DUA
gue bangga bet gue bisa apdet di tengah tumpukan laporan. walau cuma segini, aing tetap bangga.
=========
D A R A H
D A N
S A L J U
=========
DUA
"Pangeran Salju yang melakukannya."
Akhilla sesungguhnya sudah sadar, namun baru sedikit membuka kelopak matanya. Suara tadi berasal dari wanita yang tengah memeras kain basah dalam baskom. Dengan lemah, bola mata Akhilla bergeser untuk melihat sekeliling. Hanya ada dirinya di kamar ini, setengah duduk dan setengah berbaring di atas kasur. Bau obat-obatan memenuhi indra penciumannya. "Ma...af," ujar Akhilla, lemah. "Apa yang kau bicarakan?"
"Kau, Nak. Aku sedang berbicara tentangmu." Lewat satu perasan paling keras, wanita itu akhirnya membentangkan kain yang habis diperas, kemudian mendekat ke arah Akhilla. Menangkup pipinya lalu mengelap lembut bekas darah di dahi gadis itu dengan kain tadi. Spontan Akhilla meringis. "Tenanglah, anak gadis. Aku hanya sedang mencoba membersihkan darahmu."
"Di mana?" pertanyaan itu bagai bisikan, terdengar parau. Akhilla merasa tenggorokannya terlalu kering. "Di mana aku sekarang?"
Sang wanita tak segera menjawab. Ia menyelesaikan pekerjaannya dulu, lalu beranjak untuk mengambilkankan Akhilla air. Suara kucuran air dituang dari teko guci sedikit menenangkan batin Akhilla. "Kau pingsan di tengah desa yang kini sudah rata dengan tanah. Cuma kaulah satu-satunya yang hidup. Sekarang kau sedang dirawat di salah satu rumah penduduk desa tetanggamu."
Akhilla terdiam. Mencerna tiap kata dari wanita itu. "Apa... sama sekali... tidak ada yang hidup selain...."
"Sama sekali," tegas sang wanita. Memberikan gelas berisi air kepada Akhilla "Hanya dirimu."
Akhilla menelan ludah.
"Matamu unik, Nak," lanjut sang wanita sambil duduk di sisi ranjang. Memerhatikan Akhilla yang meneguk minumannya. "Jarang kulihat mata seperti milikmu."
"Apa?" sahutan itu terdengar lemah. Akhilla mengernyit bingung, tak yakin dengan apa yang dikatakan wanita itu. Karena Akhilla rasa, matanya biasa-biasa saja. Normal. Sama seperti mata milik penduduk di desanya yang didominasi iris warna gelap. Mata Akhilla berwarna hitam, dibingkai bulu mata yang sama sekali tidak lentik. "Memang mataku kenapa?"
Sang wanita tersenyum. "Unik, Nak. Warna matamu merah."
Beruntung ia tak sedang minum saat mendengar pernyataan tersebut.
Merah, katanya?
"Ah." Akhilla menelan ludah. Memainkan jemarinya yang memegang gelas. "Mmm, mataku berwarna hitam, sebenarnya."
Sang wanita meninggikan alis. "Hitam dari mana? Warnanya jelas-jelas merah."
Akhilla ingin tertawa. Ia ingin berkata barangkali wanita ini buta warna, namun ia tahu itu tidak sopan. "Hitam. Aku sudah melihat diriku dalam kaca setiap hari dan warnanya memang hitam."
Wanita itu menyipitkan mata, mengernyit, lalu meraih sesuatu dari meja. Sebuah kaca kecil lalu diberikan kepada Akhilla. "Lihat saja sendiri, Nak."
Dengan bingung, Akhilla akhirnya meraih benda itu dan melihat bayangan dirinya di kaca.
Dan jantungnya pun berhenti berdetak untuk sesaat.
Tidak mungkin.
Matanya sungguhan berwarna merah. Menyala-nyala seolah ingin mengingatkannya pada warna kobaran api yang melahap desanya.
Jantungnya terasa diremas.
"Pasti berat untukmu, Nak," ujar sang wanita. "Cuma kau satu-satunya yang masih hidup."
