03 - What a Life
Ashley terbangun ketika pintu ruangannya diketuk. Hal pertama yang dia lakukan bukanlah menyambut si pengetuk pintu, melainkan memeriksa sudah jam berapa sekarang. Pukul sepuluh malam sudah bukan lagi waktu bekerja dan dia masih berada di kantor dengan komputer yang menyala. Namun, Ashley tidak bisa mengutuk bosnya karena bukan pria itu penyebabnya.
Setelah sadar dia lupa mengirimkan daftar pertanyaan ke email Katherine, dia lembur untuk mengetik jawaban dari pertanyaan yang tidak sempat terjawab. Sebagai bentuk permintaan maaf, Ashley akan mengirimkan jawabannya hari ini juga. Terlebih lagi, Katherine perlu menyerahkan artikelnya ke pimpinan redaksi besok, tetapi karena Ashley tertidur, wanita itu juga harus begadang malam ini. Dalam sehari, Ashley berhasil membuat kedua temannya merasa kesal.
"Tertidur lagi?"
Si pengetuk pintu akhirnya bersuara. Dia pria bagian keamanan yang bertugas malam ini. Ashley hanya meresponsnya dengan anggukan kecil sembari memaksakan senyum karena rasa kantuknya belum benar-benar hilang. Bukan kali pertama pria itu mendapatinya tertidur bertelungkup di atas meja minggu ini.
"Sebentar, aku hanya perlu mengirim satu email dan pulang."
Ashley ingat dia belum mengirim email sebelum menyantap makan malamnya yang terlambat. Setelah menyantap masakan Italia yang dipesannya melalui aplikasi di ponsel, dia kekenyangan dan mengantuk. Ada dua kotak stirofoam sisa makan malamnya yang masih berserakan di sisi kiri meja. Dia bahkan tidak sempat membuangnya.
"Paul, kau tidak perlu melakukannya." Ashley berhenti menekan tombol kibor ketika pria keamanan itu yang justru membereskan sampah di mejanya. Saking seringnya lembur dan mengobrol dengan petugas keamanan kantor yang berjaga saat malam hari, dia sampai hafal siapa pria itu meski hari ini nama di seragamnya tertutupi oleh jaket.
"Tidak apa-apa. Aku kasihan denganmu, kenapa tidak minta tangan tambahan saja? Kalian bisa membagi pekerjaan." Pria yang dipanggil Paul itu mengumpulkan stirofoam dan sendok plastik meja Ashley untuk kemudian dilemparkan ke tempat sampah. Dia tidak bisa membantu meringankan pekerjaan Ashley, tetapi setidaknya itu bisa mempercepat kepulangan wanita itu meski hanya beberapa detik.
"Aku masih sanggup melakukan pekerjaanku. Membagi pekerjaan berarti membagi gaji, 'kan?" Satu tawa geli mengakhiri ucapannya.
Ashley paham pria itu sedang mengasihaninya. Semua orang yang menemukannya sedang lembur akan selalu memandang dengan tatapan penuh rasa simpati. Ashley tidak suka terus menerima itu, tetapi tidak bisa menghentikan mereka juga. Akhirnya Ashley selalu merespons dengan gurauan agar mereka berhenti mengasihaninya.
"Kau tidak bisa melakukan yang lain kalau seperti ini terus. Minggu ini ada karnaval malam di pusat kota, setidaknya pergilah ke sana bersama teman-temanmu."
Teman-teman?
Ashley langsung memikirkan Katherine dan Melissa. Selain mereka, tidak ada lagi yang bisa dicap sebagai teman. Definisi teman menurutnya tidaklah sederhana. Baginya teman adalah seseorang yang siap ikut memikul suka dan duka yang dirasakannya. Selain mereka berdua, Ashley tidak yakin dirinya siap mendengarkan keluhan dari orang lain. Katherine dan Melissa memiliki semua yang Ashley butuhkan untuk dijadikan teman. Mereka akan menjadi wadah yang siap menampung semua keresahannya; juga akan tertawa bersamanya saat hal-hal menyenangkan dia rasakan. Sebaliknya, Ashley juga akan melakukan itu untuk mereka.
