Part 11 - Erdina
***
Nic membuka halaman kolom lamaran pekerjaan di koran yang dibelinya dari loper koran yang kebetulan ia lihat tadi dan menelusurinya satu persatu dari atas hingga bawah. Pekerjaan pagi Nic sudah selesai dan ia memilih tempat yang agak sepi di halaman untuk melakukan aksinya. Agak jauh di sekelilingnya banyak kru film dan mungkin artis yang berlalu lalang. Mungkin ada kegiatan atau persiapan menuju lokasi syuting. Nic tidak peduli.
Akuntan, Nic tidak mungkin melamar menjadi akuntan meski ijazah Evelyn Diandra mendukung untuk pekerjaan itu.
Pembantu rumah tangga, babysitter, lagi-lagi pekerjaan yang berhubungan dengan bersih-bersih. Lagipula tidak mungkin pekerjaan itu bisa dilakukan di malam hari sementara siang hari ia harus bekerja.
Satpam? Yang benar saja? Dengan tubuh kurus dan pendek sepertinya tidak mungkin Nic percaya diri melamar posisi itu.
Kolom lowongan itu sebagian besar tidak berguna.
Atau sebaiknya ia sendiri yang mempromosikan dirinya di koran? Ia bisa saja membuka les privat piano, atau mungkin les bahasa. Nic menguasai bahasa Inggris, Mandarin dan Perancis meski tidak banyak yang tahu.
"Apa-apaan ini?"
Tiba-tiba koran yang ada di tangannya direbut oleh seseorang tanpa ia sadari.
"Sejak kapan kau membaca koran?"
Nic ternganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Entah ada angin apa pagi itu, Daniel sudah ada di sana dan merampas korannya. Mengapa ia tahu Nic ada di sana? Kelihatannya pria itu tidak sabar ingin mengejeknya sehingga mengupayakan berbagai cara untuk menemukan Nic.
"Mencari pekerjaan lagi, Evelyn? Kau pantang menyerah ya?" Daniel tertawa.
Nic dengan gusar berdiri dari tempatnya duduk dan mencoba merampas koran itu. Tapi Daniel mengangkat koran itu dengan tangannya ke udara dan dengan tubuhnya yang tinggi tentu saja Nic otomatis melompat-lompat.
"Kembalikan koranku!!" Ia berhenti melompat karena merasa konyol. Alangkah menyebalkannya memiliki tubuh pendek. "Apa pun yang kulakukan itu bukan urusanmu, Pak Fernandez." Nic menghentakkan kakinya karena kesal.
"Kemarin kau boleh saja mengatakan itu bukan urusanku karena memang di luar jam kerja. Tapi saat ini masih di dalam jam kerja di perusahaanku."
"Lalu anda bisa apa? Ingin memecat saya? Silahkan saja." tantang Nic asal-asalan.
"Aku tidak akan mungkin melakukan itu. Kau mulai pintar memanfaatkan keadaanmu yang memiliki banyak utang padaku," Daniel tertawa lagi. "Memangnya ada apa dengan kerja part time mu di klub sehingga kau mencari pekerjaan lagi?"
Nic menoleh dengan garang. "Masih bertanya?"
"Bersabarlah, Evelyn. Seharusnya kau merasa beruntung aku ada di sana tadi malam. Kau tidak cocok bekerja di mana pun. Buktinya, bukannya menambah uang, yang kau hasilkan hanya melipatgandakan utang. Aku kagum padamu." Daniel menggeleng-gelengkan kepala.
"Dan masa pengabdianku bekerja rodi di perusahaan ini bertambah," lanjut Nic sarkastik.
"Setidaknya kau tidak perlu bekerja siang dan malam seperti sebelumnya. Itu tidak baik untukmu."
"Sudah kubilang aku memiliki cita-cita yang harus kugapai. Pekerjaan semacam ini tidak memiliki jenjang karir."
"Cita-cita untuk menemui orang yang kaucintai itu? Seharusnya kalau dia mencintaimu, dia yang akan mencarimu."
"Stevan pergi untuk belajar di sebuah universitas musik kenamaan. Ia tidak tahu bagaimana aku saat ini karena sebelum pergi kondisiku baik-baik saja." jelas Nic.
"Jadi ia bernama Stevan?"
Nic mengerang dalam hati. Untuk apa ia menceritakan urusan pribadinya lagi pada Daniel? Kadang-kadang Nic merasa dirinya memang mudah untuk terprovokasi.
