Part 17 - Rumour Has It

Dear, Nic

Aku merasa terkejut bahwa kau menjawab emailku setelah tahun-tahun yang berlalu. Kupikir kau sudah melupakanku karena semua sosmedmu tiba-tiba tidak aktif. Kau menghilang begitu saja setelah ibumu berpulang. Aku tidak tahu bagaimana harus menghubungimu. Tapi sekarang aku bersyukur ternyata kau baik-baik saja. Aku masih di Paris dan sedang berjuang untuk mendapatkan tempat dalam orkestra. Mungkin tidak menjadi komposer lebih dulu tapi apapun itu akan kuterima. Seandainya kau ada di sini juga.

Sincerely yours,

Stevan.

***

Oh, Tuhan. Oh, Tuhan...Stefan sudah membalas emailnya!

Nic hampir saja melompat kegirangan setelah membuka email dan menemukan nama Stevan Harries di kotak masuknya. Saking senangnya, Nic sampai ingin mencium ponsel yang diberikan oleh Daniel. Sekarang ia tidak perlu ke warnet lagi dan bisa membuka pesan dari Stevan kapan saja. Kapan saja!

Selama ia memiliki kuota...

Rasanya makin lama ia menjadi makhluk yang sangat tidak terpuji. Ia membenci Daniel, tapi menyukai barang-barang yang pria itu berikan. Apa namanya kalau bukan munafik? Tidak...Tidak...Ia tidak munafik. Semua benda itu tidak Daniel berikan secara gratis melainkan dimasukkan ke dalam daftar kasbonnya. Lagipula ternyata Daniel membuatkannya akun pengaktifan dengan nama '[email protected]'. Sungguh tidak lucu.

Dear, Stevan.

Seandainya kau bisa melihat bagaimana senangnya aku menerima balasan emailmu ini. Semoga kau cepat mencapai apa yang kaucita-citakan. Di sini aku juga sedang berusaha selangkah demi selangkah untuk mencapai impianku bekerja di bidang musik meski sulit. Jalanku memang agak tidak mulus tapi aku yakin akan bisa mencapainya dengan kemampuanku ini. Mungkin ini tidak penting tapi selama ini aku tidak pernah melupakanmu, bahkan jam tangan pemberianmu masih tetap kusimpan meski tidak bisa digunakan lagi. Setiap kali aku merasa terpuruk aku selalu melihatnya dan semangatku kembali.

Best wish,

Nicole

Yep. Semangat hidup.

Nic selesai membalas kembali email itu.

"Ev, ayo makan."

Ajakan Dilan membuat Nic sadar bahwa ia terlalu hanyut di dunia maya tadi. Nic lupa kalau sekarang adalah acara makan-makan untuk merayakan pekerjaan baru Dilan. Ia memasukkan ponselnya ke tas diam-diam. Tadi ia juga mengecek emailnya diam-diam.

Dilan menyodorkan hot plate berisi salmon dan mashed potato pesanannya. Pria itu mentraktir mereka makan malam di Pepper Lunch. Lunch untuk dinner jadinya.

Nic merogoh tasnya dan mengambil hand sanitizer yang selalu ia bawa kemana-mana. Tadi ia sudah mencuci tangan saat Dilan masih memesan. Setelah memakai hand sanitizer, Nic menyeka tangannya dengan tisu basah antiseptik yang juga selalu ada di tasnya agar rasa lengket gel tadi tidak terasa. Selesai dengan semua ritual bersih-bersihnya, Nic mengambil sendok dan mengelapnya dengan tisu. Ia tidak bisa memakai sumpit.

Baru saja ia bersiap makan, Nic mendapati Dilan menatapnya takjub.

"Ada apa?" tanya Nic kebingungan.

Dilan tersenyum miris. "Tidak, sih. Caramu membersihkan diri sebelum makan itu menarik. Salmonmu sampai gosong."

Nic baru sadar dan cepat-cepat membalik salmonnya.

"Untung saja kau tidak mentraktir lalapan. Bisa-bisa ia membersihkan tangannya dengan direndam karbol selama dua jam," sindir Pak Warno sambil memasukkan potongan makanan ke mulut. Pak Warno sudah hafal dengan kebiasaan Nic jadi dia tidak seterkejut Dilan. "Terlalu bersih itu juga tidak bagus. Kekebalan alami tubuhmu tidak terlatih."

Sejak kapan Pak Warno menjadi pakar kesehatan?

"Tadi aku membersihkan selokan." Nic beralasan, padahal sebenarnya tidak. Melihat selokan saja sudah membuatnya ingin pingsan, apalagi menyentuhnya. Sebenarnya setiap membersihkan toilet juga Nic sering mual-mual. Ditambah perasaan was-was jika sewaktu-waktu ia menemukan ada yang tertinggal dan mengambang. Untung saja tidak pernah.

Pak Warno berdecak. "Seharusnya Evelyn tidak perlu lagi bersih-bersih seperti yang diperintahkan Pak Daniel."

"Pak Daniel?" Dilan tiba-tiba tertarik. Nic melirik dengan was-was dan menelan makanannya pelan-pelan.

