05 - Reunion

Ashley benar-benar berhasil melakukannya hari ini. Setelah menyampaikan keinginannya untuk pulang lebih awal, dia bisa pulang satu jam lebih awal dari jam pulang seharusnya. Dominick tidak akan keberatan selagi Ashley menyelesaikan pekerjaannya sesuai rencana. Tentu saja pria itu juga pulang jika asistennya pulang.

Sebelum benar-benar pulang, Ashley mampir dulu ke supermarket untuk membeli camilan disertai bahan-bahan memasak, tidak ketinggalan minuman. Dia tidak pernah peduli dengan stok makanan, apalagi dia juga tidak punya waktu untuk memasak, tetapi kali ini kedua sahabatnya akan menginap. Makan malam bisa dipesan, tetapi harus ada sesuatu untuk disajikan untuk sarapan besok paginya. Ashley tahu salah satu sahabatnya sangat suka memasak, wanita itu akan senang hati memasak untuk mereka. Dia begitu bersemangat hingga tidak lagi sadar seberapa banyak uang yang dihabiskan untuk belanja.

Well, Ashley memang berhak membelanjakan penghasilannya sendiri, tetapi rasa bertanggung jawab atas hal lain terus mengganjal hatinya hingga memunculkan rasa penyesalan yang tidak pantas. Bahkan jika dihitung baik-baik, pengeluarannya tidak seberapa dari total yang dia dapatkan selama sebulan.

Ashley jadi pusing. Ini bahkan reuni mereka bertiga setelah lima tahun berpisah. Ashley pergi meninggalkan dua sahabatnya lebih dulu demi keluar dari zona yang mencekiknya terus menerus, sedangkan belanjaannya hari ini bahkan tidak mampu untuk membayar kesetiaan kedua sahabatnya. Setelah selama itu, tanpa interaksi yang intens, mereka masih mengingat dirinya tanpa menanggalkan predikat sebagai sahabat. Ashley pun mungkin tidak mampu menerima kenyataan jika pada akhirnya menjadi orang asing bagi mereka.

Perihal keuangan ini sudah membuat perasaannya memburuk, Ashley mungkin akan minum paling banyak dibandingkan kedua sahabatnya nanti.

"Cheers!"

Tiga gelas bir yang terisi penuh itu saling bersinggungan di tengah-tengah Ashley, Melissa, dan Katherine. Ketiganya duduk di atas karpet berbulu tebal warna putih di ruang tengah. Setelah makan malam bersama satu jam lalu, mereka bertiga melanjutkannya dengan menonton film, lalu ketika perut mereka sudah memiliki sedikit ruang kosong, Ashley mengeluarkan camilan dan beberapa botol bir. Ketiganya menenggak bir tersebut sampai tersisa setengahnya di masing-masing gelas. Karpet tebal yang menjadi alas mereka duduk mulai memiliki bercak kekuningan karena bir yang meluap dari gelas mereka.

"Sudah berapa lama aku tidak minum? Ah ... aku sangat merindukan ini."

Ashley tertawa geli ketika menyaksikan Kate memandang sisa bir di gelasnya dengan tatapan takjub.

"Kau beruntung sekarang, kabari saja aku atau Ash kalau mau minum. Seseorang harus menjagamu saat mabuk." Melissa yang merespons, sembari menyugar rambutnya yang sudah benar-benar kering. Wanita itu berhasil mengobati kekesalannya atas sikap si pria tetangga dengan menikmati kamar mandi mewah Ashley. Sampo Ashley juga dipakainya dan itu membuat rambutnya terasa lebih halus dari biasanya. "Sampo mahal punyamu membuatku ingin menyentuh rambutku terus."

"Aku setuju. Aku juga memakainya dan aromanya enak, padahal aku ingat kau tidak begitu menyukainya, Ash." Kate pun juga menumpang mandi sebelum Melissa datang. "Aromanya mahal dan berkelas, seperti bebauan pinus?"

Ashley menenggak birnya lagi begitu ingat kenapa sampai memakai produk dengan aroma seperti itu. Dia bukan tidak menyukai aromanya, tetapi menahan diri untuk tidak menyukai karena tahu jarang ada produk yang akan memiliki aroma tersebut dengan harga yang murah. Cara menghindar yang sederhana, sebetulnya. Parahnya, Dominick yang intens juga memiliki penciuman yang tajam. Pria itu yang membuat Ashley harus memakai bebauan semacam itu, melupakan aroma vanila favoritnya. Beruntungnya, Ashley tidak membenci itu.

