Part 7 - Dilan

Kemarin Nic kehilangan kesempatan untuk mengunjungi ruang musik karena ruangan itu terkunci. Pagi ini ia berhasil meminta Pak Warno untuk menukar jadwal dengan OB rekan Pak Warno sehingga ia bisa bekerja di lantai yang sama kembali. Entah apa kuasa Pak Warno sehingga tidak ada OB lain yang mempermasalahkan tukar menukar jadwal itu. Bahkan pagi ini Pak Warno membiarkannya membersihkan ruang musik.

Ruangan itu sepi dan Nic bersorak gembira dalam hati karenanya. Berbagai alat musik ada di sana dan di sebelah kiri ruangan terdapat studio berbatas kaca. Cepat-cepat Nic menyelesaikan pekerjaan bersih-bersihnya terlebih dulu dengan bersemangat kembali.

Sejak tadi ia sudah melirik sebuah grand piano yang ada sudut ruangan. Nic tidak menyangka akan ada grand piano di sana. Ia lebih suka memainkan itu dibanding keyboard atau digital piano.

Usai membersihkan lantai dan kaca, Nic mengelap piano itu berkali-kali agar tampak lebih bersih. Rasanya ia ingin menangis hanya karena dapat menyentuh benda itu kembali. Di rumahnya dulu juga ada grand piano. Dan Nic sering berduet memainkan piano bersama ibunya atau kadang Stevan. Betapa Nic merindukan mereka.

Seandainya ia dapat memainkan piano itu...

Nic berhenti mengelap dan melihat ke pintu keluar yang tertutup. Ruangan itu kedap suara. Dan Pak Warno mengatakan para penata musik lebih sering bekerja di studio lain yang terpisah dengan gedung tersebut. Berarti jarang ada yang ke sana bukan?

Jarinya menekan sebuah tuts sehingga piano itu berbunyi. Ia melirik ke pintu dan sekeliling ruangan kembali dengan gugup dan menunggu sejenak. Ternyata tidak ada satpam atau satpol PP yang datang menggerebeknya karena telah melanggar aturan.

Langsung saja Nic duduk di kursi kecil yang ada di depan piano tersebut dan jari-jarinya mulai bermain di atas tuts-tuts piano. Musik pun mengalun dan Nic mulai merasa hidup kembali. Ia merasa lega bahwa tangannya secara otomatis masih bisa memainkan nada-nada yang ia ingat dalam pikirannya meski sudah sangat lama ia tidak memainkan piano. Awalnya ia memainkan Air dari Johann Sebastian Bach tetapi musik mellow itu hanya membuat hatinya semakin melankolis sehingga Nic langsung menggantinya dengan Piano Sonata No. 16 in C mayor gubahan Mozart yang lebih ceria. Dan permainan terakhirnya tersebut cukup membuat hatinya lega kembali.

Plok plok plok!

Bunyi tepuk tangan yang berasal dari dekat pintu membuat Nic terlunjak kaget dan hampir jatuh dari tempat duduknya. Ia langsung menoleh dan melihat seorang pemuda sedang bersandar dekat rak yang ada di samping pintu. Pemuda itu berkulit gelap, dan bertato di sepanjang lengan kirinya. Ia mengenakan kaus oblong dan celana jeans santai serta sepatu kets. Penampilannya mirip kriminal.

"Bravo!! Hebat! Hebat!" ujarnya.

"Siapa kau?" tanya Nic panik.

Pria itu langsung menaikkan alis. "Harusnya aku yang bertanya. Pak manager menyuruhku mengambil sesuatu di sini dan aku menemukanmu bermain piano. Siapa kau?"

"Jadi kau salah satu tim penata musik?" Nic bertanya balik.

"Bisa dibilang seperti itu. Orang-orang di sini memanggilku Dilan."

"Aku hanya sedang membersihkan ruangan ini," Nic berdiri dari kursinya dan segera menuju kereta dorong berisi peralatan bersih-bersihnya. Ia merasa kecewa dengan interupsi pria itu. Seharusnya ia bisa bermain musik lebih lama. "Dan sekarang aku sudah selesai."

