Part 20 - My Name is Nicole
Nic merasakan cahaya matahari yang bersinar dari balik kelopak matanya yang tertutup. Ia tahu karena ia bisa merasakannya meski belum membuka mata seperti pagi-pagi sebelumnya yang biasa ia jalani. Perlahan-lahan ia membuka mata dan tercengang.
Ia berada di dalam kamarnya.
Maksudnya ini benar-benar kamarnya. Kamarnya di rumah. Nic menatap sekeliling dan semua tidak berubah. Dinding kamarnya masih bercat putih dan ia sedang tidur di tempat tidur bergambar kartun Rapunzel. Ia tidak suka Rapunzel, tapi ibunya yang mengidolakan Rapunzel. Dan ia juga berharap rambut Nic bisa sepanjang Rapunzel, makanya ia tidak pernah memotong rambut merah putrinya hingga tumbuh sepanjang punggung seperti sekarang.
"Nicole sayang. Sarapan sudah siap di bawah. Sana cepat mandi dan bersiap-siaplah." ibunya memasuki kamar Nic tanpa mengetuk pintu seperti biasa.
Seperti biasa pula, ibunya yang sudah tua tapi tetap kuat itu menjalankan pekerjaan rumah tangga membereskan kamar Nic mulai dari meja dan nanti setelah Nic selesai mandi, ia akan mendapati kamarnya sudah rapi dan bersih. Nic jarang melakukan pekerjaan rumah tangga karena ia terlalu dimanjakan.
Kaki Nic turun dari tempat tidur menapaki lantai perlahan-lahan berjalan dan langsung memeluk punggung ibunya dengan perasaan bahagia.
"Nicole..." ibunya setengah menoleh ke belakang karena Nic tidak melepaskan pelukannya.
"Mama...Mama..." Nic menangis lega sambil terus menyebut ibunya. Ternyata semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk. Tidak ada Raina, Livia, Pak Warno, Dilan...dan juga Daniel Fernandez Wiraatmaja.
Mereka semua hanyalah tokoh fiktif yang menghiasi mimpinya itu. Ia mengeratkan lagi pelukannya karena terlalu bahagia sampai ia mendengar suara kesakitan Daniel.
Daniel?
Nic refleks membuka mata. Ternyata ia tadi bermimpi. Mimpi di dalam mimpi? Bukan, bukan...tadi ia bermimpi. Oh, sial!! Mimpi buruknya itu adalah kenyataan dan kamar beserta ibunya tadi adalah mimpi. Dan ia sekarang sedang tidur sambil memeluk Daniel.
Tunggu dulu...memeluk Daniel?
OH TUHAN! TUHAN! TUHAN!! Ia memang memeluk Daniel bahkan dengan posisi sebelah kakinya juga menimpa pria itu seperti memeluk guling.
TIDAKKKK!!!!
Secepat kilat Nic langsung melepaskan pelukannya dan mundur menjauh dengan panik tanpa memedulikan bahwa ia sudah berada di ujung tempat tidur. Akhirnya ia jatuh terjungkal ke belakang sambil menjerit karena terkejut.
Tuhan, apa yang terjadi padanya? Di mana ia berada? Kenapa ia bisa tidur bersama Daniel?
Semua pertanyaan itu muncul bersamaan di kepala Nic. Ia tidak ingat apapun sejak ia minum es teh di pesta itu.
"Kau sedang bermimpi apa sampai membuatku tidak bisa bernapas?" Daniel bangkit ke posisi duduk dengan santai di tempat tidur seakan-akan tidak ada sesuatu yang aneh sedangkan Nic menatapnya seperti baru saja melihat Sadako merangkak keluar dari layar televisi.
"Di...di mana ini?!" teriak Nic dengan nada panik. Ia masih terduduk di lantai ruangan sambil melihat sekeliling dengan gemetar. Ruangan itu lebih mewah dibandingkan hotel.
"Ini rumahku. Aku membawamu kemari karena tidak tahu dimana kau tinggal."
"Apa?!" jawaban itu hanya makin membuat Nic makin nelangsa. Nic menekan tangan ke dada untuk menenangkan jantungnya yang berdegup terlalu kencang. Ia merasakan baju jubah handuk. "Kemana pakaianku?!" Nic meraba-raba dengan kepanikan melebihi sebelumnya. Di balik jubah itu ia hanya mengenakan celana dalam!