Sekarang Ashley merindukan mereka.
Di depan Paul, dia tidak bisa menunjukkannya, bahkan menghela napas penyesalan pun pelan sekali. "Benar, tapi aku baik-baik saja seperti ini."
Tadi siang, sebelum Kate meninggalkan kantornya, Ashley sempat diajak untuk pergi ke kedai es krim sore ini, bersama Melissa juga. Itu akan menjadi reuni mereka setelah lama tidak bertemu. Seandainya Ashley tidak lupa mengirimkan daftar pertanyaan yang baru kepada Kate tadi pagi, mungkin dia sudah menyusul mereka, menikmati es krim chocholate matcha yang tidak pernah bosan dipesannya. Lagi pula, dibandingkan dengan mengobrol di kafe, interviu Kate dengan Dominick lebih penting.
"Aku sudah selesai." Ashley berujar setelah mematikan komputer. Dia berdiri dan kursi di belakangnya terdorong sedikit. Sebelum benar-benar beranjak dari sana, dia menyempatkan untuk melakukan peregangan, pertama karena terlalu lama duduk, kedua karena posisinya saat tertidur tadi membuat punggungnya sakit.
"Kau bisa langsung pulang, aku akan menguncinya." Paul mengeluarkan satu lingkaran besi dengan banyak kunci dari tas pinggangnya. Kunci cadang ruangan Ashley juga ada di sana.
"Baiklah, terima kasih, Paul."
Ashley menepuk pundak pria itu tiga kali sebelum meraih jaket tebalnya di rak gantung. Bukan untuk dipakai, tetapi hanya disampirkan ke bahu kanan. Di depan elevator, ponsel dalam genggamannya bergetar panjang. Dia tidak jadi menekan tombol elevator karena nama kontak Dominick berada di layarnya. Repotnya Dominick benar-benar tidak kenal waktu. Biasanya kalau menelepon semalam ini, berarti ada sesuatu yang tertinggal di kantor dan Ashley harus mengambilnya lalu diantar ke rumahnya. Risiko menjadi asisten dari orang yang super sibuk, Ashley harus selalu siaga setiap saat.
"Kau beruntung aku masih di kantor. Ada sesuatu yang perlu kubawa dari ruanganmu?"
"Aku perlu kontak seseorang."
Dahi Ashley berkerut. Hanya kontak, tetapi pria itu menghubunginya selarut ini. Ini hanya salah satu dari sekian hal sepele yang pria itu minta tanpa kenal waktu padanya. Padahal bisa dilakukan besok, toh Dominick tidak suka menelepon siapa pun di waktu istirahat--pengecualian untuk Ashley, tentunya.
"Siapa?"
"Aku tertarik dengan wanita yang mewawancaraiku tadi."
Dominick mengakhiri sambungan telepon sebelum Ashley sempat merespons. Pria itu bahkan tidak peduli dirinya masih berada di kantor di jam-jam ini. Julukan bos berhati dingin memang cocok untuknya. Semua orang bahkan merasa takjub karena Ashley adalah satu-satunya yang bertahan menjadi asisten Dominick lebih dari dua tahun.
Ashley tidak peduli pada permintaan Dominick. Alih-alih mengirimkan nomor ponsel Kate, dia menyimpan ponselnya ke dalam tas. Bicara tentang ketertarikan pria itu terhadap wanita, Ashley kembali mengingat kenapa pria itu sampai bercerai dari istrinya. Dominick akan menghujani wanita itu dengan kasih sayang pada awalnya, memberikan perhatian penuh, sampai si wanita percaya bahwa Dominick akan menjadi pasangan yang sempurna untuknya. Namun, begitu mereka sudah bersama, dia akan menjadi pria dingin yang hanya menganggap pasangannya sebagai barang antik di rumahnya. Ashley tidak tahu kebenarannya, setidaknya begitu pengakuan mantan istrinya kepada pengacara yang mengurus perceraian mereka.