"Wow!" mata Dilan semakin melebar kala melihat Nic membereskan alat kebersihannya. "Kau ternyata tukang bersih-bersih di sini?"

Nic hanya mengangguk singkat dengan acuh tak acuh.

"Tapi kau bisa bermain piano tadi. Seharusnya kau bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dibanding semua ini."

"Pemilik perusahaan memberiku pekerjaan ini. Yang penting ia membayarku."

"Pemilik perusahaan?? Pak Daniel?" Dilan mengerutkan kening. Nic sudah menduga akan mendapat respon sejenis dengan Pak Warno kemarin. Mungkin seorang owner perusahaan menerima seorang tukang bersih-bersih terdengar bagaikan menemukan onta hidup di kutub utara.

"Yah, begitulah." Nic menghela napas.

"Apakah kau tidur dengannya?"

"Apa?!" Nic seketika melotot pada Dilan mendengar pertanyaan kurang ajar itu.

"Maafkan aku," Dilan terkikik sambil menaikkan kedua tangannya tanda menyerah. "Kau tidak tahu kalau semua wanita yang dikait-kaitkan dengannya biasanya seperti itu. Beberapa artis di tempat ini..."

"Apa aku terlihat seperti orang bodoh yang melakukan hal itu demi mendapatkan karir gemilang tukang sapu seperti ini?!" Nic melayangkan pertanyaan sindirannya.

"Oh iya, benar juga ya." Dilan tertawa.

"Kalau sudah mengerti, aku permisi dulu." Nic mendorong keretanya keluar ruangan.

"Mungkin kau hanya kurang berusaha...ng..siapa namamu?" ternyata Dilan terus mengikuti Nic di sepanjang lorong dan membuat Nic merasa dongkol.

"Namaku tidak penting."

"Lalu bagaimana aku memanggilmu?"

Nic hanya diam tak menyahut. Ia tidak ingin berakrab ria dengan orang asing bernama Dilan itu. Nic baru saja mengenalnya dan sejujurnya belum tahu apakah Dilan adalah orang baik atau tidak. Penampilannya saja sudah membuat Nic ngeri meski ibunya pernah berkata jangan menilai seseorang dari penampilan.

"Baiklah kalau memang kau begitu pelit menyebutkan nama. Aku hanya prihatin kau bekerja semacam ini. Setidaknya kau bisa melamar pekerjaan lain menjadi pemain musik di pernikahan atau guru les musik." Dilan berdecak.

"Secepatnya aku akan segera berhenti dari pekerjaan ini. Aku melakukannya karena terpaksa."

"Terpaksa? Bisa kauceritakan?"

"Tidak."

"Seandainya aku bisa membantumu."

"Itu tidak perlu."

"Jangan ketus begitu. Sifat itu tidak baik untukmu di masa depan nanti."

Nic tidak tahan lagi dan akhirnya berhenti melangkah. "Terimakasih atas nasihatmu," sahutnya. "Tapi kupikir kau terlalu ingin tahu. Sifat itu juga tidak baik untukmu di masa depan."

"Kalian sedang ngobrol apa? Kok bapak tidak diajak?" tiba-tiba saja Pak Warno muncul di depan mereka bagaikan setan. Entah sejak kapan Pak Warno mendekat, Nic tidak melihatnya. Yang jelas sekarang Nic harus menghadapi dua orang yang juga sama-sama memiliki sifat kepo.

"Ternyata anak ini teman Pak Warno juga?" tanya Dilan.

"Amel anak baru di sini."

"Namaku Evelyn, Pak War!" ralat Nic dengan kesal karena selama ini Pak Warno selalu salah menyebut namanya.

"Yah, itu." gumam Pak Warno.

"Salam kenal, Evelyn." Dilan menyahuti sambil tertawa. "Berarti kita ditakdirkan jadi teman."

Sial...Nic baru sadar secara tidak langsung ia menyebut namanya meski itu bukan nama asli Nic. Alangkah bodoh dirinya. Semua itu gara-gara Pak Warno.

***

"Makasi traktirannya, Dik Dilan. Sudah lama bapak tidak makan enak seperti ini." Pak Warno berterimakasih pada Dilan dengan mulut berjejalan nasi.

