa menepuk pundak kiri Ashley yang duduk di bawahnya. "Kurasa dia tertarik padamu. Kalau kau memainkan kartu dengan bijak, dia bisa menjadi kekasihmu dan boom! Kau selamat dari tantangan kita."
Jeremy tertarik padanya? Memikirkannya saja rasanya tidak pantas. Selama mengenal pria itu, Ashley cukup tahu berapa banyak wanita cantik dalam lingkaran pergaulannya. Kalau dibandingkan, dia tidak ada apa-apanya. Pria tampan yang memiliki kepribadian bagus akan menjadi incaran banyak wanita. Lagi pula, Jeremy memang bersikap baik pada semua orang. Perhatian kecil yang diberikan padanya tidak bisa diartikan sebagai bentuk rasa suka. Sebaiknya tidak terlalu berharap dan tetap hidup seperti ini, berteman saja.
"Kau baru sekali bertemu dengannya, bahkan dibuat kesal. Apa-apaan dugaan tidak masuk akal itu?"
"Dia tersenyum saat menatap pintu apartemenmu atau mengatakan sesuatu tentangmu." Melissa meraih remote dari meja untuk mematikan TV. Pembicaraan mereka cukup serius saat ini, sedangkan suara tawa yang menjadi latar belakang tayangan acara komedi di TV dirasa cukup mengganggu. Mau tidak mau, Ashley jadi berbalik badan menghadap Melissa, apalagi setelah tahu ada sesuatu tentang dirinya yang mereka bicarakan.
"Kalian membicarakanku? Dalam waktu sesingkat itu? Pantas saja aku tersedak air pancuran saat mandi!"
Ashley memukul kaki Melissa dengan satu kepalan tangan hingga pemiliknya menjerit. Itu sesuatu yang cukup menyenangkan didengar sampai-sampai dia tertawa puas. Kapan kali terakhir dia menghabiskan waktu bersama teman-temannya seperti ini?
"Kubilang hanya saat dia mengatakan sesuatu, bukan berarti sedang kami bicarakan." Mata Melissa berotasi ketika menjawab pertanyaan Ashley. "Seperti yang kubilang, kau harus mencobanya. Kapan lagi kau berhasil melakukan tantangan? Kau kalah terlalu sering."
"Jangan mengatakan sesuatu yang tidak mungkin. Dia akan merasa terbebani kalau bersamaku. Kau tahu seperti apa kondisi keluargaku, bukan?"
Meski keengganannya untuk menceritakan tentang kondisi keluarga sangatlah besar, Ashley tidak pernah memiliki keraguan jika membagikannya dengan Melissa atau Katherine. Dengan mereka, Ashley tidak perlu menerima tatapan bersimpati, yang kemudian diterjemahkan oleh kepalanya menjadi rasa mengasihani. Ashley muak ketika semua orang terus berusaha menguatkannya dengan kata-kata bijak. Tidak ada yang berubah dari keluarganya ketika dia berusaha memercayai kebenaran dari apa yang mereka katakan. Kata-kata seperti itu akan lebih mudah diucapkan oleh orang-orang yang tidak pernah mengalaminya.
"Aku sudah bilang kau boleh melepaskan diri dari mereka. Kau punya pilihan itu, tapi tidak pernah kau ambil."
"Andai saja aku seberani dirimu."
Ashley tidak ingin membicarakannya lebih banyak, dia mulai mencari cara untuk mengakhirinya sampai kemudian aroma masakan tercium dari dapur dan disusul teriakan Kate.
"Guys! Ayo sarapan!"
•••
Aloha~
Maaf lama banget ndak update. Seminggu kemarin tidur cepat terus, jadinya ndak nulis :")
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
14 Januari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top