"Aku membelinya saat diskon akhir tahun." Hanya itu yang Ashley katakan agar mereka tidak membahasnya terlalu banyak.

Mereka pasti sudah berpikir Ashley sangat sukses sebagai asisten dari seorang bos besar. Apartemen yang memiliki dua lantai dengan tiga kamar besar yang masing-masing di dalamnya terdapat kamar mandi ini mungkin dikira dibeli sendiri oleh Ashley. Ada satu ruang kerja, ruang menonton dengan TV yang lebih besar dari ruang menonton, dan balkon dengan perapian di tengah-tengah kursi berbentuk huruf U. Tidak ketinggalan ruang gym pribadi yang sukses membuat Kate lebih terkesima. Mereka memang belum tahu bagaimana Ashley bisa memiliki tempat sebagus ini.

Ashley sempat bertanya pada Dominick apakah peralatan di ruang gym itu perlu dipindahkan, tetapi pria itu justru membiarkannya ada di sana karena sudah membeli yang baru. Yah, seperti yang diharapkan dari seorang pengusaha kaya.

"Kau bahkan punya ruang gym, aku ingin sekali punya treadmill."

"Kau boleh sering-sering datang ke sini untuk olahraga, Kate. Aku jarang memakainya." Ashley menawarkan. Dia tahu betul sahabatnya yang satu itu sangat memperhatikan kondisi tubuhnya. Dengan mengenakan piama terusan tanpa lengan seperti sekarang, Kate mempertontonkan lengannya yang bisa dibilang berotot agak kekar.

"Gila! Kalau tidak dipakai, kenapa kau membuat ruangan khusus? Apa itu milik pacarmu?" Melissa jadi menggebu-gebu. Wanita yang mengenakan piama panjang berwarna merah marun itu memandang curiga pada Ashley.

Ashley jadi pusing. Tidak pantas mendengarkan celotehan kedua sahabatnya tentang kesuksesannya yang palsu. Membeli gaun untuk ke acara amal saja membutuhkan tiga malam untuk mempertimbangkan, apalagi membeli tempat sebagus ini beserta furniturnya yang mewah.

"Sebaiknya berhenti membicarakan itu, ayo minum lagi." Ashley lantas mengangkat botol bir, kemudian menuangkannya ke gelasnya sendiri sebelum menawarkan ke teman-temannya.

Malam ini dia mungkin akan jadi yang paling mabuk.

"Aku bawa anggur!" Melissa berseru, mengurungkan niat Ashley untuk menambahkan isi gelasnya. "Di mana tasku?"

Kate menjawab dengan menunjuk sofa di belakang Melissa

"Anggur secara harfiah atau? Karena kalau kau mau anggur, aku punya banyak di kulkas."

Tangan kanan Melissa mendarat di tengkuk Ashley, agak meremasnya hingga membuat Ashley bergidik kegelian. "Menurutmu untuk apa aku membawa buah, hm?"

"Buah tidak cocok disantap untuk saat-saat seperti ini. Terlalu sehat untuk situasi yang tidak menyehatkan." Kate menimpali. Wanita itu bersandar pada bagian bawah sofa yang ada di belakangnya. "Sofamu sangat empuk, Ash. Rumahmu sangat bagus, terbukti kalau kariermu jauh lebih bagus dari kami."

Ashley tertawa datar, tidak ada yang bisa dibanggakan dari rumah ini. Dia memosisikan diri seperti Kate, tetapi di sofa yang berbeda. Kemudian bertengadah di badan sofa hanya untuk menatap langit-langit yang dihiasi oleh lampu gantung yang cantik.

"Aku mana mau menghabiskan uang untuk membeli tempat sebesar ini, tidak sekarang atau kemarin-kemarin. Belum saatnya."

Ashley tidak sadar kalau Melissa, yang baru saja menaruh tasnya di sofa setelah mengeluarkan minuman anggur dari sana, menatapnya dengan dahi berkerut. "Lalu tempat ini punya siapa? Pacarmu? Oh! Jangan bilang kau jadi simpanan orang."

