SAVITA

Ezhar masuk ke kelas. Ia berusaha sebisa mungkin menutupi tubuhnya yang penuh luka dengan bedak. Beruntung wajahnya tak terluka terlalu parah. Hanya ada memar di bibir dan pipi. Hanya saja perutnya masih sedikit sakit.

Untuk sementara si dukun sudah Ezhar amankan. Ia kurung dukun itu di sebuah rumah terbengkalai sembari menyetel ayat suci Al-Qur'an. Ezhar tak peduli jika dukun itu kepanasan, yang pasti dia membutuhkannya untuk kesembuhan Melody. Ia memang harus membunuhnya, tapi tangannya tak mampu. Meski dendam membalut hatinya, rasanya mengambil nyawa bukanlah perkara mudah.

Ezhar duduk. Ia membuka kelas yang akan dia ajar. Mahasiswa-mahasiswa yang bertugas untuk menjelaskan pun maju. Salah satu dari mereka menyerahkan makalah kepada Ezhar. Lelaki itu pun menerima lalu mengoreksinya dengan cepat.

Ezhar yakin banyak mahasiswa yang sadar kalau wajahnya sedikit babak belur. Mahasiswa yang tadi menyerahkan tugasnya saja berhenti sesaat untuk memastikan kalau penghilatannya tak salah. Beruntung Ezhar termasuk dosen yang jarang bicara. Dia bahkan jarang sekali tersenyum. Maka dari itu tak ada mahasiswa yang berani bertanya padanya.

Selesai mengecek makalah, Ezhar terdiam. Ia tak menyangka setelah dua puluh tahun berlalu, ia bisa melihat arwah bapaknya lagi. Terlebih lagi ia tak menyangka kalau bapaknya itu akan menghalangi tusukan keris si dukun.

Sebenarnya apa yang Bapak sembunyikan ....

Ezhar mengembuskan napas lagi. Dalam hatinya masih menyimpan dendam yang membara. Dia dengan jelas melihat ibunya mati di tangan bapaknya sendiri. Ia juga masih mempunyai luka. Dahinya penyok gara-gara sabetan bapaknya. Ketika ia memegang dahinya sendiri, ia bisa merasakan tengkoraknya tak lagi utuh. Ada seperti lubang yang sudah terbalut kulit kembali.

Yah itu tak penting. Yang penting sekarang bagaimana caranya membangunkan Melody. Ezhar mengangguk, mengiyakan pemikirannya. Ia pun kembali fokus untuk mengajar.

Mata biru Ezhar menyapu pandang. Ia menyadari ada sesuatu yang tak beres. Ia lantas menatap mahasiswinya dengan tatapan sinis. Dalam batinnya dia mengeluh kenapa mahasiswi itu hadir lagi dan lagi. Padahal kemarin ketika wisuda, dia sudah mewisudanya. Lalu apa lagi masalah mahasiswi itu sampai datang kembali ke kelasnya.

"Arin kamu jangan duduk di pojok. Maju sini!" ucapnya kepada seorang mahasiswi yang duduk di kursi kosong bangku belakang.

Yang disuruh hanya mengangguk sekejap lalu beralih ke depan. Arin sempat bertanya-tanya mengapa bangku belakang itu selalu kosong. Padahal jika ia bisa duduk di sana, ia bisa saja menonton drama kesukaannya tanpa harus mendengarkan penjelasan dari teman-temannya yang membosankan. Kuliah baginya hanya yang penting hadir, karena dosen pun tak pernah menjelaskan materi. Mereka hanya duduk menemani para mahasiswa yang bertugas untuk presentasi.

Dirasa urusannya sudah beres, Ezhar pun kembali menyelami makalah. Ia membiarkan para mahasiswanya menerangkan makalah yang mereka buat. Sementara dirinya ikut menyimak sembari menandai beberapa kesalahan yang terdapat dalam tugas mereka.

Arin yang merasa fokus dosen sudah terpecah, ia pun berdiri kembali. Dengan hati-hati dan tidak menimbulkan suara, ia beralih ke bangku yang tadi dilarang oleh Ezhar.

"Ya kali gue mau duduk di depan, ya nggak Sar?" bisik Arin.

Sari hanya diam. Dia tidak menjawab karena sibuk menyimak apa yang tengah disampaikan teman-temannya di depan.

Baru saja dia duduk, senyum Arin sirna seketika. Keheningan langsung menyerbu dirinya. Tidak ada orang lain selain dirinya dan Ezhar, bahkan teman-temannya yang tadi presentasi pun tidak ada. Sempurna. ruangan ini mendadak sunyi. Kosong.

