Pertarungan Dengan Dukun

Ezhar mengusap peluh yang membanjiri keningnya. Ia tengah menjelajahi sebuah gubuk tua. Ezhar memegang pisau. Malam ini atau tidak sama sekali. Seseorang di sini akan menjadi batu fondasi langkah pertamanya untuk dia dapat menggapai tujuan.

"Kau tidak akan bisa pergi lagi dasar bedebah." Ezhar menatap ke depan dengan mata dinginnya. Mata yang berwarna biru itu menajam, setajam harimau yang tengah mengintai mangsanya.

"Datang lagi, rupanya." Seorang kakek berkulit gelap dengan ikat kepala hitam, menyeringai.

Kilat yang sedari tadi hanya terlihat dari kejauhan, kini mendekat. Suara guntur pun menggemuruh, persis seperti suara gunung akan meletus. Ezhar tak peduli. Bahkan ia akan lebih suka kalau dirinya disambar petir sekalian tinimbang harus pergi dengan tangan kosong, tangan kosong tanpa nyawa dukun di depannya.

Hujan mulai jatuh serintik demi serintik. Ezhar mendesis. Amarah di dadanya sudah menggebu-gebu. Baginya tak ada lagi dunia jika calon istrinya itu tak kunjung bangun. Semua usaha sudah dilakukannya. Seluruh tabungan pernikahan Ezhar, ia gunakan untuk mengobati Melody, tapi tak ada gunanya. Medis tak dapat mendeteksi penyakitnya. Semua anggota tubuhnya normal, tapi gadis itu tetap tidur, tidur dalam waktu panjang, seperti putri salju. Namun nahasnya, dia tak akan sembuh meski Ezhar menciumnya sekali pun.

"Katakan bagaimana menyembuhkannya atau tidak kau mati malam ini!" tegas Ezhar. Ia benar-benar tak peduli apa konsekuensinya nanti. Yang jelas, yang di pikirannya saat ini hanya perkataan dokter.

"Jika dia tak segera bangun, Anda harus mengikhlaskannya."

Ezhar tatkala itu hanya bisa menatap Melody dengan tatapan kosong. Tangan hangatnya memegang tangan Melody yang dirasa kian dingin. Ia lalu mengecup gadis itu sembari menutup mata. Hatinya berdoa agar ketika ia membuka mata, Melody juga membuka matanya. Tapi itu hanyalah doa belaka.

Guntur kembali bergelegar, mengingatkan Ezhar kembali kalau dirinya tengah berhadapan dengan garis takdirnya yang keras. Ia tak pernah menyangka kehidupan normalnya akan berakhir seperti ini. Dia yang seorang dosen biasa, harus melumuri tangannya dengan darah seseorang.

Kakek berikat kepala itu tersenyum ganjil. Dia lalu meniupkan asap dari mulutnya. Asap itu berputar, membentuk sebuah sosok yang langsung masuk ke tubuh Ezhar. Ezhar seketika sesak napas. Ia memejamkan mata lalu tiba-tiba ia terbangun dan berada di sebuah sekolah. Ia melihat Melody di sana, Melody dengan kursi di atas meja dan tali menggantung di depannya.

Melody menatap Ezhar. Ia terisak. Sebuah sosok hitam menyerupai pria, mengikatkan tali ke leher gadis itu. Melody tersenyum sejenak. Ia lalu berkata, "Maafkan aku, Mas," ucapnya. Sosok hitam itu pun menendang Melody.

Ezhar menutup matanya. Ia lantas mengumpulkan tekad dalam hatinya lalu berteriak. Ia kembali tersadar. Tepat di depannya sang kakek tengah menghujamkan keris ke arahnya. Ezhar yang belum siap, kalah kekuatan. Ia terjatuh dan kakek itu menubruknya. Ezhar menangkapnya. Ia tahan sekuat tenaga.

"Menyerahlah Ezhar! Dan jadilah tumbalku!" Si dukun menyeringai

Ezhar mengerang. Entah bagaimana caranya tenaga si kakek jauh lebih kuat daripadanya. Ujung keris itu sudah tepat berada di atas tenggorokan Ezhar.
Ezhar menahan sekuat tenaga. Jika ia mati di sini, Melody juga akan berakhir. Akhir yang lebih tragis dari kematian. Melody – gadis yang amat dicintainya itu akan menjadi tumbal. Dia akan hidup kembali, namun bukan sebagai Melody.

Entah obat apa yang telah dimakan oleh si kakek, ujung kerisnya telah sempurna menyentuh kulit leher Ezhar. Ezhar mengerang. Dapat ia rasakan perlahan, keris itu menembus epidermisnya.