Tidak bisa Ashley bayangkan kalau Kate akan terjerat oleh pria seperti Dominick dan ucapan mantan istrinya benar. Ashley, Kate, dan Melissa adalah tiga wanita yang telah menghadapi keretakan rumah orang tua mereka. Jangan ada lagi pengalaman yang kedua. Menurut Ashley, Kate bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik.
Setidaknya, pria segila kerja Dominick masih memperhatikan kebutuhan asistennya. Di tahun pertama Ashley bekerja, dia diikutkan kursus mengemudi, mengingat ada kalanya Dominick pergi dinas dengan Ashley saja tanpa mengajak sopirnya dan sewaktu-waktu merasa lelah untuk mengemudi. Lantas, agar kemampuan mengemudi Ashley tidak sia-sia, pria itu meminjamkan mobilnya dan itulah yang Ashley naiki sekarang. Di lain sisi, keberadaan mobil itu juga memudahkan Ashley jika Dominick memintanya ke penthouse di waktu-waktu di mana taksi atau angkutan umum lainnya terlalu lama ditunggu.
Ponsel berlatar belakang agenda mingguan milik Ashley kembali bergetar beberapa kali. Dia menunda menjalankan mobilnya untuk memeriksa pesan yang masuk ke ponselnya.
Mels
[sent you a photo]
[sent you a photo]
[sent you a photo]
[sent you a photo]
Kau bebas mengedit foto tersebut. Pilihlah foto terbaik.
Senyum Ashley mengembang makin lebar ketika foto tersebut dia lihat dengan saksama satu per satu. Melissa dan Kate berfoto berdua dengan menunjuk kursi kosong yang ada di antara mereka. Ashley mengerti maksudnya dan dia tertawa, cukup untuk menghiburnya malam ini. Dia iri mereka bisa bertemu dan kali ini Ashley harus berusaha agar mereka bertiga bisa bertemu. Pekerjaan yang padat seharusnya tidak dijadikan alasan.
Ashley
Kurasa Jumat ini kita bisa bertemu.
Di tempatku. Akan kukirimkan alamatnya.
Perjalanan tiga puluh lima menit Ashley habiskan sembari mendengarkan lagu. Dia cukup beruntung tinggal di kawasan elite. Apartemen yang dia tempati sekarang dulunya adalah milik Dominick, tetapi karena jaraknya cukup jauh dari kantor dan menginginkan tempat yang lebih besar, dia memberikannya kepada Ashley sebagai bonus dari loyalitasnya sebagai asisten. Satu lagi alasan yang membuat Ashley tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Dia tidak perlu memakai uangnya untuk membayar sewa tempat tinggal.
Badannya baru benar-benar terasa lelah ketika keluar dari mobil dan membawa serta tas dan jaketnya. Seharian ini dia berjalan di atas stiletto, bolak-balik dari ruang rapat dan ruangannya. Itu memang bagian dari rutinitasnya, tetapi hari ini Ashley melakukan kesalahan karena mencoba alas kaki yang sudah lama dibeli dan belum pernah dipakai. Kakinya juga terasa sakit dan tidak lagi bisa berjalan cepat. Namun, dia harus setengah berlari ketika pintu elevator di hadapannya nyaris tertutup. Ashley sampai berseru agar orang di dalam sana berkenan menunggunya.
Pintu elevator terbuka lagi dan menampakkan seorang pria tinggi yang tersenyum manis hingga memperlihatkan sepasang lesung pipit yang dalam. "Lembur lagi, Tetangga?" Pria itu menyapa sembari menyugar rambut ikalnya yang hitam kelam.
Ashley belum merespons apa-apa selain menyunggingkan senyum tipis. Napasnya tersendat-sendat karena habis berlari dan punggungnya segera disandarkan pada dinding elevator. Segera dia keluarkan kakinya dari stiletto yang mencekik. "Seperti biasa, Tetangga."