Hati Akhilla mencelus. Kepalanya menunduk. Ia menggigit bibir dan menatap ke langit-langit. Menahan keinginan menangis yang seolah bergetar dari balik bola matanya. Keluarganya....
Akhilla menggigit lidah. Meletakkan gelas airnya ke nakas di sebelah ranjang. Kemudian memeluk kakinya. Menolak bertatapan dengan siapa pun.
"Mungkin kau akan masuk ke panti asuhan, Nak." Sang wanita mendesah. "Kau juga bisa belajar sihir, kalau-kalau kau mau."
Akhilla tak merespons.
"Baiklah." Wanita itu beranjak. Mendekati pintu untuk keluar. Sesaat sebelum membuka pintu, ia menoleh lagi kepada Akhilla. "Selamat beristirahat."
"Sebentar," ujaran Akhilla itu terdengar setengah berbisik, namun masih menyimpan kekuatan yang secara tak langsung menuntut untuk didengar.
Sang wanita perawat pun berbalik. Menunggu.
"Siapa namamu?" tanya Akhilla. Menatap sang wanita.
Wanita itu pun tersenyum lembut. "Namaku Helda, Nak. Kalau kau butuh apa-apa, panggil aku saja."
Akhilla mengangguk. Ucapan terima kasih sudah berada si ujung lidah, namun seketika itu juga, matanya berdenyut.
Denyutan itu bagai detak jantung. Berdegup-degup seolah memiliki nyawa sendiri. Namun rasanya tidak lagi seperti dulu saat ia pertama kali merasakannya. Kali ini, denyutannya terasa tak menyakitkan. Alih-alih, justru terasa... hidup.
Akhilla memejamkan mata. Kilasan kejadian dengan cepat berputar di balik kelopaknya, seolah ia mengalami sendiri. Mendadak ia merasa sedang berada di tempat lain. Semua terasa nyata, begitu pun dengan sosok Helda dalam kilasan itu yang....
Meninggal?
Akhilla mengerjap-ngerjap.
Apa itu tanggal-tanggal dan waktu yang tiba-tiba masuk ke dalam otaknya?
Riwayat hidup Helda kah?
Ia menatap ke arah pintu. Helda tengah menatapnya dengan prihatin. "Kau baik-baik saja, nak?"
Jeda lama diberikan Akhilla selagi matanya masih berkedut-kedut. "Ya... aku baik-baik saja." Ia tersenyum. Mengabaikan kilasan tadi. "Terima kasih, Helda."
"Baik. Kalau begitu selamat tinggal, Nak." Helda melambaikan tangan. Keluar dari kamar rawat Akhilla lalu menutup pintu. Meninggalkan Akhilla terdiam mencerna realisasi ini sendiri.
Akhilla bersender pada bantalnya. Jantungnya berdegup kencang. Tidak tenang. Keringat mulai bermunculan di dahinya. Jika melihat dari kilasan riwayat hidup yang sempat terputar di otaknya, Helda harusnya....
Helda seharusnya meninggal dalam lima belas menit lagi.
Namun, berusaha untuk tenang, Akhilla menyugesti dirinya bahwa kilasan itu tak berarti apa-apa. Ia lalu merebahkan diri di atas ranjang. Berpikir semua akan baik-baik saja.
Tetapi di malam hari, ia akhirnya mendengar kabar bahwa wanita itu meninggal, dengan runut kronologis kematian yang persis seperti kilasannya.
Helda meninggal karena jatuh dari tangga. Bukan kecerobohan. Tapi ada yang menjatuhkannya secara sengaja.
Butuh waktu bagi Akhilla untuk sadar bahwa kilasan ini bukan hanya perasaan negatif, bukan sekadar halusinasi dan sebagainya. Butuh waktu sampai akhirnya Akhilla menyadari ini nyata, sebab dalam tiga hari ia mengenal orang-orang di sana, ia selalu tahu riwayat hidup dan bagaimana mereka mati.
Dan butuh waktu bagi Akhilla untuk sadar bahwa itu adalah efek dari bola matanya yang mendadak berubah merah.
[ ].
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top