Part 6 - Throw Money to Your Face
Hujan turun agak deras sejak semalam hingga pagi tadi sehingga jalanan lumayan becek dan tergenang air. Pagi ini hujan masih turun rintik-rintik.
Nic turun dari angkutan umum dengan disertai perasaan risih setelah berdesak-desakan dengan penumpang lain. Bukannya ia sombong atau sok bersih, tapi saat masih kecil Nic pernah menderita...entah apa istilah kedokterannya, Nic hanya ingat bahwa itu misophobia meski kini telah berhasil mengatasi ketakutannya setelah mengalami bertahun-tahun terapi. Dulu ia terobsesi dengan kebersihan dan begitu takut pada kuman. Sekarang Nic masih takut, namun tidak separah dulu. Makanya segala perlengkapan mandi serta kebersihan Nic selalu mengandung antiseptik.
Ia melangkah di trotoar dekat jalanan menuju kantor dengan hati-hati agar sepatu ketsnya tidak terciprat genangan air. Sepatunya baru...dan jangan tanya uang apa yang Nic pakai untuk membelinya. Lagipula cepat atau lambat ia juga akan mengganti uang itu.
Saat ia baru saja akan berbelok menuju gerbang kantor tempatnya bekerja, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi di sampingnya dan...
PYASSSHHH!!!
Mobil itu melewati genangan lumpur dan menciprati Nic hingga ke pinggang.
Nic terpaku di tempat.
Ia bisa merasakan dinginnya air kotor yang perlahan-lahan merembes hingga ke kulitnya. Di dalam pikirannya mulai terngiang-ngiang apa saja yang terkandung di dalam air tersebut hingga Nic gemetaran. Air itu bisa saja dipenuhi larva cacing, kuman, bakteri, amuba, protozoa dan segala makhluk bersel satu lainnya. Oh Tuhan!! Ia pasti mati sekarang!!
Hentikan, Nic!
Ia mencoba memikirkan hal lain agar tidak terfokus pada air comberan itu.
Samar-samar Nic melihat mobil yang mencipratinya lumpur tadi berhenti di depan kantor dan seseorang keluar dari sana.
DANIEL FERNANDEZ WIRAATMAJA!
Hampir saja gagang payungnya patah karena Nic menggenggamnya begitu erat.
Suatu saat ia akan membalas dendam.
Pasti...
***
"Pekerjaan hari ini jadi cepat selesai karena bertiga," ujar salah seorang OB yang juga bekerja di sana.
Hari ini genap dua minggu Nic bekerja. Di setiap lantai kantor sebenarnya sudah ada dua orang OB atau OG yang bertugas. Dan Nic yang hanya OG tambahan bekerja di lantai yang berbeda-beda setiap hari. Kadang ia juga mendapat tugas membersihkan tangga dan lift.
Dulu di rumah bordil ia menjadi tukang bersih-bersih. Sekarang, berkat Daniel ia berakhir menjadi tukang bersih-bersih kembali. Sepertinya hidup Nic ditakdirkan tidak jauh-jauh dari membabu.
"Terimakasih bantuannya, dik."
Nic hanya mengangguk pelan sambil mengepel lantai. Hari ini ia agak bekerja dengan OB yang sangat ramah bernama Pak Warno. Saking ramahnya, Pak Warno sejak tadi selalu berceloteh tanpa henti bagaikan burung perkutut dan Nic merasa pening mendengarnya. Tapi lebih baik dibandingkan kemarin-kemarin. Kadang di beberapa lantai, teman sekerjanya tidak terlalu ramah dan cenderung kasar.
"Omong-omong, Dik. Bukannya kamu bisa melamar jadi artis biarpun adik nggak cantik-cantik amat? Kenapa malah memilih jadi tukang bersih-bersih?" tanya Pak Warno lagi.
Karena aku mencopet pemilik perusahaan ini dan kebetulan ia berbaik hati mengijinkanku menjadi OB untuk membayar hutang.
Nic menjawabnya dalam hati. Berbaik hati, heh?
"Awalnya aku melamar menjadi tim penata musik, tapi apa boleh buat tidak ada yang lowong dan hanya pekerjaan ini yang diberikan oleh Bapak Fernandez. Hidup terus berlanjut dan memerlukan uang jadi aku bersedia." sahut Nic.
"Pak Daniel yang mengurus langsung penerimaanmu?" Pak Warno bertanya hal itu seakan-akan itu hal yang luar biasa tapi ia mengangguk-angguk setelahnya. "Yang sabar ya, dik. Kalau jadi OB gajinya tidak seberapa, tapi kadang-kadang kalau ada job kita bisa dipanggil menjadi pembantu umum pas ada syuting. Bisa dapat tambahan dua ratus sampai tiga ratus sehari. Lumayanlah."