"Gimana ganteng nggak?" sebuah suara tiba-tiba menyelinap dari samping Arin. Seorang perempuan pun tampak di samping gadis itu sambil menyangga kepalanya dengan tangan.

"Aih kenapa pula hantu kayak lu bawa gue nyebrang? Hah?" decak Airin. Alih-alih dia takut, dia justru kesal karena tak bisa menonton drakornya dengan nyaman.

Hantu yang bernama Savita itu keheranan menatap Arin. Biasanya setiap mahasiswa yang dibawanya ke dunia lain akan terdiam. Tapi Arin justru menatap Savita lamat-lamat, seakan Savita bukanlah hantu.

"Cepet bawa gue balik! Gue udah penasaran sama lanjutan drakor, nih! Lagian dosen kayak gitu, ganteng dari mananya? Dia udah jutek, kalau kasih nilai pelit lagi!" cerocos Arin.

"Kamu nggak takut sama aku?" tanya Savita heran.

"Aelah. Takut? Gue aja pernah nendang pocong yang ngalangin jalan gue. Apalagi lo yang penampilan kayak kuntilanak doang. Sekarang pilih aja. Gue yang pulang sendiri atau lo yang pulangin gue ke dunia manusia?" tantang Arin.

Savita melepas kepalanya. Dia menaruh kepalanya itu di depan Arin. "Sekarang lo takut?"

Arin menghembuskan napas. Dia meniup poni yang berderai di dahinya. "Dibilang nggak takut, eh malah nggak percaya! Nih rasain!" kata Arin. Dia pun meremas kepala Savita yang tergeletak di depannya.

Savita berteriak.

"Cepet balikin gue! Gue kagak mau gunain kekuatan gue buat hal tidak berguna kayak gini! Atau kalau lo nggak mau, gue seberangin lo ke dunia roh beneran. Biar lo tahu rasa dan nggak bisa lihat dosen yang kata lo ganteng itu."

Sementara Arin dan Savita tengah berdebat, Ezhar mendadak merasakan aura yang sudah lama tidak dirasakannya. Bulu kuduk di tengkuknya berdiri. Dosen itu pun menghela napas. Namun ia tak mungkin menghentikan aksi mahasiswi gaibnya itu sekarang. Ezhar tak mungkin membuat kelasnya gaduh gara-gara satu mahasiswi yang tak pernah mau pergi walaupun ia sudah mati.

Lima belas menit berlalu. Lima belas menit juga tak ada yang menyangka kalau Arin telah lenyap dari pandangan. Arin telah dibawa melintas ke alam mahasiswi yang meninggal itu. Dan hanya Ezhar yang mampu melihatnya sekarang. Awalnya dia merasa kasihan, tapi setelah melihat Arin yang justru memprovokasi Savita, dia malah keheranan.

Baru setelah sesi menerangkan dan catat-mencatat selesai. Sari merenggangkan tangannya. Ia memandang ke samping, hendak menyapa Arin yang pastinya sedang menonton drama korea di gawainya. Alih-alih menemukan temannya, Sari malah hanya melihat bangku kosong.

Sari pun menggaruk-garuk kepalanya. Ia yakin kalau tadi gadis itu ada di sampingnya. Bahkan gawainya pun masih ada di kursi. Setahu Sari mana pernah Arin pergi tanpa bawa gawai kesayangannya itu. Mereknya iPhone lagi.

"Mba Sari, apakah mau bertanya?"

Salah seorang mahasiswa yang bertugas melempar sebuah pertanyaan ke Sari. Ezhar pun memperhatikan apa yang terjadi. Dia melihat kalau Arin dan Savita tengah jambak-menyambak.

Ezhar menghela napas. Dapat dia rasakan kalau Arin juga mempunyai kekuatan sama seperti dirinya. Namun sepertinya Arin tak tahu kalau semakin lama dia dunia itu, dirinya akan semakin berada dalam bahaya. Membiarkan Arin dalam pelukan sosok itu dalam waktu yang lama hanya akan membuat masalah baru.

Ezhar menghela napas. Ia pun berdiri, menghentikan diskusi yang bahkan belum ada satu orang pun yang bertanya. Dia menjelaskan materi sebentar sebelum akhirnya membubarkan kelas.

"Pak, apakah Bapak melihat Arin?" tanya Sari.

"Kamu tunggu di sini. Ajak si ketua kelas dan tunggu di sini. Tolong jaga pintunya!" ucap Ezhar dingin.

