Kejujuran

Pagi ini, aku ke kantor seperti biasa. Bedanya, bukan Pak Iwan yang mengantarku melainkan Aldi. Kalau hal seperti ini terjadi setiap hari, aku yakin akan semakin sering bicara dengannya. Tentu membuat kami semakin dekat. Aku juga semakin sadar sikapnya berbeda jauh dengan Rizal yang kadang memiliki selera humor tinggi. Sungguh, Aldi sangat serius tapi sangat perhatian. Bukan hanya perhatian terhadapku tapi ia juga perhatian pada Elsa dan Ibu. Bahkan, besok ia bersedia mendampingiku di acara sekolah Elsa.  Besok juga adalah hari yang memungkinkan pertanyaanku akan terjawab. Jujur, aku masih penasaran tentang suami Risty. Aku yakin ia akan hadir dengan suaminya. Jadi, siap tidak siap besok aku akan mengetahuinya secara langsung.

Sebagai single parent sepertiku, tentu dalam memilih pasangan harus disertai berbagai pertimbangan. Bukan sekadar butuh orang yang menerimaku, namun harus mampu menerima kehadiran Elsa juga karena kami itu satu paket.

"Nanti, pulangnya saya jemput, ya?" tanya Aldi  setelah kami sudah sampai tepat di depan kantorku.

"Apa nggak repotin?" tanyaku.

Aldi menggeleng, "mau saya jemput, kan?"

"Kalau sibuk, aku bisa minta jemput Pak Iwan aja," jawabku sambil  membuka sabuk pengaman.

"Saya akan usahakan jemput Dara."

"Terima kasih, ya."

"Seharusnya saya yang berterima kasih karena Dara bersedia dijemput."

Aku tersenyum, "ya udah, hati-hati di jalan ya."

"Dara juga hati-hati, tapi bukan cuma di jalan. Dara harus hati-hati di manapun."

Aku tersenyum lagi, Aldi juga.

"Ya udah, aku masuk dulu, ya?"

"Sebentar," ucap Aldi kemudian turun dari mobil. Awalnya aku tak mengerti apa yang akan dia lakukan, tapi beberapa saat kemudian aku tahu ternyata Aldi keluar untuk membukakan pintu untukku.

Aku pun keluar. "Terima kasih," kataku lagi.

"Iya, sampai jumpa nanti sore ya, Dara."

Aku mengangguk, beberapa saat kemudian Aldi pamit. Bahkan aku  masih menatap mobilnya yang mulai menjauh meninggalkan area kantor. Tak terasa aku tersenyum pada sikapnya pagi ini. Entahlah, aku tak mau terlalu cepat menyimpulkan apa yang sebenarnya aku rasakan.

Akhirnya, setelah mobil Aldi benar-benar menghilang, aku kemudian masuk ke kantor. Aku berharap tak bertemu Rian, setelah malapetaka yang terjadi kemarin. Aku sudah benar-benar muak padanya. Tingkat kemuakkan pada Rian seakan meningkat milyaran kali.

Sial, dari jarak kurang lebih sepuluh meter ia sedang berjalan ke arahku. Kuperhatikan sekeliling ternyata ramai, aku rasa ia tak akan berani kurang ajar seperti kemarin. Tapi tetap saja aku tak mau berbicara dengannya.

Sampai pada akhirnya kami sudah berjarak sangat dekat, aku senang ternyata Rian tak mengajakku bicara. Kami hanya berpapasan tanpa saling menyapa. Bukankah itu lebih baik? Bahkan itu yang paling aku inginkan. Andai sejak dulu ia tak selalu mengganggu.

"Dara," panggilnya. Sial, aku kira kami benar-benar hanya berpapasan. Faktanya Rian sepertinya kembali menghampiriku.

Tanpa menoleh, aku langsung mempercepat langkah untuk meninggalkan Rian yang sudah berdiri di belakangku.

"Dara, tunggu," ucapnya lagi, namun kali ini ia setengah berteriak.

Meski aku mendengarnya, namun tetap saja aku tak peduli. Tiba-tiba Rian setengah berlari untuk mengejarku. Aku bisa mendengar jelas suara sepatunya yang terus semakin dekat menghampiriku.

"Aku cuma mau minta maaf."