"Sudah berapa lama kau dan Stevan berpacaran sebelum ia meninggalkanmu hingga kau sangat mengharapkannya?" lanjut Daniel.
"Kami tidak berpacaran. Kami hanya teman dekat sejak kecil. Ia tahu aku dan aku tahu bagaimana dirinya. Bisakah anda tidak menanyakannya lagi, Pak Fernandez?"
"Apa kau tidak pernah berpikir mungkin saja di sana ia menemukan wanita lain yang lebih menarik darimu? Kau bahkan bukan kekasihnya tapi kulihat kau begitu mengharapkan Stevan ini sedangkan bisa saja ia hanya menganggapmu masa lalu. Aku memperingatkan agar tidak terlalu menyakitkan bagimu nanti."
Nic tidak terima dengan pernyataan itu. "Dia tidak akan melakukannya."
"Yakin? Yang mengetahui bagaimana tabiat seorang laki-laki hanya makhluk sejenisnya."
"Jangan samakan Stevan denganmu, Pak Fernandez! Kau tidak mengenalnya sepertiku!" Nic mulai meninggikan suaranya karena emosi. "Ia sudah berjanji akan menikah denganku dan aku percaya padanya. Titik!" Ia sudah tidak tahan lagi karena topik tentang Stevan mulai berlarut-larut. Sudah cukup Daniel Fernandez tahu tentang kehidupan pribadinya. Dan di sisi lain, Nic agak khawatir juga Stevan akan benar-benar melakukan itu. Melupakannya...
"Baiklah, aku hanya mencoba memberikan nasehat."
"Aku tidak perlu nasehat tentang urusan pribadiku, tapi asal kau tahu itu juga bukan cita-cita yang kumaksud," gerutu Nic cemberut. "Aku serius melamar sebagai penata musik di perusahaan ini karena cita-citaku adalah bekerja sebagai pianis. Jika gagal, aku akan melamar pekerjaan sebagai guru musik di sekolah atau apa pun pekerjaan yang berhubungan dengan musik." Nic duduk kembali di rumput dengan masa bodoh sambil memeluk lututnya.
"Dengar Evelyn, meski semua orang saat audisi mengatakan bahwa kau mahir memainkan musik klasik dengan piano tapi itu bukan hal yang akan menjaminmu cocok dengan kriteria apa yang diperlukan sebagai seorang penata musik. Rata-rata dari mereka semua di sana memiliki apa yang dinamakan kreativitas untuk membuat sesuatu yang baru dan berbeda. Kau belum tentu mengerti."
Nic sebenarnya mengerti dengan itu semua. Hanya saja ia belum berpengalaman dan sayangnya Daniel sepertinya tidak memberikannya kesempatan. Ia tidak hanya bisa memainkan piano saja. Beberapa alat musik lainnya Nic bisa meski tidak semahir piano. Ia juga mengerti nada secara alamiah sebelum menyentuh alat musik untuk pertama kalinya. Dan ia juga sudah membuat banyak catatan lagu lengkap dengan melodi ciptaannya sendiri. Sekarang catatan itu sepertinya akan terus mendekam dalam tas ranselnya di rumah. Dulu saat ia masih bersekolah, catatan itu masih belum terlalu tebal dan menumpuk di laci meja belajarnya.
Tapi Nic tidak ingin memohon ataupun meminta Daniel untuk memberikannya kesempatan mencoba. Ia sudah telanjur kesal dengan perlakuan Daniel yang meremehkan kemampuannya tanpa melihat terlebih dulu, tipe manusia yang dibenci Nic. Suatu saat, Nic pasti akan menemukan jalan lain untuk memperkenalkan karyanya pada dunia.
"Daripada kau membuang-buang waktu mencari pekerjaan dan mengacaukan dunia, lebih baik kau bekerja padaku." sambung Daniel sambil mengembalikan koran Nic di pangkuannya.
Nic mendongak dengan kesal. "Saat ini aku sedang bekerja padamu, Pak Fernandez."
"Kau ingin pekerjaan tambahan bukan? Aku sudah memikirkannya semalaman dan akhirnya aku ingin menawarkan pekerjaan tambahan ini padamu."
Seorang pemilik perusahaan mau memikirkan dirinya semalaman? Orang aneh. Nic agak keheranan mendengarnya, tapi Nic juga penasaran akan tawaran itu. "Pekerjaan tambahan?"