"Tidak ada pacar. Dan apa maksudnya itu, aku simpanan bosku, begitu?" Gila saja, pikir Ashley. Bahkan jika diberi sebuah istana pun dia tidak akan mau.

"Oh!" Mulut Kate membola ketika menyadari sesuatu dari ucapan Ashley. "Tuan McCade yang memberikan tempat ini padamu? Woah. Ternyata dia pria yang murah hati."

"Siapa McCade?"

"Atasan Ashley, yang kuwawancara waktu itu. Dominick McCade." Kate menggebu-gebu menjawab pertanyaan Melissa, seolah-olah pertanyaan itu memang ditujukan untuknya.

Ashley menggaruk pipi ketika sekarang kedua temannya mulai mengagumi kebaikan bosnya, padahal kenyataannya ada harga yang harus dibayar untuk bisa mendapatkan kebaikannya. Namun, mau bagaimana lagi? Sulit menjelaskan situasinya, jadi dia biarkan saja mereka mengira begitu.

"Benar, kan, kalau dia memberikan tempat ini padamu?" Kate bertanya lagi untuk memastikan kalau dugaannya benar.

"Tempat ini memang miliknya dan aku diizinkan tinggal di sini, tetapi aku tidak tahu dia memberikannya atau hanya meminjamkannya. Sampai sekarang aku belum berani melakukan perubahan yang berarti pada tempat ini."

"Yah, itu menjelaskan kenapa tempat ini terlalu kelabu untukmu yang suka menata rumah." Melissa memperhatikan sekelilingnya sebentar. "Tempat ini juga terlalu maskulin untuk seorang wanita."

"Mau bagaimana lagi? Berkat tempat ini aku bisa berhemat karena tidak perlu membayar sewa rumah. Mereka masih mengharapkan kiriman dariku."

Ashley menutup ujaran keputusasaan itu dengan menenggak habis bir di gelasnya. Pembicaraan itu cukup mengganggunya sampai Ashley berharap bir itu bisa segera membuatnya mabuk.

"Aku bertemu ibumu sebulan lalu. Beliau bercerita kalau sudah berhenti bekerja karena kau memintanya. Kuharap aku juga bisa meminta ibuku untuk istirahat di rumah dan aku yang akan menanggung seratus persen keuangannya." Kate memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing.

"Kau akan, Kate. Pasti. Kau menulis dengan baik." Ashley menepuk pundak Kate beberapa kali sekadar untuk menenangkan.

Masalah keluarga memang selalu menjadi topik yang tidak pernah mereka lewatkan untuk dibicarakan, dalam keadaan mabuk atau sadar. Tidak peduli kalau membicarakannya kerap membuat telinga mereka panas, tetapi itulah yang menjadi alasan mereka jadi sedekat ini. Memiliki pengalaman yang sama membuat mereka bisa lebih memahami satu sama lain.

"Oke, kurasa cukup pembuka mellow-nya. Ini, minum lagi."

Kali ini giliran Melissa yang membuka satu botol bir lagi dan menuangkannya ke gelas mereka meski yang sebelumnya masih ada sisa.

"Ayo bersulang." Melissa mengangkat gelasnya lebih dulu, dan kedua temannya segera mempertemukan gelas mereka hingga kembali terdengar suara dentingan yang keras.

"Aw, minumanku tumpah banyak." Kate menyadari isi gelasnya meluap keluar lebih banyak dari sebelumnya.

"Tidak apa-apa." Ashley meletakkan gelasnya di lantai, kemudian menghentikan Kate yang berusaha membersihkannya dengan tisu. "Akan kubawa ke penatu nanti. Lagi pula, ini kali pertama kita bersenang-senang di sini, harus dinikmati dan jangan khawatirkan yang lain-lain dulu."

"Kau seperti orang yang tidak punya teman saja, sampai tidak punya seseorang untuk diundang datang," cibir Melissa di sela-sela minumnya.

"Aku hanya punya kalian. Um, dan pria di seberang adalah teman minum yang menyenangkan." Senyum Ashley mengembang dengan cara yang aneh. Dengan wajah semerah itu, bisa dipastikan kalau dia sudah mulai mabuk.

"Pria di seberang? Maksudmu, pria yang tadi?" Melissa membanting gelasnya lalu berdecih ringan ketika Ashley mengangguk membenarkan. "Dia menyindir seragamku dan aku membenci pria itu sekarang."