Langkahku terhenti beberapa detik setelah mendengar ucapannya. Dia pikir setelah apa yang ia perbuat kemarin bisa dengan mudahnya hanya tercipta kata maaf saja?

Aku heran terhadap orang yang selalu meminta maaf tapi rajin melakukan kesalahan yang sama. Aku pikir, setelah kesalahan yang sama terjadi, kata maaf menjadi kadaluarsa dan tak berlaku lagi.

Meski aku berhenti, beberapa saat kemudian aku berjalan lagi tanpa sedikitpun menoleh padanya.

"Dara, please!" Kali ini, Rian sudah ada di hadapanku. Ia bahkan menghalangi jalanku, aku berusaha menghindar ke kanan atau ke kiri namun ia tetap menghalangiku. Ini bahkan ramai oleh para karyawan yang berlalu-lalang, tapi Rian seakan tak peduli.

"Maafin aku. Iya, aku tahu kemarin aku salah," ucapnya.

Keren, dia bilang kemarin? Hanya kemarin? Apa Rian tak berpikir kalau selama ini memang salah? Di mana ia letakkan cermin sehingga tak sadar diri seperti ini.

Sekilas kutatap wajahnya, ada luka lebam membiru di dekat mata dan bibirnya seperti orang yang habis berkelahi. Tapi tak sedikitpun aku peduli, malah menurutku itu hal yang pantas ia dapat. Siapapun yang sudah melakukan itu pada wajah Rian, kuucapkan terima kasih dari jauh. Aku rasa itu sebagian dari karma, mungkin masih 0,1% masih ada 99,9% karma lagi yang siap mendatanginya.

"Aku minta maaf, aku janji nggak akan ganggu kamu lagi. Tapi please, jangan perpanjang masalah kemarin dengan melapor ke atasan. Jangan membuat aku dipecat," ucap Rian.

Jujur, aku sangat terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa ia berpikir aku melaporkan. Bahkan, aku sama sekali tak berpikir sedikitpun untuk memperpanjang masalah kemarin terlebih sampai Rian dipecat. Tapi, karena ia berbicara seperti itu sekarang, aku jadi punya pikiran ke sana.

"Aku nggak akan ganggu kamu lagi, Dara. Lagi pula aku sudah sangat bahagia, mengganggumu sama saja dengan menodai kebahagiaanku. Jadi aku mohon anggap masalah kemarin sudah selesai. Kamu memaafkanku dan berhenti menggodaku sehingga aku tak mendekatimu lagi."

Kurang ajar Rian ini, dalam kondisi meminta maaf saja masih sempatnya berkata seperti itu. Menggodanya? Sungguh, aku tak berminat sama sekali.

Tanpa menjawab, aku langsung meninggalkannya. Aku tak peduli meski ia terus memanggilku.

"Dara, kumohon jangan ungkit masalah ini lagi, kecuali kalau kamu masih mengharapkanku, mungkin kamu akan melaporkan. Jadi, kalau aku sampai dipecat berarti kamu benar-benar terobsesi merusak kebahagiaanku."

Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya. Namun jika aku meladeninya sama saja aku kurang pekerjaan.

Hidupku terlalu berharga jika harus mengurusi hal-hal yang tidak berguna.

"Dara, kamu denger, kan?" ucapnya lagi.

Sampai pada akhirnya aku berhasil lolos darinya, aku segera menuju pintu lift yang sudah terbuka, aku pun masuk sehingga saat pintu lift tertutup kembali, suara Rian tak lagi terdengar.

Sungguh, aku tak sedikitpun berpikir untuk melaporkan masalah ini, dan tiba-tiba aku jadi punya ide brilian. Rian tampaknya takut, jadi aku bisa gunakan ini kalau ia terus mengejarku.

***

"Maaf ya, Zal, Elsa udah punya pilihan sendiri buat ke acara sekolahnya besok," ucapku dengan sedikit rasa bersalah. Saat ini kami sedang makan siang, dan aku bersyukur Rizal masih baik-baik saja. Berarti benar, kemarin ia memang sedang terburu-buru.

Rizal bungkam selama beberapa saat, setelah menyantap makan siangnya, Rizal tersenyum ke arahku.

"Sama laki-laki yang kemarin, kan?" tanyanya santai, namun sepertinya dugaanku salah. Faktanya Rizal memang biasa saja. Bukankah semakin jelas kalau dia memang tak pernah mengharapkanku seperti yang aku kira? Ya Tuhan, aku memang terlalu percaya diri. Nyatanya Rizal hanya sekadar tertarik, tidak lebih.