"Kebetulan sedang dapat rejeki lebih, Pak." sahut Dilan lalu menoleh pada Nic yang memilih duduk di meja lain di samping mereka. "Evelyn, kenapa kau tidak duduk di sini juga?"

"Aku lebih suka di sini." sahut Nic sambil menyantap makanannya. Mereka bertiga akhirnya makan siang di pujasera yang dekat dengan kantor karena ajakan Dilan. Tadinya Nic tidak berniat ikut tapi Pak Warno memaksanya.

"Tidak usah curiga begitu, Dik Evelyn. Bapak sudah kenal Dilan lama di sini. Sebenarnya dulu Dilan sering mengajak Erdina. Tapi sekarang Non Erdina sudah sibuk jadi artis. Jadi Dik Evelyn tidak perlu khawatir Dilan punya maksud apa-apa. Dia sudah punya pacar yang lebih cantik."

Nic hampir saja menyemburkan makanannya karena tersedak. "Aku tidak memikirkan sampai sejauh itu, Pak!" protesnya.

"Takutnya begitu. Biasanya anak gadis mikirnya yang tidak-tidak." sahut Pak Warno polos.

"Jangan gosip begitu, Pak. Erdina bukan pacar...setidaknya belum , sih." Dilan tertawa kecil lalu menoleh pada Nic. "Tapi Pak Warno benar, Evelyn. Kalau Erdina tidak sibuk, aku pasti akan mengenalkannya padamu. Kami berasal dari daerah yang sama. Sewaktu merantau ke sini kebetulan dapat pekerjaan di tempat yang sama jadi aku dan Erdina sangat akrab. Dia wanita paling baik dan manis yang pernah kukenal sejak dulu..."

Dilan mulai menyulut sebatang rokok dan tanpa diminta, ia menceritakan panjang lebar tentang gadis yang bernama Erdina. Sepertinya Dilan sangat mengaguminya hingga terlalu berapi-api menceritakan Erdina. Nic pura-pura tidak memperhatikan tapi mau tak mau ia terpaksa mendengarkannya. Kisah yang diceritakan Dilan hampir mirip dengan apa yang dialaminya bersama Stevan. Dilan juga akrab sejak kecil dengan wanita yang bernama Erdina itu, sama seperti Nic dan Stevan. Dilan juga tidak terlalu tampan dan ia menyukai Erdina yang dikatakannya sangat cantik. Sama seperti Nic yang juga tidak terlalu cantik.

Hanya Stevan yang masih tersisa dari masa lalunya dan kini menjadi harapannya di masa mendatang. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Sudah dua tahun lebih Nic tidak bertukar kabar dengannya. Apakah ia masih mengingat Nic?

Nic kembali merasa ingin cepat-cepat membeli ponsel. Ia tidak ingat kontak medsos Stevan tapi untungnya Nic masih ingat dengan jelas alamat email pria itu hingga kini. Mungkin kotak masuk email Nic sekarang sudah penuh dengan pesan-pesan dari Stevan.

"Dan sementara ia sudah menjadi seseorang, aku masih hanya seperti ini."

Kata-kata Dilan menyadarkan Nic kembali dari lamunannya.

"Jangan berkecil hati begitu. Dik Dilan kan juga seorang DJ. Sekarang sedang zamannya DJ jadi terkenal." hibur Pak Warno. Nic akhirnya jadi tahu tentang pekerjaan Dilan.

"Makanya, Pak. Setelah melihat Evelyn tadi bermain piano , aku jadi memiliki inspirasi. Kalau benar-benar sudah rampung nanti mungkin aku bisa mengajak Evelyn untuk berkolaborasi." jelasnya.

"Kolaborasi?"

"Wah! Dik Evelyn bisa bermain piano? Bapak baru tahu." potong Pak Warno.

"Aku sudah pernah mengatakan sebelumnya pada Bapak kalau aku melamar di sini sebagai tim penata musik!" tegas Nic kesal pada kebolotan Pak Warno. "Hanya saja Pak Fernandez brengsek itu memberiku pekerjaan ini."