Sari pun memanggil ketua kelas khusus di mata kuliah Pak Ezhar. Tak lama mereka pun kembali dan mendapati Ezhar tengah berdiam diri di pojokan. Tangannya bersedekap. Ia mendongak dan tengah berbicara.

Sari dan ketua kelas hanya bisa saling tatap. Mereka baru pertama kali ini melihat seorang dosen berbuat hal yang di luar logika. Bukankah biasanya dosen itu selalu bermain fakta dan logika? Bahkan buku mereka pun selalu ada yang menerangkan tentang pentingnya berpikir secara logistik. Lalu mengapa satu dosen ini berbeda?

"Sudah cepat kembalikan dia! Atau aku akan memagari diriku sampai kamu tak bisa melihatku lagi," ancam Ezhar. Meski Sari dan si ketua kelas tidak melihatnya, Ezhar jelas sekali tengah berbicara kepada mahasiswi tak kasat mata.

Si mahasiswi tak kasat mata itu cemberut. "Iya-iya, deh! Tapi jangan magari dirimu dong!"

Ezhar mengembuskan napas. Sebenarnya ia malas meladeni hantu. Namun membiarkannya juga bukan solusi yang tepat.

"Savita, kamu tahu kamu sudah aku luluskan kemarin. Kenapa masih bergentayangan di sini?"

Savita diam. Wajahnya meski sudah pucat pasi, dia sama sekali tidak menyeramkan. Bahkan sinar wajahnya menyerupai cahaya rembulan di saat tanggal lima belas. Purnama sempurna.

"Kita bahas itu lain kali! Lepaskan Arin sekarang!"

Arin menatap lamat-lamat ke dosennya. Mulutnya cemberut. Dia baru tahu kalau dosen dingin, tidak peka, dan jutek ini memiliki kekuatan supranatural. Sekarang dia pun baru mengerti kenapa tadi, dia hanya bisa melihat Ezhar saja.

Savita mengangguk. Lalu seperti tikus yang terjatuh dari kabel, Arin tiba-tiba muncul dari langit. Ezhar pun menangkapnya. Sari dan ketua kelas yang melihat itu hanya bisa melongo. Mereka benar-benar tak percaya dengan apa yang mereka lihat.

"Terima kasih, Savita. Dan jika kamu mengulangi perbuatan ini lagi, aku benar-benar akan memagari diriku. Kamu mengerti?" tandas Ezhar.

"Iya-iya," jawab Savita yang kini bisa didengar oleh semua orang. Nada suaranya yang lembut dan dingin membuat bulu kuduk orang yang ada di ruangan itu berdiri.

Savita pun menghilang. Ezhar mengalihkan pandangannya ke Arin. Gadis itu masih terpejam. Badannya sedikit bergetar. Dia bukannya takut, tapi kaget karena jatuh dari langit-langit.

"Bukalah matamu, Rin!" ujar Ezhar lembut.

Arin perlahan membuka matanya. Ia kini melihat wajah dosennya itu yang penuh dengan cahaya menenangkan. Persis cahaya mentari yang pertama kali menyembul dari ufuk timur. Dekapan Ezhar begitu menghangatkan. Seluruh tubuh Arin yang tadinya menggigil, kini kembali normal.

"Kamu bisa jalan?" tanya Ezhar kembali.

Lamunan Arin pun terpecah. Wajahnya seketika memerah. Ia pun mengangguk. Ezhar menurunkannya. Namun saat hendak jalan, kaki Arin masih kaku. Ia terjatuh ke belakang dan Ezhar menangkapnya kembali. Kepala Arin menyandar ke dada bidang Ezhar, membuat rasa-rasa aneh bermunculan dalam jiwa gadis itu. Ketika tatapan mereka bertemu, Arin dapat merasakan dalamnya pandangan dosennya. Ada jiwa yang begitu tenang di sana, setenang laut mati.

"Maaf, Pak!" ujar Arin.

Ezhar mengangguk. "Kalian berdua, bawa Arin ke poliklinik!"

Kedua orang itu pun kaget. Mereka segera mengangguk dan memapah Arin sementara Ezhar mengambil buku-bukunya dan keluar dari ruangan. Sebelum menutup pintu, ia menatap bangku kosong di pojok. Tidak ada lagi Savita di sana. Dan untuk sementara ini mungkin akan aman. Ia tak akan membiarkan siapa pun atau apa pun menggagalkan usahanya untuk membangunkan Melody.


Karena ini horor romance, ingatkan aku untuk selalu update di malam Jumat ya. Biar lebih kerasa. Makasih. Komennya dong. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top