06 - Hangover
Satu malam penuh kekacauan diakhiri dengan rasa kantuk yang tidak tertahankan. Kate tumbang lebih dulu di sofa setelah memperlihatkan adegan sedang berkelahi dengan orang-orang yang menyebalkan. Sementara itu, yang termasuk dalam orang-orang yang menyebalkan ini adalah pria yang mendekat tanpa bisa sepenuhnya menerima Kate. Dia sadar, sebenarnya bukan salahnya menjadi jomlo, tetapi pria-pria itu yang kerap datang dengan ekspektasi berlebih terhadap dirinya dan pergi begitu saja setelah tahu Kate tidak memenuhi kriteria yang mereka harapkan. Bukankah pasangan harus menerima kurang dan lebih satu sama lain?
Melissa menyusul tidak lama kemudian. Terus mengomel membuatnya lelah sendiri hingga akhirnya tumbang di atas karpet tebal yang mereka duduki bersama. Alasannya mengomel pun tidak jauh berbeda dari Kate, apalagi mereka memang saling berkeluh kesah tentang status dan betapa orang-orang terlalu ingin mencampuri urusan mereka. Melissa tidak masalah dengan seperti apa dirinya sekarang, rasanya masih terlalu muda untuk memiliki komitmen yang serius dengan seseorang dan terlalu dewasa untuk bermain-main. Selama ini dia memang tidak banyak berkomentar untuk merespons perkataan orang-orang. Akan tetapi, meski diam, pikirannya terus bekerja seperti mesin hingga panas. Berkat alkohol semalam, dia berhasil meledakkan semuanya.
Ashley menjadi yang terakhir tidur. Dia tidak punya alasan cepat tumbang karena tidak banyak melakukan sesuatu selain menyaksikan kedua sahabatnya. Meski ikut meracau, tetapi Ashley akan mengalah ketika volume suara mereka lebih keras, kemudian berakhir dengan mengisi ulang gelas miliknya dan menenggaknya sampai habis. Bahkan sebelum benar-benar terlelap, Ashley masih sempat menghabiskan bir yang tersisa setengah di botol terakhir. Dia memang lebih kuat minum ketimbang dua lainnya.
Cahaya matahari sudah menyeruak masuk melalui jendela besar di salah satu sisi dinding dan mendarat tepat di wajah Ashley. Namun, bukan itu yang membuatnya terpaksa membelalakkan mata, melainkan suara bel yang ditekan berkali-kali. Ashley tidak lagi bisa tidur dengan tenang karena desakan si tamu agar dia segera membuka pintu. Ashley terpaksa bangun meski kepalanya terasa berat disertai nyeri yang menyiksa.
Tiga langkah pertama Ashley gontai, beberapa kali nyaris tumbang jika tidak ada dinding di dekatnya untuk berpegangan. Begitu keseimbangan tubuhnya mulai stabil, langkahnya makin cepat dan sekarang sudah berhadapan dengan pintu depan. Tanpa peduli seberapa kacau penampilannya sekarang, Ashley membuka pintu.
"Tidak sopan mengganggu tidur pagi seorang wanita tahu." Ashley bersandar pada salah satu sisi bingkai pintu setelah tahu tamunya bukan seseorang yang harus disambut dengan sopan. Lagi pula, dia sudah menduganya, tidak akan ada yang bertamu pagi-pagi ke tempatnya selain tetangganya sendiri.
"Kau mengundang teman laki-laki?" Pertanyaan itu dilontarkan Jeremy sembari menelisik penampilan Ashley.
"Siapa yang mau kuundang?" Ashley tidak akan merespons dengan nada kesal seandainya Jeremy tidak menatapnya seliar itu. Bisa-bisanya Jeremy lupa kalau dia tidak punya teman pria lain selain dirinya. Kalau di daerah asalnya, ya, mungkin banyak, tetapi tidak sedekat itu untuk diajak minum bersama.
"Kebiasaanmu ini berlaku saat minum dengan siapa saja rupanya." Ashley hanya bergeming ketika Jeremy menaikkan kemejanya yang melorot dan tersangkut di lengan kiri. "Sudah kubilang kau sangat seksi saat mabuk. Tapi pastikan kau mengancingkan ini dulu setelah sadarkan diri."