"Jadi seperti itu?!" Dilan kembali memandang Nic dengan heran bercampur geli. "Kupikir awalnya kau karyawan spesial karena diterima langsung oleh pemilik perusahaan."

Dilan mulai tertawa. Nic hanya menatapnya dengan cemberut dan menunggu Dilan hingga puas dan berhenti.

"Tapi aku merasa lega dengan semua itu, Evelyn. Berarti pikiran negatifku bahwa kau memiliki hubungan tidak senonoh dengan Pak Daniel jelas tidak benar."

"Itu juga sudah kukatakan." Nic memutar bola mata.

"Hati-hati dengannya, Evelyn. Jangan sampai kau tertarik padanya, apalagi memberikan hatimu," Dilan terdengar serius. "Karena ia tidak akan pernah berlaku sebaliknya."

"Jangan khawatir. Aku tidak tertarik sedikit pun padanya dan aku bisa menjaga diriku."

"Benar, Dik Dilan jangan khawatir. Pak Daniel jarang ngantor. Dia lebih suka bersenang-senang daripada bekerja. Meskipun misalnya sering di sini sepertinya Pak Daniel juga belum tentu berminat dengan Evelyn, sih." Pak Warno ikut meyakinkan.

"Terimakasih atas kejujuranmu, Pak War." Nic menggertakkan gigi. Ia tidak perlu diingatkan kembali kalau dirinya tidak menarik. Siapa yang bakal tertarik dengan penampilannya sekarang? Ia begitu kurus, rambutnya pendek tak beraturan karena Livia memotongnya asal-asalan dan yang paling parah ia memiliki bintik-bintik aneh di hidungnya yang sudah ada sejak lahir.

Tapi ia juga tidak berminat menarik perhatian pria manapun apalagi Daniel Fernandez. Mengingat nama itu saja membuat Nic ingin memuntahkan makan siangnya.

"Omong-omong Dik Dilan bisa bantu Evelyn masuk ke tim penata musik kalau sudah tahu kemampuan Evelyn sekarang?" lanjut Pak Warno.

"Sejujurnya kalau memasukkan Evelyn menjadi tim penata musik bukan wewenangku, Pak. Tapi nanti aku akan mengusahakan sesuatu." alis Dilan terlihat mengerut. "Untuk saat ini aku tidak berani menjanjikan apapun."

"Hal itu tidak perlu terlalu kaupikirkan." jawab Nic.

"Oiya, kebetulan juga Dik Evelyn sedang mencari pekerjaan tambahan. Kalau-kalau Non Erdina sedang perlu asisten bisa Dik Dilan usulkan."

Nic agak heran karena sejak tadi Pak Warno mempromosikannya agak menggebu-gebu. Ternyata pria tua itu peduli padanya dan cukup berguna karena Nic agak sulit untuk menceritakan masalah dan meminta bantuan pada orang lain.

"Nah! Kalau yang itu kebetulan juga klub tempatku bekerja malam sedang memerlukan waitress. Klub itu cukup ramai kalau Evelyn mau dan kadang bisa mendapat tips dari para tamu."

"Klub?! Diskotik?!" Nic hampir menjerit mengucapkannya. Ia tidak percaya Dilan akan menawarkannya bekerja di tempat yang mengerikan semacam itu.

"Well, aku tidak memiliki tempat rekomendasi lain. Kau tahu sendiri pekerjaanku." Dilan tertawa.

"Lupakan saja kalau begitu."

"Terima saja dulu, Dik Evelyn. Katanya lagi perlu uang."

"Tidak mau! Nanti aku cari kerja sendiri saja, Pak. Lagipula bisa saja kalian berdua ternyata germo yang bersekongkol dan berusaha menjebak anak-anak polos sepertiku untuk dieksploitasi." ujar Nic sambil memicingkan mata.

"Astaghfirullah," Pak Warno mengelus dadanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Anak tidak tahu diuntung! Sudah dibantu malah dicurigai."

Nic tidak peduli dan melanjutkan makannya kembali.

Dilan hanya semakin keras tertawa.

🌸🌸🌸

Terimakasih sudah memberi bintang! 😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top