Pria itu memperhatikan Ashley, bahkan sampai tumit kakinya yang memerah. "Kau membenci itu tapi memakainya hari ini."
Ashley menunduk, mengikuti arah pandang pria tersebut. "Salah satu cara untuk menyiksa diri sendiri. Entahlah, kupikir itu akan rusak sebelum aku sempat memakainya."
"Masih bisa berjalan? Otot-ototku akan sangat berguna di saat-saat seperti ini."
Berhubung Ashley sudah mengenal pria itu dengan baik, dia tidak akan semudah itu termakan rayuannya. Jeremy, namanya, merupakan satu-satunya tetangga yang berada di lantai yang sama dengannya. Saking dekatnya mereka, Ashley tahu jika pria itu punya ruang gym pribadi di apartemennya. Terkadang dia akan ikut olahraga bersamanya di waktu luang dan Jeremy bisa menjadi instruktur yang baik. Otot-otot yang membuat pria itu terlihat kekar didapat dari latihan yang rutin dan intens.
"Aku belum ambruk, tenang saja."
"Kau tahu, tokoku selalu terbuka untuk menerima karyawan baru."
"Kau bisa menggaji lebih dari penghasilanku saat ini?" Ashley membalasnya sambil bergurau. Di saat lelah seperti ini, adalah sesuatu yang menyenangkan jika ada seseorang yang bisa diajak bergurau.
Jeremy tertawa hingga menenggelamkan manik matanya yang berwarna biru terang. Pria itu cukup tampan, tetapi Ashley terus bertanya-tanya kenapa dia tidak bisa berkencan saja dengannya agar orang-orang berhenti membicarakan statusnya.
"Aku akan bangkrut kalau seperti itu."
"Aku harus punya alasan pindah kerja, 'kan? Dan penghasilan yang lebih besar dari tempat kerja sebelumnya adalah alasan terbaik."
Jeremy membuka mulutnya, bermaksud akan membalas, tetapi elevator berdenting dan pintunya terbuka perlahan-lahan kemudian. Mereka sama-sama menyesal karena gurauan yang berhasil melepas penat itu harus segera berakhir.
Keduanya keluar dari elevator beriringan dan menyusuri koridor tanpa bersuara lagi, sampai akhirnya berhenti di depan sebuah pintu yang saling berhadapan. Apartemen Jeremy di sebelah kanan dan Ashley di sebelah kiri.
"Mau minum bersama? Aku masih menyimpan anggur kesukaanmu."
Ashley tidak jadi menekan kata sandi di pintunya karena tawaran itu. Dia berbalik menatap pria itu dan menyeringai. "Lalu membiarkanmu menciumku lagi saat mabuk?"
Ucapan Ashley berhasil memancing ingatan Jeremy ke momen ketika mereka minum bersama minggu lalu. Kebiasaan Ashley saat mabuk sedikit aneh hingga membuat pria itu tidak bisa menahan diri lagi. "Kau yang memancingku saat itu. Lagi pula, kau membalasnya."
Ashley merotasikan matanya, meski dilakukan saat sedang mabuk, tetapi Ashley justru mampu mengingat semuanya dengan jelas tanpa terlewat satu momen pun. Dia bahkan ingat apa yang dilakukannya sampai membuat pria itu menciumnya.
"Mungkin seperti timbal balik? Aku mengembalikan apa yang kau berikan padaku. Itu setimpal, kurasa."
Punggung Ashley membentur pintu ketika Jeremy mulai mendekatinya, sekali lagi menggodanya. "Semua pria akan seperti binatang buas ketika dihadapkan denganmu saat itu."
Aroma peppermint yang terembus ketika Jeremy bicara membuat Ashley menelan ludah. Tidak, dia sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh sikap pria itu. Mereka memang cukup dekat untuk saling menggoda satu sama lain. Namun, selama tiga tahun bertetangga dan puluhan kali minum bersama, tidak pernah terjadi hal buruk selain ciuman tidak disengaja saat mereka sama-sama mabuk.
