Bab 5
"Ada yang bisa kami bantu, Kak?" Pelayan informasi itu tersenyum memandang wanita di depannya.
Napas Viola berantakan sebab mengejar waktu. Situasinya buruk, hampir semua rencananya tidak berjalan dengan baik.
"Petugas yang punya tahi lalat di pipi kemarin ke mana?" tanya Viola.
"Kami sedang tukar shift, Kak. Mungkin bisa sampaikan dulu keperluan Kakak?" tawar wanita muda itu sembari menunjukkan senyum formal. Auranya terasa lebih profesional dari yang kemarin
"Minggu lalu saya menyerahkan map biru ke Ibu Juliet, isinya data diri saya. Bisa tanyakan ke beliau apakah sudah selesai dicek dan bisa diambil?"
"Saya hubungi beliau ya, Kak. Sambil menunggu jawaban, Kakak bisa duduk dulu di kursi sebelah sana." Petugas itu mengarahkan Viola ke tempat duduk khusus.
Meski sofanya empuk, Viola merasa kedinginan di tempat itu. Ia menggigit bibir bawah, menggoyangkan ujung heels, mengetuk lengan kursi, dan mengubah posisinya sesering mungkin.
Mata Viola terus tertuju pada wanita resepsionis yang sibuk melayani tamu lain. Detik berikutnya, pupil Viola mengecil ketika melihat sosok lelaki bertubuh tegap berbicara di depan meja admin. Merasa ditatap dari jauh, lelaki itu memutar kepalanya ke samping.
"Ugh!" Viola beranjak dari kursi, bersiap kabur.
"Tunggu!" teriaknya menghentikan aksi wanita itu.
Ia menghampiri Viola dengan langkah lebar, meninggalkan obrolan yang kelihatannya tidak lebih penting daripada apa yang ingin dia dengar.
"Amel kenapa?" tanya lelaki jangkung tersebut tanpa basa-basi.
Viola agak mendongak untuk melihat fitur wajah Viano yang sangat serius. "Apa kamu tidak bosan, Viano? Dari minggu kemarin, pertanyaan kamu itu-itu saja."
"Jawab aku, Amel kenapa?" ulangnya sedikit frustrasi.
Lengan Viola dicengkeram lumayan kuat, membuat si empu meringis samar. Beberapa tamu mulai memperhatikan. Viola tidak boleh menunjukkan ekspresi kesakitan di depan umum.
"Aku tidak tahu. Tanya langsung ke Karamel, jangan ganggu aku!" teriak Viola sembari berusaha menarik tangannya kembali.
Namun, kekuatan Viano jauh lebih besar khas seorang lelaki dewasa. Viano semakin mengencangkan cengkeraman tangannya hingga terdengar suara merintih dari mulut Viola.
"Masa kamu tidak tahu padahal kamu temannya?" Viano menautkan kedua alis.
"Kamu malah pacarnya!" Viola tidak mau kalah. "Sebagai pacar kamu tidak tahu apa-apa, apalagi aku! Jangankan Karamel, saudaramu sendiri saja kamu bahkan tidak tahu keadaannya sekarang bagaimana."
Lelaki itu menarik napas sejenak, lalu membuangnya kasar. "Kamu?"
Ia sedikit ragu. Hampir setiap hari ia melihat Viola, tetapi baru kali ini memperhatikan wajahnya dari dekat. Sejak kapan kantung matanya itu menjadi hitam?
"Kamu kenapa?"
Mulut Viola terbuka sampai giginya kering, tetapi tidak ada satu kalimat pun yang keluar. Ia ingin mengutarakan semua kejadian buruk yang menimpa dirinya belakangan ini. Ia butuh seseorang, siapa saja, asal dia mau mendengarkan keluh kesahnya.
"Lupakan"
Viano adalah pengecualian.
Dia tentu bukan kakak baik hati dan Viola juga bukan adik yang berbakti.
"Hei—"
"Permisi. Maaf, menyela. Tadi Kakak yang mau ambil data siapa ya?" Pelayan informasi menatap keduanya secara bergantian.
"Saya," jawab Viola sambil mengulurkan tangan. Pandangannya terarah pada map biru yang berada dalam pelukan petugas itu.
"Oh, ini, Kak. Ibu Juliet meninggalkan catatan kecil di akhir lampiran. Kata beliau, silahkan membaca catatan tersebut setelah sampai di rumah ya."
Viola mengangguk. "Terima kasih."
"Sama-sama. Mari, Kak."
Lalu, Viola meninggal kakaknya yang bergeming memandangi bagian belakang tubuh sang adik. Dahi Viano mengernyit saat matanya turun ke bawah. Bercak merah segar tampak mencolok di atas rok berwarna krem.
"Hei, Viola," panggilnya pelan.
Wanita itu mengabaikan panggilan Viano dan tetap berjalan sembari menarik napas sebanyak mungkin.
Viano berdecak, kemudian melepas jaketnya dengan gesit. Ia menyusul langkah Viola untuk melilitkan kain jaket tersebut sehingga menutupi bagian pinggang ke bawah.
Seketika Viola berbalik, manik hitamnya melotot. Apa yang kamu lakukan! Begitulah protes yang terlihat dari sorot tajam matanya. Tangan Viola mencubit jari-jari yang berusaha mengikat lengan jaket
"Diamlah, 'Kak!' Kamu tidak sadar kapan terakhir kali dirimu menstruasi, hah?" tanya Viano menekankan sebutan 'kak', lantas membuat Viola terdiam.
Bukan Viano namanya kalau gagal. Noda tersebut berhasil tertutup sempurna, meski penampilan Viola sedikit aneh karena pakaian formalnya tidak cocok dengan jaket kasual itu.
Viola masih mengingat-ingat jadwal datang bulannya saat pelayan informasi kembali lagi. Kali ini, ia menatap pria di sebelah Viola.
"Permisi. Maaf mengganggu, Kak. Tadi kakaknya bukan yang mau bertemu Pak Aditya?"
Viano mengangguk, lalu mengikuti langkah wanita muda tersebut. Kepergiannya pun membuat Viola tersadar setelah beberapa saat. Dia menatap lama punggung tegap Viano. Hingga sebuah pertanyaan muncul bersamaan dengan siluet kalung kuning yang dikenakan kembarannya itu. Hanya staff perusahaan yang memiliki kalung penanda identitas tersebut.
Salah satu alis Viola terangkat. "Dia kerja di sini?" tebaknya iri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top