Siapa Orangnya?

"Apa aku boleh nanya sesuatu? Tapi aku harap kamu jawab sejujurnya," kata Rizal.

"Tanya apa?"

"Sebelumnya aku minta kamu jawab jujur, Dara."

"Iya, aku jawab jujur. Tanya apa?" Jantungku berdetak lebih cepat, rasa penasaran menyelimuti pikiranku.

"Selama ini, apa ada, setidaknya sedikit aja kamu ngerasa tertarik sama aku? Jawab jujur, ya?" tanya Rizal.

Ya ampun, kenapa Rizal harus bertanya tentang ini? Aku sendiri tak mengerti apa yang aku rasakan jadi jika ditanya seperti itu, apa yang harus aku jawab? Apa yang harus aku katakan?

“Bolehkah aku dengar jawaban kamu, Dara?” tanya Rizal lagi.

Aku masih berusaha memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaannya. Oh Tuhan, sebagai wanita seharusnya aku tak memberi harapan berlebih pada lelaki yang tak aku sukai. Tapi bagaimana dengan aku? Bahkan aku masih belum menemukan jawaban yang tepat jika ditanya bagaimana perasaanku terhadap Rizal maupun Aldi.

Namun, semua telah terjadi, aku sudah menentukan pilihan. Dan Aldi lelaki yang sudah aku percayakan untuk masuk lebih dalam pada hidupku sekaligus menutup pintu agar tak ada hati lain yang masuk.

Karena wanita yang baik hanya akan menerima satu hati. Jadi, aku sudah memilih Aldi dan seharusnya tak boleh memberi harapan pada Rizal.

“Maaf, Zal. Aku nggak bermaksud nyakitin atau...”

“Kamu nggak salah, Dara. Aku yang terlambat.” Rizal memotong ucapanku, ia mengatakannya sambil tersenyum. Aku yakin senyum penuh luka yang ia tampilkan.

“Aku harap kita masih bisa berteman,” ucapku. Jujur, Rizal orangnya menyenangkan. Tak ada yang salah kan kalau kami berteman?

“Tentu saja, Dara, aku doakan kalian untuk selamanya. Aku senang kalau kamu bahagia meski bukan dengan aku.”

Entah, mendengar ucapan Rizal membuat hatiku ikut teriris, jelas saja itu kebohongan. Mana ada orang yang berkata bahagia melihat orang yang diharapkan dengan yang lain?

“Aku juga berharap, laki-laki itu mampu memberimu kebahagiaan buat kamu juga Elsa.”

Aku hanya meresponnya dengan senyuman, meski ia senyum tapi nada kepedihan sangat jelas terdengar. Aku jadi merasa bersalah.

Sebenernya, aku tak mengharapkan orang yang bisa selalu membuat aku bahagia, yang aku inginkan orang itu selalu ada karena bahagia itu tak ada gunanya kalau kita sendirian. Dengan begitu, aku tak akan merasa sendiri menghadapi kepahitan atau kepedihan yang sewaktu-waktu mengancam kebahagiaanku.

Terlebih aku memiliki Elsa, aku tak menginginkan lelaki yang hanya menyayangiku, yang aku butuhkan adalah lelaki yang bersedia menyayangi kami. Karena aku tak berdiri sendiri, ada gadis kecil yang berdiri di sampingku. Gadis kecil yang mengharapkan seorang ayah untuk berdiri di sampingnya lagi.

“Kok jadi tegang gini, ya?” Suara Rizal berhasil membuyarkan lamunanku.
Belum sempat aku menjawabnya, seorang wanita menghampiri kami. Wanita itu satu divisi denganku.

“Bu Dara maaf mengganggu waktu makan siangnya,” kata wanita itu.

“Mr.Frans mengundang Bu Dara untuk ke ruangannya,” lanjutnya.

Jelas saja aku terkejut, ada apa pimpinan memanggilku? Aku jadi terdiam beberapa saat untuk memikirkan apa kesalahan yang sudah aku lakukan, namun aku tak merasa sudah melakukan kesalahan. Apa karena meeting beberapa hari lalu? Ya Tuhan.

“Ada apa, ya?” tanyaku.