Ashley memperhatikan wajah kesal Melissa seperti anak kecil yang melihat mainan baru milik temannya; takjub dan penuh rasa ingin tahu. Alkohol sudah merenggut sekian persen kendali dirinya. Isi gelasnya sudah habis lagi. "Mungkin Jeremy memang orang yang begitu," simpulnya.

"Begitu bagaimana?" Intonasi Melissa meninggi sampai berhasil membuat Kate berjengit kaget.

Ashley menggosok telinganya seakan-akan Melissa baru saja memekik hingga telinganya berdengung. Dia lupa kalau wanita itu akan mudah tersulut emosi ketika pengaruh alkohol menguasai kepalanya. Hari ini Jeremy membuat Melissa kesal, seharusnya Ashley bisa lebih peka ketika tadi sore Melissa meminta ingin masuk ke apartemennya segera. Namun, dia justru menyebut namanya di sela-sela pembicaraan mereka. Sekarang wajah Melissa jadi merah.

"Dia suka menyindir." Ashley akhirnya mencari-cari alasan agar Melissa mau memaklumi. "Katanya aku harus menambah berat badan agar terlihat seksi. Tapi aku bekerja sebagai asisten, bukan merayu duda. Dan ini cukup besar kurasa." Dia melanjutkan. Saat menepuk pantat, kesadaran Ashley sudah dikuasai oleh alkohol setengahnya.

"Sudah kuduga pria itu menyebalkan." Melissa berdecak keras. "Tapi kenapa kau bilang dia teman minum yang menyenangkan?" Ada nada tidak terima di suaranya. Dia tidak membatasi siapa pun berteman dengan siapa meski sudah dekat dengannya sekalipun, tetapi saat ini dia sedang tidak bisa mendengar hal-hal baik tentang seseorang yang sudah membuatnya kesal.

Ashley tertawa kecil menanggapi kemarahan Melissa. "Kau akan tahu kalau sudah minum dengannya. Mana anggurmu?" Gelas miliknya, yang terakhir diisi ulang oleh Melissa, kini kosong lagi. Dia menyodorkan benda kaca itu ke arah Melissa, berharap kali ini akan diisi anggur.

"Ini bukan reuni yang menyenangkan." Kate meraih stoples berisi camilan stik dan menikmatinya seperti orang yang tidak punya semangat hidup. Celetukan tanpa semangat itu menyita perhatian kedua sahabatnya.

"Nikmatilah, Kate. Kau tidak akan menikmati malam ini besok-besok." Melissa mendorong gelas Kate hingga membentur lutut pemiliknya beberapa kali, memaksa wanita itu agar minum lebih banyak. Di sebelahnya, Ashley mengangguk setuju. "Setidaknya malam ini saja kita lupa dengan masalah hidup."

Ashley mengangguki ucapan Melissa.

"Jangan membuat ini terlalu menyenangkan, aku akan melupakannya besok, kalian tahu." Kate mengeluh, matanya mengerling pada anggur yang tidak bisa dia minum sebanyak kedua temannya. Malam ini dia harus mempertahankan lima puluh persen kesadarannya atau dia akan benar-benar melupakan semua hal yang mereka lakukan saat mabuk.

Ashley tertawa, tetapi juga mengasihani. Kebiasaan mereka saat mabuk sungguh bervariasi. Kate mabuk malam ini, tetapi semua hal yang dia lakukan akan terlupakan begitu kesadarannya kembali esok harinya. Melissa akan lebih temperamental ketika alkohol menguasai dirinya. Hanya ketika terlalu mabuk dia akan melupakan beberapa hal. Sedangkan Ashley punya kebiasaan menjadi lebih berani melakukan sesuatu yang tidak akan dilakukan saat sadar. Kabar baiknya, semabuk apa pun dia, tidak ada satu hal kecil pun yang dia lupakan.

"Ada CCTV canggih di sini, bahkan suaramu akan terekam. Kau bisa menonton videonya besok, Kate." Ashley menawarkan sembari mengedipkan sebelah mata. Ada sebuah ruangan kontrol di tempatnya. Dominick pernah memberi tahunya kalau di ruangan itu dia bisa memeriksa rekaman CCTV dan mengatur lampu sensor. Namun, sampai sekarang Ashley tidak pernah masuk untuk memeriksanya.