"Benar. Sebenarnya pekerjaan itu cukup mudah. Kau cukup datang saat aku memerlukanmu saja dan selesaikan tugas yang kuberikan. Semacam asisten pribadi tapi bukan. Hanya pekerjaan serabutan. Aku tidak akan memerlukanmu setiap saat dan kau akan kuberikan bayaran sesuai berat tidaknya tugas yang kau jalani." jelas Daniel.
"Dan menjadi obyek bulan-bulananmu? Terimakasih atas tawaranmu, Pak Fernandez tapi aku tidak tertarik untuk menyiksa diri lebih lanjut lagi." Nic berdiri dan melangkah meninggalkan Daniel secepatnya tanpa menoleh untuk melihat reaksi pria itu pada penolakan mentah-mentah Nic.
Enak saja! Mungkin Daniel berpikir dirinya wanita yang sangat bodoh. Meskipun ia hanya bertemu pria itu beberapa kali, Nic bisa menyimpulkan kalau Daniel adalah orang yang gemar mengerjai orang lain. Dan dia tidak akan memberikan kesenangan itu pada Daniel. Menjadi asisten? Tanpa bantuan Nic juga selama ini pria itu masih bisa hidup. Hu~uh!
***
"Ke mana saja sebenarnya kau sejak tadi? Terakhir kali katanya membersihkan toilet. Aku sampai mengira kau tenggelam di septik tank." gerutu Pak Warno setelah melihat Nic memasuki kantin.
"Jangan berlebihan, Pak. Kalau Pak Warno mau marah-marah silahkan saja marah pada Pak Daniel. Tadi dia yang mengajakku bicara sehingga aku terlambat."
"Pembohong. Itu cuma alasanmu saja supaya tidak dimarahi, bukan?"
"Terserah kalau tidak percaya." sahut Nic.
Mendengar ucapan Nic, Dilan menegakkan tubuh dan membuang abu rokoknya ke asbak. "Berbicara dengan bos besar? Memangnya kau ada urusan apa dengannya?"
"Jangan menatapku curiga semacam itu." keluh Nic sambil duduk di meja dekat mereka membawa piring berisi makanan. "Ia hanya menawariku kerja sampingan sebagai pembantu pribadinya."
"Bagaimana aku tidak curiga mengingat reputasinya di sini. Kau baru bekerja, sih. Jadi tidak tahu."
"Memangnya dia memiliki reputasi seperti apa?" tiba-tiba Nic ingin tahu.
"Biasalah," Dilan kembali merebahkan punggungnya di sandaran kursi. "Sudah menjadi rahasia umum bahwa siapapun wanita di sini yang pernah terlihat bersamanya, itu artinya ia sudah tidur bersama Pak Daniel."
Nic hampir tersedak makanannya setelah mendengar jawaban Dilan. Sudah berapa kali ia terlihat bersama Daniel? Sepertinya selama ini mereka bertemu di tempat yang tidak banyak orang berlalu-lalang. Mengapa tiba-tiba ia jadi cemas sekarang padahal sebelumnya tidak? Jadi selama ini ia dekat dengan seorang laki-laki yang berbahaya? Untung saja Nic tidak menerima tawaran pekerjaan pria itu tadi.
"Sudah, tidak usah berpikir terlalu jauh," celetuk Pak Warno. Ternyata sejak tadi ia melihat gelagat Nic. "Wanita yang bersamanya semua cantik dan seksi. Ia tidak mungkin melirikmu." lanjutnya seakan-akan bisa membaca pikiran Nic.
Dasar pria tua menyebalkan! Untung saja Pak Warno sudah tua jadi Nic terpaksa mengurungkan niat jahat yang sudah mulai muncul di benaknya.
"Aku juga memikirkan reputasiku, Pak."
"Tapi Pak Daniel sangat jarang bersama dengan satu orang wanita yang sama lebih dari sekali. Fiona pernah pergi bersamanya dua kali dan sekarang ia agak bertingkah di depan artis lain karena merasa spesial." Dilan melanjutkan ceritanya.
"Sepertinya Nak Dilan tahu persis tentang apa yang terjadi di kalangan artis-artis wanita itu ya." komentar Pak Warno.
"Erdina yang menceritakannya padaku. Ia sering curhat dan mengeluhkan Fiona akhir-akhir ini. Semenjak Fiona dekat dengan Pak Daniel, sutradara sering memberinya peran utama." Dilan tersenyum.