Dua ratus hingga tiga ratus ribu sehari? Nic bisa cepat-cepat melunasi hutangnya dan angkat kaki jika ia bisa mendapatkan kesempatan itu. "Benarkah, Pak?" Nic seketika menoleh dengan antusias setelah berpikir.
"Ya, tapi kadang-kadang saja, Dik. Bisa juga kalau dipanggil jadi asisten artis untuk sementara. Meski payah, dapatnya ya lumayan lebih besar daripada pembantu umum. Cuma kadang apes kalau dapat artis yang cerewet terus banyak maunya."
"Kalau ada info tolong beritahu saya, Pak. Saya bersedia bagaimanapun artisnya." Pekerjaan berat apapun akan Nic lakukan. Saat ini fokus hidupnya adalah mendapatkan uang.
"Tapi kalau ada ya, Dik. Terus saya hubungi di mana kalau ada info?" Pak Warno mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
Nic merasa lemas. Ia tidak memiliki ponsel. Ia bahkan heran bahwa dirinya sanggup bertahan hidup selama ini tanpa benda itu.
Satu jam kemudian ia menyuapkan makanan ke mulutnya dengan lesu sambil berpikir kembali tentang ponsel. Masa ia harus membeli ponsel? Yang jelas Nic tidak sanggup membelinya sekarang meski banyak tersedia ponsel murah. Dan saat gajian nanti ia tidak tahu berapa yang akan tersisa setelah Daniel memotong utangnya. Uang hasil copetannya masih tersisa sedikit dan hanya bertahan untuk makan. Apa memang kebutuhan hidup begitu besar atau ia yang begitu boros? Alis Nic hampir keriting karena berpikir semakin dalam. Mungkin ia perlu bekerja part time dan baru tebersit ide untuk itu.
Untung saja ia tidak perlu membeli makan siang karena di kantor ini disediakan katering. Hanya saja untuk office girl seperti Nic harus menunggu giliran hingga semua karyawan dan kru televisi selesai mengambil makanan terlebih dulu. Kadang ia hanya mendapat sedikit porsi lauk, tapi Nic tetap bersyukur karena makanan itu lumayan enak.
Setelah selesai makan siang ini, Nic akan membersihkan lift lalu mengunjungi ruang musik yang ternyata satu lantai dengannya saat ini. Ia mendapatkan informasi itu dari Pak Warno. Hampir saja Nic tidak tahu karena yang membersihkannya adalah OB yang satu lagi bertugas.
Mengetahui hal itu cukup membuat hati Nic sedikit terhibur dan berbunga-bunga. Nic merindukan piano setelah beberapa lama tidak melihatnya. Terakhir pada saat casting dan hanya sekejap. Meski ia mungkin tidak akan diijinkan untuk menyentuh apalagi memainkan alat musik itu, tapi Nic sudah cukup bahagia jika dapat melihatnya. Ia bahkan bernyanyi kecil saat mengelap dinding lift. Sejenak ia mengerutkan kening karena lift itu sudah terlalu bersih dan sesungguhnya tidak perlu dibersihkan lagi. Tapi ia melanjutkannya saja dengan masa bodoh. Itu sudah tugasnya.
Tiba-tiba pintu lift terbuka tepat saat Nic sedang kembali merasa senang dan masuklah Daniel beserta seorang wanita sambil tertawa-tawa. Nic terkejut sejenak tapi ia membuang muka dan melanjutkan pekerjaan.
"Kelihatannya kau kerasan dengan pekerjaan barumu, Evelyn."
Nic tidak menyangka Daniel akan berkomentar. Bahkan ia tidak menyebut namanya dengan embel-embel Miss lagi. Mungkin karena Nic sekarang sudah menjadi bawahannya. Sudah dua minggu Nic tidak melihatnya dan merasa nyaman bekerja, tapi hari ini sungguh sial.
"Aku hanya senang karena akan secepatnya pergi setelah melunasi utang." jawab Nic singkat tanpa menoleh.
"Wow, benarkah? Aku turut gembira mendengarnya."
"Utang?"
Nic mendengar wanita yang bersama mereka bertanya dengan heran meski pelan.
"Who is she?" tanyanya lagi.
Daniel hanya tertawa dan tidak menjawabnya.
"Kudengar pagi ini kau terlambat, Evelyn. Itu performa yang buruk untuk karyawan baru sepertimu."
Nic menggertakkan gigi. Memangnya Daniel pikir gara-gara siapa ia terlambat?!
"Maaf, Pak Fernandez. Ada orang bodoh yang mengemudikan mobil dengan ugal-ugalan di depan kantor tadi pagi dan membuatku harus pulang untuk berganti pakaian," sahut Nic dengan ketus pada dinding lift sambil menggosoknya keras-keras. "Lagipula seharusnya anda tidak perlu repot mengurusi performa seorang tukang bersih-bersih sepertiku. Uruslah rating televisi, saham, nuklir atau hal besar lainnya."
