Chapter 7- (Flying Bird)
Kalau diingat lagi sebagian karya lawasku mengambil tema mental problem. Memories yg gagal muvon, Tanpa Rasa dengan traumanya, dan DD yang mengulik bullying, SI tentang kenakalan remaja. Semua itu tentang dan luapan perasaanku, walau gak separah yang diceritakan. Aku yg gagal muvon dr masa lalu(bukan karena cinta), bullying, yang kualami saat kecil. Apa yang ingin kusampaikan hanya tepukan kecil pada diri ini bahwa semua telah berlalu dan semua baik-baik saja. Thats it.
Jujur aja melanjutkan cerita ini sambil mempertahankan gayanya rasanya sulit, ahahaha karena tulisanku udah berubah banget dari yang dulu, sekalian refreshing. semoga aja gak mengecewakan.
Warning! mengandung konten suicide. bijaklah dalam membaca.
_______________________________
Mataku menggelap, melodi mematikan itu terngiang di kepalaku, berulang-ulang, terkata, menggema tak ada hentinya.
Troublemaker.
Kau tak pernah di harapkan.
Anak haram! Itu sebab orangtua kau tak ada yang peduli.
Tolong menjauh dariku.
Kamu di skorsing dari sekolah.
Kamu memberi pengaruh buruk.
Kau tu anak yang tak diharapkan.
Setiap kali Umma melihat kamu, hal itu hanya akan membuka kembali luka lama yang berusaha kututupi selama ini.
Cowok gila.
Gila. Gila. Gila.
"Hentikan. Hentikaan! PERGI KALIAN!!! Aaah."
Tubuhku bergetar hebat menahan amarah yang membuncah. Kepalaku berdenyut sakit.
Huweek.
Aku memuntahkan kembali semua makanan yang kutelan. Tak ada lagi yang tersisa, hanya tertinggal rasa lemah dan kerongkongan yang perih. Aku mengerang lemah. Sempoyongan berjalan keluar dari neraka itu. Kakiku yang bergetar, bergerak sendiri entah kemana. Menuju sebuah tempat yang bahkan tak pernah terbesit dalam pikiran untuk kulakukan. Sebuah lubang menganga, perusutan bergerigi dan terjal, ada batu-batu tajam yang bersiap menghadang di bawahnya. Apa yang terlihat secara langsung lebih mengerikan daripada deskripsinya. Jurang dekat sekolah, tempat yang sangat pas untuk melakukan suatu yang salah. Entah apakah hal ini masih kuanggap salah setelah semua yang terjadi padaku.
Aku menatap kembali apa yang tersaji di hadapanku.
Kenapa aku kemari?
"Melepas semua masalah," ucap sebuah suara tanpa rupa yang muncul tiba-tiba.
"Melompatlah dan semua akan berakhir! Melompatlah dan masuklah ke dalam surga!" suara yang sama mendesakku melangkah maju selangkah, hanya selangkah.
"Jangan Albi! Melakukannya tidak akan menyelesaikan masalah," sahutan suara berbeda menghentikan langkahku.
"Apa yang akan selesai dengan melakukannya? Sadar Albi! ingat yang dikatakan Hanna, syurga tidak akan kamu dapat dengan berputus asa."
Hanna.
"Tolong menjauh dariku. Kamu, memberi pengaruh buruk buatku."
Perkataannya waktu itu mereplay secara otomatis berikut rasa sakit dari corengan luka yang sama. Aku membencinya. Masa bodo dengan semua nasehatnya.
"Setidaknya ingatlah dengan Umma yang akan menangis akan kepergianmu nanti," ujarnya lagi. Desakan yang justru berhasil membuatku semakin bersikukuh memegang keputusan.
Wanita itu tak mengharapkanku. Berhenti menyebut namanya!
Sisi hitam dalam diriku tampaknya lebih dominan memenangkan pergulatan batin tadi.
Aku melangkah lagi. Menutup mataku.
Embusan angin kencang bertolak arah seolah mencegah keputusanku.
Aku menyerah. Aku lelah.
Biarkan semua berakhir. Toh, siapa yang akan menangisi jasadku nanti. Mereka tak pernah mengharapkanku, tidak akan ada yang menyelamatkanku.
Biarkan semua berakhir. Tak kan ada lagi Pak Long yang mengekangku dan aku akan bebas dari penjaranya. Tak ada lagi sekolah dan monyet monyet kampret di dalamnya. Tak ada lagi Hanna yang harus repot-repot menjauhiku. Tak ada lagi Umma yang mematahkan tulang-tulang di hatiku dengan harapannya. Juga semua yang pernah datang dan pergi tanpa pamit. The Guardian Angel yang aku tak tahu rupanya. Selamat tinggal semuanya.
Aku melangkah dengan cepat, sebelum nyaliku kembali menciut layaknya kain kusut. Teriring dengan melodi kematian, semua stigma tentangku bermain tanpa jeda di kepala. Selengkung senyum terlebar terukir di wajahku, untuk pertama dan terakhir.
Aku akan bebas.
Melompat. Merentangkan sayap sebagai flying bird. Kedua tanganku yang seolah tersanggah dengan tulang sayapnya, dan kakiku yang mengawan di atas tanah.
Mungkinkah The Guardian Angelku telah kembali, hendak mengembalikan masa yang telah terenggut paksa? ataukah Malaikat maut hendak mencabutku, agar aku tak merasakan sakitnya jatuh?
Sesuatu menutupi jalan napasku, rasa sakit menjalar di tengkuk, seperti di tindih dengan beban yang teramat berat, mati rasa. Secepat kilat menyambar, mencabut titik sadarku hingga di angka nol.
***
To be c
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top