"Terkadang aku bertanya-tanya kenapa keberanianku muncul hanya saat di bawah pengaruh alkohol."
"Kalau tidak begitu, akan ada banyak pria yang mengejarmu, kau mungkin tidak mampu menanganinya."
Ashley mengangguk membenarkan ucapan Jeremy. Dia tidak punya banyak pengalaman tentang pria dan tidak tahu bagaimana menghadapi satu yang tertarik dengannya, ucapan Jeremy baru dibayangkannya dan dia sudah bergidik.
Jeremy tidak berhenti menatap wajahnya, tetapi Ashley tidak sadar karena terlalu tenggelam dalam pemikirannya sendiri, sementara tatapannya tertuju pada lantai. "Jadi? Lima menit lagi tawaranku tadi tidak akan berlaku lagi."
Ashley tertawa sambil mendorong dada Jeremy agar menjauh darinya. Dia bahkan tidak sadar pria itu masih berada cukup dekat dengannya. "Anggurnya masih bisa disimpan lebih lama, 'kan? Aku butuh mandi dan tidur yang banyak."
"Baiklah, selamat malam, Tetangga."
"Ya. Selamat malam, Tetangga." Ashley membalas setelah pintu apartemen miliknya terbuka. Dia masuk lebih dulu, meninggalkan Jeremy sendirian di lorong yang terang dan kosong.
Ashley menutup pintu dan menyalakan lampu. Dia bahkan belum sempat meletakkan bawaannya, tetapi ponsel yang berada dalam genggamannya berdering lagi.
Nama Dominick terpampang di sana, lagi-lagi menghubungi Ashley tanpa kenal waktu. Ingin sekali wanita itu mengumpat, tetapi lebih dulu sadar kalau itu percuma. Ashley pikir, kalau mau uangnya, dia harus bersikap baik. Lagi pula, gajinya sudah naik menjadi tiga kali lipat dari gaji pertamanya saat baru bekerja di sana. Belum lagi bonus-bonus yang pria itu berikan, termasuk apartemen yang ditempatinya sekarang.
Ashley baru akan menyentuh ikon telepon hijau di layar, tetapi sambungan telepon berakhir, berganti dengan beberapa pesan masuk. Benar-benar tidak sabaran. Deringnya bahkan belum habis, tetapi sudah diakhiri dan digantikan dengan pesan masuk.
Bossy Boss
Aku masih menunggu.
Nomor ponselnya.
Ashley
Sudah terlalu malam untuk meneror seseorang untuk dimintai nomor telepon, Bos.
Sabarlah.
Ashley membalasnya sembari berjalan ke kamar. Setibanya di sana, dia langsung melempar seluruh bawaannya ke kasur. Rasa lelah menguasainya sampai ke ubun-ubun, menjadikan gravitasi jadi berkali-kali lipat lebih kuat. Dia nyaris mengurungkan rencananya untuk mandi terlebih dahulu, seandainya ponselnya tidak berdering lagi. Nama kontak yang mencuat di layer ponselnya sebagai si penelepon membuat suasana hatinya menjadi buruk.
Kurasa aku benar-benar perlu minum.
•••
"Ini bagus, Katherine. Kau memuat seluruh informasi yang kita perlukan. Tidak mudah mewawancarai pria itu selama ini, dan kau berhasil dalam sekali coba. Aku akan pastikan artikel ini jadi tajuk utama untuk majalah bulan depan."
Tidak ada yang lebih membanggakan selain mendapat pujian dari pimpinan redaksi di kantor. Terlebih lagi bagi Kate yang baru beberapa hari bekerja di sana. Rupanya tidak sia-sia dia begadang semalam untuk merapikan jawaban yang dia dapatkan dari Ashley. Oh, satu lagi, bisa dibilang dia cukup beruntung karena asisten pria itu adalah temannya sendiri. Coba kalau bukan Ashley, dia tidak akan mendapatkan apa-apa mengingat pertanyaan yang dia lontarkan adalah pertanyaan yang seharusnya disisihkan.
