Aku tidak gila.
Aku berusaha menebalkan telinga ketika dokter berjas putih itu selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tak berguna. Dari tadi dialah yang gila karena terus berbicara sendiri. Setelah lelah dan tidak mendapat respon apapun, dia menyuruhku datang lagi ke poli jiwa dengan bertemu dokter yang lain. Aku pun meninggalkan ruangan itu tanpa kata penutup.
"Ibu Viola?"
Kemudian, di kursi tunggu, wanita itu menyambutku yang baru saja keluar dari ruangan. Ia tersenyum tanpa dosa. Melihat seragamnya tetap sama seperti tiga tahun lalu, membuat dadaku berdenyut ngilu.
Dia tak berubah sedikit pun. Selalu berbohong. Tidak mungkin orang yang sudah lama menghilang tiba-tiba muncul di depanku. Namun, tetap saja ... aku berharap ilusi kali ini bukan bohongan. Aku harap dia benar-benar muncul di depanku. Jadi, aku mengikuti bayangannya lagi dan mulai berangan-angan.
"Luka, ada apa?"
Ibu Viola, sebenarnya Anda pergi ke mana?
Lidahku kelu.
Aku tidak pernah melihatnya sejak hari itu. Jika ada kesempatan barang sehari untuk bertemu dengannya. Pertama-tama, aku akan bertanya bagaimana kabarnya selama ini. Aku akan meminta kelas pengganti. Aku juga akan menjelaskan hukum fisika yang saat itu belum kujawab.
"Luka!"
Aku tidak akan mengungkit hari di mana dia pergi tanpa pamit, meninggalkanku begitu saja bersama orang-orang yang gelap mata. Akan tetapi, kenyataan pahit berulang kali menamparku. Aku selalu berakhir di ranjang pasien setiap mengejar bayangan wanita itu.
"Berlari kesetanan di jalan raya! Tidak hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga orang lain. Kamu mau mati tertabrak, hah?"
"Mimpi," gumamku pelan.
Aku hanya ingin terbangun dari mimpi ini. Mimpi yang sangat buruk, di mana segalanya menjadi sesuatu hal yang kubenci.
"Sadarlah, Luka! Kamu sedang tidak bermimpi. Ayo minum obatmu sekarang, cepat!"
"Tidak mau."
"Jangan membangkang!"
Aku menutup telinga dengan kain selimut yang sengaja kunaikkan. Padahal, dia bisa menahan kedua pergelangan tanganku seperti yang guru-guru lain lakukan. Dia bisa melawanku, membalas bentakanku, atau mengancamku dengan hal-hal yang aku pedulikan seperti yang teman-teman lakukan, tapi Ibu Viola tidak pernah melakukannya.
Sekarang aku paling benci Ibu Viola. Rasanya menyebalkan saat dia terus bertanya dengan nada lemah lembut, seolah aku akan melunak hanya karena dia tidak bisa berteriak.
"Lepas!" bentakku sembari menepis kasar tangan pria dewasa yang sempat menarik selimutku.
"Kakak akan pergi setelah kamu minum obat. Cepat minum obatmu, dengan begitu, kamu bisa pulih dan segera melanjutkan sekolah."
Lihatlah pria ini ... aku juga membencinya. Siapa juga yang peduli dengan sekolah? Mau diteriaki berapa kali pun, aku akan tetap membolos seumur hidup.
"Lepas, atau kulempar barang-barang di ruangan ini," ancamku. "Aku dengar ganti rugi kerusakan properti rumah sakit sangat mahal."
"Kamu sudah gila, ya?" Dengan enggan, akhirnya dia angkat tangan.
"Baru tahu?"
Kakak terdiam. Mulutnya terkatup rapat. Biasanya aku terpaksa menurut, tapi sekarang aku sangat lelah untuk menunjukkan kewarasanku. Aku tahu, dia juga sama lelahnya. Maka pergilah jika tidak ingin menghadapi orang gila.
"Kamu mau bertemu Ibu Viola dengan kondisi seperti ini?"
Aku lantas mendongak. "Apa maksudmu?"
Dia mengangguk-angguk, seakan berhasil memahami sesuatu. "Bersiaplah! Sesuai keinginanmu, kita akan menemui Ibu Viola."
"Jangan mengecohku."
"Tapi dengan syarat!" tegasnya.
"Syarat apa?"
"Setelah kamu bertemu dengannya, kamu harus janji untuk menjalani terapi sampai tuntas, minum obat teratur, dan berangkat sekolah dengan rajin."
Alisku bertaut. "Apa hubungannya?"
"Tidak ada hubungannya. Anggap saja ini bayaran karena sudah mengantarmu."
"Aku bisa pergi sendiri. Kamu cukup kasih tahu nama tempatnya."
Dia menggeleng. "Tidak bisa. Aku akan ikut mengantarmu."
"Ini jalan ke sekolah," ucapku mengernyit begitu menyadari pemandangan yang tidak asing.
"Kenapa kamu bingung? Ibu Viola itu guru. Tidak heran kalau seorang guru berada di sekolah."
"Tidak. Aku hanya-"
Aku belum pernah melihatnya mengajar lagi selama dua tahun belakangan. Benarkah dia masih menetap di sekolah? Kalau ternyata kami selalu di tempat yang sama, kenapa selama ini sosoknya sangat sulit ditemukan?
"Nah, sudah sampai. Ayo turun!"
Aku pun menarik napas dalam-dalam, memandang bangunan bercat biru muda yang entah kenapa dadaku sesak ketika melihatnya tanpa usang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top