Aku mengangguk, "maaf, ya."

"Nggak masalah, Dara. Mungkin lelaki itu lebih pantas," ucap Rizal, ia mengatakannya sambil tersenyum. Tapi entah, ada nada kepedihan dalam ucapannya. Setidaknya sedikit. Mungkinkah Rizal lebih dari sekadar tertarik padaku?

Aku hanya tersenyum kikuk, aku tak tahu harus memulai dari mana untuk menceritakan tentang Aldi.

"Kamu nggak pernah cerita kalau udah punya pacar."

"Maaf, Rizal. Maaf..," ucapku. "Jujur, aku nggak bermaksud bohongin kamu atau nggak mau cerita, perkenalanku sama Aldi itu nggak sengaja. Kami nggak pernah pacaran. Sampai pada akhirnya dia ngajak serius, ditambah Elsa juga...," ucapanku tiba-tiba terpotong.

"Jadi namanya Aldi? Semoga kalian bahagia." Rizal mengucapkannya datar, bahkan senyuman yang biasa menciptakan lesung pipitnya seakan lenyap.

"Walau bagaimanapun aku harus ngomong, aku nggak mau di cap pembohong. Jadi, sejak hari kemarin kami sepakat untuk melangkah ke jalan yang serius."

"Meski berat, kayaknya aku juga harus ngomong, jujur ya Dara, aku juga berniat serius sama kamu, sayangnya aku nggak tahu kamu juga deket sama laki-laki lain, aku pikir cuma aku aja yang deket sama kamu," jelas Rizal. Aku rasa pembicaraan kami jadi serius, kami bahkan mengabaikan suasana kantin yang bisa dibilang ramai. Kami tetap fokus pada pembicaraan kami.

"Aku pernah bilang, aku tertarik sama kamu dan ternyata ketertarikan itu sudah naik level. Aku terlalu percaya diri dengan mengira kamu hanya dekat denganku. Ini salahku, aku terlambat. Aku juga sengaja nggak terburu-buru bilang karena takut di anggap lelucon. Aku takut di anggap terlalu cepat, jadi aku nunggu waktu yang tepat buat ngungkapinnya dan ternyata sekarang emang bener-bener waktu yang tepat."

Ya Tuhan, ternyata Rizal juga berniat serius padaku. Tapi, ia tak pernah mengatakannya. Entah, ada perasaan tak enak menceritakan tentang hubunganku dengan Aldi. Aku rasa hatinya hancur, atau lebih dari hancur.

Maafkan aku, Bang Zali...

"Udah lah, jangan disesali, toh kamu sudah sepakat sama laki-laki itu, kan? Jadi jangan kecewakan dia, apalagi Elsa sepertinya lebih suka laki-laki itu dari pada aku. Terbukti dari sikap Elsa saat melihatku, tampak jelas ketidaksukaannya."

"Maaf, Zal, aku... aku..." ucapanku lagi-lagi terpotong.

"Nggak ada yang salah, Dara. Kita nggak bisa ngatur takdir. Dan buat yang kemarin, maaf aku emang buru-buru banget. Ditambah shock melihat bahkan mendengar pembicaraan kamu dengan laki-laki itu," ucap Rizal.

"Zal," panggilku, jujur aku sangat merasa bersalah.

"Apa aku boleh nanya sesuatu? Tapi aku harap kamu jawab sejujurnya," kata Rizal.

"Tanya apa?"

"Sebelumnya aku minta kamu jawab jujur, Dara."

"Iya, aku jawab jujur. Tanya apa?" Jantungku berdetak lebih cepat, rasa penasaran menyelimuti pikiranku.

"Selama ini, apa ada, setidaknya sedikit aja kamu ngerasa tertarik sama aku? Jawab jujur, ya?" tanya Rizal.

Ya ampun, kenapa Rizal harus bertanya tentang ini? Aku sendiri tak mengerti apa yang aku rasakan jadi jika ditanya seperti itu, apa yang harus aku jawab? Apa yang harus aku katakan?

***

B e r s a m b u n g . . .

Makasih yang setia ngasih vote + comment. Jujur, aku jadi tambah semangat buat lanjut. Hihihiii...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top