"Lidahmu sangat tajam, Evelyn. Apa kau lupa sedang berbicara dengan siapa?" suara Daniel berubah dingin dan tidak bersahabat.
"Tentu saja ingat."
"Kalau begitu berbaliklah."
Nic menghentikan acara menggosoknya lalu menghela napas dan berbalik dengan kesal menghadap Daniel.
"Begitu lebih baik. Kau perlu belajar sopan santun." Daniel tersenyum kembali sedangkan wanita yang ada di sampingnya terlihat kebingungan.
Ting.
"Pintu lift sudah terbuka, Pak. Silahkan keluar." sahut Nic dengan setengah malas meski dalam hati ia merasa lega. Untung saja mereka sudah sampai pada lantai tujuan yakni basement. Sejenak suasana hening saat Nic menunggu Daniel melangkah keluar yang tidak kunjung juga dilakukan pria itu.
"A..ah." Daniel menekan sebuah tombol di lift dan kini yang ditekannya adalah lantai teratas. Nic terbelalak melihatnya. "Aku belum selesai berbicara denganmu."
"Anda sungguh konyol, Pak Fernandez!" hampir saja Nic berteriak. Ia tidak percaya Daniel melakukan hal itu.
"Kalau kau terlambat lagi setidaknya kau mengabarkan pada kantor, Evelyn." Ternyata Daniel hanya melanjutkan perihal keterlambatan tadi.
"Mungkin anda tidak percaya ini tapi aku tidak memiliki ponsel!" jawab Nic dengan putus asa. Ia juga tidak tahu untuk apa ia mengatakan itu.
Daniel menaikkan sebelah alisnya. "Tidak memiliki ponsel?"
"Aku akan membelinya bulan depan."
"Bukankah kau bisa membelinya dengan uang hasil pencurianmu kemarin? Seharusnya itu lebih dari cukup."
"Uang itu sudah hampir habis." Nic merasa pembicaraan mereka semakin aneh.
"Luar biasa." Daniel tertawa.
"Jangan tertawa, Pak Fernandez! Aku sudah mengatakan akan mengembalikan uang itu. Malah aku berencana untuk melemparkannya ke wajahmu!"
"Hei! Kau sangat kasar!" wanita tadi tiba-tiba maju di sisi Daniel. "Apa kau tidak sadar siapa dirimu dan siapa yang kau bentak itu?"
"Tidak apa-apa." Daniel menarik pelan wanita itu kembali sehingga kembali ke tempatnya semula. Ia berbalik kembali dan tersenyum pada Nic. "Kau akan melemparkan uang itu ke wajahku? Baiklah, aku tunggu hal itu terjadi meski aku tidak tahu bagaimana caramu melakukannya kalau kau membayar utang tersebut melalui pemotongan gaji."
Skak mat...
Iya ya...bagaimana caranya?
Nic juga baru sadar. Ia hanya merasa bertambah kesal...sekaligus lemas mengetahui kenyataan itu. Pikirannya terlalu muluk-muluk untuk membalas dendam pada seseorang seperti Daniel Fernandez.
Pintu lift terbuka kembali dan Nic langsung bergegas mengangkat peralatan bersih-bersihnya keluar.
"Hei, mau kemana? Bukannya kau sedang membersihkan lift ini?" tanya Daniel.
"Sudah selesai. Aku akan membersihkan lift satunya." sahut Nic singkat. Ia tidak bisa berlama-lama lagi di sana dan berisiko terkena penyakit tekanan darah tinggi.
Baiklah...ia memang gadis yang kasar.
Nic mengakui hal itu tapi mau bagaimana lagi. Ia bukan seseorang yang terpelajar dan pergaulannya tidak terlalu baik selama beberapa tahun ini. Betapa ia menginginkan kembali ke masa lalu di mana ia masih menjadi seorang pelajar sebuah sekolah elit kenamaan. Karakternya yang pendiam membuat orang-orang menyebutnya elegan, bagai seorang putri.
Pertama kali menjalani pekerjaan kasar pun Nic tidak tahan dan menangis setiap hari sehingga membuat Livia kesal. Nic merasa tersiksa dengan perubahan gaya hidupnya yang drastis. Ia adalah gadis yang mudah menangis meskipun ia berusaha setengah mati menjadi dewasa seperti Livia.
Sudahlah...
Tidak ada gunanya mengingat masa lalu lagi. Yang jelas sekarang ia memang harus berusaha mencari pekerjaan part time dan membalaskan dendamnya dengan melemparkan uang ke wajah Daniel Fernandez seperti yang ia katakan tadi.
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top