"Aku menggantinya karena sudah kotor dengan muntahanmu."
"Anda...melihat tubuhku?!" pekik Nic tak percaya.
"Sebenarnya tidak ada yang bisa dilihat, sih. Hanya saja..."
"Tasku!!"
"Tas?"
"Di mana tasku?!!!" ulang Nic dengan teriakan.
Daniel menunjuk sebuah kursi bergaya Victoria di depan meja tulis. Nic melihat tas ranselnya di sana dan langsung tergesa-gesa meraihnya. Secepat kilat ia membuka pintu yang terlihat seperti toilet, tapi ternyata itu bukan toilet. Itu lemari...lebih tepatnya kamar yang berisi banyak pakaian pria tertata seperti toko pakaian. Ia ternganga.
"Toiletnya di sana." Daniel menunjuk lagi dengan santai seakan-akan bisa membaca apa yang Nic cari. Nic menggertakkan gigi dan bergegas ke arah pintu yang ditunjuk Daniel.
Dan memang selanjutnya yang terdengar adalah suara pintu toilet yang berdebam.
***
"Sudahlah. Kau terlalu berlebihan. Tidak ada apa-apa yang terjadi di antara kita. Buktinya tadi kau melihat aku masih memakai pakaianku semalam, bukan?" tukas Daniel setelah mereka ada di dalam mobil kembali. Tadi Daniel memang terbangun dengan kemeja dan jas lengkap seperti yang ia pakai di pesta.
"Anda bisa saja menidurkanku di kamar yang lain, tapi kenapa harus di sana?!" cecar Nic sambil memegang gelas karton berisi kopinya erat-erat. Ia merasa dua kali lipat lebih sengsara dibandingkan kemarin saat membaca tagihan utangnya.
"Bagaimana aku bisa melakukannya kalau kedua tanganmu mencengkeramku terus sejak awal kau mabuk hingga sadar?"
"Aku tidak mungkin melakukan itu!" Nic menggeleng-geleng.
"Iya, kau melakukannya." Daniel mengangguk-angguk.
"Tidak! Itu tidak mungkin!" bentak Nic histeris.
Daniel menarik napas panjang. "Terserah kalau tidak percaya. Ada CCTV di kamarku. Apa kau mau melihat rekamannya? Atau kau ingin kuantar ke dokter?"
Sebenarnya Nic tidak mengerti untuk apa pria itu memasang CCTV di kamarnya sementara ia sering melakukan hal tidak senonoh di sana, tapi bayangan menonton siaran ulang dirinya digantikan baju lalu memeluk Daniel dari malam hingga pagi membuatnya bergidik. Nic tidak sanggup melihat kenyataan yang terjadi...jika benar itu yang terjadi...
Tidak...Apa benar ia jadi seperti itu?!
Tapi sepertinya jika Daniel sudah berani menantangnya, kemungkinan ia tidak berbohong. Lagipula dari cerita yang ia dengar, melakukannya pertama kali akan terasa menyakitkan dan Nic merasa tidak ada yang berbeda dengan tubuhnya. Tapi ia juga tidak tahu apa yang terjadi pada wanita yang sudah melakukannya. Kemana ia harus bertanya? Ia tidak memiliki ibu dan teman perempuan. Ia tidak tahu cara menghubungi Livia dan...tidak mungkin ia curhat pada Pak Warno! Apa kata dunia?! For God sake!
"Anggap saja aku percaya." cetus Nic dengan pasrah. Ia meletakkan kopinya yang ia hanya minum sedikit di tempat gelas dekat pintu mobil. Katanya kopi bisa menghilangkan pusing akibat alkohol, tapi Nic juga jarang minum kopi.
"Baguslah. Jangan terlalu dipikirkan. Lagipula kau harusnya merasa terhormat karena kau adalah wanita pertama yang kubiarkan tidur denganku sampai pagi. Biasanya yang lain kuusir dengan halus setelah aku selesai berurusan dengan mereka."
"Itu bukan sesuatu yang harus kubanggakan!" pekik Nic. Daniel hanya tertawa seakan semua yang terjadi bukan masalah serius.
"Aku tidak mau melanjutkan menjadi asistenmu lagi!"
"Apa?" Daniel berhenti tertawa.
"Lebih baik aku menjadi tukang bersih jamban selamanya! Ponselnya juga akan kukembalikan! Anda sengaja membelikanku ponsel semahal itu agar utangku bertambah, bukan?"