“Saya kurang tahu. Mr. Frans hanya memerintahkan saya untuk memanggil Bu Dara,” jawab wanita itu.

“Sekarang?”

“Iya, Bu. Sekarang. Ya sudah, saya permisi ya, Bu.”

Aku mengangguk. “Terima kasih, ya.”

“Ada apa ya, Zal, aku sampe dipanggil begini. Aku bikin salah apa, ya?” tanyaku pada Rizal setelah wanita tadi meninggalkan kami.

“Di panggil kan bukan berarti bikin kesalahan, Dara. Bisa jadi ada permasalahan yang harus di selesaikan dan kamu belum tentu yang berbuat salah,” jawab Rizal santai.

“Tapi aneh aja, jarang banget aku dipanggil begini.”

“Jangan khawatir, percaya semua bakal baik-baik aja. Mr. Frans manggil kamu bukan karena ada kesalahan yang sudah kamu perbuat, jadi mending sekarang kamu ke sana.”
Ucapan Rizal setidaknya membuatku menjadi lebih tenang. Ya, semuanya akan baik-baik saja.

***

Aku sudah sampai di depan ruangan Mr.Frans, sejenak aku menarik napas lalu mengembuskannya. Seharusnya aku berterima kasih pada Rizal, perkataannya berhasil membuat kekuatanku berkumpul menyerukan ucapan kalau semuanya memang akan baik-baik saja.

Kemudian aku mengetuk pintu ruangan tersebut, beberapa saat kemudian pintu mulai terbuka. Hal paling mengejutkan tepat ada di hadapanku. Kenapa Rian yang membuka pintu? Sedang apa ia di sini?

“Selamat ya, kamu berhasil bikin aku pusing. Masuk,” ucapnya pelan penuh intimidasi. Tentu saja aku tak mengerti apa maksud dari ucapannya. Akhirnya, tanpa menjawab aku langsung masuk mengikutinya. Aku pikir Mr.Frans sudah ada di dalam, tapi ternyata tidak. Rian duduk di sebuah kursi, sampingnya ada satu kursi lagi yang kuyakini itu kursi untukku.

Oh Tuhan, apa yang akan kami bicarakan?

“Puas ya kamu, Dara. Aku kan udah bilang kalau masalah kita selesai dan kamu udah maafin aku. Tapi ternyata apa? Kamu malah laporin kejadian kemarin, jadi panjang kan urusannya. Kalau begini aku makin yakin kamu itu caper banget sama aku,” ucap Rian, saat ini aku sudah mengambil posisi duduk di kursi yang ada di sampingnya.

Aku baru mengerti. Jadi, kami dipanggil untuk membahas petaka yang terjadi kemarin? Sumpah demi apapun aku tidak melaporkannya sama sekali. Aku bahkan terkejut saat dipanggil seperti ini. Siapa yang melaporkannya? Lalu, apa dia tahu kejadian kemarin? Ya ampun.

“Kalau begini caranya aku makin yakin kalau kamu ini masih mengharapkan aku, kan? Sampe melakukan segala cara agar interaksi terus sama aku. Cara kamu norak banget, Dara. Kamu bukan cuma membahayakan posisi aku aja, tapi kamu membahayakan posisi kamu juga. Apa untungnya sih lapor-lapor? Aku kan udah bilang semua udah selesai. Jadi perempuan kok begini banget, untung aja aku dulu lebih milih istriku, jadi sekarang bahagia banget, kan? Coba dulu lebih milih kamu, nggak bisa dibayangin deh seberapa hancurnya hidup aku.”

Jujur, perkataan Rian benar-benar membangunkan gejolak emosiku. Namun aku rasa berdebat dengannya tak akan membuat semua menjadi lebih baik. Lagi pula aku sudah memutuskan untuk berpura-pura tuli jika Rian berbicara yang membuatku muak, aku tak akan pernah menjawab apapun yang ia katakan meski ini menyakitkan. Aku hanya harus menganggap Rian tak pernah ada, dan ucapannya seolah tak terdengar. Tanganku bahkan sudah mengepal, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melayangkan tinjuan untuknya. Setidaknya menambah lebam di wajahnya. Sungguh, aku senang melihat lebam di beberapa bagian wajahnya. Saking senangnya aku ingin menambah lebam itu dengan meninjunya minimal tiga kali.