Interviu kemarin sebenarnya berjalan lancar. Kate mampu menahan suaranya agar tidak terbata-bata, padahal dia gugup bukan main. Bos besar yang sedang dihadapinya tidak berhenti memandang dengan tatapan yang mengintimidasi. Pria itu tampaknya kesal, tetapi Kate tidak tahu kekesalannya ditujukan pada siapa. Apakah karena Kate dianggap mengabaikan pertanyaan yang dihilangkan, atau dia menyadari asistennya lupa mengirimkan email pada Kate.
Belum lagi waktu yang tersedia untuk interviu sangat terbatas, tidak ada toleransi waktu tambahan. Orang-orang di sana benar-benar disiplin. Kate sampai takjub pada Ashley yang mondar-mandir seperti mesin untuk menyiapkan segala kebutuhan sang atasan. Sampai-sampai mereka tidak sempat mengobrol selain untuk urusan interviu tersebut.
"Hari ini kau hanya perlu mengisi kolom di situs kita, Kate. Topiknya sesuaikan dengan yang sudah dibagikan tadi pagi. Ingat, jangan lewatkan artikel tentang berakhirnya hubungan Jacob Storm dengan pacarnya. Aku sudah menunggu untuk membacanya, mereka memenuhi internet akhir-akhir ini. Dan kau boleh pulang kalau sudah menyelesaikannya."
Wanita yang menjabat sebagai pimred itu, Mariah, tersenyum lebar pada Kate sembari merapikan berkas di tangannya. Dagunya mengedik ke pintu, sebagai isyarat agar Kate meninggalkan ruangannya dan kembali bekerja.
"Terima kasih, Mariah. Aku akan bekerja lebih baik lagi ke depannya."
"Dengan mempertahankan kinerjamu yang sekarang saja sudah cukup untuk menambah kontrakmu satu tahun lagi."
Kate mengekspresikan rasa senangnya dengan senyum yang sangat lebar. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi dan beranjak pergi dari sana.
Selama melewati kubikal-kubikal, beberapa orang menyapanya—kebanyakan pria. Mereka tampak seperti predator yang sedang mengincar mangsa. Penampilan Kate bahkan sangat sederhana, mengenakan setelan kerja biasa tanpa aksen apa pun, riasan wajahnya pun lumayan tipis. Rambutnya yang lurus dan panjang dibiarkan terurai, memberi kesempatan kepada yang melihatnya untuk mengagumi kilauannya. Baru beberapa hari dan sudah ada lima pria yang mengirimnya pesan.
Sebagai junior, Kate terpaksa merespons mereka. Tentunya dengan penuh hati-hati agar mereka tidak salah mengira maksud dari keramahannya. Kate yakin, pria-pria seperti mereka akan mundur pelan-pelan setelah mengenalnya dengan baik. Itu kerap terjadi dulu, hingga akhirnya menjadi jomlo adalah pilihan terbaik sampai dirinya benar-benar siap bertemu dan dikenali dengan baik bagi para pria.
Sebelum kembali ke kubikalnya, Kate menyempatkan ke dapur pegawai terlebih dahulu. Dia meninggalkan botol minumnya hari ini karena bangun kesiangan, jadi bermaksud ingin mengambil sebotol air dari sana. Namun, setibanya di ambang pintu, Kate ragu untuk masuk ke sana. Ada seorang pria yang sedang mengambil gambar produk minuman di sana. Minuman itu diletakkannya di meja yang sudah dia dekorasi sedemikian rupa dan si pria yang sedang mengambil gambar tampak sangat fokus sampai Kate takut mengganggu jika masuk ke sana. Terlebih lagi, posisi pria itu menghalangi kulkas tempat air mineral disimpan. Kate tidak bisa mengambilnya selagi pria itu masih berada di sana.
