Part 3 - Evelyn Diandra
Tidak seberapa?
Nicole masih ternganga tak percaya pada apa yang ia lihat.
Lelaki yang ia copet tadi mengatakan bahwa uang yang ada di dompetnya tidak seberapa. Apa pria itu tidak bisa berhitung? Jumlahnya mencapai tiga juta rupiah! Bagi Nicole jumlah itu melebihi ekspektasi yang ia bayangkan sebelumnya. Seumur hidup ia bahkan belum pernah memiliki uang sebanyak itu untuk diri sendiri.
Cepat-cepat Nicole memasukkan semua uang itu ke dalam tasnya. Ia masih berada di ruang ganti salah satu toko pakaian dan berniat membeli pakaian di sana agar anak buah Raina tidak bisa mengenalinya. Awalnya ia ingin langsung membeli makanan, tapi berganti pakaian lebih dulu mengurangi ketakutannya.
Nic mengecek kembali isi dompet itu dengan tangan yang masih bergetar karena gugup. Sekarang ia sukses menjadi kriminal yang dikejar oleh orang-orang di dunia kriminal juga. Sepertinya tidak akan ada tempat yang aman bagi Nicole di dunia ini. Surat tanda pengenal, SIM, sejumlah kartu kredit dan debit serta kartu-kartu entahlah. Pria itu mengatakan benda-benda itu yang terpenting baginya. Ia akan mengeceknya kembali setelah mendapatkan tempat untuk bermalam.
Keluar dari ruang ganti, Nic langsung membayar pakaian baru tersebut di kasir tanpa melepasnya. Baru berbelanja, ia sudah menghabiskan hampir tiga ratus ribu hanya untuk celana jeans dan sweater baru. Itu pun barang sale. Tapi semua itu sepadan karena ia terlihat berbeda sekarang. Livia yang akrab dengannya saja mungkin tidak akan mengenalinya jika melihat Nicole saat ini apalagi anak buah Raina yang jarang melihat Nic.
Nicole sudah berusaha mengajak Livia, tapi Livia bersikeras untuk tetap tinggal. Akhirnya karena kesal mendengar rengekan Nic yang keras kepala, Livia hanya berjanji untuk membantunya pergi. Nic langsung mengemasi beberapa pakaian ke dalam tas ransel miliknya. Hanya tiga potong agar tidak berat. Tak lupa ia membawa kertas-kertas skrip partitur yang berisi catatan musik karangan Nic sendiri, hartanya yang paling berharga. Dan terakhir jam tangan pemberian Stevan. Nic selalu menyimpannya meski kini jam itu sudah rusak. Sebenarnya Nic tidak memiliki uang, tapi hal itu tidak menyurutkan keinginannya untuk pergi. Ia juga nekat hanya berbekal air mineral dan sekantung permen sebagai ransum.
Livia bertanya lagi akan keputusan Nic dan mengatakan bahwa ia tidak bisa membantu materi karena sedang tidak memiliki banyak uang. Nic mengerti. Ia juga tidak ingin menyusahkan Livia.
Tanpa diduga, Livia membuka kopernya yang berdebu di atas lemari dan memberikan sesuatu pada Nic. Sebuah ijazah sarjana lengkap dengan kartu identitas.
"Evelyn Diandra," Nic membaca nama yang tertera di kartu pengenal serta ijazah tersebut.
"Ia kakakku," sahut Livia dengan mata berkaca-kaca. Nic tahu bahwa kakak Livia sudah meninggal tiga tahun lalu saat ia pertama kali bertemu Livia. "Kau pernah mengatakan ingin bekerja bukan? Kurasa kakakku tidak akan keberatan kau memakai identitasnya untuk sementara waktu.
Di kartu pengenal, Evelyn saat ini berusia dua puluh lima tahun jika masih hidup. Perawakannya memang mirip Nicole meski tidak terlalu mirip. Sepertinya orang yang baru pertama kali melihat Nicole tidak akan memperhatikan perbedaan yang ada dengan terlalu spesifik. Dengan catatan Nic harus mengubah warna serta model rambutnya.
Nic tidak memiliki kartu pengenal karena ia belum cukup umur saat diusir dari rumah. Dokumen berharganya hanya paspor dan ijazah SMP. Saat SMU ia putus sekolah. Livia sudah sangat membantunya dengan semua identitas palsu tersebut.