“Jangan sampai aku dipecat, ya. Sumpah, aku janji nggak akan ganggu kamu lagi tapi kamu juga harus janji buat nggak ganggu aku. Aku juga kan pernah bilang, bahagialah dengan kehidupan masing-masing. Meski kamu hanya diam, tapi aku yakin telingamu masih berfungsi bukan sekadar daging tumbuh yang di hias anting,” ucap Rian, bahkan ia mengutip istilah yang pernah aku ucapkan dulu.

“Aku sudah sangat bahagia. Jika kamu belum merasa bahagia, tolong jangan ganggu kebahagiaan oranglain,” ucap Rian lagi.

Ya Tuhan, kenapa Rian selalu mengatakan aku mengganggunya, padahal jelas-jelas dirinya yang selalu menggangguku.

“Masalah ini harus diselesaikan kekeluargaan,” lanjut lelaki itu.

Kurasa ia tak pernah menyerah, meski aku hanya bungkam namun ia tetap bersemangat membela dirinya dengan ucapan yang sangat mengada-ada.

“Maaf membuat kalian menunggu lama.” Suara bariton tiba-tiba berhasil membuat Rian bungkam. Refleks kami menoleh ke arah pintu, rupanya Mr.Frans yang datang. Tentu saja aku merasa tenang, bukankah aku tak merasa berbuat salah? Aku pikir Rian merasa takut, sangat terlihat dari ekspresinya yang sangat tegang.

Beberapa saat kemudian Mr.Frans duduk di kursi kebesarannya.

“Tentu kalian sudah tahu alasan saya mengundang kalian, bukan?” tanya Mr.Frans membuka pembicaraan yang aku rasa akan terasa seperti sidang.

“Saya tidak mau berbasa-basi terlebih dahulu karena sebentar lagi saya ada meeting penting. Saya harap hal ini jangan sampai terulang lagi kalau masih ingin bekerja di sini terutama Anda, Rian. Jujur saya kecewa, sangat kecewa. Ini sangat memalukan.”

Baik Rian maupun aku hanya bisa menunduk bungkam.

“Saya harap apapun permasalahan antara kalian tidak mengganggu kinerja kalian di perusahaan ini. Bersikaplah profesional, jangan bawa masalah ke gedung ini lagi.”

Kami masih bungkam, namun tetap mendengarkan.

Beberapa saat kemudian, kami sudah diperbolehkan kembali ke ruangan masing-masing. Mr.Frans meminta kami untuk berdamai, aku mengiyakan dengan catatan tak akan ada lagi komunikasi dalam bentuk apapun antara kami kecuali masalah pekerjaan. Ya, aku sengaja mengajukan syarat berupa permintaan seperti itu agar Rian tak menggangguku lagi. Karena jika ia terus menggangguku, ia tak akan bosan membalikkan fakta dengan berpikir kalau aku mengganggunya. Yang benar saja?

Dalam kasus ini, Mr.Frans berlaku adil, ia tahu Rian yang salah sehingga lelaki itu mendapat surat peringatan. Tentu saja aku sedikit puas, mudah-mudahan Rian mampu mengambil pelajaran dari kejadian ini. Semoga saja ia tak menggangguku lagi.
Sebenarnya aku masih penasaran siapa orang yang melaporkan ini pada Mr.Frans. Aku yakin tak ada siapa-siapa di gudang pada saat itu. Siapapun orangnya, aku kira dia orang yang sama dengan pencipta lebam di wajah Rian. Ya Tuhan, aku ingin berterima kasih padanya. Tindakan Mr.Frans sepertinya bisa membuat Rian jera.

Dan yang terus menjadi pertanyaanku adalah siapa orang yang secara tidak langsung menjadi pahlawan dengan membantuku?

Siapa? Adakah yang tahu?

Adakah yang bisa memberi tahuku siapa orangnya?

***

B e r s a m b u n g . . .

Duh, maaf ya dikit. Plis jangan protes. Semoga besok update lagi. Pada penasaran kan sama acara di sekolah Elsa? Tunggu aja.

*kalo ada typo, bisikin Gia* Ini belum di edit, agak sibuk hehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top