Bukan hanya tidak menjawab, Viola juga tidak menolaknya. Ia memasukkan ponsel ke dalam ransel sembari membiarkan dering itu berbunyi. Viola ingin mengabaikan Karamel sementara waktu.
Daripada memikirkan hubungan orang lain, pikir Viola, lebih baik dia memikirkan tema KKN semester depan. Sejak kemarin, Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) terus menagih proposal serta mengusulkan beberapa tema.
Banyak anggota tidak setuju atau merasa kurang pas dengan tema-tema itu. Alhasil, mereka belum menggarapnya meski tenggat waktu sudah dekat. Mungkin Viola akan ikut survey untuk mengetahui kondisi di lapangan secara nyata. Setelah menjelajah ke sana, ia harap bisa membantu memilihkan tema yang cocok.
"Viola!"
Panggilan nyaring itu membuat si empu terperanjat. Ia menoleh ke sumber suara, mendapati Karamel sedang duduk di pinggir pendopo sambil melambaikan tangan.
Siapa sangka, dirinya bertemu Karamel di tempat survey. Viola melupakan fakta bahwa mereka sekelompok.
"Ayo sini!" seru Karamel, menepuk tempat kosong di sampingnya.
"Iya."
Viola pun berjalan cepat mendekati pendopo tersebut. Belasan pasang mata tertuju pada Viola, membuat wanita itu mengembuskan napas karena mustahil mengabaikan Karamel secara terang-terangan.
"Kenapa telat?" tanya Karamel berbisik. "Kamu aku panggil lewat telepon berkali-kali, tapi tidak diangkat."
Viola menggeleng. "Ada urusan tadi."
"Oh ...."
Karamel kembali fokus, mendengarkan perbincangan ketua unit dengan warga setempat terkait permasalahan yang ada di desa.
"Minat baca di desa kami masih rendah, Nak. Makanya, KKN kemarin itu membuat program yang ada kaitannya dengan literasi. Mereka bangun perpustakaan. Sayangnya setelah anak KKN kembali ke daerah masing-masing, tidak ada warga sini yang mau mengurus atau melanjutkannya."
Ibu Kepala Desa lanjut memberikan pengertian sebelum menggiring kelompok tersebut ke sebuah ruangan tak jauh dari pendopo. Mereka diajak menaiki anak tangga untuk melihat warisan program KKN tahun lalu.
Viola mendongak. Di atas pintu, terpasang papan kayu kreatif bertuliskan "Taman Baca Pintar".
Cat pastel warna-warni masih melekat sempurna di dinding. Lukisan tembok, tirai jendela, hiasan rak sepatu, bahkan keset selamat datang dibuat semenarik mungkin. Sepertinya tempat ini memang ditujukan untuk anak-anak.
"Inilah kondisi perpustakaan kami sekarang. Memang agak kotor. Soalnya saya sering sibuk keluar kota, anak satu-satunya berangkat sekolah dan cuma pulang setahun sekali, suami juga pergi kerja. Tidak ada yang sempat membersihkan."
Viola menyusuri rak-rak dari besi berkarat. Mereka terlihat bengkok, hampir patah, seolah tidak mampu lagi menampung koleksi buku.
Kondisi buku juga mulai rusak. Di bagian bawah, dihuni oleh rayap pengerat. Mereka menjadikan halaman buku sebagai makanan pokok. Viola dapat mendengar koloni rayap yang berpesta pora.
Sementara itu, Karamel menahan napas berkali-kali sambil membayangkan debu halus tak kasat mata terjebak di aliran darahnya. Suara orang bersin mulai terdengar.
"Ini, sih, bukan 'agak kotor' lagi," gumam Karamel sambil menggosok bawah hidung.
"Karang taruna tidak ada ya, Bu?" Viola bertanya. Ia teringat beberapa informasi penting.
"Begitulah," jawab Ibu Kades apa adanya.
Tiba-tiba, Karamel menjerit saat menangkap sosok gelap seperti penampakan di sudut ruangan.
"A-ada hantu," ucapnya lirih. Ia bersembunyi di belakang punggung Viola.
Viola mengernyit, mengikuti ujung telunjuk Karamel. Begitu pula Ibu Kepala Desa. Berjarak tiga meter, anak laki-laki sekitar usia lima belas tahun meringkuk dengan tumpukan buku di sekitarnya. Wajah anak itu tidak jelas karena dia memegang buku menutupi separuh wajahnya.
Saat menyadari kedatangan Viola dan Karamel, ia sedikit tersentak sebelum kemudian melarikan diri sambil membawa sebuah buku. Hal itu membuat beberapa tumpukan buku ambruk.
"Oh ... itu, sih, Bima—anak saya." Wanita paruh baya tersebut mengipaskan tangan ke depan, seolah biasa dengan kejadian ini.
"Anak Ibu?" kernyit Viola.
"Iya. Jangan heran, ya. Dia memang begitu kalau ketemu orang, langsung kabur."
"M-maaf, saya kira anak Ibu masih sekolah," cicit Karamel.
"Tidak apa-apa. Bima memang kebetulan lagi liburan, jadi di rumah. Minggu depan baru balik asrama," jawabnya sambil tertawa.
"Kalau boleh tahu, asrama mana?" tanya Viola.
Jika jaraknya dekat, mungkin mereka bisa tukar obrolan mengingat usia Bima memenuhi syarat sebagai anggota karang taruna.
"Asrama Futura. Dia sekolah di Futura Boarding School."
"Ah ...." Viola mengurungkan niatnya usai mendengar nama sekolah tersebut.
Futura Boarding School merupakan sekolah asrama terbaik seprovinsi. Biaya masuk ke sana puluhan juta, asrama per bulan belasan juta. Belum lagi uang semesteran. Tiba-tiba, kepala Viola terasa pening.
Namun, yang menjadi pertimbangan Viola sebenarnya adalah jarak asrama Bima yang membutuhkan waktu tempuh lumayan lama. Mungkin sekitar enam atau lima jam kalau naik kereta. Viola mendadak mual karena membayangkan dirinya duduk di kereta.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top