Seharusnya Kate pergi dari sana, bukan justru bersandar di ambang pintu dan masih memperhatikan si pria. Wajah serius milik pria itu menunjukkan dedikasi yang sempurna atas pekerjaannya. Cara jarinya memainkan tombol-tombol pada kameranya dengan sangat hati-hati sebelum mendapatkan tangkapan yang sempurna membuat Kate terpukau. Hal sesederhana itu bahkan bisa membuatnya terkesan.
Kate terlalu lama memperhatikan sampai akhirnya pria itu menyadari keberadaannya. Kali ini Kate dapat melihat wajahnya lebih baik karena sudah tidak terhalangi oleh kamera. Pria itu memamerkan darah Asia-nya pada semua orang melalui fitur wajahnya yang khas. Tone kulit pria itu sedikit lebih kuning darinya, serta memiliki lipatan kelopak mata yang samar-samar.
"Halo, perlu sesuatu?" Pria itu menyapa lebih dulu.
Kate tersenyum kecil, tidak sedikit pun ada rasa canggung meski sudah kedapatan memperhatikan. Justru akan lebih aneh jika tiba-tiba tergagap, pikir Kate.
"Aku ingin mengambil air dari sana, tapi kau terlihat sangat sibuk, jadi aku menunggu." Tidak ketinggalan Kate menunjuk kulkas di belakang pria itu berjongkok sejak tadi.
"Oh, begitu. Maafkan aku." Pria itu berdiri dan menyingkir dari sana, berpindah ke seberang meja. Kate langsung berjalan ke sana, tidak lagi membuang-buang waktu. "Aku baru sekali melihatmu, kau baru?"
Kate hanya mengangguk. Dia belum mengatakan apa-apa selagi mengambil air dan setelahnya berbalik agar bisa melihat pria itu. "Aku Katherine Willow, baru bekerja di bagian jurnalis sejak beberapa hari yang lalu." Kate mengatakannya sembari mengulurkan sebelah tangannya.
Pria itu menjabat tangannya setelah meletakkan kamera ke atas meja, tetapi ada satu hal yang menarik perhatian Kate, yaitu cara pria itu bersalaman. Tangan kirinya terlipat dan diletakkan di bawah lengan kanan. Selain itu, tubuhnya juga dibungkukkan sedikit. Kate merasa ragu, tetapi ikut menundukkan kepalanya sedikit untuk mengimbangi gerakan pria tersebut.
"Aku Jimmy Jung, dari bagian fotografi." Jabatan tangan mereka berakhir dan Kate merasa kehilangan kehangatan di telapak tangannya. "Kau orang asli sini?"
Kate menggeleng. "Kuharap aku bisa mengembalikan pertanyaan itu, tapi ... kau sudah lebih dulu memberi tahu semua orang dengan wajah itu." Dia mengatakannya dengan hati-hati, takut itu akan menyinggungnya. Namun, tanpa disangka, pria itu justru tertawa keras sekali.
"Aku cukup bangga dengan ini. Gen ibuku memang sangat kuat."
Kate jadi ikut tertawa. Harapannya itu tidak begitu terlihat seperti dipaksakan meski kenyataannya memang dibuat-buat. Keramahan pria itu membuat Kate merasa sedikit tidak nyaman. Terlalu cepat, lebih tepatnya. Rencananya tidak lebih dari sekadar menyapa.
"Kalau begitu, sampai jumpa, Jimmy. Aku harus kembali bekerja. Maaf sudah membuatmu berhenti mengerjakan apa pun itu yang kau lakukan tadi." Dia pikir Jimmy akan kecewa karena mengakhiri obrolan secepat ini padahal pria itu tampak bersemangat, tetapi Kate tidak peduli.
"Oh, iya. Sampai bertemu lagi, Katherine!" Oh, Jimmy bahkan meresponsnya dengan riang, tanpa ada sedikit pun tanda-tanda merasa tersinggung oleh sikapnya.
Kate mengangguk ringan sebelum pergi dari sana.Well, hanya jika kesempatan untuk bertemu lagi itu masih ada.
•••
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
28 Juni 2022
Re-publish 10 Desember 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top