"Curhat setiap malam? Kalian tinggal bersama?" tanya Nic blak-blakan.
Dilan menoleh dengan keheranan. "Tidak. Jangan salah sangka, Ev. Erdina gadis baik-baik meski ia seorang artis. Kadang-kadang ia hanya meneleponku setiap malam."
"Tapi Nak Dilan mengantarkan Erdina pulang setiap hari bukan? Bahkan rela menjemput di lokasi syuting kalau pulang malam bahkan pagi." sambung Pak Warno.
"Biar aman saja, Pak. Erdina yang minta, sih. Katanya dia percaya padaku sejak dulu."
Nic menangkap roman muka Dilan berubah menjadi lembut setiap membicarakan Erdina. Sepertinya Dilan sangat mengagumi wanita itu. Nic pernah melihatnya sekali saat Dilan menunjukkan Erdina padanya dari kejauhan, hanya saja Erdina saat itu terlihat sibuk sehingga mereka tidak bisa memanggilnya. Erdina cantik dan anggun, tapi masih banyak artis-artis lain yang pernah Nic lihat lebih cantik dari Erdina. Dilan hanya melihat Erdina seorang dan itu membuat Nic agak tenang. Ternyata masih ada laki-laki seperti Dilan. Dan itu berarti teori Tuan Daniel Fernandez Wiraatmaja tentang laki-laki tidak sepenuhnya benar.
"Omong-omong, Ev. Kenapa Pak Daniel bisa menawarimu kerja sampingan? Kau kan sudah bekerja di klub bersamaku."
Nic mengerang dalam hati. "Aku sudah dipecat kemarin karena memecahkan minuman."
"Apa?"
"Aku tidak sengaja menjatuhkannya karena ada pria mabuk yang menyentuhku kemarin hingga aku refleks menjatuhkan minuman yang kubawa." Nic membela diri.
"Oh..." Dilan menatapnya prihatin. "Jangan khawatir, akan kucarikan pekerjaan sampingan lain yang lebih aman untukmu nanti."
"Tidak perlu merepotkan dirimu. Sebenarnya tanpa pekerjaan sampingan pun aku tidak apa-apa." sahut Nic meski dalam hati ia mengharapkannya juga.
Nic melanjutkan makan siangnya sementara ponsel Dilan tiba-tiba berbunyi. Dilan yang awalnya tersenyum tiba-tiba terlihat kecewa setelah menutup telepon.
"Ada masalah?" tanya Pak Warno. Nic diam-diam ikut memperhatikan juga.
"Tidak ada," jawab Dilan. "Tadi itu Erdina. Dia hanya mengatakan kalau tidak usah mengantarnya pulang hari ini karena ia berencana pulang bersama temannya."
***
Nic selesai menghitung satu hingga dua puluh sebelum membilas sabun cuci tangannya. Seperti biasa sebelum dan sesudah jam makan ia akan selalu melakukan ritual bersih-bersihnya tanpa memedulikan Pak Warno yang selalu mencak-mencak karena kebiasaannya tersebut. Kata Pak Warno, Nic membuang-buang banyak waktu.
Tanpa sengaja Nic melihat pantulan wajahnya di cermin wastafel.
Sial, ia terlihat begitu kacau padahal ia seorang perempuan. Nic menggosok-gosok bintik kecoklatan di hidungnya dan tentu saja bintik itu tetap anteng di tempatnya. Ia sudah memiliki bintik-bintik itu sejak lahir. Untungnya bintik-bintik itu tidak tersebar di sekujur tubuhnya. Hanya di hidungnya saja. Dan itu cukup membuat Nic merasa jelek. Suatu saat nanti ia akan menghilangkan bintik itu di klinik kecantikan.
Nic membuka isi tasnya dan mengernyit. Tidak ada satupun kosmetik perawatan wajah di sana. Yang ada hanya sabun cuci tangan, hand sanitizer, Dettol cair, deodorant, satu set sikat dan pasta gigi, obat kumur, sisir, tisu kering dan tisu basah anti kuman.
Mulai besok ia harus mencoba merawat wajahnya. Bekerja di tempat yang dikelilingi banyak wanita cantik membuat Nic malu. Untung Stevan tidak melihat penampilannya saat ini. Masih ada waktu untuk berubah.
"Kau korupsi waktu lagi." Pak Warno mengeleng-geleng saat Nic kembali dari toilet.