Sayangnya, itu bukan tawaran yang bagus bagi Kate. Berhasil mengingat apa yang dia lakukan saat mabuk jauh lebih baik daripada menonton ulang hal-hal konyol yang mungkin saja dia lakukan saat kesadarannya dikuasai oleh alkohol.

"Dan siapa yang bisa mengakses video-video tersebut?"

"Ah, benar, siapa yang bisa melihat?" Melissa turut mempertanyakan hal yang sama seperti Kate. Terlebih lagi tempat ini bukan milik Ashley sejak awal.

Ashley pun turut mempertanyakan tentang itu. Dulu selagi Dominick belum mengizinkan dia menempati apartemen itu, pria itu bisa memantau CCTV dari ruangan di kantornya. Tentu saja Dominick tidak akan serepot itu untuk mengeceknya lagi, 'kan? Dia pria yang sibuk. Ashley memutuskan untuk tidak memberi tahu soal itu kepada kedua temannya karena sudah pasti akan membuat mereka khawatir.

"Hanya aku, tenang saja."

"Kalau begitu, kita minum anggurnya." Melissa membuka botol anggurnya dengan alat yang juga dia bawa dari rumahnya. "Hei, Kate, habiskan dulu isi gelasmu. Aku mau menuang anggur ke sana."

Mereka bersulang lagi. Satu kali, dua kali, dan yang ketiga mereka sudah benar-benar mabuk. Semua masalah yang mereka hadapi terungkap semua. Masalah keluarga, pekerjaan, sampai hal-hal tidak biasa yang mengganggu pikiran mereka.

"Aku benci rekan-rekan kerjaku. Mereka pria dan selalu mempertanyakan orientasi seksualku karena masih sendiri. Hei! Apa salahnya fokus bekerja dan tidak berkencan dulu?" Melissa frustrasi dan menenggak birnya dengan cepat. Anggur yang dia bawa habis dengan cepat ketika mereka bersulang untuk kali kedua dan sekarang mereka kembali meminum bir yang tersisa.

"Aku ingin sekali menghajar mereka dengan ini." Melissa mengangkat tangan kanannya yang terkepal. "Tetapi aku harus mabuk dulu untuk melakukannya."

"Orang-orang seperti itu memang harus dimusnahkan." Kate tiba-tiba berdiri dan berposisi seperti hendak berkelahi meski matanya sudah sayu. "Aku sudah makin kuat sekarang. Rajin workout, perutku sudah punya abs. Lihat." Tidak ketinggalan Kate menyingkap gaun tidurnya untuk membuktikan ucapannya. Beruntung di balik itu ada celana pendek yang melapisi celana dalamnya.

Ashley menggeser tubuh mendekati Kate. Matanya melotot takjub pada garis-garis otot yang terbentuk di perut wanita itu. "Wah ... kau sangat sehat," ujarnya sembari menekan perut Kate dengan telunjuk beberapa kali.

"Mels, orang-orang di kantorku juga menyebalkan. Mereka selalu mengasihaniku karena masih sendiri, padahal lihat aku." Ashley merentangkan tangan dalam posisi berdiri di atas lutut. "Siapa yang akan menyukaiku?"

"Aku merasa kita masih terlalu muda untuk memiliki kekasih. Tahu kenapa aku menyusul kalian? Orang-orang terus bertanya kapan aku menikah. Itu menyebalkan." Kate mulai terisak. Bisa dibilang, dia yang memiliki perasaan paling halus di antara yang lainnya.

"Sini, aku harus memelukmu, Kate." Ashley maju dan benar-benar memeluk Kate untuk kemudian menangis bersama.

Melissa hanya menggeleng menyaksikan dua wanita itu menangis. "Hei, siapa yang menyakiti kalian? Sini, biar kuhajar."

Ashley melepas Kate dan kembali duduk. "Setelah kupikirkan lagi, aku tidak akan mendapat pasangan seumur hidup karena dianggap tidak menarik. Aku bisa menjadi seksi, tetapi mereka tidak mengetahui itu. Lihat, bahuku bagus, 'kan?" Dia membuka tiga kancing teratas piyamanya dan menurunkannya untuk memamerkan bahu dan tali bra berwarna hitam yang dia kenakan. "Tapi aku juga tidak punya waktu untuk berkencan. Percuma kalau berpenampilan seksi."