"Iya. Dia kan anak emas owner. Entah dia ingin bekerja atau tidak itu tidak masalah di sana. Tidak mungkin ada yang berani menegurnya apalagi memecat."

Gosip memang cepat menyebar setelah banyak orang melihat Nic bersama pria itu di lift.

"Jangan mengarang cerita sembarangan," gerutu Nic. "Jika kalian tahu kenyataan sebenarnya kalian pasti akan menganggapku karyawan paling apes di sana."

"Memang kenyataan sebenarnya bagaimana?" Dilan menoleh pada Nic. Aduh, untuk apa juga tadi Nic menjawab seperti itu?

"Yah, itu. Aku sebenarnya ingin bekerja menjadi tim penata musik." jawab Nic asal-asalan. Untung saja Nic memiliki jawaban, meski agak kurang meyakinkan. Semoga Dilan tidak banyak bertanya lagi.

"Bersabarlah. Kalau kau percaya suatu saat pasti akan ada kesempatan." hibur Dilan.

Nic mengangguk-angguk dan mulai memakan makanannya. Ia tidak ingin melanjutkan lagi. Belum ada beberapa detik ia makan tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Nic mengerang dalam hati. Apa itu panggilan ataukah pesan...atau mungkin itu balasan email Stevan? Tapi ia malu mengambil ponselnya di hadapan Dilan dan Pak Warno. Mengapa tadi ia lupa mengubahnya ke mode getar?

"Ponselmu berbunyi." ujar Dilan.

Cepat-cepat Nic menelan semua potongan salmonnya yang belum ia kunyah. Sial...rasanya sakit. Ia menunduk untuk melihat layar ponsel di bawah meja. Takut ketahuan Dilan dan Pak Warno. Bisa-bisa ia dituduh tukang pamer.

Besok jam delapan pagi. Tunggu di ruang meeting.

Ternyata hanya pesan dari Daniel. Mengganggu saja. Nic langsung menutup ponselnya lagi dan hendak memasukkan ke dalam tas.

"Hebat! Ponsel baru?"

Komentar Dilan hampir saja membuat Nic menjatuhkan ponselnya karena terkejut. Ternyata Nic tidak sadar Dilan menjulurkan tubuh dan melihat ponselnya.

"Dia punya ponsel sekarang?" tanya Pak Warno.

"Hmm." Dilan mengangguk. "Merk paling mahal. Model terbaru."

Mahal...?

MAHAL?!

Shit!! Nic sampai berteriak dalam hati. Ia tidak tahu menahu tentang itu. Kalau tahu begini seharusnya ia menolak saja kemarin. Memang berapa harga ponsel itu? Semoga saja tidak lebih dari tiga juta.

"Belum mendapat gaji saja kau sudah mampu membeli ponsel semacam itu? Kupikir kau pernah mengatakan sedang kekurangan uang. Dasar anak muda." Pak Warno menggeleng-geleng.

"Memangnya...tidak boleh?" Nic tidak tahu harus menjawab apa.

"Jujur saja, itu hadiah dari dia, bukan?"

Nic tersedak dan batuk-batuk. Bapak tua itu benar-benar selalu ceplas-ceplos dan membuat orang mati kutu.

"Hadiah dari Pak Daniel?" Dilan semakin tercengang.

"Sudah kubilang dia karyawan kesayangan..."

"Sudah. Cukup. Itu memang pemberian darinya. Puas?" potong Nic dengan kesal. "Tapi aku tidak mendapatkannya dengan gratis karena aku harus menggantinya dengan bekerja."

"Pekerjaan semacam apa?" Dilan semakin ingin tahu.

"Yang jelas bukan pekerjaan kotor seperti yang kalian pikirkan."

"Maaf," Dilan tertawa dan mengangkat kedua tangan. "Bukan salahku selalu berpikiran negatif. Aku sudah pernah mengatakan alasannya bukan? Dan dia juga memang selalu memberikan hadiah pada wanita yang pernah ia kencani. Tapi itu lebih seperti hadiah perpisahan karena dia tidak pernah terlihat bersama dengan wanita-wanita itu lagi."

Nic menggeleng. "Aku berani bersumpah aku bukan salah satunya."

"Ya. Ya. Kami selalu percaya." timpal Pak Warno. "Mana berani aku sampai tidak percaya pada anak kesayangan bos. Nanti bahaya."

"Pak!!" Nic hampir berteriak karena kesal.

Dilan tersenyum menengahi. "Sudahlah. Kita jangan terlalu ikut campur urusan pribadi Evelyn. Nanti kalau dia ingin bercerita biar dia melakukannya secara sukarela. Ayo lanjut makan."

Nic merasa lega Dilan memiliki batas kepo. Ia memang sering ingin tahu tapi tidak mencampuri urusan pribadi orang lain terlalu jauh. Akhirnya memang mereka tidak membahas lagi topik itu setelahnya. Hanya saja Nic sempat memikirkan ucapan Dilan tadi. Ia mendapatkan satu lagi informasi yang harus ia masukkan dalam daftar keburukan Daniel.

Dan besok ia harus bersama dengan pria itu. Cobaan macam apa yang akan ia jalani?

🌸🌸🌸

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top