"Terima kasih, Livia." Nic memeluknya erat. Ia berjanji akan menebus Livia nanti jika ia berhasil. Livia juga berhak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
"Jangan berterima kasih dulu, Nic. Bisa saja rencana ini gagal," Livia melepaskan pelukannya lalu mencengkeram bahu Nic erat. "Dengar! Begitu melihat semua panik akibat kebakaran kecil yang kubuat di dapur, Raina akan memanggil para laki-laki yang berjaga di depan. Saat itulah kau harus pergi, Nic! Larilah secepat kilat dan jangan menengok ke belakang apalagi berhenti. Dan sebaiknya kau jangan terlena meminta bantuan polisi jika menemukannya di jalanan dekat sini. Kita tidak tahu siapa kawan dan lawan kita. Kau mengerti?" ucap Livia tegas.
Nic hanya mengangguk-angguk saat itu. Livia memang lebih tahu kerasnya kehidupan dibanding dirinya. Dan sekarang di sinilah ia, sendirian di jalanan tanpa tujuan yang pasti.
Tapi itu semua lebih baik dibanding harus menjadi seorang pelacur. Nic bukan orang yang kuat seperti Livia yang masih bisa menerima kenyataan atas hidupnya. Membayangkan akan ada orang asing yang akan menyentuh tubuh Nic membuatnya nekat melakukan hal ini. Kematian serasa lebih baik.
Nic merasa bersalah saat menyantap makanan yang ia makan malam itu di sebuah rumah makan sederhana. Bukan pada pria yang ia copet tapi pada Livia. Sepertinya pria yang ia copet tidak kekurangan apa pun dilihat dari kendaraan yang dipakai pria itu serta penampilannya. Pria itu memang pantas dicopet.
Meskipun pria itu memiliki wajah seperti... seperti...
Nic kebingungan mendeskripsikannya. Yang jelas pria itu sangat menarik. Pria paling tampan yang pernah Nic lihat seumur hidup. Ya, ampun! Kenapa ia bisa sungguh beruntung mencopet pria setampan itu? Dan saat pria itu tersenyum meminta kembali dompetnya, jantung Nic hampir berhenti berdetak karena terpana sekaligus ketakutan.
Sial! Nic tidak boleh terlalu memikirkannya. Nic sudah berjanji untuk menikah dengan Stevan jadi ia tidak boleh sampai tertarik dengan pria lain. Itu sama saja dengan pengkhianatan. Ia langsung menggeleng-gelengkan kepala untuk menepis bayangan pria itu.
Tapi Nic penasaran. Ia membuka kembali dompet hasil copetannya dan mengambil kartu tanda pengenal pria itu. Daniel Fernandez Wiraatmaja, WNI kelahiran Singapura. Namanya berbau campuran. Pantas saja ia memiliki mata biru. Pria itu sepertinya juga berdarah campuran seperti Nic, hanya berbeda nasib mungkin.
Nic tidak berlanjut mengamati hal lainnya dan memasukkan kembali KTP tersebut ke dalam dompet. Omong-omong buat apa ia harus mengenali korbannya? Hal itu hanya membuat acara makan Nic tertunda padahal sejak tadi ia sudah lapar sehingga memutuskan untuk mencopet. Nic sudah berlari selama lima belas menit tanpa berhenti, lalu menggunakan sedikit uangnya untuk menaiki bus. Setelah itu ia masih harus berlari lagi karena masih ketakutan ada yang mengikutinya. Terakhir kali ia makan adalah sekitar pukul enam pagi karena saat itu orang-orang masih tertidur. Sepanjang hari Nic bertahan hanya dengan mengkonsumsi permen serta air mineral.
Perutnya terasa perih saat petang berlalu dan akhirnya ia tidak tahan lagi. Tepat saat ia memutuskan akan melakukan apa pun demi makanan—kecuali menjual diri tentunya—Nic melihat pria itu. Pria yang membawa buket bunga di tangan kirinya dan tangan kanan pria itu baru saja memasukkan dompet ke saku celana. Apakah ini sebuah petunjuk? Oh Tuhan, maafkanlah dirinya karena melakukan hal nista ini untuk bertahan hidup. Nic hanya pernah mencopet sekali sebelumnya, dan berakhir dengan mengerikan di rumah bordil. Semoga kali ini ia tidak senaas itu.