"Kau seharusnya tidak menekan bel seanarkis itu." Ashley masih merasa pusing dan suara bel beruntun membuatnya tidak bisa memikirkan hal lain selain segera membuka pintu. Kalau mau protes, itu akan menjadi satu keluhan yang panjang. "Kau bisa meneleponku dulu kalau memang ada perlu. Ini masih terlalu pagi." Ashley melanjutkan sambil mengancingkan atasan piamanya ogah-ogahan. Pria di depannya ini sudah pernah melihat pemandangan serupa, bahkan atasannya sudah teronggok di lantai. Akibatnya, Jeremy tergoda dan berakhir merenggut ciuman pertamanya.
"Terlalu pagi? Ini sudah jam sembilan dan lihatlah aku, sudah sangat rapi dan siap pergi ke toko." Jeremy merentangkan tangan dan di saat itu pula aroma parfum yang dikenakannya menguar.
Ashley menghirup dalam-dalam aroma yang hangat itu. Entah karena jenis bau parfumnya, atau karena kepribadian Jeremy yang hangat. Ashley tidak berhenti bersyukur karena bertemu dengan pria sebaik Jeremy. "Tetap saja terlalu pagi untuk orang yang menghabiskan malamnya dengan minum-minum. Jadi, ada perlu apa?"
"Hanya ingin memberikan ini." Jeremy menyodorkan plastik kecil yang dibawanya. "Obat pengar. Aku yakin kau lupa membelinya lagi setelah kita menghabiskannya dua hari lalu."
Mengenal Jeremy sama seperti memiliki seseorang yang menjaganya dengan baik. Benar dugaan pria itu, Ashley belum membelinya lagi padahal berencana minum-minum bersama kedua temannya. Dia jadi berpikir kalau wanita yang akan menjadi istrinya kelak pasti sangat beruntung. Ashley tidak berpikir dirinya pantas meski hanya membayangkannya.
"Kau yang terbaik, Tetangga." Ashley menepuk dada Jeremy tiga kali dan menerima usapan di kepala setelahnya. "Tapi kau membuat temanku kesal kemarin. Dia bilang kau menyebalkan."
"Menyebalkan? Apa alasannya?"
"Kau mengatakan sesuatu tentang seragamnya." Ashley dengan jelas mengingat itu karena Melissa sempat mengoceh semalam. Berada di bawah pengaruh alkohol memberi Ashley kemampuan untuk mengingat lebih baik.
Ashley mulai merasa bersalah karena kejujurannya membuat pria itu menunda keberangkatannya ke toko. Padahal pria itu harus memimpin briefing pegawainya dulu sebelum melayani pelanggan yang datang. Jeremy tidak akan pergi sampai dia meluruskan kesalahpahaman yang mencoreng nama baiknya. Dia tipe pria yang peduli pada pendapat orang lain tentangnya. Sekarang pria itu berusaha mengingat detail kejadian yang dimaksud Ashley.
"Kubilang seragamnya keren, dan itu pujian. Aku tidak tahu di mana sisi menyebalkannya." Tampak kegelisahan di sorot matanya, takut-takut kalau Ashley tidak mau percaya.
Wanita itu hanya mengangguk sebelum kemudian mengangkat plastik obat di tangannya. "Mungkin kau melakukannya dengan cara yang tidak menyenangkan?"
"Beri tahu saja dia kalau aku bermaksud memuji." Sekali lagi Jeremy mendaratkan tangan besarnya di atas kepala Ashley.
"Baiklah. Ngomong-ngomong, terima kasih obatnya, Tetangga. Kau sangat perhatian."
"Kau harus bersyukur punya aku sebagai tetangga." Setelah memberi senyuman yang ramah untuk Ashley, Jeremy memeriksa pesan masuk di ponsel melalui Apple Watch-nya. "Too much talking, mereka sudah menerorku. Aku harus berangkat. Sampai jumpa, Tetangga."
Jeremy benar-benar pergi setelah memberi satu tepukan di rambut Ashley yang sudah berantakan, menyisakan Ashley yang tersenyum sembari memandang kantong plastik berisi obat tersebut. Namun, tidak lama sebelum satu hal mengganggu pikirannya dan senyum itu luntur seketika. Ashley segera menepisnya. Dia yakin semua wanita akan merasakan reaksi serupa ketika diberi perhatian seperti itu, tetapi Ashley tidak dalam posisi yang pantas untuk merasa demikian. Tidak ketika dia sendiri belum mampu membenahi kekacauan di hidupnya.
Ashley kembali memasuki apartemennya tanpa lupa menutup pintunya kembali. Kedua temannya sudah bangun, Kate memeriksa ponsel, sementara Melissa melakukan peregangan sedikit. Ashley meletakkan plastik obat tadi ke atas meja dan duduk di sebelah Melissa.