"Kau merajuk ya?"
Nic merasa kesal hingga ke ubun-ubun mendengar pertanyaan itu hingga ia tidak peduli bahwa ia berteriak pada Daniel. "Tidak! Aku tidak merajuk! Aku sudah pernah mengatakan untuk apa karyawan sepertiku merajuk?! Aku hanya tidak ingin bekerja seperti ini. Persetan dengan iming-iming menjadi tim penata musik yang anda berikan!"
"Evelyn!!"
Seketika Nic menjerit karena Daniel tiba-tiba menahan tangan Nic dan memojokkannya di sudut mobil. Ia tidak menduga Daniel akan melakukan itu. Kekesalannya sekarang berubah menjadi ketakutan. Tubuh Daniel kini menjulang di atasnya dan ia bisa merasakan kekuatan pria itu. Nic menciut bagaikan tikus yang baru saja ketahuan mencuri.
"Kau benar-benar sudah kurang ajar, Evelyn," geram Daniel dengan suara rendah memperingatkan. "Who the hell you think is the boss here?"
"A...anda, Pak."
"Dan siapa yang meminum es teh itu? Bahkan hingga menambah dua gelas."
"Aku." Nic meringis.
"Kaupikir tingkahmu mabuk-mabukan itu benar? Apa aku berkewajiban untuk meladeni karyawanku yang sedang mabuk? Apa salah jika aku kemarin memilih meninggalkanmu saja di sana atau membuangmu ke tong sampah?"
Nic menggeleng-geleng panik.
"Sekarang kau sudah mengerti posisimu, 'kan?"
Nic mengangguk-angguk.
"Dan awas kalau sampai aku mendengarmu mengatakan ingin berhenti lagi atau kau menjual ponselmu itu. Kau akan merasakan pekerjaan yang lebih mengerikan dibanding membersihkan jamban. Get it?"
Nic mengangguk-angguk lagi.
Daniel tidak lanjut bertanya. Tapi ia belum melepaskan Nic. Pria itu mengamati wajah Nic seperti menilai sesuatu. Oh, Tuhan...Tuhan...Nic mati suri. Sejak kemarin ia menghindari ini : menatap Daniel. Sekarang ia terpaksa menatap pria itu meski kesan ramah yang biasanya ia temukan sudah tidak ada. Dan jika ada manusia di dunia ini yang masih tetap menawan dalam mode marah sekalipun maka orang itu tepat ada di hadapannya. Cobaan macam apa ini? Nic jadi bisa melihat mata biru itu dengan detail, juga alisnya, hidungnya, bibirnya...Tidak! Tidak! Tidak! Jangan menjabarkan kelanjutannya lagi, plis! Nic mengutuk pikirannya. Perasaannya kini berubah-ubah. Awalnya kesal, lalu ketakutan dan sekarang ia masih ketakutan juga...hanya saja ditambah rasa malu yang membanjiri dirinya dengan persentase yang jauh melebihi ketakutan tadi.
Masalah yang lebih besar sekarang adalah Daniel semakin mendekatkan wajah padanya.
Sebenarnya apa yang ingin pria itu lakukan?! Nic meringis sambil memalingkan wajah dan menutup mata. "PAK! PAK! PAK!!" jeritnya panik
"Ya ampun. Padahal aku hanya iseng menakutimu tapi reaksimu luar biasa." Daniel melepaskan Nic. Nic masih mematung dengan syok sementara Daniel kembali duduk di tempatnya semula dan tertawa terbahak-bahak. Sepertinya merasa sangat puas melihat penderitaan Nic.
"Damn you!!" teriak Nic sambil menegakkan tubuh dan bersidekap memeluk dirinya. Jantungnya sudah hampir copot dan ternyata Daniel hanya iseng. Ia tidak tahu apakah harus lega atau marah.
"Apa? Mau protes lagi? Aku sudah menderita mengurusmu semalaman dan tidak ada ucapan terimakasih. Bahkan sebenarnya aku yang terancam karena mengurusi orang mabuk. Bisa saja kau yang memperkosaku saat itu dan menuntut tanggung jawab setelah sadar..." ocehan Daniel terhenti karena Nic menoleh padanya dengan tatapan siap membunuh. "Baiklah...baiklah, aku bercanda."