Malam kian kelam. Rintik hujan yang tadi hanya berupa gerimis pun berubah menjadi guyuran hujan yang dahsyat. Angin juga ingin bertindak. Dengan kekuatannya, ia meniup pohon-pohon rapuh di sekeliling Ezhar dan kakek. Tampaknya semesta tak ingin melihat kekalahan Ezhar.

Atas izin Tuhan, sebuah ranting menimpa si kakek, memberikan beberapa detik bagi Ezhar untuk bangkit. Berhasil, Ezhar pun dapat menangkis si kakek dukun. Ezhar mengusap wajahnya yang dibalut air hujan. Ia melihat ke arah si dukun tadi, tidak ada.

Nyeri mulai terasa di leher Ezhar. Air dengan leluasa mengguyur darah di sana. Ezhar pun memegangi lehernya, sementara matanya tetap awas menyapu pandang, melihat setiap sudut.

Hening. Bahkan petir yang sedari tadi menyambar, menghilang begitu saja, tersisa angin dan hujan.

"Ezhar ...," desis sebuah suara.

Lelaki bermata biru itu menelan ludah. Ia hapal benar dengan suara itu. Suara yang membuatnya selalu terjaga saat kecil. Suara yang selalu dan selalu membuatnya menggigil di pojok ruangan. Suara bapak.

"Ezhar ... sakit! Tolong Bapak ..!"

Keringat dingin keluar, tidak peduli dengan cuaca yang kian dingin. Ezhar dapat mendengar sendiri detak jantungnya yang kian berpacu dengan cepat. Darahnya berdesir hebat.

Suara sesuatu diseret terdengar mendekat. Ezhar pun langsung menengok ke belakang. Bapaknya, bapaknya yang dulu ia tinggal ketika rumah terbakar kini menampakkan diri. Dia yang selalu memukulnya, terjebak di bawah tiang yang roboh, kini menampakkan diri. Kulitnya legam, melepuh, terbakar. Bahkan matanya pun hilang satu.

"Ezhar! Tolong Bapak! Sakit! Panas!"
Tubuh Ezhar mendadak kaku. Tangannya bergetar, bahunya berguncang. Trauma yang selama ini telah dibuangnya, kini kembali lagi.

"Ezhar!" suara merintih si Bapak kian mendekat. Dia yang merayap karena kakinya sudah hangus terbakar, mendekati Ezhar. Sesampainya ia di dekat Ezhar, sosok itu merayap, meraih-raih tubuh Ezhar agar lelaki itu bisa sejajar dengannya.

"Ezhar! Kenapa kau tidak selamatkan Bapak?"

Ezhar diam. Tubuhnya kian terguncang. Ia bahkan terngiang kembali ketika ia di panti dan selalu menangis sendirian di pojok kamar, takut akan kedatangan bapaknya.
Mata Ezhar masih terpaku pada wajah hangus bapaknya. Lalu dengan tiba-tiba si bapak meraih kepala Ezhar kemudian berteriak.

"Ezhar! Mati!" teriaknya dengan suara amat menyayat telinga.
Suara langkah kaki yang begitu cepat terdengar. Ezhar serta merta menengadahkan wajahnya.

"Mati kau anak muda!" teriak si dukun. Ia dengan mantap menghunuskan kerisnya.

Ezhar membeliak. Ia tak sempat untuk menghindar. Jiwanya masih terguncang dengan kehadiran arwah bapaknya tadi. Ia bahkan masih dapat merasakan tangannya yang dipegangi erat olehnya. Napasnya masih kacau, pikirannya pun. Ia hanya berdiri seperti patung sasaran tembak yang rela diapakan apa saja.

Namun terlintas di pikirannya tentang Melody, tentang impian mereka, tentang pernikahan mereka yang akhirnya harus mundur atau mungkin batal. Ezhar tak rela. Ezhar tak ingin menyerah sekarang.

Ezhar mengerang. Ia membersihkan ketakutannya sekali lagi, membuangnya begitu jauh dan menggantikannya dengan pikiran tentang Melody. Ezhar sudah berjanji mau melindunginya. Bukan setelah pernikahan, tapi mulai mereka mengikat janji darah itu. Ia bersumpah untuk selalu mencintainya apa pun yang terjadi.

Akan tetapi waktu tidak bersahabat. Ketika Ezhar hendak melawan, dukun itu sudah menusuknya, menusuk tubuhnya dengan keris.

Bersambung....
Ditunggu komennya karena komen kalian yang membuat aku semangat nulis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top