"Kenapa mereka suka sekali mengganggu? Aku baru tiga hari bekerja dan mereka sudah mendapat nomor ponselku." Kate melampiaskan rasa tidak sukanya dengan membanting ponsel ke bagian sofa yang kosong di sisi kirinya. "Kepalaku masih pusing."
"Wow. Baru semalam Melissa membuat tantangan itu, tapi kau sudah diincar banyak pria," celetuk Ashley dengan wajah takjub. Sejujurnya ada rasa iri yang terselip di sana. Dia tidak pernah tahu seperti apa rasanya disukai seseorang.
Kate mengernyit. "Target apa? Tantangan apa?"
"Ah, benar, kau mabuk berat semalam, pasti kau sudah lupa. Hei, Mels, kau harus menjelaskannya lagi nanti."
Ashley meraih dua botol air mineral dari bawah meja dan melemparnya satu ke arah Kate. Suara Kate terdengar serak, dan Ashley berpikir wanita itu mungkin perlu minum. Sisi lainnya juga untuk minum obat pengar pemberian Jeremy. Satu botol lagi dia letakkan di pangkuan Melissa.
"Tapi kalian harus minum ini dulu. Kepala kalian pasti masih pusing. Jeremy baru memberikannya padaku karena punyaku habis." Ashley berkata sembari mengeluarkan satu pil dari bungkusnya dan meraih satu botol air lagi. Dia menjadi yang pertama meminum obat itu.
"Jeremy? Siapa lagi itu?" Nada bertanya Kate terdengar frustrasi. "Argh! Aku kesal ketika menjadi satu-satunya yang tidak mengingat apa pun yang kulakukan saat mabuk." Dia melampiaskan kefrustrasiannya pada rambut yang sejak awal sudah berantakan sisa dari tidurnya.
"Aku juga tidak tahu siapa Jeremy. Pacarmu, ya?" Melissa yang sudah sepenuhnya sadar akhirnya bicara. Dia membuka botol air mineral itu dan menenggaknya sangat kuat hingga tersisa setengah botol. Dia menyusul Ashley meminum obat itu kemudian.
Ashley ikut kebingungan sekarang. Sebagai seseorang yang dengan jelas mengingat apa yang dia lakukan saat mabuk, dia yakin sudah menyebutkan nama pria itu ketika Melissa mengeluhkan sikapnya yang menyebalkan. Yah, lagi pula Ashley tidak bisa menyalahkan mereka juga kalau lupa. Mereka terlalu banyak minum semalam. Memberi jawaban langsung siapa Jeremy akan lebih mudah daripada memaksa mereka untuk ingat, apalagi Kate yang selalu menghapus bersih memorinya saat berada di bawah pengaruh alkohol.
"Jeremy adalah pria di seberang, tetanggaku. Dia juga pria yang kau sebut-sebut menyebalkan, Mels."
Melissa ingin sekali mengumpat karena Ashley sudah menyenggol tangan kanannya saat sedang minum, tangan yang sedang memegang botol air. Sekarang dia tersedak dan akibat dari perbuatan Ashley itu, airnya juga ikut masuk ke hidung. Sekarang Melissa terbatuk parah dan tangannya memukul paha Ashley dengan kuat beberapa kali sebagai pembalasan.
"Sakit, Mels!" Ashley berseru sembari menepis tangan Melissa. Dia tidak bisa bergeser lebih jauh karena posisinya sudah di ujung sofa, menempel dengan pinggiran sofa untuk meletakkan tangan.
"Hei, jadi apa yang terjadi semalam? Kalian tahu aku akan frustrasi setelah kalian mengungkitnya sebentar kemudian membiarkan aku penasaran sepanjang hari." Kate tampak memelas. Dia sudah membiarkan rambut sepunggungnya berantakan seperti singa karena terus diacak-acak sejak tadi. Dan Ashley nyaris tergelak menyaksikan itu.
"Baiklah. Jadi, rencananya kita harus mencari pacar dalam waktu satu tahun dan pertahankan hubungan itu sampai tiga bulan." Melissa kemudian menghela napas dan memijat pelipisnya sendiri. "Setelah kuingat lagi, itu ide yang buruk. Tapi kita semua sudah setuju, jadi harus dilakukan, bukankah begitu? Kita bertiga terlalu membosankan jika tidak melakukan sesuatu yang menantang."
"Gila!" Kate sampai terperanjat di tempat.
Ashley mendengkus, dia berhasil dibuat kaget karena pekikan Kate. "Seharusnya aku yang bereaksi seperti itu. Semalam kau bahkan sangat bersemangat dan bertekad akan berhasil."