Nic tidak mau melanjutkan pembicaraan itu lagi. Ia tidak memedulikan Daniel dan memalingkan wajah menatap pemandangan di luar mobil melalui kaca jendela meski ia tidak bisa fokus pada apa yang ia lihat. Pikirannya masih berputar-putar sekitar kejadian yang tidak ia ingat selama ia mabuk semalam.
"Pak Fernandez, memangnya apa saja yang kulakukan kemarin di pesta itu?" Nic akhirnya memutuskan bertanya dengan ragu-ragu.
Daniel tersenyum geli lalu menjawab, "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sih. Setelah pingsan, kau hanya bangkit dengan tiba-tiba lalu berlari ke ruang tengah dimana semua tamu berkumpul dan kau langsung senang saat menemukan ada tiang yang biasanya digunakan untuk penari striptease..." penjelasan Daniel terhenti lagi karena Nic menatapnya dengan horor. "Tenang! Tenang! Kau tidak melakukan tarian itu."
"Benarkah?" Nic merasa lega...untuk sementara.
"Iya. Kau hanya memegangnya dengan satu tangan lalu memutarinya sambil bernyanyi lagu Ampar-Ampar Pisang."
"Ampar...Ampar...Pisang?" ucap Nic terbata-bata. Daniel ikut mengangguk-angguk di setiap suku kata yang Nic ucapkan. Nic jadi ingin membuka pintu mobil dan menggulingkan tubuhnya seketika itu juga. Bagaimana bisa pria itu mengucapkan kata 'tenang' seolah tidak terjadi sesuatu yang buruk?!
"Tidak. Tidak. Aku hanya bercanda lagi."
"Bisakah anda sedikit serius, Pak?!" teriak Nic karena meradang. Nic bersyukur ada benarnya juga pria di sampingnya ini memilih untuk tidak menikah. Wanita yang menjadi istrinya pasti akan cepat mati karena kesal.
"Kau ingin mendengar yang sebenarnya meski kenyataan itu lebih buruk dari karanganku tadi?"
Lebih buruk?!
Nic menggeleng-geleng sambil menelan ludah. "Tidak usah kalau begitu."
"Baguslah. Intinya kau memang melakukan kekacauan yang cukup merepotkanku di sana. Lalu kau tertidur dan aku membawamu pulang," terang Daniel lagi. "Tapi sebenarnya aku merasa beruntung kau mabuk sehingga aku memiliki alasan pulang. Miranda baru saja akan mengajakku bermain Truth or Dare."
Siapa juga yang peduli pada kepentingan Daniel? Pikiran Nic masih sibuk terpaku pada hal memalukan yang telah ia lakukan. Stevan tidak akan mau menikahinya jika tahu aib ini. Bahkan semua pria di dunia mungkin tidak akan mau menikahinya.
"Jangan khawatir. Tidak hanya dirimu yang memiliki kebiasaan aneh jika mabuk. Kau bahkan mengigau menjadi orang lain. Di mobil kau terbangun lagi lalu memarahiku karena memanggil namamu. Kau menyuruhku berhenti menyebutmu Evelyn karena namamu adalah Nicole," Daniel mengangkat bahu.
Nic langsung membeku.
Untuk yang satu ini, Nic percaya bahwa Daniel tidak mengarang cerita. Oh, Tuhan! Ia hampir saja membeberkan siapa dirinya yang sebenarnya di hadapan Daniel. Untung saja pria itu tidak curiga. Kali ini ia harus mulai lebih berhati-hati membawa diri.
"Shit!! Mobilku jadi berbau rumah sakit, padahal aku baru dua kali mengajakmu! Kenapa kau sangat suka aroma-aroma semacam ini sih?" keluh Daniel.
"Kalau begitu anda lebih baik tidak mengajakku lagi!" Nic ikut menggerutu. Sebenarnya di toilet tadi ia spontan mandi dan mengguyur dirinya dengan semua desinfektan yang tersisa di tasnya. Apa boleh buat? Ia merasa sangat sangat kotor tadi. Mungkin memang ia bereaksi terlalu berlebihan. Tapi...memangnya wanita mana yang tidak panik jika dihadapkan pada situasi semacam tadi?! Ia bahkan belum pernah menerima ciuman pertama tapi sudah tidur dengan seorang pria. Bahkan yang lebih parah lagi pria itu melihat tubuh telanjangnya dan tidak meminta maaf pada Nic seolah itu hal biasa.
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top