"Mungkin kau harus memamerkan itu di depan mereka, Ash. Percuma kau menunjukkannya pada kami." Kate menangkap tangan Ashley sebelum wanita itu benar-benar menanggalkan pakaiannya.

Itulah kebiasaan aneh Ashley yang membuatnya tidak bisa minum dengan sembarang orang. Yang terjadi ketika Jeremy menciumnya adalah karena dia melepaskan atasannya. Tidak sampai di situ, dia bahkan dengan berani menggodanya; sesuatu yang jelas tidak akan dilakukan Ashley dalam kondisi sadar. Biar bagaimanapun, Jeremy adalah seorang pria yang tidak bisa mengabaikan umpan yang disodorkan untuknya. Setidaknya, dia masih mampu menahan hasratnya dan tidak melakukan yang lebih dari itu.

Ashley menaikkan atasan piamanya lagi tanpa mengancingkannya. Ucapan Kate berhasil membuatnya jadi lesu. "Ingatkan aku untuk melakukannya nanti, Kate."

"Bagaimana kalau kita mulai berkencan? Kita terbiasa menantang diri, bukan? Dan aku tidak menerima penolakan, Kate." Melissa memperingatkan dengan mengangkat telunjuk, padahal Kate baru membuka mulutnya.

"Ingat dulu kita pernah bertaruh siapa yang akan berhasil mendapat nomor telepon senior yang menarik perhatian kita, dan Ashley harus bercebur ke danau tanpa busana karena dia gagal?" Di antara mereka bertiga, Melissa memang memiliki kemampuan berpikir dan mengingat dengan baik meski sudah mabuk.

"Hei, sudah kubilang, mereka mengabaikanku!" Ashley cegukan setelah menghabiskan satu gelas bir lagi. "Dia tidak tertarik mengobrol denganku jadi aku tidak diberi nomor telepon. Kali ini kau mau membuat tantangan apa lagi? Sepertinya kau suka melihatku kalah, ya?"

"Kau hanya memilih target yang salah, Ash." Satu hal yang Kate bisa lakukan adalah menghiburnya.

"Tapi dia memberimu nomor telepon tanpa kau minta! Ah, aku iri padamu. Bosku bahkan ingin meminta nomor teleponmu juga. Dan tahu tidak? Aku sengaja tidak memberinya karena dia menyebalkan." Ashley tertawa begitu menyadari perbuatannya kepada sang atasan.

Sementara itu, Katherine dan Melissa hanya saling pandang. Mereka sudah mabuk untuk bisa memproses informasi luar biasa yang Ashley ucapkan. Melissa sendiri tahu kalau Kate memiliki daya tarik tersendiri yang mampu membuat banyak pria merasa ingin mengenalnya lebih jauh. Andai Kate mau terbuka semudah itu, dia mungkin memiliki banyak mantan kekasih saat ini, atau mungkin sudah menikah dengan seseorang. Namun, soal hati bukan perkara yang mudah. Rumitnya hati melebihi gumpalan benang kusut.

"Kalau begitu, deal. Untuk merayakan pertemuan kita, dalam setahun ke depan, kita harus mengencani setidaknya satu orang dan pertahankan sampai tiga bulan. Jika gagal, harus menjadi seorang biarawati." Sebagai tanda sepakat, meski kedua temannya tidak merespons apa-apa, Melissa memukul botol bir yang masih ada isinya dengan botol yang sudah kosong tiga kali.

"Aku akan mempersiapkan diri menjadi seorang biarawati kalau begitu." Ashley mengangkat tangan dengan lemah dan melambaikannya seperti sedang memegangi setangkai bendera putih.

"Ide Melissa memang gila, tapi kita harus mencobanya dulu, 'kan? Aku harus berhasil!"

Ashley lemas, Kate penuh semangat. Wanita itu bahkan mengangkat gelasnya yang berisi bir setengah tinggi-tinggi. "Ayo bersulang!"

Melissa membalas dengan mempertemukan gelasnya dengan milik Kate. "Cheers!" seru keduanya.

Ashley tidak ikut, tetapi membiarkan dirinya tumbang hingga terdengar suara kepalanya membentur lantai. "Aku akan menabung untuk persiapan menjadi seorang biarawati.

•••

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
21 Juli 2022

Republish 26 Desember 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top