Doanya terkabul.
Meski tahu Nic mencopet dompetnya, pria itu membiarkannya kabur.
Hanya saja Nic masih merasa kesal karena pria itu sempat meraba dadanya. Memang tidak sengaja, tapi entah kenapa Nic tetap merasa kesal. Disentuh oleh seorang pria tak dikenal membuat tubuh Nic gatal-gatal bagaikan terkontaminasi kuman dan limbah kimia beracun! Ia harus mandi dengan antiseptik sesegera mungkin.
"Tiga ratus lima puluh ribu rupiah, Miss Evelyn," kata resepsionis hotel setelah Nic mendaftarkan diri.
"Tiga ratus lima puluh ribu?" tanya Nic kembali seakan-akan salah mendengar. Itu tarif ia tidur untuk satu malam? Yang benar saja?
"Benar, Miss," jawab resepsionis itu sambil tersenyum seakan bisa membaca pikiran Nic.
"Dan tambahan lima puluh ribu sebagai jaminan kunci."
Nic ternganga sejenak tapi akhirnya ia menyerahkan empat lembar uang seratus ribu dengan pasrah. Hari sudah sangat malam dan tidak aman bagi Nic berkeliaran di jalanan. Satu-satunya tempat menginap yang Nic temukan di dekatnya hanyalah city hotel ini.
Selesai meniru tanda tangan Evelyn Diandra di bukti sewa hotelnya, Nic mengikuti seorang petugas hotel yang kata resepsionis akan mengantarkannya ke kamar. Nic merasa takjub saat petugas itu membuka pintu kamar hotel dengan kartu, bukan kunci. Dan lebih takjub lagi saat mengetahui kamarnya bernuansa putih bersih. Nic yang menyukai kebersihan merasa tenang melihatnya dan meski bukan hotel mewah, tapi kamar itu serasa surga dibandingkan kamar Nic di rumah bordil. Ia langsung melompat-lompat di atas tempat tidur yang empuk setelah petugas hotel yang mengantarnya tersebut keluar ruangan. Rasanya menyenangkan sekali. Kamarnya dilengkapi oleh televisi, AC dan kamar mandi.
Oh, iya. Kamar mandi!
Nic langsung menuju ke tempat yang sudah diidam-idamkannya sejak siang tadi. Kamar mandi itu memakai shower. Untunglah di rumahnya dulu kamar mandinya persis seperti ini sehingga Nic tidak kebingungan. Langsung saja Nic melepas pakaiannya dan mandi dengan air hangat. Sejenak ia menatap pantulan dirinya di wastafel. Rambutnya kini berwarna hitam karena Livia mengecatnya. Kata Livia, rambut Nic yang berwarna cokelat kemerahan terlalu mencolok sehingga harus diganti. Dan yang paling menyedihkan, Nic harus rela rambut panjangnya itu dipotong pendek kembali seperti dulu.
Itu hanya rambut, Nic, gumamnya berkali-kali di depan cermin. Semua itu sepadan dengan kebebasannya.
Selesai mandi, kamarnya sudah terasa sejuk dan Nic kembali berguling-guling di tempat tidur dengan hanya mengenakan handuk. Rasanya sangat nyaman. Dan ini semua berkat uang pria itu. Peduli amat! Nic masa bodoh dengannya.
Tapi sedetik kemudian ia teringat Livia dan merasa bersalah kembali karena merasakan kemewahan seorang diri. Ia duduk bersila di tempat tidur dan memikirkannya.
Nic hanya akan menyewa hotel ini sehari dan ia akan mencari pekerjaan. Tapi sebelumnya ia harus mempergunakan waktunya besok seharian untuk mencari kos murah. Tunggu dulu! Seharian? Tadi resepsionis mengatakan waktu check out-nya adalah jam dua belas siang dan rasanya tidak mungkin mendapatkan kos dalam waktu setengah hari. Itu berarti Nic harus bersiap mengeluarkan uang haramnya sebesar tiga ratus lima puluh ribu lagi. Kehidupan ini sungguh mahal. Belum sehari kabur dari rumah bordil, Nic sudah menghabiskan uang satu juta rupiah!
Sial!! Ia begitu boros!
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top