Nic tidak menggubris dan mulai bekerja menata kopi dan teh yang sudah diseduh Pak Warno ke nampan.
"Perempuan biasa lama di toilet, Pak." Dilan yang masih menemani Pak Warno di pantry hanya tertawa. "Sini, Ev. Biar kubawakan untukmu mengingat kau mungkin masih trauma dengan kejadian kemarin." Dilan menyambar nampan berisi bergelas-gelas kopi dan teh tadi. Nic ingin menolak tapi Dilan dan Pak Warno sudah beranjak keluar ruangan bersama dan otomatis Nic mengikuti.
"Apa kau tidak terganggu dengan parfumnya?" keluh Pak Warno sepanjang perjalanan.
"Menurutku aroma Evelyn menyenangkan. Mengingatkanku pada rumah karena ibuku selalu membersihkan rumah setiap hari." sahut Dilan.
"Kau berpikiran begitu, Nak Dilan. Sebaliknya setiap dekat dengannya hanya mengingatkanku pada rumah sakit."
Nic mengerutkan alis. Komentar kedua pria itu membuat Nic sadar apa tubuhnya memang terlalu menguarkan aroma desinfektan? Mungkin kemarin Daniel tahu bahwa ia mengantarkan minuman akibat aroma desinfektannya itu.
Ya Tuhan, jika benar maka Nic harus menghentikan kebiasaannya memakai terlalu banyak anti kuman. Selama ini setiap mandi dan mencuci pakaiannya, Nic tidak pernah lupa dengan desinfektan. Bahkan saat mencuci rambut juga.
Tiba-tiba Dilan yang sedang berjalan di depan Nic berhenti mendadak saat Nic masih melamunkan desinfektannya. Untung saja refleks Nic juga cepat sehingga ia tidak menubruk punggung Dilan. Pak Warno juga ikut berhenti dan menoleh keheranan melihat Dilan yang berhenti.
Apa-apaan sih? Sebenarnya ada apa dengan Dilan?
Sebelum Nic sempat memprotes, ia akhirnya melihat penyebabnya.
Agak jauh di depan mereka, ada dua orang, pria dan wanita, yang sedang tertawa riang berjalan menuju lift. Mereka asyik bercakap-cakap sehingga tidak memperhatikan keberadaan tiga orang lain yang ada di sana. Pria itu Daniel Fernandez, makhluk pembawa sial Nic. Dan wanita yang bersama dengannya sungguh membuat Nic tak percaya.
Dia Erdina...wanita pujaan Dilan.
Erdina tadi menelepon Dilan agar tidak mengantarnya pulang karena sudah ada teman yang mengantarnya pulang. 'Teman' yang Erdina maksud ternyata adalah Daniel.
Padahal sebelumnya Dilan mengatakan bahwa siapapun wanita yang terlihat bersama Daniel, itu artinya ia pernah tidur dengan pria itu.
Tidak! Tidak! Tidak!
Menurut cerita Pak Warno, setiap hari Erdina pulang bersama Dilan. Berarti ini adalah kali pertama Erdina bersama dengan Daniel, jika hipotesa Nic tidak salah. Masih ada harapan bagi hubungan Erdina dan Dilan.
Nic berpikir bahwa sebentar lagi Dilan pasti akan membuat keributan, tapi ternyata tidak. Dilan berbalik kembali ke arah semula untuk menghindari melihat pemandangan menyakitkan itu. Pak Warno ikut mengekor Dilan, mungkin ia ingin menghiburnya.
Sebenarnya Nic ingin melakukan hal yang sama, tapi menghibur seseorang yang sedang sedih bukan keahliannya. Ia hanya bisa diam di tempat sambil menatap punggung Dilan yang menjauh. Dilan pasti sangat kecewa. Nic tahu bagaimana selama ini ia mengagumi Erdina.
Nic menoleh ke arah berlawanan dan melihat Daniel serta Erdina sudah bersiap memasuki lift.
Antara ya dan tidak, Nic tidak berpikir panjang untuk apa yang sekarang ia lakukan. Yang jelas ia sudah mendapati dirinya berlari mengejar pasangan itu sebelum mencapai lift.
Jika memang masih ada harapan ia akan memperjuangkannya meski harus mendapat malu.
"Pak Fernandez!"
Daniel langsung berbalik mendengar namanya dipanggil. Ia mengernyit melihat Nic.
"Aku ingin berbicara denganmu."
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top