Ucapan Ashley menerima tatapan tidak percaya dari Kate. Kepindahan Kate ke New York memiliki alasan yang sama dengannya, yaitu untuk hidup stabil dan memiliki karier yang lebih baik agar ibunya tidak harus bekerja lagi demi membiayai pendidikan ketiga adiknya. Sesederhana itu. Namun, melibatkan pria dalam kehidupannya hanya akan mengacaukan banyak hal. Baik Ashley maupun Kate belum siap berhubungan dengan pria mana pun. Mereka ingin sebuah komitmen, bukan permainan.
"Aku tidak percaya kalau begitu bersemangat. Kalau tidak berhasil, bagaimana?" Kate merasa perlu mempertimbangkan risiko jika tidak berhasil. Siapa tahu itu lebih mudah dijalani daripada dia harus berhasil berkencan dengan seorang pria.
"Kubilang kita akan menjadi biarawati, yang berarti melajang seumur hidup." Melissa menggaruk pipinya penuh keraguan. "Kita masih bisa menggantinya, 'kan?"
"Jangan." Ashley menyamankan posisinya dengan bersila di sofa. "Biar saja menjadi biarawati. Aku tidak yakin akan punya waktu berkencan jika masih bekerja di bawah Dominick. Tapi aku juga tidak mau berhenti karena dia menggajiku sangat besar. Kurasa aku akan siap menjadi biarawati karena sudah pasti tidak ada yang menyukaiku."
Keheningan menyelimuti mereka bertiga. Ada banyak hal yang mulai mengisi kepala mereka. Dan Ashley merasa sudah buntu karena yang memenuhi kepalanya hanya tempat terbaik untuk menjadi biarawati. Untuk beberapa saat seperti itu sampai Melissa membuyarkan pikirannya karena tiba-tiba berdiri dan bertepuk tangan.
"Jadi, bagaimana? Kita lanjutkan?" Melissa menatap Kate dan Ashley bergantian.
"Lanjutkan saja. Kita sudah sepakat tadi malam. Aku ingin melihat seberapa keras usaha Kate untuk menang. Dan lagi, memangnya kalian masih mau menjalani pertemanan kita yang membosankan? Tidak ada pesta, pergi jalan-jalan ke suatu tempat, atau menggosip tentang anak kelas sebelah. Kita sudah sibuk dengan pekerjaan, jadi tantangan itu akan membuat hubungan kita lebih ... punya sesuatu. Entahlah, bagaimana menyebutnya?"
Melissa mengangguk, menyetujui ucapan Ashley. Dia menjatuhkan kembali tubuhnya ke tempat semula dia duduk dan merangkul Ashley dengan erat. "Itulah alasanku membuat tantangan untuk kita." Melissa mengatakannya dengan senyum bangga. Ucapan Ashley menyadarkannya bahwa tantangan itu bukan hanya permainan semata, tetapi memiliki makna lebih. "Dan aku juga tidak mau kita selamanya kesepian. Kita perlu wadah mengadu, sosok yang akan mengerti kita, teman hidup. Tidak peduli kita merasa bisa hidup mandiri, tapi aku rasa kita akan memerlukannya suatu saat nanti."
Ashley membalas rangkulan Melissa dan mereka tertawa bersama. Tatapan mereka lantas mendarat ke arah Kate, yang sibuk merapikan rambut sambil tampak menimbang-nimbang apakah dia perlu mencobanya atau tidak.
Namun, pada akhirnya wanita penulis itu hanya menghela napas. "Dua lawan satu, memangnya keputusannya masih bisa berubah? Tentu saja aku ikut. Jadi, bersiaplah memelukku juga."
Ashley dan Melissa tidak sempat memperkirakan kapan Kate akan menghampiri mereka dan tahu-tahu sudah membanting tubuhnya. Kate mendarat tepat di tengah-tengah Melissa dan Ashley. Dia merentangkan tangan dan melingkari leher kedua teman baiknya itu lalu berbisik, "Aku merindukan kita bersama seperti ini."
"Ya, aku juga." Melissa membalas dan meletakkan tangannya ke punggung Kate.
"Aku juga." Ashley terakhir menyusul. "Um, Kate, bosku meminta nomor ponselmu, apa boleh kuberikan?"
"Sial. Kate bahkan belum bergerak, tetapi dia seperti magnet. Pria-pria datang sendiri padanya."
Ashley meringis karena fakta itu terlalu menakjubkan untuk diucapkan.
"Ya, silakan saja. Dia pria kaya, aku harus mencobanya."
•••
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
31 Juli 2022
Republish 4 Januari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top